31 March 2009

Ali Ibnu Ridhwan

Saksi Sejarah Fenomena Supernova 1006


Ibnu Ridhwan menyatakan bahwa cahaya yang ditimbulkan fenomena supernova 1006 itu tiga kali lebih besar dari Planet Venus. Karyanya begitu berpengaruh di peradaban barat hingga abad ke-16.
Kairo, 17 Sya'ban 396 H/30 April 1006. Seorang remaja sungguh terkagum-kagum saat menatap langit malam di tanah kelahirannya. Pria yang saat itu berusia 18 tahun tersebut tercatat sebagai salah seorang saksi sejarah peristiwa astronomi amat dahsyat di awal abad XI: Supernova. Sebuah peristiwa meledaknya suatu bintang di galaksi yang memancarkan energi sangat besar.
Cahaya ledakan bintang itu dapat disaksikan penduduk bumi yang terbentang dari daratan Eropa hingga ke Cina. Bintang yang mengalami supernova memang akan tampak sangat cemerlang--mencapai ratusan juta kali cahaya bintang tersebut saat masih aktif. Supernova menandai berakhirnya riwayat sebuah bintang di galaksi.
Fenomena Supernova yang terjadi 10 abad silam itu hingga kini masih bisa dilihat para astronom--berupa awan yang mengembang dari letusan bintang. Pengalaman melihat cahaya ledakan bintang di galaksi itu begitu membekas dalam diri remaja asal Kairo itu. Saat fenomena astronomi yang langka itu terjadi, sebenarnya Ibnu Ridhwan baru saja memasuki bangku kuliah di sekolah kedokteran. Meski begitu, ia sudah memiliki hasrat untuk mempelajari astrologi. Pada masa itu, Mesir baru saja ditaklukkan oleh Dinasti Fatimiyah. Dinasti yang saat itu dipimpin Khalifah Al-Hakim berpusat di Kota Kairo.
Sejak menyaksikan fenomena yang luar biasa itulah, remaja bernama Ali Ibnu Ridhwan itu mencurahkan hidupnya untuk mempelajari astronomi dan astrologi. Berkat ketekunan dan dedikasinya yang sangat tinggi, Ibnu Ridhwan kemudian menjelma menjadi seorang astronom besar dan kesohor di abad XI. Salah satu mahakarya yang dihasilkannya adalah merekam peristiwa-peristiwa astronomi penting selama hidupnya. Para astronom dan sejarawan di zaman modern mendapatkan informasi tentang Supernova 1006 dari buku yang ditulisnya.
Sejatinya, astronom dan astrolog yang sangat berpengaruh itu bernama lengkap Abu 'l Hasan Ali Ibnu Ridhwan Al-Misri (998-1067). Para penulis di Barat menyebutnya dengan panggilan Haly atau Haly Abenrudian. Selain berprofesi sebagai astronom dan astrolog, Ibnu Ridhwan juga dikenal sebagai seorang dokter dan kritikus kedokteran Yunani, terutama Galen.
Kritiknya atas karya-karya Galen--seorang tabib dari Yunani kuno-- ditulis dalam buku berjudul Ars Parva. Buah karyanya itu kemudian diterjemahkan oleh Gherard of Cremona ke dalam bahasa Latin. Observasi yang dilakukannya terkait fenomena Supernova 1006 M dituliskannya dalam Ptolemy's Tetrabiblos.
Dalam buku yang ditulisnya itu, Ibnu Ridhwan menyatakan bahwa cahaya yang ditimbulkan oleh fenomena Supernova 1006 itu tiga kali lebih besar dari Planet Venus. Karyanya begitu berpengaruh di peradaban Barat hingga abad ke-16 M. Karyanya yang lain diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, De revolutionibus nativitatum (The Revolutions of Nativities) oleh Luca Gaurico dan dicetak di Venicia pada 1524.
Selain itu, karyanya yang lain, Treatise on the Significations of Comets in the twelve Signs of the Zodiac, juga dialihbahasakan ke dalam bahasa Latin bertajuk, Tractatus de cometarum significationibus per XII signa zodiaci, dicetak di Nurnberg pada 1563 M. Itu berarti pemikiran Ibnu Ridhwan mampu bertahan hingga berabad-abad lamanya. Sebuah pencapaian yang sungguh luar biasa.
