28 February 2009

Syekh Yusuf Tonggak Islam di Afrika Selatan

Syahdan, di Negeri Tallo, pada 13 Juli 1626 M atau bertepatan 8 Syawal 1036 H, muncul dari langit cahaya terang benderang menyinari negeri itu hingga Negeri Gowa. Maka, gemparlah masyarakat Gowa melihat cahaya itu. Mereka pun berangkat ke Tallo menceritakan serta mencari tahu fenomena luar biasa yang terlihat di Gowa.

Namun orang Tallo tak tahu apa-apa. Yang mereka tahu, di negerinya telah lahir seorang anak bernama Yusuf. Kisah yang tertoreh dalam lontara Riwayakna Tuanta Salamaka ri Gowa (RTSG) itu menggambarkan kelahiran seorang ulama besar yang juga termasyhur sebagai sufi dan pejuang bernama Asy-Syaikh al-haj Yusuf Abu al-Mahasin Hidayatullah Taj Al-Khalwati al-Makasari atau Syekh Yusuf.

Syekh Yusuf, menurut Abu Hamid dalam bukunya Syekh Yusuf: Seorang Ulama, Sufi dan Pejuang lahir dalam masyarakat yang kompleks dan penuh dinamika. Saat itu, peperangan tengah berkecamuk di antara kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan dan terjadi persaingan melawan kompeni Belanda yang tengah sibuk berebut jalur perdagangan. Suasana keagamaan juga berada dalam masa transisi, sehingga kepercayaan lama dan Islam masih bercampur-baur.

Asal-usul ulama besar itu memang tak dapat dipastikan kebenarannya, karena bersumber dari cerita dan legenda. Menurut lontarak RTSG versi Gowa, ibu Syekh Yusuf bernama Aminah puteri Gallarang Moncongloe dan ayahnya seorang tua yang tak diketahui asal kedatangannya. Orang tua itu dikenal sebagai orang suci yang konon mempunyai banyak keramat. Buya Hamka dalam bukunya Sejarah Umat Islam Jilid IV meyebutkan ayah Syekh Yusuf bernama Abdullah.

Setelah 40 hari kelahiran Yusuf, Aminah dipersunting Raja Gowa setelah diceraikan suaminya. Yusuf dan sang ibu pun berpindah ke istana. Nabilah Lubis dalam bukunya Syekh Yusuf Al-Taj Al-Makari:Menyingkap Intisari Segala Rahasia menyebutkan, `'Yusuf bukanlah seorang bangsawan. Dia diangkat oleh Sultan Alaudin dan dibesarkan di istana Sultan, namun tak pernah mendapat gelar kebangsawanan.''

Yusuf kecil dibesarkan dalam kehidupan Islami. Selepas mengkhatamkan Alquran dari gurunya Daeng ri Tasammang, ia menimba ilmu sharaf, nahwu, mantik dan beragam kitab dari Syed Ba' Alwy bin Abdullah al-Allamah Thahir di Bontoala. Dalam waktu singkat, Yusuf belia sudah menguasai dan tamat mempelajari kitab-kitab fikih dan tauhid.

Sejak kecil, ilmu tasawuf begitu membetot perhatiannya. Sebagain besar perhatiannya tercurah pada ilmu yang kelak mengantarnya sebagai seorang guru besar. Dianggap telah cakap, pada usia 15 tahun Yusuf disarankan untuk menimba ilmu di negeri lain. Yusuf muda pun berguru pada Syekh Jalaludin al-Aidit pun di Cikoang, selatan Sulawesi Selatan.

Rasa ingin tahunya yang begitu besar tentang ilmu-ilmu keislaman mengantrakannya ke luar negeri. Tepat pada 22 September 1644, saat Kerajaan Gowa dipimpin Sultan Malikussaid, di usia 18 tahun, ia meninggalkan tanah kelahirannya menuju Makkah menumpang kapal Melayu dari Somba Opu.

Delapan hari mengarungi lautan, Yusuf kemudian singgah di Banten. Di tanah para jawara itu, Yusuf muda yang supel berkenalan dengan ulama, ahli agama dan pejabat. Yusuf bersahabat dengan Pengeran Surya, putera mahkota Sultan Abdul Mufahir Mahmud Abdul Kadir. Kelak, Pangeran Surya menjadi, Sultan Ageng Tirtayasa.

Ia begitu tertarik dengan Syekh Nuruddin ar-Raniri, seorang ulama kondang yang bermukim di Aceh. Syekh Yusuf menemui Syekh Nuruddin dan berguru sampai mendapat ijazah tarekat Qadiriyah. `'Tarket Qadiriyah saya terima dari Syekh kami yang alim, arif sempurnadan menyatukan antara ilmu Syariat dengan ilmu Hakikat, penghulu kami Syekh Nuruddin Hasanji bin Muhammad Hamid Al-Quraisyi ar-Raniri,'' ungkapnya dalam risalah Safinat an-Naja.

Lima tahun sudah Yusuf berkelana di Banten dan Aceh. Timur Tengah, kini menjadi tujuan berikutnya. Bertolak dari Pelabuhan Banten, Syekh Yusuf akhirnya sampai ke Timur Tengah. Yaman adalah negeri pertama yang dikunjunginya. Ia berguru pada Sayed Syekh Abi Abdullah Muhammad Abdul Baqi bin Syekh al-Kabir Mazjaji al-Yamani Zaidi al-Naqsyabandi sampai mendapat ijazah tarket Naqsyabandi.

Di negeri itu pula, Syekh Yusuf mendapat ijazah tarekat al-Baalawiyah dari Syekh Maulana Sayed Ali. Setelah menunaikan ibadah haji di Makkah, ia kemudian menemui Syekh Ibrahim Hasan bin Syihabuddin al-Kurdi al-Kaurani di Madinah hingga mendapatkan ijazah tarekat Syattariyah. Empat ijazah yang telah digengamnya masih belum dirasa cukup. ia pun mengunjungi Syekh Abu al-Barakat Ayyub bin Ahmad bin Ayyub al-Khalwati al-Quraisyi. Ijazah tarekat Khawatiyah pun kembali digenggamnya dan mendapat gelar Tajul Khalwati Hadiyatullah.

Di usia 38 tahun, Syekh Yusuf akhirnya kembali ke Gowa dan telah menjadi seorang guru yang besar. Menurut sumber lontara, sesampainya di kampung halaman Syekh Yusuf begitu kecewa, Gowa telah berubah. Nabilah Lubis dalam bukunya mengutip sumber sejarah yang bersifat separuh dongeng menuturkan pada masa itu syariat Islam seolah-olah telah dikesampingkan, maksiat dan kemungkaran merajalela.

Setelah tak berhasil meyakinkan Sultan untuk melaksanakan kembali Syariat Islam, Syekh Yusuf meninggalkan Gowa menuju Banten. Pada 1664, Banten pun telah berubah. Sahabatnya, telah menjadi Sultan bergelar Ageng Tirtayasa. Ia kini didaulat sebagai ulama tasawuf dan syekh tarekat. Dalam sekejap, namanya sudah termasyhur, karena keluhuran ilmunya.

Sebagai sufi, Syekh Yusuf juga dikenal memiliki kepribadian yang menarik. Ia dipercaya mendidik anak-anak Sultan di bidang agama Islam dan membuka pengajian bagi penduduk. Sejumlah karya mengenai ajaran tasawuf ditulisnya di Banten.

Banten pun berubah ketika Pangeran Gusti - putera mahkota Banten yang kemudian mendaulat menjadi Sultan Haji -- tiba dari Makkah. Kompeni Belanda mulai menghasut Pangeran Gusti untuk memberontak pada sang ayah. Maret 1682, pertempuran antara kompeni Belanda yang mendukung Sultan Haji dan Sultan Ageng pun meletus. Syekh Yusuf dan Sultan Ageng serta Pangeran Purabaya bahu membahu melawan kompeni.

Setahun kemudian, Sultan Ageng ditangkap kompeni setelah ditipu anaknya. Perjuangan belum habis. Syekh Yusuf memimpin 5.000 pasukan termasuk 1.000 orang dari Makassar bersama Pangeran Purabaya mengobarkan perang gerilya. Pasukan yang dipimpinnya bergerilya hingga ke Karang dekat Tasikmalaya. Pada 1683, Syekh Yusuf ditangkap Belanda di Sukapura.

Awalnya, ia ditahan di Cirebon dan Batavia (Jakarta). Pengaruhnya yang begitu besar dianggap membahayakan kompeni Belanda. Ia dan keluarga kemudian diasingkan ke Srilanka, bulan September 1684. Di tempat baru itu, Syekh Yusuf memulai perjuangan baru, menyebarkan agama Islam.

Di Srilanka, ia bertemu dengan para ulama dari berbagai negara Islam. Salah satunya adalah Syekh Ibrahim Ibn Mi'an, ulama besar dari India. Ia pula yang meminta Syekh Yusuf untuk menulis sebuah buku tentang tasawuf, berjudul Kayfiyyat Al-Tasawwuf.

Syekh Yusuf pun leluasa bertemu dengan sanak keluarga dan muridnya di negeri Srilanka. Kabar dari dan untuk keluarganya, ia terima dan sampaikan melalui jamaah haji singgah di Srilanka. Lewat jalur itu, ajarannya sampai kepada muridnya. Belanda kembali kebakaran jenggot dan menganggap Syekh Yusuf masih mejadi ancaman. Pengaruhnya masih begitu besar, meski berada jauh dari tanah kelahiran.

Guna menjauhkan pengaruh Syekh Yusuf di Tanah Airnya, Belanda membuangnya ke Afrika Selatan. Bulan Juli 1693 adalah kali pertama bagi Syekh Yusuf dan 49 pengikutnya menginjakkan kaki di Afrika selatan. Mereka sampai di Tanjung Harapan dengan kapal De Voetboog dan ditempatkan di daerah Zandvliet yang kemudian dikenal dengan Madagaskar.




Ulama Besar dengan Enam Makam


Berada di tanah buangan tak meyurutkan semangat Syekh Yusuf untuk berdakwah. Terlebih, waktu itu Islam di Afrika Selatan (Afsel) tengah berkembang. Adalah Imam Abdullah ibn Kadi Abdus Salaam atau lebih dikenal dengan julukan Tuan Guru yang lahir di Tidore pelopor penyebaran Islam di negara itu.

Dalam waktu singkat, Syekh Yusuf pun telah mengumpulkan banyak pengikut. Awalnya, ia memantapkan pengajaran agama bagi pengikutnya. Kemudian, syiar Islam diserukannya kepada orang-orang buangan yang diasingkan ke Kaap. Mereka kemudian bersatu membentuk komunitas Muslim. Hingga kini, di Cape Town terdapat 600 ribu warga yang memeluk agama Islam.

Meski Syekh Yusuf telah wafat pada 23 Mei 1699 di usianya yang ke-73 tahun, pengaruh Syekh Yusuf di Afsel hingga kini masih sangat besar. Mantan Presiden Afsel, Nelson Mandela menyebut Syekh Yusuf sebagai 'salah seorang putera Afrika terbaik'. Bahkan, Presiden Afsel, Thabo Mbeki berencana menganugerahkan gelar pahlawan nasional bagi Syekh Yusuf. Pemerintah Indonesia telah menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional pada 1995.

Guna mengenang Sang Guru, bangunan bekas tempat tinggalnya di Afsel dijadikan bangunan peringatan yang diberi nama 'Karamat Syaikh Yusuf'. Meski Syekh Yusuf tak dimakamkan di Afsel, hingga kini bangunan peringatan itu masih tetap dikunjungi warga Afsel yang mengagumi dan menghormati Tuan Guru.

Jenazah Syekh Yusuf dimakamkan dibawa ke Gowa oleh Belanda setelah diminta Sultan Abdul Jalil. April 1705, kerandanya tiba di Gowa untuk kemudian dimakamkan di di Lakiung keesokan harinya. `'Makam Syekh Yusuf yang sebenarnya berada di Lakiung, Sulawesi Selatan,'' ujar sejarawan Prof Anhar Gonggong, kepada Republika, saat berziarah ke makam Syekh Yusuf beberapa waktu lalu.

Pengaruhnya yang begitu besar, membuat masyarakat di wilayah yang pernah disinggahi Syekh Yusuf meyakini ulama besar itu dimakamkan di tempat mereka. Selain di Makassar, pemakaman Syekh Yusuf juga dapat diyakini berada di Banten; Pelambang, Sumatera Selatan; Srilanka dan di Talango, Madura. Makam-makam itu, hingga kini masih tetap didatangi para peziarah. Meski telah berpulang empat abad lalu, kemasyhuran dan keluhuran akhlak serta ilmu Syekh Yusuf hingga masih tetap dikenang.
 
Tarekat Khalwatiyah Syekh Yusuf


Berbagai tarekat telah dikuasai Syekh Yusuf selama berguru di Timur Tengah. Menurut Martin Van Bruinessen,sepulang ke Nusantara, Syekh Yusuf justru mengajarkan tarekat Khalwatiyah, bukan tarekat Qadariyah. Tarekat itu dipelajarinya dari Syekh Abu al-Barakat Ayyub bin Ahmad bin Ayyub al-Khalwati al-Quraisyi di Damaskus.

Dari sang guru, Syekh Yusuf mendapat gelar Tajul Khalwati Hadiyatullah. Tarekat Khalwatiyah justru diambil dari kata 'khalwat', yang berarti menyendiri untuk merenung. Konon, nama itu dikarenakan seringnya Syekh Muhammad Al-Khalwati, pendiri Tarekat Khalwatiyah, melakukan khalwat di tempat-tempat sepi.

Tarekat Khalwatiyah merupakan cabang dari Tarekat Az-Zahidiyah, cabang dari Al-Abhariyah, dan cabang dari As-Suhrawardiyah, yang didirikan oleh Syekh Syihabuddin Abi Hafs Umar as-Suhrawardi al-Baghdadi (539-632 H). Tarekat Khalwatiyah berkembang secara luas di Mesir. Ia dibawa oleh Musthafa al-Bakri (lengkapnya Musthafa bin Kamaluddin bin Ali al-Bakri as-Shiddiqi), seorang penyair sufi asal Damaskus, Syiria.

Di Indonesia, Tarekat Khalwatiyah disebarkan Syekh Yusuf. Penyebaran tarekat Khalwatiyah Yusuf di Sulawesi Selatan mulai dikenal sejak adanya peran yang dimainkan Syekh Abdul Fathi Abdul Bashir al-Dhahir al-Khalwati yang lazim disebut Tuang Rappang I Wodi. Tuang Rappang berguru tarekat itu dari Syekh Yusuf, sejak di Makkah dan banten.

Syekh Yusuf menganugerahkan ijazah dan mengangkatnya sebagai khalifah untuk menyebarkan tarekat Khalwatiyah di Sulawesi Selatan. Awalnya, penyebaran tarekat Khalwatiyah Yusuf berlangsung di kalangan bangsawan, dan secara berangsur-angsur diterima pula rakyat kebanyakan.

Kelompok tarekat itu kemudian tersebar di berbagai kampung dan secara bersama mereka melakukan ibadah zikir khaafi (suara kecil) di rumah dan tempat ibadah. Dalam Tarekat Khalwatiyah dikenal adanya sebuah amalan yang disebut Al-Asma' As-Sab'ah (tujuh nama), yakni tujuh macam dzikir atau tujuh tingkatan jiwa. Hingga kini, tarekat Khalwatiyah Yusuf itu masih tetap eksis di Sulawesi Selatan.

Ulama dan Sastrawan Melayu

Setiap buku-buku yang dibuatnya, khususnya yang berisi nasihat, selalu disertai contoh-contoh kasus yang terjadi di sekelilingnya pada masa yang sama.
Tak banyak sosok ulama yang bukan hanya fasih berbicara agama namun juga menguasai politik, ketatanegaraan, sejarah, hukum, dan pandai berkata-kata dalam karya sastra. Raja Ali Haji salah satunya. Selain pemahaman agamanya yang sangat luas, ia juga banyak menghasilkan buku-buku di bidang lain. Karya-karyanya di bidang sastra sangat diperhitungkan di masanya yaitu di abad ke-19.
Tokoh ini lahir tahun 1809 di Pulau Penyengat, Riau. Namun, ia sejatinya keturunan Bugis. Kakeknya, Raja Haji, merupakan salah satu pahlawan Bugis yang terkenal, yang pernah menjabat sebagai Yamtuan Muda (atau perdana menteri ke-4) dalam Kesultanan Johor-Riau. Dia pula yang membuat Kesultanan Johor-Riau maju pesat sehingga menjadi pusat perdagangan dan kebudayaan.
Darah sastrawan menurun dari ayahnya, Raja Ahmad, salah satu dari dua putra Raja Haji. Pangeran Riau pertama yang pergi haji itu merupakan orang pertama yang menyusun epos yang melukiskan sejarah orang Bugis di Melayu dan hubungannya dengan raja-raja Melayu.
Sejak masih anak-anak, Raja Ali Haji seringkali mengikuti perjalanan ayahnya ke berbagai daerah, untuk berdagang, dan termasuk pergi haji. Berbekal pengalaman ini, Raja Ali Haji tumbuh menjadi pemuda berwawasan luas. Dalam usianya yang masih sangat muda, ia dikenal sebagai salah satu ulama yang seringkali diminta fatwanya oleh pihak kerajaan. Ia juga menjadi pembimbing bagi guru-guru agama di Riau.
Di usia 20 tahun, Raja Ali Haji sudah diamanahi tugas kenegaraan yang penting. Sementara ketika usianya mencapai 32 tahun, bersama sepupunya Raja Ali bin Raja Ja'far, ia dipercaya memerintah wilayah Lingga untuk mewakili Sultan Mahmud Muzaffar Syah yang saat itu masih sangat muda.
Ketika akhirnya, saudara sepupunya diangkat menjadi Yamtuan muda, Raja Ali Haji diangkat menjadi penasihat keagamaan negara. Memiliki posisi penting di pemerintahaan Kesultanan Johor Riau tak membuat produktivitasnya dalam menulis menjadi surut. Raja Ali Haji banyak memberikan kontribusi, khususnya di bidang keagamaan, kesusastraan Melayu, politik, sejarah, filsafat, dan juga hukum. Ia dikenal sebagai salah satu tokoh paling terkemuka di zamannya, baik di kalangan agamawan maupun cendikiawan dan para sastrawan.
Di bidang sastra Melayu, karyanya yang berjudul Hikayat Abdul Muluk -- yang dibuat tahun 1846 -- dianggap sebagai karya sastrawan Riau yang pertama kali diterbitkan. Karya-karya Raja Ali Haji dikenal dengan kekhasannya yang selalu berakar pada syariat Islam dan juga tradisi Melayu.
Karya lainnya yang terkenal adalah buku di bidang ketatanegaraan yang berjudul Intizam Wazaif al Malik (Peraturan Sistematis tentang Tugas-Tugas Raja). Buku yang berisi nasihat terhadap perilaku raja dan aturan pemerintahan secara Islam ini ia buat untuk memperingati wafatnya Yamtuan Muda Raja Ali bin Raja Ja'far pada tahun 1857.
Dua tahun kemudian, Raja Ali Haji membuat karya lainnya di bidang yang sama, yaitu buku yang berjudul Samarat al-Muhimmah Difayah li al-Umara wa al-Kubara wa li ahl al-Mahkamah (Pahala dari Tugas-tugas Keagamaan bagi para Pemimpin, Pembesar, dan para Hakim). Buku ini menjadi puncak karya Raja Ali Haji. Dalam buku ini, secara tegas ia menyatakan bahwa seorang raja yang melalaikan tugasnya dan mendurhakai Allah SWT, tidak dapat diterima sebagai penguasa lagi, dan jabatannya harus diserahkan kepada orang yang lebih tepat.
Raja Ali Haji agaknya sangat mengagumi sosok Imam Ghazali. Ini sangat terlihat dari karya-karyanya yang banyak menyebutkan buku Ihya Ulum ad-Din karya ulama besar tersebut. Pengaruh Al Ghazali sangat terasa dalam bagaimana Raja Ali Haji menggambarkan sosok raja yang ideal yang seharusnya bisa menahan diri dari hal-hal yang bersifat duniawi dan lebih mementingkan mengurus umat. Selain dipengaruhi pemikiran Al Ghazali, pemikiran politik Raja Ali Haji juga dipengaruhi ulama seperti Ibnu Taimiyah dan Abu al-Hasan Ali bin Muhammad Habib al-Mawardi.
Selain Samarat, karya beliau lainnya yang monumental adalah buku berjudul Tuhfah an-Nafis (Hadiah yang Berharga) yang diterbitkan tahun 1860. Diperkirakan karya ini sebenarnya merupakan karya Raja Ahmad yang kemudian disunting dan sempurnakan oleh Raja Ali Haji. Buku ini berisi sejarah kesultanan Johor Riau, sejak berdiri di Palembang hingga kemudian berdiri di Singapura.
Buku-buku beliau lainnya adalah Silsilah Melayu dan Bugis (1859) yang mengisahkan pengalaman lima orang Bugis bersauadara yang merupakan nenek moyang Pangeran Penyengat. Dua karya di atas merupakan warisan yang sangat berharga bagi sejarah Sumatera, Kalimantan, dan Semenanjung Malaya. Buku ini juga mengisahkan peristiwa-peristiwa bersejarah yang terjadi di kawasan ini selama dua abad.
Karya Raja Ali Haji lainnya adalah buku berjudul Bustan al-Katibin li as Sibyan al-Muta'allimin (Taman Para Penulis dan pencari Ilmu) yang dicetak tahun 1875. Lalu buku berjudul Kitab Pengetahuan Bahasa. Sayangnya, kedua buku ini belum rampung karena Raja Ali Haji keburu wafat di tahun 1870. Kedua buku ini berisi tentang pandangan Raja Ali Haji yang menyatakan bahsa satu-satunya jalan untuk mengatasi hawa nafsu dan permasalahan adalah dengan taat kepada hukum Allah SWT yang digariskan dalam Alquran.
Bukunya yang lain adalah Gurindam Duabelas, Siti Sianah, Suluh Pegawai, Taman Pemrata, dan Sinar Gembala Mustika Alam. Setiap buku-buku yang dibuatnya, khususnya yang berisi nasihat, selalu disertai contoh-contoh kasus yang terjadi di sekelilingnya pada masa yang sama. Untuk mengenang karya-karyanya, 20 tahun kemudian, keluarganya mendirikan perkumpulan bernama Rusydiah Club yang bergerak di bidang pembinaan masyarakat, serta penerbitan buku-buku Islami. 