Setahun sebelum fenomena Supernova 'mengguncang' dunia, Khalifah Al-Hakim pada 1005 M mulai mendirikan Dar al-`Ilm (Rumah Pengetahuan) di Kairo. Ini merupakan universitas umum yang informal. Sehingga, siapa saja bisa datang untuk membaca, menyalin buku, belajar, atau ikut perkuliahan berbagai bidang studi. Di tempat itu diajarkan teologi, tata bahasa, filologi, kedokteran, dan astronomi.
Sedangkan astrologi tak diajarkan di Dar al-'Ilm. Al-Hakim kurang suka dan tak menaruh perhatian pada bidang astrologi. Bahkan, pada 1013 M, khalifah melarang umat Islam untuk mempraktikkan astrologi. Sejumlah astrolog pun sempat kena cekal sang khalifah. Sang khalifah lebih mendukung pengembangan studi astronomi dan turut mensponsori berdirinya observatorium.
Ibnu Ridhwan memang tak menceritakan Dar al-'Ilm dalam biografinya. Namun, menurut para sejarawan, Dar al-'Ilm sempat menjadi pusat kegiatan intelektual bagi masyarakat di Kota Kairo. Dalam autobiografi yang ditulisnya, Ibnu Ridhwan mengisahkan perjalanan hidup masa kecilnya.
Saat masih kanak-kanak, ia menikmati pendidikan dasarnya di masjid sekitar rumahnya. Di tempat itu, dia mulai belajar membaca dan menulis serta menghafal Alquran. Memasuki usia 15 tahun, Ibnu Ridhwan memilih untuk belajar ilmu kedokteran dan filsafat. "Saya kurang beruntung," cetusnya. Ia mengaku harus membiayai pendidikannya dengan keringat sendiri.
"Studi saya menjadi terhambat oleh berbagai halangan dan kesulitan," tutur Ibnu Ridhwan. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, Ibnu Ridhwan mengaku harus menjalankan praktik astrologi. Terkadang, dia juga mempraktikkan ilmu kedokterannya. "Kemudian saya juga mengajar."
Saat pertama kali belajar di sekolah kedokteran, Ibnu Ridhwan sempat kecewa. Pasalnya, para mahasiswa kedokteran harus membayar sejumlah uang agar bisa belajar dari seorang guru terkemuka. Para mahasiswa berduit belajar menghafal dan mengerjakan tugas-tugas yang diberikan para guru terkemuka. Cara belajar seperti itu pun dikritik Ibnu Ridhwan.
Ia lalu memutuskan untuk berhenti belajar dari gurunya itu. Sempat terpikir olehnya untuk belajar dari seorang guru kedokteran kesohor di Irak. Namun, Ibnu Ridhwan mengaku tak mampu untuk hijrah ke Irak. Meski serbaterbatas, semangat belajarnya tak pernah padam. Ibnu Ridhwan akhirnya memutuskan untuk autodidak. Ia memilih membaca karya-karya kedokteran yang ditulis Galen.
Keseriusannya mempelajari ilmu kedokteran juga berbuah manis. Seorang temannya yang sudah berprofesi sebagai dokter mengajaknya untuk menjadi asisten dokter. Di tempat itulah, dia belajar praktik kedokteran sebagai dokter pengganti dan memiliki pasien langganan sendiri. "Duniaku adalah kedokteran dan astronomi," papar Ibnu Ridhwan.
Selain mempelajari ilmu kedokteran, Ibnu Ridhwan juga serius mempelajari astronomi. Di perpustakaan pribadinya, sang dokter yang astronom itu menyimpan salinan Tetrabiblos--sebuah buku astrologi karya astronom dan matematikus Yunani dari abad ke-2 M, Ptolemeus. Ia lalu menulis kritik dan komentar atas karya Ptolemeus yang dipelajarinya secara intens.
Ibnu Ridhwan pun berhasil mencapai posisi tertinggi dalam bidang kedokteran. Ia diangkat menjadi kepala dokter istana. Sejarah mencatatnya sebagai seorang ilmuwan yang produktif. Tak kurang dari 100 karya dalam berbagai bidang, seperti astronomi, kedokteran, filsafat, ilmu alam, serta astrologi berhasil ditulisnya. Saksi sejarah fenomena Supernova itu tutup usia pada 1067 M.
 