18 February 2009

Wong Fei Hung

Mujahid, Ulama, dan Tabib Terkenal dari Tionghoa


Sudah banyak orang yang tahu bahwa tokoh bahari legendaris asal Cina, Sam Poo Kong alias Muhammad Cheng Ho adalah seorang Muslim. Namun nampaknya masih banyak yang belum tahu bahwa masih banyak tokoh China legendaris yang ternyata beragama Islam. Dua di antaranya ialah Wong Fei Hung dan Judge Bao.
Selama ini kita hanya mengenal Wong Fei Hung sebagai jagoan Kung fu dalam film Once Upon A Time in China. Dalam film itu, karakter Wong Fei Hung diperankan oleh aktor terkenal Hong Kong, Jet Li. Namun siapakah sebenarnya Wong Fei Hung?
Wong Fei Hung adalah seorang Ulama, Ahli Pengobatan, dan Ahli Beladiri legendaris yang namanya ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional China oleh pemerintah China. Namun Pemerintah China sering berupaya mengaburkan jatidiri Wong Fei Hung sebagai seorang muslim demi menjaga supremasi kekuasaan Komunis di China.
Wong Fei-Hung dilahirkan pada tahun 1847 di Kwantung (Guandong) dari keluarga muslim yang taat. Nama Fei pada Wong Fei Hung merupakan dialek Canton untuk menyebut nama Arab, Fais. Sementara Nama Hung juga merupakan dialek Kanton untuk menyebut nama Arab, Hussein. Jadi, bila di-bahasa-arab-kan, namanya ialah Faisal Hussein Wong.
Ayahnya, Wong Kay-Ying adalah seorang Ulama, dan tabib ahli ilmu pengobatan tradisional, serta ahli beladiri tradisional Tiongkok (wushu/kungfu). Ayahnya memiliki sebuah klinik pengobatan bernama Po Chi Lam di Canton (ibukota Guandong). Wong Kay-Ying merupakan seorang ulama yang menguasai ilmu wushu tingkat tinggi. Ketinggian ilmu beladiri Wong Kay-Ying membuatnya dikenal sebagai salah satu dari Sepuluh Macan Kwantung. Posisi Macan Kwantung ini di kemudian hari diwariskannya kepada Wong Fei Hung.
Kombinasi antara pengetahuan ilmu pengobatan tradisional dan teknik beladiri serta ditunjang oleh keluhuran budi pekerti sebagai Muslim membuat keluarga Wong sering turun tangan membantu orang-orang lemah dan tertindas pada masa itu. Karena itulah masyarakat Kwantung sangat menghormati dan mengidolakan Keluarga Wong.
Pasien klinik keluarga Wong yang meminta bantuan pengobatan umumnya berasal dari kalangan miskin yang tidak mampu membayar biaya pengobatan. Walau begitu, Keluarga Wong tetap membantu setiap pasien yang datang dengan sungguh-sungguh. Keluarga Wong tidak pernah pandang bulu dalam membantu, tanpa memedulikan suku, ras, agama, semua dibantu tanpa pamrih.
Secara rahasia, keluarga Wong terlibat aktif dalam gerakan bawah tanah melawan pemerintahan Dinasti Ch’in yang korup dan penindas. Dinasti Ch’in ialah Dinasti yang merubuhkan kekuasaan Dinasti Yuan yang memerintah sebelumnya. Dinasti Yuan ini dikenal sebagai satu-satunya Dinasti Kaisar Cina yang anggota keluarganya banyak yang memeluk agama Islam.
Wong Fei-Hung mulai mengasah bakat beladirinya sejak berguru kepada Luk Ah-Choi yang juga pernah menjadi guru ayahnya. Luk Ah-Choi inilah yang kemudian mengajarinya dasar-dasar jurus Hung Gar yang membuat Fei Hung sukses melahirkan Jurus Tendangan Tanpa Bayangan yang legendaris. Dasar-dasar jurus Hung Gar ditemukan, dikembangkan dan merupakan andalan dari Hung Hei-Kwun, kakak seperguruan Luk Ah-Choi. Hung Hei-Kwun adalah seorang pendekar Shaolin yang lolos dari peristiwa pembakaran dan pembantaian oleh pemerintahan Dinasti Ch’in pada 1734.
Hung Hei-Kwun ini adalah pemimpin pemberontakan bersejarah yang hampir mengalahkan dinasti penjajah Ch’in yang datang dari Manchuria (sekarang kita mengenalnya sebagai Korea). Jika saja pemerintah Ch’in tidak meminta bantuan pasukan-pasukan bersenjata bangsa asing (Rusia, Inggris, Jepang), pemberontakan pimpinan Hung Hei-Kwun itu niscaya akan berhasil mengusir pendudukan Dinasti Ch’in.
Setelah berguru kepada Luk Ah-Choi, Wong Fei-Hung kemudian berguru pada ayahnya sendiri hingga pada awal usia 20-an tahun, ia telah menjadi ahli pengobatan dan beladiri terkemuka. Bahkan ia berhasil mengembangkannya menjadi lebih maju. Kemampuan beladirinya semakin sulit ditandingi ketika ia berhasil membuat jurus baru yang sangat taktis namun efisien yang dinamakan Jurus Cakar Macan dan Jurus Sembilan Pukulan Khusus. Selain dengan tangan kosong, Wong Fei-Hung juga mahir menggunakan bermacam-macam senjata. Masyarakat Canton pernah menyaksikan langsung dengan mata kepala mereka sendiri bagaimana ia seorang diri dengan hanya memegang tongkat berhasil menghajar lebih dari 30 orang jagoan pelabuhan berbadan kekar dan kejam di Canton yang mengeroyoknya karena ia membela rakyat miskin yang akan mereka peras.
Dalam kehidupan keluarga, Allah banyak mengujinya dengan berbagai cobaan. Seorang anaknya terbunuh dalam suatu insiden perkelahian dengan mafia Canton. Wong Fei-Hung tiga kali menikah karena istri-istrinya meninggal dalam usia pendek. Setelah istri ketiganya wafat, Wong Fei-Hung memutuskan untuk hidup sendiri sampai kemudian ia bertemu dengan Mok Gwai Lan, seorang perempuan muda yang kebetulan juga ahli beladiri. Mok Gwai Lan ini kemudian menjadi pasangan hidupnya hingga akhir hayat. Mok Gwai Lan turut mengajar beladiri pada kelas khusus perempuan di perguruan suaminya.
Pada 1924 Wong Fei-Hung meninggal dalam usia 77 tahun. Masyarakat Cina, khususnya di Kwantung dan Canton mengenangnya sebagai pahlawan pembela kaum mustad’afin (tertindas) yang tidak pernah gentar membela kehormatan mereka. Siapapun dan berapapun jumlah orang yang menindas orang miskin, akan dilawannya dengan segenap kekuatan dan keberanian yang dimilikinya. Wong Fei-Hung wafat dengan meninggalkan nama harum yang membuatnya dikenal sebagai manusia yang hidup mulia, salah satu pilihan hidup yang diberikan Allah kepada seorang muslim selain mati Syahid. Semoga segala amal ibadahnya diterima di sisi Alah Swt dan semoga segala kebaikannya menjadi teladan bagi kita, generasi muslim yang hidup setelahnya. Amin

11 February 2009

Abbas bin Abdul Muththalib radhiallahu 'anhu

Paman Rasulullah SAW dan Pemberi Minum Para Haji


Ia adalah paman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan salah seorang yang paling akrab dihatinya dan yang paling dicintainya. Karena itu, beliau senantiasa berkata menegaskan, "Abbas adalah saudara kandung ayahku. Barangsiapa yang menyakiti Abbas sama dengan menyakitiku."
Di zaman Jahiliah, ia mengurus kemakmuran Masjidil Haram dan melayani minuman para jamaah haji. Seperti halnya ia akrab di hati Rasulullah, Rasulullah pun dekat sekali di hatinya. Ia pemah menjadi pembantu dan penasihat utamanya dalam bai'at al-Aqabah menghadapi kaum Anshar dari Madinah. Menurut sejarah, ia dilahirkan tiga tahun sebelum kedatangan Pasukan Gajah yang hendak menghancurkan Baitullah di Mekkah. Ibunya, Natilah binti Khabbab bin Kulaib, adalah seorang wanita Arab pertama yang mengenakan kelambu sutra pada Baitullah al-Haram.
Pada waktu Abbas masih anak-anak, ia pemah hilang. Sang ibu lalu bernazar, kalau puteranya itu ditemukan, ia akan mengenakan kelambu sutra pada Baitullah. Tak lama antaranya, Abbas ditemukan, maka iapun menepati nazamya itu
Istrinya terkenal dengan panggilan Ummul Fadhal (ibu Si Fadhal) karena anak sulungnya bemama al-Fadhal. Wajahnya tampan. Ia duduk dibelakang Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika beliau menunaikan haji wada'-nya. Ia meninggal dunia di Syam karena bencana penyakit amuas. Anak-anaknya yang lain sebagai berikut ; yaitu anak kedua, Abdullah, seorang ahli agama yang mendapat doa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, meninggal di Thaif. Ketiga, Qutsam, wajahnya mirip benar dengan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam . Ia pergi berjihad ke negeri Khurasan dan meninggal dunia di Samarkand. Keempat, Ma'bad, mati syahid di Afrika. Abdullah (bukan Abdullah yang pertama), orangnya baik, kaya,dan murah hati meninggal dunia di Madinah. Kelima, Puterinya, Ummu Habibah, tidak banyak dibicarakan oleh sejarah.
Para ahli sejarah berbeda keterangan tentang Islamnya Abbas. Ada yang mengatakan, sesudah penaklukkan Khaibar. Ada yang mengatakan, lama sebelum Perang Badar. Katamya, ia memberitakan kegiatan kaum musyrikin kepada Nabi di Madinah, dan kaum muslimin yang ada di Mekkah banyak mendapat dukungan dari beliau. Kabamya, ia pemah menyatakan keinginannya untuk hijrah ke Madinah, tapi Rasulullah menyatakan, "Kau lebih baik tinggal di Mekah ".
Keterangan kedua ini dikuatkan oleh keterangan Abu Rafi', pembantu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, "Pada waktu itu, ketika aku masih kanak-kanak, aku rnenjadi pembantu di rumah Abbas bin Abdul Muththalib. Ternyata, pada waktu itu, Islam sudah masuk ke dalam rumah tangganya. baik Abbas maupun Ummul Fadhal, keduanya sudah masuk Islam. Akan tetapi, Abbas takut kaumnya mengetahui dan terpecah-belah, lalu ia menyembunyikan keislamannya."
Ia selalu menemani Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam di Ka'bah. Ka'ab bin Malik mengutarakan, "Kami (saya dan al-Barra' bin Ma'rur) mencari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Kami tidak tahu dan tidak mengenal Rasulullah sebelumnya. Kami bertemu dengan seorang penduduk kota Mekkah. Kami tanyakan di mana kami bisa menemui Rasulullah. Ia balik bertanya, 'Apakah kalian berdua mengenalnya?' Kami menjawab, 'Tidak!'. Ia lalu bertanya, 'Kalian mengenal Abbas bin Abdul Muththalib, pamannya?'
Kami menjawab, 'Ya!' Memang kami sudah mengenalnya karena ia sering datang ke negeri kami membawa dagangan.
Orang tadi lalu berkata, 'Kalau kalian masuk ke Masjidil Haram, orang yang duduk di sebelah Abbas itulah orang yang kalian cari!".
Kemudian, kami masuk ke Masjidil Haram. Ternyata, kami menemukan Abbas duduk di sana dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam duduk di sebelahnya".
Abbas radhiallahu 'anhu mempunyai peran penting yang tidak bisa diabaikan dalam baiat al-Aqabah. Ia orang pertama yang berpidato dalam majelis itu. Ia berkata
"Wahai kaum Khazraj, (pada masa itu, suku al-Aus dan al-Khazraj dipanggil dengan al-Khazraj saja) kalian seperti yang saya ketahui telah mengundang datang Muhammad. Ketahuilah bahwa Muhammad itu orang yang paling mulia di tengah-tengah familinya. Ia dibela oleh orang orang yang sepaham dan orang-orang yang tidak sepaham dengan pikirannya demi memelihara nama baik keluarga. Muhammad sudah menolak tawaran orang lain selain kalian. Kalau kalian memiliki kekuatan, ketabahan, dan pengertian tentang ilmu peperangan, mempunyai kekuatan menghadapi persekutuan dan permusuhan seluruh bangsa Arab, karena mereka akan menyerang kalian dengan satu busur dan satu anak panah, maka camkanlah baik-baik terlebih dahulu, rembukkanlah antara kalian dengan mufakat dan sepakat bulat dalam majelis ini karena sebaik-baik bicara itu ialah yang jujur."
Kata-kata itu menunjukkan pengetahuannya yang luas dan pemikiran yang cerdas tentang berbagai persoalan. Ia ingin mengenali hakikat kaum Anshar dan membangkitkan kesiapsiagaan mereka. Ia lalu berkata lagi, "Cobalah kalian ceritakan kepadaku bagaimana kalian berperang menghadapi musuh?".
Abdullah bin Amru bin Haram bangkit memberikan jawaban, "Percayalah bahwa kami adalah ahli perang. Kami memperoleh keahlian itu berkat kebiasaan dan latihan kami dan berkat warisan nenek moyang kami. Kami lepaskan anak panah kami sampai habis, lalu kami mainkan tombak kami sampai patah, kemudian kami menyerang dengan pedang, berperang tanding hingga tewas atau menewaskan musuh kami".
Cerahlah wajah Abbas mendengarkan keterangan mereka itu dan amanlah rasanya untuk menyerahkan keponakannya itu, seorang yang paling dekat di hatinya. Seperti ada yang ia lupakan, ia berkata lagi, "Kalian mengatakan ahli peperangan. Apakah kalian mempunyai baju besi?".
"Ya, lengkap," jawab mereka.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kemudian membaiat mereka dan Abbas mengambil tangan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk mengukuhkan baiat itu.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berhijrah ke Yatsrib sedangkan Abbas tinggal di Mekah, mendengarkan berita Rasulullah dan kaum Muhajirin, dan mengirimkan berita-berita kaum Quraisy, hingga berkecamuknya Perang Badar. Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam, tahu bahwa Abbas dan keluarganya dipaksa keluar berperang oleh Quraisy sedangkan mereka tidak berdaya mengelak. Rasulullah bersabda, "Aku tahu ada orang-orang dari Bani Hasyim dan lain-lain yang terpaksa keluar. Mereka tidak mempunyai kepentingan untuk memerangi kami. Siapa di antara kalian yang menjumpai mereka, orang-orang dari Bani Hasyim, janganlah dibunuh; siapa yang menjumpai Abbas bin AbduI Muththalib, paman Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam., janganlah di bunuh karena ia keluar berperang karena terpaksa".
Keterangan Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam. itu tersebar luas di kalangan orang yang pergi ke Badar. Kaum mukminin menerima baik perintahnya itu. Kecuali Abu Hudzaifah bin Utbah bin Rabi'ah, yang berucap dengan lantang, "Kami membunuh bapak kami, anak-anak kami, saudara-saudara dan keluarga kami, lalu kami akan membiarkan Abbas? Demi Allah, kalau aku menjumpainya, aku akan memancungnya dengan pedangku ini!"
Kata-katanya itu terdengar oleh Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam., lalu beliau berkata kepada Umar ibnul Khaththab, "Ya Aba Hafsah,ada juga orang yang mau menghantam wajah paman Rasullullah dengan pedangnya!"
"Biarkanlah, ya Rasulullah, aku penggal leher Abu Hudzaifah itu dengan pedangku ini. Demi Allah, dia itu seorang munafik," ucap Umar.
Akan tetapi, Rasulullah tidak membiarkan Umar bertindak membunuh kawan-kawanya yang bersalah. Beliau membiarkan mereka bertobat dan menebus dosanya masing-amsing. Ternayta, Abu hudzaifah sangat menyesali kata-katanya itu dan senantiasa mengulang-ulang perkataanya, "Demi Allah, rasanya hatiku tidak aman atas kata-kata yang pernah kaku yucapkan dahulu dan aku senantiasa dikejar-kejar rasa takut olehnya, sebelum Allah memberikan tebusan kepadaku dengan syahadah!" Ternyata, harapannya itu Allah penuhi, ia tewas sebagai syahid dalam Perang Yamamah.
Pada suatu hari, Abbas pergi berhijarah ke Medinah bersama Naufal ibnul Harits. Ahli sejarah berbeda pendapat tentang tarikh hijrahnya, namun mereka sependapat bahwa Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam.telah membemberikan sebidang tanah kepadanya berdekatan dengan tempat kediamannya.
Di Madinah terjadi pertengkaran antara seseorang dengan Abbas, yang berakar sejak zaman Jahiliah, di mana orang itu memaki-maki ayah Abbas. Gangguan orang itu terhadap Abbas terjadi berualng-ulang sehingga menyakitkan hatinya, lalu ia ditamparnya. Kabilah orang itu tidak senang hati, mereka siap-siap akan menuntut balas. Mereka berkata, "Demi Allah, kami akan menamparnya seperti ia menampar saudara kami!"
Ancaman mereka itu terdengar oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam , lalu beliau mengumpulkan kaum muslimin dan naik ke atas mimbar, seraya memanjatkan puja dan puji kepada Allah Subhânahu wata'âla dan bersabda, "Wahai para hadirin, tahukah kalian, siapa orang yang paling mulia di sisi Allah Subhânahu wata'âla?"
"Engkau, ya Rasulullah!" jawab hadirin.
"Tahukah kalian bahwa Abbas itu dariku dan aku darinya? Janganlah kalian mengumpat orang-orang yang sudah mati, jangan sampai menyakiti kita yang masih hidup."
Kabilah orang itu datang mengahadap Rasulullah seraya berkata, "Ya Rasulullah, kami mohon perlindungan Allah dari kegusaranmu, maafkanlah dosa kami, ya Rasulullah."
Pernyataan Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam tersebut menguatkan keterangan Abu Majas radhiallâhu 'anhu. tentang sabdanya, "Abbas adalah saudara kandung ayahku. Barangsiapa yang menyakitinya sama dengan menyakitiku."
Pada suatu hari, Abbas datang menghadap Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam. Dan bermohon dengan penuh harap, "Ya Rasulullah, apakah engkau tidak suka mengangkat aku menjadi pejabat pemerintahan?"
Berdasarkan pengalaman, ia seorang yang berpikiran cerdik, berpengetahuan luas, dan mengetahui liku-liku jiwa orang, namun Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam tidak ingin mengangkat pamannya menjadi kepala pemerintahan; ia tidak ingin pamannya dibebani tugas pemerintahan. Ia menjawab harapan pamannya itu dengan manis dan penuh pengertian, "Wahai paman Nabi, menyelamatkan sebuah jiwa lebih baik daripada menghitung-hitung jabatan pemerintahan."
Ternyata Abbas menerima dengan senang hati pendapat Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam., tetapi malah Ali bin Abi Thalib radhiallâhu 'anhu yang kurang puas. Ia lalu berkata kepada Abbas, "Kalau kau ditolak menjadi pejabat pemerintahan, mintalah diangkat menjadi pejabat pemungut sedekah!"
Sekali lagi Abbas menghadap Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam untuk meminta seperti yang dianjurkan Ali bin Abi Thalib itu, lalu Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda kepadanya ,"Wahai pamanku, tak mungkin aku mengangkatmu mengurusi cucian (kotoran) dosa orang."
Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam.seorang yang paling akrab dan paling kasih kepadanya, tidak mau mengangkatnya menjadi pejabat pemerintahan atau pengurus sedekah, bahkan ia tidak diberi kesemopatan dan harapan mengurusi soal-soal yang bersifat duniawi, tetapi menekannya supaya lebih menekuni soal-soal ukhrawi.
Untuk yang ketiga kalinya, pamannya itu datang menghadapnya dan berharap dengan penuh kerendahan hati, "Aku ini pamanmu, usiaku sudah lanjut, dan ajalku sudah hampir. Ajarilah aku sesuatu yang kiranya berguna bagiku di sisi Allah!"
Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam. Menjawab, "Ya Abbas, engkau pamanku dan aku tidak berdaya sedikitpun dalam masalah yang berkenaan dengan Allah, tetapi mohonlah selalu kepada Tuhanmu ampunan dan kesehatan!"
Sesudah Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam.menuiakan risalah Alalh Subhânahu wata'âla dengan baik, manyampaikan agamaNya yang lengkap kepada para pewarisnya, maka ia kembali ke rahmatullah dengan tenang. Ternyata Abbas orang yang paling merasa kesepian atas kepergiannya itu.
Abbas hidup terhormat di bawah pemerintrahan Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq, kemudian menyusul pemerintahan Umar ibnul Khaththab radhiallâhu 'anhu..
Tiap kali Khalifah hendak ke masjid ia selalu harus melewati rumah Abbas. Di atas rumahnya itu terdapat sebuah pancuran air. Pada suatu hari, ketika Khalifah Umar pergi ke masjid dengan pakaian rapi hendak menghadiri shalat jamaah, tiba-tiba pancuran air itu menumpahkan airnya dan mengenai pakaian Umat. Ia kembali pulang untuk mengganti pakaian dan memerintahkan supaya pancuran itu dibuka. Sesudah beliau selesai shalat, datanglah Abbas seraya berkata, "Demi Allah, pancuran itu diletakkan oleh Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam.."
Khalifah Umar menjawab, "Aku mohon kepadamu supaya engkau memasang kembali pancuran itu di tempat yang diletakkan oleh Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam dengan menaiki pundakku."
Abbas menerima baik harapan Umar untuk memperbaiki kesalahannya itu.
Abbas tidak marah, tidak mendendam di dalam hati, tetapi ia mengingatkan Umar bahwa yang meletakkan pancuran itu Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam. Hati Umar yang terkenal keras dan kuat-kuat tiba-tiba bergetar ketakutan, bagaimana ia memerintahkan mencabut apa yang dipasang Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam. Ia rela menebus kesalahannya itu dengan menyuruh Abbas menaiki pundaknya untuk mengembalikan pancuran air itu ketempatnya semula. Setelah itu, ia memberikan ciuman cinta dan pengharagaan kepada paman Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam itu.
Masjid Nabawi di Madinah kian hari kian menjadi kecil karena bilangan kaum muslimin dari hari ke hari makin bertambah dengan pesatnya. Khalifah Umar berpikir akan memperluasnya dengna membeli rumah-rumah yang ada di sekitar masjid itu. Semua bangunan yang ada disekitarnya sudah dibeli kecuali rumah Abbas bin Abdullah Muththalib. Apa mungkin ia menyumbangkan harganya kelak di Baitulmal ataukah ia akan menerima harga ganti ruginya?
Khalifah Umar datang menemuinya seraya berkata, "Ya Abal Fadhal, engkau lihat, masjid sudah sempit sekali karena banyaknya orang shalat di dalamnya. Aku sudah memerintahkan untuk membeli tanah dan bangunan yang ada disekitarnya untuk memperbesar bangunan masjid, kecuali rumahmu dan kamar-kamar Ummahatul Mu'minin yang belum. Kalau kamar-akmar Ummuhatul Mu'minin rasanya tidak mungkin kami membeli dan membongkarnya, tapi rumahmu jual-lah kepada kami berapa pun yang engkau kehendaki dari Baitulmal supaya bisa meluaskan bangunan masjid."
Abbas menjawab, "Aku tidak mau."
Umar berkata; "Pilihlah satu diantara tiga: engkau menjual berapa pun yang engkau kehendaki dari Baitulmal, atau aku akan menggantinya dengan bangunan lain yang akan aku bangunkan untukmu dari Baitulmal di daerah manapun di Madinah yang engkau kehendaki, atau engkau berikan sebagai sedekah kepada muslimin untuk meluaskan masjid mereka."
Abbas berkeras, "Aku tidak mau terima semaunya."
Umar berharap, "Angkatlah seorang penengah antara kami berdua kalau engkau mau.'
Abbas menjawab, "Aku setuju mengangkat Ubai bin Ka'ab."
Keduanya pergi menemui Ubai bin Ka'ab, lalu kepadanya diceritakan segala sesuatunya dan dimintai pendapatnya.