Rujukan Astronom Abad XX
Dunia astronomi modern rasanya pantas berterima kasih kepada Ali Ibnu Ridhwan. Apa pasal? Berkat jasa astronom dan dokter Muslim di era kegemilangan Islam itu, para astronom di abad ke-20 M bisa mendapat penjelasan yang rinci, detail, dan ilmiah mengenai peristiwa astronomi fenomenal: Supernova 1006.
Para astronom di abad ke-20 M, mulai melacak peristiwa meledaknya salah satu bintang di galaksi pada 10 abad silam. Mereka berupaya untuk mengetahui seberapa besar tingkat kecemerlangan Supernova 1006. Selain itu, para astronom juga ingin berupaya memastikan lokasi sisa-sisa kehancuran bintang atau fenomena Supernova 1006 di luar angkasa.
Guna menyingkap misteri fenomena astronomi yang terjadi 10 abad silam itu, para astronom mencoba mencari data-data dari masa lampau. Untunglah, Ibnu Ridhwan mencatat peristiwa itu dalam bukunya berjudul, Ptolemy's Tetrabiblos. Tak heran, jika tim ahli astrofisika dari Inggris dan Australia menggunakan data-data yang direkam oleh Ibnu Ridhwan untuk melacak peristiwa Supernova 1006.
Hal yang sama juga dilakukan oleh para ahli astrofisika Swiss. Rekaman peristiwa yang dipaparkan Ibnu Ridhwan dijadikan rujukan untuk melacak peristiwa astronomi yang langka dan fenomenal itu. Selain berdasarkan catatan Ibnu Ridhwan, ada pula yang menyatakan Supernova pun tampak di Swiss. Namun, tak ada pengamat yang mampu menjelaskan fenomena itu secara ilmiah dan tepat seperti yang dilakukan Ibnu Ridhwan.
Lalu, bagaimana Ibnu Ridhwan menjelaskan fenomena Supernova 1006 itu secara ilmiah? Dalam buku yang ditulisnya, dia berkata, "Sekarang saya akan menjelaskan sebuah peristiwa besar (Supernova 1006) yang saya saksikan ketika saya memulai pendidikan saya." Menurut dia, peristiwa Supernova 1006 itu tampak dekat dengan posisi zodiak Scorpio dan berlawanan dengan matahari.
"Pada hari itu, posisi matahari 15 derajat di Taurus dan Supernova berada di posisi 15 derajat dekat Scorpio," papar Ibnu Ridhwan. Secara rinci, Ibnu Ridhwan pun mengungkapkan ukuran cahaya ledakan bintang di galaksi yang dilihatnya itu. Besarnya tiga kali lebih besar dari Planet Venus. "Cahaya yang dipancarkannya membuat langit malam tampak begitu bersinar."
Ibnu Ridhwan pun menjelaskan, intensitas cahaya yang dipancarkan Supernova 1006 itu lebih kecil dari seperemapt cahaya bulan. Dalam buku astronomi yang ditulisnya, Ibnu Ridhwan secara detail memaparkan posisi matahari, bulan, dan planet lainnya. Sebuah pencapaian yang luar biasa. Dengan rekaman data yang sangat tepat tentang posisi planet itulah, para astronom modern sangat terbantu untuk memastikan tanggal terjadinya Supernova 1006.