Ubai berkata, "Aku mendengar Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda, "Allah Subhânahu wata'âla pernah mewahyukan kepada Nabi Daud, 'Bangunlah untuk-Ku sebuah rumah tempat orang-orang menyebut nama-Ku di sana.' Nabi Daud lalu merencanakan pembangunannya di Baitul Maqdis. Dalam perencanaan itu mengenai rumah seorang Bani Israel. Nabi Daud menawarkan kepada orang itu untuk menjual rumahnya, tapi ia menolak. Tiba-tiba terpikir dalam benak Nabi Daud untuk mengambilnya dengan paksa. Allah Subhânahu wata'âla lalu mewahyukan kepadanya, 'Hai Daud, aku menyuruhmu membangun untuk-Ku sebuah rumah tempat orang menyebut nama-Ku pemaksaan itu bukan watak-Ku. Karena itu, sebagai sanksinya, kau tidak usah membangunnya!' Nabi Daud menjawab, 'Ya Allah, aku lakukan pada anakku!' Allah berfirman lagi, 'Siapa anakmu?""
Khafilah Umar tidak bisa lagi menahan marahnya, lalu ia menyambar baju Ubai bin Ka'ab dan menggiringnya ke masjid seraya berkata, "Aku mengharapkan dukunganmu, malah kau menyudutkan aku. Kau harus membuktikan keteranganmu di hadapan kaum muslimin!"
Ia membawanya ke tengah-tengah halaqah yang diselenggarakan shahabat Rasulullah di masjid Nabawi, dimana antara lain terdapat Abu Dzar radhiallâhu 'anhu.Umar lalu berkata kepada para hadirin, "Saya mengharap dengan nama Allah, adakah diantara kalian yang mendengarkan Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam.berbicara tentang Baitul Maqdis, ketika Alalh memerintahkan Nabi Daud untuk mendirikan rumah-Nya tempat orang menyebut-nyebut namaNya?"
Abu Dzar radhiallâhu 'anhu menjawab' "Ya, saya mendengar!" Disambut oleh yang lain, "Ya, saya juga mendengar!" Dari sudut sana ada pula yang menyambung, "Saya juga mendengar!"
Khalifah Umar radhiallâhu 'anhu lalu berkata kepada Abbas radhiallâhu 'anhu, "pergilah! Aku tidak akan menuntutmu membongkar rumahmu."
Abbas radhiallâhu 'anhu berkata, "Kalau demikian sikapmu maka aku menyatakan bahwa rumahku kusedekahkan untuk kepentingan kaum muslimin. Silahkan perluas masjid mereka. Akan tetapi, kalau kau akan mengambilnya dengan tekanan dan pemaksaan, aku tidak akan mengalah."
Memang Khalifah Umar radhiallâhu 'anhu bertindak setengah memaksa karena proyek itu menyangkut kepentingan kaum muslimin dan dianggap tidak bertentangan dengan hukum Allah. Akan tetapi, apabila ada nash jelas maka tidak berlaku ijtihadnya. Ia harus tunduk dan menerima baik syariat Allah dan RasulNya. Sesudah Abbas melihat ketundukan Khalifah Umar kepada hukum dan perundang-undangan, ia tidak lagi mengandalkan kekuasaannya selaku kepala pemerintahan atau akan merampas haknya yang dijamin oleh undang-undang dan dilindungi oleh Islam, tetapi ia benar-benar berjuang demi kesehjahteraan kaum muslimin, maka ia pun memutuskan untuk menyerahkan rumahnya itu sebagai hibah dan sedekah untuk meluaskan masjid kaum muslimin.
Demikian tokoh-tokoh model "sekolah Rasulullah" dan "sekolah Al-Qur'anul Karim" radhiallahu 'anhum ajma'in. Mereka angkatan kaum muslimin yang pertama, yang telah membawa panji Islam ke seluruh jagat raya ini, yang telah membangkitkan peradaban umat manusia, yang mengajar dan mendidik manusia maju dan mengenali peradaban antara agama kebenaran dan kebatilan.
Pada suatu hari dalam pemerintahan Khalifah Umar, terjadilah paceklik hebat dan kemarau ganas. Orang-orang berdatangan kepada Khalifah untuk mengadukan kesulitan dan kelaparan yang melanda daerahnya masing-masing. Umar menganjurkan kepada muslimin yang berkemampuan supaya mengulurkan tangan membantu saudara-saudaranya yang ditimpa kekurangan dan kelaparan itu. Kepada para penguasa di daerah diperintahkan supaya mengirimkan kelebihan daerahnya ke pusat. Ka'ab masuk menemui Khalifah Umar seraya mengutrarakan, "Ya Amirul Mukminin, biasanya Bani Israel kalau menghadapi bencana semacam ini, mereka meminta hujan dengan kelompok para nabi mereka."
Umar berakta, "Ini dia paman Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam.dan saudara kandung ayahnya. Lagi pula, ia pimpinan bani Hasyim."
Khalifah Umar pergi kepada Abbas dan menceritakan kesulitan besar yang dialami umat akibat kemarau panjang dan paceklik itu, kemudian ia naik mimbar bersama Abbas seraya berdoa, "Ya Allah, kami menghadapkan diri kepadaMu bersama dengan paman Nabi kami dan saudara kandung ayahnya, maka turunkanlah hujan-Mu dan janganlah kami sampai putus asa!"
Abbas lalu meneruskan, memulai doanya dengan puja dan puji kepada Allah Subhânahu wata'âla, "Ya Allah, Engkau yang mempunyai awan dan Engkau pula yang mempunyai air. Sebarkanlah awan-Mu dan turunkanlah air-Mu kepada kami. Hidupkanlah semua tumbuh-tumbuhan dan suburkanlah semua air susu".
Ya Allah, Engkau tidak mungkin menurunkan bencana kecuali karena dosa dan Engkau tidak akan mengangkat bencana kecuali karena tobat. Kini, umat ini sudah menghadapkan dirinya kepada-Mu maka turunkanlah hujan kepada kami. Ya Allah, kami memohon belas kasih-Mu atas nama diri kami dan keluarga kami. Ya Allah, kami memohon belas kasih-Mu atas nama makhluk-Mu yang tidak bicara, atas nama hewan ternak kami. Ya Allah, hujanilah kami dengan hujan keselamatan yang berdaya guna. Ya Allah, kami mengadukan semua bencana orang yang menderita kelaparan, telanjang, ketakutan, dan semua orang yang menderita kelemahan. Ya Allah selamatkan mereka dengan hujan-Mu sebelum mereka berputus asa dan celaka. Sesungguhnya, tidak akan berputus asa dengan rahmat karunia-Mu kecuali orang-orang yang kafir."
Ternyata doanya itu langsung diterima dan disambut Allah Subhânahu wata'âla. Hujan lebat turun dan tumbuh-tumbuhan tumbuh dengan suburnya. Orang-orang bersyukur kepada Allah Subhânahu wata'âla dan mengucapkan selamat kepada Abbas, "Selamat kepadamu, wahai Saqil Haramain, yang mengurusi minuman orang di Mekah dan Madinah."
Abbas hidup terhormat, baik oleh kaum muslimin maupun oleh para Khulafaur Rasyidin. Kalau ia berjalan dan berpapasan dengan Umar atau Utsman yang sedang berkendaraan, keduanya turun dari kendaraannya, seraya berkata, "Paman Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam.!"
Sudah menjadi sunnatullah, setiap permulaan ada penghabisannya, setiap perjalanan ada perhentiannya, demikian pula dengan Abbas radhiallâhu 'anhu, perjalanan hidupnya terhenti dan kembali ke rahmatullah menyusul keponakkannya Shallallâhu 'alaihi wasallam dan rekan-rekannya yang lain, pada hari Jumat tanggal 12 Rajab 32 Hijrah, dalam usia 82 tahun, dan dikebumikan di al-Baqi' di Madinah, rahimullah wa radhiallahu'anhu.
Sebab Turunya Ayat
Dalam Perang Badar yang berkecamuk antara kaum muslimin dan kaum musyrikin, Abbas berhasil ditawan oleh Abul Yusr, Ka'ab bin Amru, yang menurut Ahli sejarah kedua tangannya kurus dan perawakannya juga lemah, sedangkan Abbas seorang yang tinggi besar. Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam bertanya keheranan, "Ya Abal Yusr, bagaimana kau bisa menawan Abbas?"
"Ya Rasulullah, aku dibantu oleh seorang yang belum pernah kulihat sebelum dan sesudah itu (lalu ia mengutarakan ciri-ciri dan perawakan orang itu)," jawab Abul Yusr.
"Kau dibantu oleh seorang malaikat yang pemurah," sabda Rasulullah.
Ketika Abbas jatuh sebagai tawanan, pertanyaan pertama yang terlontar adalah tentang keadaan Muhammad kepada yang menawannya, "Bagaimana keadaan Muhammad dalam peperangan ini?"
"Allah memuliakan dan menenangkannya," jawabnya.
"Segala sesuatu selain Allah rusak. Kini, apa maumu?" tanya Abbas
"Rasulullah melarang kami membunuhmu," jawabnya.
"Itu bukan kebaikannya yang pertama."
Abbas diborgol dan dikumpulkan bersama tawanan perang lainya. Kiranya, ikatannya terlalu keras sehingga ia merintih kesakitan. Ternyata rintihan itu terdengar oleh Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam. Beliau gelisah dan tidak bisa memejamkan matanya. Berapa orang shahabat yang melihatnya belum tidur, menegurnya, "Wahai Nabi Allah, sudah jauh malam, engkau belum tidur?"
"Aku mendengar riuntihan Abbas," jawab Nabi.
Orang itu lalu pergi melonggarkan ikatannya, kemudian Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam.bertanya lagi, "Mengapa sekarang aku tidak mendengarkan rintihannya?"
"Aku longgarkan ikatannya, ya Rasulullah," jawab shahabat
"Lakukanlah juga terhadap semua tawanan lainnya," perintah Nabi.
Pagi harinya, semua tawanan dihadapkan kepada Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam. Akhirnya, sampai giliran Abbas.
Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda, "Ya Abbas, tebuslah dirimu dan keponakanmu aqil bin Abi Thalib, Naufal bin al-Harits, dan teman karibmu Utbah bin Amru bin Jahdam karena engkau seorang kaya."
"Ya Rasulullah, saya ini seorang Muslim, tetapi saya dipaksa ikut berperang oleh mereka," ucap Abbas.
"Allah saja yang Maha Tahu dengan keislamanmu itu: kalau pengakuanmu itu benar, Allah akan mengganjarmu, namun aku melihatmu dari segi lahirmu maka bayarlah tebusanmu itu."
'Aku tidak mempunyai uang, ya Rasulullah."
"Mana uang yang kau simpan pada Ummul Fadhal, isterimu, ketika kau hendak keluar ikut berperang, lalu pesanmu kepadanya, 'Kalau aku tewas dalam peperangan, uang itu dibagi-bagikan antara kau, Fadhal, Abdullah, Ubaidullah, dan Qatsam.'?" tanya Rasulullah.
"Dari mana kau tahu ini padahal aku tidak pernah memberitahukan hal itu kepada siapa pun?" tanya Abbas keheranan.
"Allah Subhânahu wata'âla Yang memberitahukan rahasiamu itu," jawab Nabi.
"Aku bersaksi tiada tuhan selain Allah dan engkau benar-benar rasul Allah, bahwa kau seorang yang jujur."
Pada saat itu, turunlah firman Allah Subhânahu wata'âla.
"Hai Nabi, katakanlah kepada tawanan-tawanan yang ada di tanganmu:"Jika Allah mengetahui ada kebaikan dalam hatimu, niscaya Dia akan memberikan kepadamu yang lebih baik dari apa yang telah diambil daripadamu dan Dia akan mengampuni kamu". Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Q.,S. al-Anfal: 70)
Abbas berkomentar, "Allah berkenan menepati janji-Nya kepadaku, memberikan kebaikan lebih dari apa yang diambil: 20 uqiyah diganti dengan 20 orang budak. Kini, aku sedang menantikan pengampun-Nya. Aku diberi kuasa mengurus air zamzam dan aku bisa merasa bangga lebih dari itu, meskipun aku memiliki semua harta penduduk kota Mekkah. Kini, aku sedang menantikan pengampunan-Nya."
Akan tetapi, darimana ia memiliki harta bila membeli dua puluh orang budak dan tiap budak memiliki modal edar yang diperdagangkan?
Ibnu Sa'ad dalam bukunya, ath-Thabaqat al-kubra, menyebutkan bahwa al-Ala' bin al-Hadhrami mengirimkan kepada Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam. Harta benda sebanyak 80.000. Belum pernah Nabi menerima lebih dari itu. Kemudian Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam mengundang kaum muslimin. Begitu mereka melihat timbunan harta itu, penuh sesaklah masjid dengan orang-orang. Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam membagi-bagikan hartra itu seolah-olah tanpa perhitungan dan pertimbangan, masing-masing diberikan segenggam.
Abbas datang, lalu berkata kepada Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam., "Ya Rasulullah, aku telah memberikan tebusanku dan tebusan Aqil bin Abi Thalib dalam perang Badar. Aqil tidak punya uang penggantinya. Berikan aku dari uang ini!"
Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam tertawa lebar sehingga terlihat gigi taringnya, lalu bersabda, "Harta itu diambil seperlunya; yang lain dikembalikan!"
Ia lalu pergi dengan mengambil seperlunya, seraya berucap, "Janji Allah kepadaku, yang satu sudah ditepati dan yang lain aku belum tahu!"
Renungan
Abas bin Abdul Muththalib radhiallâhu 'anhu, paman Rasululah Shallallâhu 'alaihi wasallam dan saudara kandung ayahnya, termasuk salah seorang tokoh shahabat yang ikut mengibarkan panji Islam dan menyebarkan dakwahnya.
Sepak terjangnya dicatat sejarah dengan tinta emas dalam baiat al-Aqabah al-Kubra, ia bertindak sebagai seorang penasihat dan perunding ahli, menyertai keponakannya dalam majelis itu, membentangkan sikapnya dengan tepat, dan mengamati sikap kaum Anshar yang hendak menerima kedatangannya ke Madinah dengan cermat.
Ia memberikan gambaran kepada mereka akan bahaya dan resiko yang akan mereka hadapi sepanjang hidup mereka jika menerima Muhammad Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam. Bangsa Arab tidak akan membiarkan Muhammad dan dakwahnya berkembang dengan mulus kecuali kalau mereka terpaksa.
Pada akhir perundingan, sesudah ia yakin bahwa kaum Anshar dari Yastrib itu terdiri atas para pahlawan yang berbudi luhur yang bisa dipercaya dan menerima keponakannya, barulah ia bangkit mempertemukan tangan Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam dengan tangan wakil kaum Anshar itu sebagai tanda baiat disetujui dan janji setia dimulai, disertai doa harap kepada Allah Subhanahu wata'ala mudah-mudahan persekutuannya yang luhur akan melindungi agama-Nya dan Dia memberi taufiq dan hidayah-Nya.
Ketika Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam. Hijrah ke Yastrib, Abbas menyatakan hasratnya akan menyusul ke sana. Akan tetapi, beliau mencegahnya dan menganjurkan supaya tinggal di Makkah saja dulu supaya bisa mendukung semangat kaum mustadh'afin di Mekah yang belum bisa hijrah meninggalkan Mekah.
Abbas patuh kepada perintah Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam. Itu. ia tinggal di Mekkah bersama kelompok kaum muslimin yang belum sanggup pergi berhijrah, menyiapkan kesempatan dan bekal mereka, menutup utang-utang mereka, mengamati gerak-gerik kaum Quraisy supaya selalu diketahui Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam.dan tidak bisa mengadakan serangan mendadak kepada mereka.
Pada permulaan Islam, Abbas banyak melunasi utan kaum muslimin yang fakir misjkin. Pada zaman kita sekarang ini, alangkah perlunya kita kepada seorang Abbas modern yang sudi menyelamatkan umat agar tidak menjadi mangsa pengikut komunis dan kapitalis Barat, dan berdiri tegak membendung invasi ideologi dan kristenisasi di kalangan kaum muslimin.
Ia menjadi tawanan dalam Perang Badar, ia diborgol dan diringkus bersama tawanan yang lain. Ketika borgolnya dilonggarkan, para tawanan yang lain pun harus dilonggarkan.
Tawanan lain harus, membayar uang tebusan, Abbas pun harus membayar uang tebusan diri dan keluarganya. Itulah Islam, tidak ada sistem famili atau keluarga, tidak mengutamakan kawan atau kenalan. Tolak ukur keutamaan seseorang hanyalah karena ketakwaan dan amal salehnya.
Pada suatu hari, Khalifah Umar ibnul Khaththab yang terkenal sebagai penakluk kekaisaran Romawi dan Persia itu, mencabut pancuran air dari rumah Abbas. Sesudah diberitahukan bahwa pancuran itu dahulu dipasang oleh kedua tangan Rasulullah sendiri. Umar menggigil ketakutan; apakah ia akan menyingkirkan apa yang diletakkan Rasulullah? Beranikah ia membongkar apa yang dibangun Rasulullah? Umar resah dan gelisah atas perbuatannya. Ia mengumpat dan mengutuk kelancangannya itu. Barulah ia puas sesudah Abbas menerima baik sarannya untuk mengembalikan pemasangan pancuran.
Tiba giliran Umar untuk memperluas masjid Nabawi. Sebagai khalifah kaum muslimin, sebagai panglima Angkatan Perang Islam, ia mempunyai kekuatan penuh untuk merampas dan mengganti rugi dari Baitul mal, demi kepentingan kaum muslimin, selama tidak bertentangan dengan hukum agama.
Sikap Umar untuk menggusur rumah Abbas itu rupanya kurang berkenan di hatinya, meskipun ia akan diganti rugi. Ia tidak mau menjual apa yang diberikan Rasulullah itu dan tidak sudi menerima ganti ruginya. Ia berikan sebagai sedekah karena Allah, demi kepentingan kaum muslimin, sesudah Umar bersikap lemah-lembut tidak disertai paksaan dan kekuasaannya.

AL-RAZI

SANG PENEMU TEKNIK JAHIT LUKA


Ketokohan ilmuwan Islam yang bernama lengkap Muhammad bin Zakaria ini memang sukar ditandingi dalam dunia pengobatan. Ia yang lebih populer dipanggil Al-Razi ini adalah orang pertama membuat jahitan pada perut dengan benang dibuat dari serat. Dia juga orang pertama yang berhasil membedakan antara penyakit cacar dengan campak.

Sejarah mencatat, Al-Razi dilahirkan di Ray, Parsi (Iran) pada tahun 240 Hijriah/854 Masehi. Tak lain, dia adalah guru dari ilmuwan di bidang kedokteran yang sangat terkenal, Ibnu Sina.

Ketika masih kecil, perhatiannya sudah begitu besar dalam bidang ilmu pengetahuan, khususnya bidang kedokteran. Al-Razi pun belajar dengan tekun setiap waktu dan kegigihannya tersebut kemudian diganjar prestasi mengagumkan pada setiap tingkatan sekolah yang dilaluinya.

Beranjak dewasa kemampuan Al-Razi kian bertambah hingga dipercaya menjadi tenaga pengajar dan peneliti pada sejumlah lembaga. Penghargaan satu per satu diperoleh. Dia pernah mendapat gelar Jalinus Arab (Galen of the Arab) kerana ketokohannya sebagai pengajar di Rumah Sakit Baghdad, Irak.

Tak hanya berkiprah sebagai pengajar saja, Al-Razi juga mengisi waktunya dengan mengadakan serangkaian penelitian di bidang pengobatan serta tak lupa, menulis buku. Sebanyak 10 buku ilmu perobatannya dia hasilkan dan kini sudah terjemahkan ke dalam bahasa Latin. Buku karya Al-Razi paling termasyhur berjudul Al-Hawi Fi Ilm Al-Tadawi yang terdiri dari 30 jilid dan dirangkum ke dalam 12 bagian.

Banyak hal baru yang dibahas dalam buku ini. Di antara yang berkaitan dengan penyembuhan penyakit serta jenis penyakit; upaya menjaga kesehatan; punggung dan tengkuk (yang patah); obat-obatan dan makanan; pembuatan ramuan obat-obatan; industri kedokteran; farmasi; tubuh; pembedahan; dan pengawetan anggota tubuh. Selain itu, juga ada mengenai pengkelasan bahan galian serta peralatan dan obat yang digunakan lengkap dengan arahan terperinci.

Sebuah buku lain karyanya, Al-Mansuri, berisi tentang pembedahan seluruh tubuh manusia. Buku-buku karya Al-Razi itu lantas diterjemahkan ke dalam pelbagai bahasa dan menjadi bahan rujukan serta panduan dokter di seluruh Eropa hingga abad ke-17.
Ilmunya yang amat mendalam berkaitan tatacara perobatan, terbukti bermanfaat dalam usaha pencarian ramuan obat dari bahan tumbuhan dan hewan serta cara yang tepat untuk digunakan dalam perawatan pasien. Salah satunya yang monumental, adalah bahan serat untuk menjahit luka terbuka.

Raksi kimia tak luput dari pengamatannya. Termasuk pula di antaranya ilmu dan tatacara kimia yang menjelaskan pemrosesan air raksa, belerang (sulfur), arsenik, serta logam lain seperti emas, perak, tembaga, plumbum dan besi.

Sebagai seorang ilmuwan Islam dalam bidang perobatan, ketokohan al-Razi tidak terbatas dalam menimba ilmu dan mengarang buku semata-mata. Pada saat bersamaan, dia kerap mengemukakan pemikiran yang kritis dalam menyumbangkan rumusan keputusan oleh kerajaan.

Ketika, misalnya, penguasa kerajaan meminta Al-Razi membangun sebuah rumah sakit di kota Baghdad, dia lantas menggunakan satu kaedah yang sangat baik untuk memilih lokasi rumah sakit tersebut. Al-Razi meletakkan sepotong daging di tempat yang berlainan di Baghdad dan daging itu dibiarkan saja sehingga menjadi busuk.
Kemudian dia membangun rumah sakit di tempat yang dagingnya paling lambat busuk. Teorinya, tempat itu mempunyai udara bersih, sedikit pencemaran, dan lokasi sesuai untuk lokasi rumah sakit.

Sumbangan Al-Razi dalam bidang filsafat juga tidak dapat dikesampingkan. Pada disiplin ilmu ini, hal yang menjadi pilihan ialah mengenai pencipta, jiwa manusia, hakikat, angkasa, dan masa.

Kini, sekitar 40 manuskrip karya Al-Razi tersimpan di museum dan perpustakaan di beberapa negara, seperti di Iran, Perancis, dan Inggris. Sepanjang hidupnya, tokoh ilmuwan ini tercatat telah menghasilkan sebanyak 224 judul buku, 140 diantaranya adalah dalam bidang pengobatan. Al-Razi meninggal dunia tahun 320 Hijrah/932 Masehi.

08 February 2009

Sholah Syahadah

Pendiri Sayap Militer Hamas


Nama lengkapnya Sholahuddin Mustafa Muhammad Ali Syahadah, berasal dari kota Yafa, tepatnya dia lahir di Beit Hanun, utara Jalur Gaza di kamp pengungsi asy Syathi’ pada tanggal 24 Februari 1952.Keluarganya eksodus ke Jalur Gaza dari kota Yafa setelah militer Imperialis Israel menduduki kota tersebut pada tahun 1948, yang kemudian tinggal menetap di Kamp Pengungsi Asy Syathi’. Sholah adalah anak bungsu dengan delapan saudara perempuan, dua meninggal.

Pada tahun 1958, pada saat umur Sholah menginjak lima tahun, dia masuk sekolah dasar yang berada di bawah lembaga bantuan pengungsi Palestina (UNRWA) di Beit Hanun. Di kota yang sama dia menyelesaikan pendidikan menengahnya. Memperoleh ijazah pendidikan umum di SMU Palestina di kota Gaza dengan nilai istimewa setelah sebelumnya sempat belajar di SMU di Yafa.

Selepas SMU Sholah diterima di fakultas kedokteran di Turki juga tehnik di Rusia, tapi kondisi ekonomi yang sulit membuatnya urung berangkat ke luar negeri. Akhirnya Sholah melanjutkan pendidikan S1-nya di Sekolah Tinggi Pengabdian Masyarakat di Iskandariah, Mesir. Memasuki tahun ketiga, Sholah mulai memiliki komitmen Islam yang tinggi dan oleh karena itu, begitu pulang dari Mesir, dia langsung merintis proyek dakwah Islam di Jalur Gaza.

Selanjutnya beliau bekerja sebagai peneliti sosial kemasyarakatan di kota el ‘Arisy di gurun Sinai, beliau juga ditunjuk sebagai pengawas urusan sosial kemasyarakatan di el Arisy. Setelah pihak Mesir menuntut pengembalian wilayah el ‘Arisy dari Israel pada tahun 1979, Sholah pindah bermukim di Beit Hanun. Selanjutnya di Gaza, Sholah menerima jabatan sebagai pengawas urusan sosial kemasyarakatan untuk wilayah Jalur Gaza.

Pada awal tahun 1982, Sholah melepaskan jabatannya dalam urusan sosial kemasyarakatan dan berpindah ke departemen urusan kemahasiswaan di Universitas Islam di kota Gaza. Pada tahun 1984, Sholah ditangkap rezim Imperialis Israel karena aktivitasnya dicurigai melawan pendudukan Zionis Israel. Namun dia menolak semua tuduhan, dan pihak rezim Imperialis Israel tidak bisa membuktikan tuduhannya. Akhirnya pihak Israel menerbitkan putusan tuduhan berdasarkan undang-undang tahun 1949 dan Sholah divonis hukuman dua tahun penjara.

Setelah keluar penjara, pada tahun 1986, Sholah bekerja sebagai kepala urusan kemahasiswaan di Universitas Islam Gaza sampai akhirnya pihak rezim Imperialis Israel menutup Universitas tersebut, dalam upaya menghentikan gerakan Intifadhah Palestina yang meletus pada tahun 1987. Namun, Syaikh Sholah Syahadah melanjutkan pekerjaannya di universitas tersebut sampai kemudian ditangkap pada 18 Agustus 1988.

Penyidikan terus berlanjut hingga Mei 1989 di penjara as Saraya, kemudian berpindah dari sel penyidikan ke ruang tahanan. Setelah para penyidik dan intelijen Imperialis Israel gagal mengorek informasi darinya, akhirnya pihak Israel memutuskan penghentian penyidikan atas dirinya. Pada bulan Mei itulah terjadi aksi penangkapan secara besar-besaran di barisan Gerakan Perlawanan Islam Hamas.

Akhirnya pada 14 Mei 1989, beliau kembali menjalani penyidikan setelah diketahui sebagai orang yang bertanggungjawab atas gerakan sel militer Hamas, penyidikan berlangsung hingga bulan November 1989. Dengan begitu, beliau menjalani penyidikan sekitar satu tahun lebih. Tuduhan utama yang diarahkan kepadanya adalah sebagai orang yang bertanggungjawab atas gerakan sel militer Gerakan Perlawanan Islam Hamas, mengeluarkan perintah penculikan atas dua orang serdadu Israel (Sebortz dan Se’don) serta keterlibatannya sebagai pemimpin Hamas dan Biro Penerangan di wilayah utara.

Atas semua tuduhan itu, akhirnya beliau divonis hukuman sepuluh tahun penjara dengan tuduhan sebagai penanggungjawab gerakan sel militer Hamas dan Biro Penerangan di wilayah utara, ditambah enam bulan penjara pengganti denda yang ditolak Syaikh untuk
membayarnya kepada pihak Imperialis Israel. Setelah menjalani masa tahanan, selama 20 bulan kemudian Syaikh Sholah menjalani masa percobaan pelepasan bersyarat (probation) dan, alhamdulillah, dilepaskan pada 14 Mei 2002.

Syaikh Salah Syahadah adalah pendiri sayap militer pertama dari Gerakan Perlawanan Islam Hamas, yang dikenal dengan nama ”al mujahidunal filistiniyun”. Pihak Imperialis Israel mengarahkan tuduhan kepadanya sebagai tokoh yang membentuk sel-sel militer dan melatih anggotanya menggunakan persenjataan dan juga mengeluarkan perintah-perintah penyerangan ke target-target militer Imperialis Israel.

Mujahid Abu Musthafa Syahadah menikah dengan istri pertama pada tahun 1976. Saat masuk penjara beliau telah dikarunia enam anak perempuan. Yang terakhir lahir saat beliau ditangkap, sementara yang paling tua berumur sepuluh tahun. Saat keluar dari penjara - keluar dari penjara rezim Imperialis Israel pada tanggal 13 Mei 2000 setelah mendekam di dalamnya selama 10 tahun 20 bulan dan menikah lagi pada tanggal 12 Mei 2002 - beliau juga telah dikaruniai enam orang cucu.

Atas intruksi langsung dari PM Israel Ariel Sharon, Senin malam 22 Juli 2002 M pukul 11 lewat 40 menit, militer rezim Imperialis Israel melancarkan serangan ke kampung el Durz di Jalur Gaza dengan target pendiri dan Pemimpin Umum Brigade Izzuddin al Qassam, Syaikh Sholah Syahadah. Serangan yang dilakukan dengan menggunakan pesawat F16 buatan Amerika tersebut akhirnya merenggut nyawa Syaikh Sholah bersama 16 orang syuhada’ lainnya dan 176 orang luka-luka. Tepatnya, beliau gugur sehari selepas serangan biadab militer Imperialis Israel, pada Selasa 23 Juli 2002 M.

04 February 2009

Imad Aqil

Komandan Brigade Izzuddin al Qassam di Gaza


Beliau adalah Imad Hasan Ibrahim Aqil, dilahirkan pada 10 Juli 1971 di Kamp
Pengungsi Jabaliya, Jalur Gaza. Keluarganya eksodus dari desa Beir Eir, termasuk
wilayah Mijdal, setelah terjadi perang Palestina (nakbah) 1948.
Menyelesaikan pendidikan dasar di salah satu sekolah yang ada di Kamp
Pengungsi Jabaliya, lulus dengan peringkat lima besar. Kemudian melanjutkan ke
tingkat menengah (SMP) dan lulus sebagai peringkat teratas di antara temantemannya.
Menyelesaikan sekolah menengah atas (SMU) jurusan Biologi tahun
1988 dan kembali meraih peringkat pertama di level sekolahnya, juga seluruh
wilayah Bait Hanun, dan bahkan di seluruh Kamp Pengungsi Jabaliya.
Selnjutnya beliau mengajukan berkas-berkasnya untuk mendaftarkan diri di
Institut el Amal di kota Gaza untuk jurusan Studi Farmasi.Namun, setelah selesai
mendatar dan membayar kelengkapan administrasi, beliau ditangkap militer
Imperialis Israel dan dimasukan dalam bui pada tanggal 22 September 1988,
untuk menjalani prosen pengadilan dengan tuduhan masuk Gerakan Hamas,
serta terlibat dalam aktivitas-aktivitas gerakan intifadhah. Beliau dibebaskan
pada bulan Februari 1990 setelah mendekam dalam penjara rezim imperialis
Israel selama 18 bulan.
Pada tahun akademik 1991-1992 Imad Aqil diterima di jurusan Syariah pada
perguruan tinggi Hitthin, Amman Yordania. Namun, rezim imperialis Israel Israel
melarangnya berangkat ke Jordania, karena kegiatan dan keterlibatannya dalam
intifadhah. Pada awal tahun 1991, beliau terpilih sebagai komandan penghubung
antara ”Korps As-Syuhada' ” - yang merupakan kelompok pertama dalam Brigade
Izzuddin al Qassam - dengan pimpinan Brigade Izzuddin al Qassam. Tadinya,
Korps Syuhada’ ini secara prinsip beroperasi untuk membunuh orang-orang
berbahaya yang melakukan kerjasama dengan pihak imperialis Israel. Sampai
akhirnya mereka berhasil mendapat beberapa potong senjata untuk
mempersenjatai kelomanggota Korps, sebagai persiapan pelaksanaan operasi
militer terhadap patroli-patroli militer imperialis Israel.
Pada tanggal 26 Desember 1991, Mujahid Imad Aqil menjadi orang yang diburu
oleh pihak rezim imperialis Israel, setelah didapat beberapa keterangan
pengakuan dari beberapa anggota gerakan yang mendapat penyiksaan berat.
Pada tanggal 22 Mei 1992, beliau pindah ke Tepi Barat untuk membentuk
kelompok jihad di wilayah tersebut. Pada tanggal 13 November 1992, beliau
kembali ke Jalur Gaza setelah mengorganisir kegiatan militer di Tepi Barat, serta
setelah tertangkapnya puluhan anggota Brigade Izzuddin al Qassam di Tepi
Barat, hal yang memaksa beliau untuk kembali ke Jalur Gaza.
Pada bulan Desember 1992, Asy Syahid Imad Aqil menolak keluar dari Jalur Gaza
untuk keluar dari Palestina. Beliau bersikeras untuk tetap tinggal di Jalur Gaza
demi mendapat syahadah (mati syahid) di tanah suci Palestina.
Setelah dua tahun masa perburuan dan pengejaran yang dilakukan militer
Imperialis Israel atas dirinya - di mana beliau malang melintang di Jalur Gaza dan
Tepi Barat memerangi Zionisme dan membentuk kelompok-kelompok jihad -
pada hari Rabu 24 November 1993, setelah berbuka puasa bersama rekanrekannya
di daerah asy-Syaja'iyyah kemudian keluar. Namun ternyata, militer
Imperialis Israel telah mengepung daerah tersebut. Dan terjadilah baku tembak
antara aktivis perlawanan militer Imperialis Israel yang menewaskan beberapa
serdadu Imperialis Israel dan syahidnya Imad Aqil, setelah terkena salah satu
rudal penghancur tank yang digunakan pasukan Israel dalam pertempuran
tersebut, tepat kengenai wajah beliau yang suci.

Ir. Ibrahim Ghousyah

Juru Bicara Hamas


Beliau adalah Ibrahim Ghousyah (Abu Umar), anggota Biro Politik HAMAS.
Dilahirkan pada 26 November 1936 di kota Jerusalem. Menikah dan dikaruniai
lima orang anak (3 wanita, 2 lelaki). Menyelesaikan pendidikan menengahnya di
sekolah ar Rasyidiyah, Jerusalem.Bergabung dengan Harakah Islamiyah pada
tahun 1950 di Jerusalem. Juga termasuk aktivis Islam dalam Ikatan Pelajaran
Palestina di Mesir.
Lulus dari Fakultas Teknik di Universitas Cairo jurusan Arsitektur Tata Kota pada
tahun 1961. Bekerja sebagai arsitek di kanal el-Ghour Timur, Jordania, pada
tahun 1961-1962. Selanjutnya beliau pergi ke Kuwait dan bekerja di dinas tata
kota Kuwait tahun 1962-1966. Kembali ke Jordania dan bekerja dalam proyek
bendungan Khalid di Yarmuk tahun 1966-1971.Berangkat lagi ke Kuwait dan
bekerja di proyek Menara Kuwait selama setahun 1971-1972.
Bekerja sebagai manajer proyek bendungan Raja Thalal tahun 1972-1978.
Bekerja di kantor arsitek partikelir miliknya pada tahun 1978-1989. Mencurahkan
seluruh waktunya (Full time) dalam Gerakan Hamas sejak tahun 1989. Diangkat
sebagai juru bicara resmi Gerakan Hamas tahun 1992. Saat ini, beliau aktif
sebagai anggota Biro Politik Hamas.

DR. Abdul Aziz Ar-Ranteesi

Juru Bicara Hamas di Gaza


Beliau adalah Abdul Aziz Ali Abdul Hafidz el Ranteesi, dilahirkan pada tanggal 23
Oktober 1947 di desa Yabna, antara Asqolan dan Yafa. Keluarga Ranteesi
mengungsi ke Jalur Gaza dan menetap di Kamp Pengungsi Khan Yunis setelah
terjadi perang (nakbah) 1948. Saat itu usia beliau baru menginjak 6
bulan.Ranteesi tumbuh di tengah-tengah 9 saudara laki-laki dan dua orang
saudara perempuan.
Pada usia enam tahun, Abdul Aziz Ar-Ranteesi masuk bangku belajar di sekolah
yang dikelola oleh Lembaga Bantuan untuk Para Pengungsi Palestina milik PBB
(UNRWA). Kondisi ekonomi keluarga yang sulit memaksa Abdul Aziz Ranteesi
bekerja pada umur enam tahun, demi membantu memikul beban keluarganya
yang besar.
Beliau termasuk anak yang sangat menonjol dalam studinya hingga selesai tahun
1965. Kemudian merantau ke Alexandria (Mesir) untuk untuk melanjutkan
studinya di Universitas Iskandariah dalam bidang kedokteran.
Pada tahun 1972, Abdul Aziz Ranteesi menyelesaikan studi S1-nya dengan
peringkat memuaskan. Selanjutnya beliau kembali ke Jalur Gaza. Dua tahun
kemudia beliau berangkat kembali ke Alexandria untuk menyelesaikan program
master di bidang kedokteran anak. Kemudian pada tahun 1976, beliau kembali ke
Jalur Gaza dan bekerja sebagai dokter tetap di Rumah Sakit Nashir (yang
merupakan Rumah Sakit Pusat di Khan Yunus).
Beliau menikah dan dikaruniai enam orang anak (dua putra dan empat putri).
Dr. Ar-Ranteesi menduduki beberapa posisi dalam kegiatan kemasyarakatan di
antaranya: anggota Dewan Majma' Islamy dan Organisasi Kedokteran Arab di
Jalur Gaza, dan juga di Bulan Sabit Merah Palestina.
Bekerja di Universitas Islam di kota Gaza sejak pembukaannya tahun1978
sebagai dosen berbagai bidang akademis, dosen ilmu Genetika, dan ilmu
Mikrobiologi.
Pada tahun 1983 Ranteesi ditangkap karena menolak membayar pajak kepada
rezim Imperialis Israel. Pada tanggal 15 November 1988 beliau ditahan selama
21 hari.
Bersama sekelompok aktivis Harakah Islamiyah di Jalur Gaza, beliau mendirikan
organisasi Gerakan Perlawanan Islam Hamas di Jalur Gaza pada tahun1987.
Pada tanggal 4 Maret 1988 militer Imperialis Israel kembali menangkap beliau
dan terus menjebloskannya dalam penjara Israel selama dua setengah tahun,
atas dasar keterlibatannya dalam kegiatan aksi menentang penjajahan Zionis.
Pada tanggal 4 September 1990 beliau dibebaskan. Kemudian pada 14 Desember
1990 beliau kembali ditahan secara administratif hingga satu tahun lamanya.
Pada 17 Desember 1992 beliau dideportasi bersama 400 aktifis dan kader Hamas
serta Jihad Islam ke Lebanon Selatan. Akhirnya beliau pun tampil sebagai juru
bicara resmi untuk para deportan yang bertahan di Kamp Pengungsi el Audah di
wilayah Murjuz Zuhur untuk menuntut pihak rezim Imperialis Israel
memulangkan mereka dan sebagai ungkapan protes penolakan terhadap
kebijakan deportasi yang dilakukan pihak rezim Imperialis Israel.
Begitu pulang dari Murjuz Zuhur, beliau kembali ditangkap oleh pihak rezim
Imperialis Israel. Kemudian Mahkamah Militer Imperialis Israel mengeluarkan
putusan vonis penjara kepada beliau, dan akhirnya terus mendekam dalam
penjara Imperialis Israel hingga pertengahan tahun 1997.
Dr.rantisi gugur Sabtu 17-04-2004 bersama tiga orang lainnya di jalan Jala,
Gifafi, utara Jalur Gaza dalam sebuah serangan udara Israel yang menghantam
mobil yang mereka tumpangi.

Syaikh al Mujahid Ahmad Yasin

Pendiri dan Tokoh Spiritual Hamas


Beliau adalah Ahmad Ismail Yasin, dilahirkan pada tahun 1938 di desa el Jaura
pinggiran el Mijdal, selatan Jalur Gaza. Mengungsi bersama keluarganya ke Jalur
Gaza setelah perang Palestina (nakbah) tahun 1948.
Mengalami kelumpuhan total sejak muda akibat kecelakaan dalam sebuah
aktifitas oleh raga.
Bekerja sebagai guru Bahasa Arab dan Tarbiyah Islamiyah, kemudian bertugas
sebagai khatib dan guru di masjid-masjid Gaza. Dalam masa penjajahan, dia
menjadi khatib paling populer di kalangan masyarakat Jalur Gaza karena
kekuatan argumennya dan keberaniannya dalam al haq (kebenaran).Menjadi
ketua perhimpunan Islam di Jalur Gaza
Pada tahun 1983, Syaikh Ahmad Yasin ditangkap rezim Imperialis Israel atas
tuduhan memiliki senjata, membentuk pasukan militer dan menyerukan
pelenyapan eksistensi negara Yahudi. Karenanya, beliau dihadapkan ke
mahkamah militer Israel dan divonis 13 tahun penjara.
Pada tahun 1985, beliau dibebaskan dalam rangka pertukaran tahanan antara
pihak rezim Imperialis Israel dengan PFLL (Front Rakyat untuk Pembebasan
Palestina) - Pimpinan Umum, setelah mendekam 11 bulan dalam penjara rezim
Imperialis Israel.
Bersama para kativis perlawanan islam (islamiyun) Palestina, beliau mendirikan
organisasi perlawanan, Gerakan Perlawanan Islam ”Hamas” - Palestina, di Jalur
Gaza pada tahun 1987.
Pada akhir bulan Agustus 1988, militer Imperialis Israel menyerbu rumah
kediaman beliau di Gaza. Mereka melakukan pengeledahan dan mengancam
membuangnya di atas kursi roda yang beliau duduki sehari-hari ke Libanon.
Pada malam hari tanggal 17 Mei 1989, rezim Imperialis Israel kembali
menangkap Syaikh Ahmad Yasin berserta ratusan aktivis Gerakan Hamas, dalam
rangka upaya menghentikan perlawanan bersenjata yang terjadi ketika itu
dengan mengambil bentuk serangan dengan menggunakan as silah al abyadh
(senjata putih), yakni selain senjata api terhadap serdadu-serdadu Israel, warga
Yahudi serta penculikan terhadap agen-agen Israel.
Pada tanggal 16 Oktober 1991, mahkamah militer Imperialis Israel mengeluarkan
keputusan dengan memvonis Syaikh Ahmad Yasin berupa penjara seumur hidup
ditambah 15 tahun, setelah disodorkan daftar tuduhan sebanyak sembilan item.
Di antaranya seruan (provokasi) penculikan dan pembunuhan terhadap serdaduserdadu
Imperialis Israel, pendirian Gerakan Hamas beserta sayap militer dan
dinas keamanannya.
Di samping menderita kelumpuhan total, Syaikh Ahmad Yasin juga menderita
beberapa penyakit lain. Di antaranya, kebutaan di mata kirinya dan lemah
pandangan di mata kanannya akibat penyiksaan yang beliau alami saat menjalani
penyidikan, menderita radang telinga cukup kronis, alergi paru-paru, beberapa
penyakit dan peradangan dalam dan usus. Kondisi penahanan yang buruk yang
dialami Syaikh Ahmad Yasin menyebabkan merosotnya kondisi kesehatannya,
sehinggga harus dipindahkan ke rumah sakit beberapa kali. Kondisi kesehatan
Syaikh Ahmad Yasin terus menurun akibat penahanan dan tidak adanya
pelayanan kesehatan yang memadai.
Pada tanggal 13 Desember 1992, sekelompok sukarelawan berani mati (fida’i)
dari Brigade Izzuddin al Qassam menculik seorang serdadu militer Imperialis
Israel. Brigade Izzuddin al Qassam menuntut pelepasan serdadu Israel tersebut
dengan kompensasi pembebasan Syaikh Ahmad Yasin dan beberapa tawanan di
penjara rezim Imperialis Israel, di antara mereka ada sedang menderita sakit,
orang lanjut usia serta beberapa tawanan Arab yang ditangkap militer Imperialis
Israel di Lebanon. Namun pihak Imperialis Israel menolak tuntutan tersebut,
bahkan balik melancarkan serangan ke lokasi penahanan serdadu Israel tersebut,
sehingga menyebabkan kematiannya serta kematian komandan kesatuan
penyerangan pasukan Imperialis Israel dalam penyerangan tersebut, sebelum
syahidnya para pahlawan sukarelawan berani mati di dalam rumah yang berlokasi
di desa Beir Nebala, dekat Jerusalem.
Rabu pagi, tanggal 1 Oktober 1997, Syaikh Ahmad Yasin dibebaskan berkat
perjanjian yang berlangsung antara Jordania dan rezim Imperialis Israel, dengan
kompensasi penyerahan dua agen (antek) Zionis yang tertangkap di Jordan
setelah mereka gagal dalam upaya pembunuhan terhadap al-Akh Khalid Misy'al,
Kepala Biro Politik Hamas di Amman.
Senin, 22 Maret 2004, pesawat-pesawat tempur milik Israel, membidik seorang
tua yang didorong di atas kursi roda, usai menunaikan Shalat Subuh di sebuah
masjid di Desa el-Sobra, Gaza. Dengan melepaskan tiga rudal dari pesawat heli
itu, pemimpin dan pendiri Gerakan Perlawanan Islam Hamas, Syeikh Ahmad
Yasin (1936-2004), ditembak secara biadab oleh pasukan Zionis Israel. Ikut
menjadi korban meninggal dunia lainnya adalah Mukmin Al-Yazori (28 tahun),
Amer Ahmad Abdul 'Al (25 tahun), Rateb Abdurrahman Al-'Alon (52 tahun),
Khumaes Sami Mushtahi (32 tahun), Rabe Abdul Hayyi Abdul Al (15 tahun) dan
empat lainnya yang belum diketahui identitasnya. Sementara ada 16 lainnya
terluka, diantarannya dua anak Syeikh Yasin, Abdul Hamed dan Abdul Ghani
serta seorang pemuda lagi dari keluarga Zaqut.