Al-Mawardi

Pemikir Termasyhur Di Zaman Kekhalifahan


Setelah menguasai ilmu hukum Islam (fikih), Al-Mawardi akhirnya memutuskan hijrah ke Baghdad untuk menimba ilmu lainnya. Ia memutuskan untuk berguru ilmu hukum, tata bahasa, dan sastra pada Syeikh Abdul Hamid Al-Isfraini dan Abdullah Al-Bafi. Berkat otaknya yang encer, dalam waktu sing kat Al- Mawardi pun telah menguasai beragam ilmu, seperti hadis, fikih, politik, filsafat, etika, dan sastra.
Alboacen. Begitu peradaban Barat biasa menyebut pemikir dan pakar ilmu politik termasyhur di era Kekhalifahan Abbasiyah ini. Ilmuwan legendaris di abad ke-10 M itu diakui dunia sebagai salah seorang peletak dasar keilmuan politik Islam. Gagasan dan pemikirannya tentang ilmu politik yang dituangkan dalam bukunya yang amat fenomenal berjudul, Al-Ahkam al- Sultania w’al-Wilayat al-Diniyya, hingga kini masih tetap diperbincangkan. Selain menguasai ilmu politik, inte lektual Muslim bernama Al-Mawardi ini juga dikenal sebagai ahli hukum, pakar ilmu hadis, serta sosiolog Muslim terkemuka. Ia sempat mengabdikan dirinya menjadi ahli hukum di sekolah fikih. Dalam bidang ini, sang pemikir Muslim itu melahirkan dasar-dasar yurisprudensi yang reputasinya begitu monumental bertajuk, Al-Hawi, yang terdiri atas 8.000 halaman.
Kemampuannya dalam bidang hukum yang begitu mumpuni membuat Al-Mawardi berkali-kali diangkat sebagai hakim (qadhi) di berbagai provinsi. Ke lihaiannya dalam melakukan lobi-lobi politik juga membuat khalifah mendau latnya sebagai duta keliling pemerintahan Abbasiyah. Ketika situasi politik kenegaraan bergolak, Al-Mawardi pun tampil sebagai tokoh pemersatu. Sebagai seorang pemikir yang independen, Al- Mawardi terus menyuara kan mediasi antara dua kekuatan yang bertikai pada zamannya, yakni pemerintahan Abbasiyah dan militer Syiah Buyid. Ia tak memihak pada satu kubu, melainkan tampil sebagai tokoh yang netral. Tak salah, jika seorang orientalis menyebut ulama penganut madzhab Syafi’i bernama lengkap, Abu al Hasan Ali bin Habib Al-Mawardi, ini sebagai Khatib of Baghdad.
Sejatinya, Al-Mawardi adalah putra dari seorang saudagar minyak mawar. Ia terlahir di pusat kota peradaban Islam klasik, Basrah, pada 386 H/975 M. Al-Mawardi kecil menempuh pendidikan dasar di tanah kelahirannya. Ilmu hukum telah membetot perhatiannya sejak masih remaja. Ia lalu berguru kepada seorang pakar hukum madzhab Syafi’i terkemuka bernama, Abul Qasim Abdul Wahid as- Saimari.
Setelah menguasai ilmu hukum Islam (fikih), Al- Mawardi akhirnya memutuskan hijrah ke Baghdad untuk menimba ilmu lainnya. Ia memutuskan untuk berguru ilmu hukum, tata bahasa, dan sastra pada Syeikh Abdul Hamid Al-Isfraini dan Abdullah Al- Bafi. Berkat otaknya yang encer, dalam waktu singkat Al-Mawardi pun telah menguasai beragam ilmu, seperti hadis, fikih, politik, filsafat, etika, dan sastra.
Kemampuannya dalam mengusai beragam ilmu itu mengantarkannya pada sebuah perjalanan karier yang cemerlang. Menjadi hakim merupakan jabatan pertama yang ditawarkan khalifah kepadanya. Keberhasilannya sebagai hakim di berbagai dae rah kekuasaan Abbasiyah mengantarkannya pada jabatan yang lebih tinggi. Hingga akhirnya, Al- Mawardi mencapai puncak karier dalam bidang kehakiman saat diangkat sebagai hakim ketua di Baghdad.
Prestasinya yang begitu cemerlang membuat Khalifah Abbasiyah, Al-Qaim bin Amrullah, memercayainya sebagai duta besar keliling kekhalifahan. Ia bertugas dari satu negara ke negera lainnya sebagai pimpinan misi khusus Pemerintah Abbasiyah. Ia memainkan peranan yang penting untuk tetap menjaga hubungan diplomatik antara Kekhalifahan Abbasiyah yang mulai meredup dengan Dinasti Buwaih dan Seljuk yang mulai menguat.
Keandalannya dalam berdiplomasi membuat pemerintahan Islam lain yang sedang menguat menaruh hormat pada sang duta besar. Tak heran, jika berkunjung ke sebuah negara, Al-Mawardi selalu mendapatkan hadiah dan cendera mata dari para sultan pada zaman itu. Ia pun menjadi saksi ketika Baghdad pusat pemerintahan Abbasiyah diambil alih Dinasti Buwaih. Kontribusinya bagi peradaban Islam dalam bidang ilmu politik dan sosiologi sungguh amat tak ternilai. Al-Mawardi telah melahirkan sebuah buku terbesar dalam khazanah peradaaban Islam, yakni Kitab al-Ahkam al-Sultania. Selain itu, ia juga menulis buku termasyhur lainnya berjudul, Qanun al-Wazarah, serta Kitab Nasihat al-Mulk. Bukubuku yang ditulisnya itu membahas tentang dasardasar ilmu politik.
Secara detail dan lugas, dalam buku politiknya Al-Mawardi mengupas tentang fungsi dan tugas khalifah, perdana menteri, menteri-menteri, hubungan antara berbagai elemen publik dengan pemerintah, serta langkah-langkah untuk menguatkan pemerintahan dan memastikan kemenangan dalam peperangan. Dua bukunya yang berjudul, Al-Ahkam al- Sultaniah serta Qanun al-Wazarah, telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Itulah yang membuat Al-Mawardi termasyhur di seantero dunia hingga abad ini. Ia juga diyakini sebagai seorang penulis Doctrine of Necessity dalam ilmu politik. Al-Mawardi telah meletakkan prinsip-prinsip yang jelas tentang pemilihan khalifah dan kualitas pemilihnya.
Kitab Al-Ahkam al-Sultania diyakini para seja rawan ditulis Al-Mawardi atas permintaan dari salah seorang Khalifah Abbasiyah di Baghdad. Hal itu tercantum dalam prakata buku yang legendaris itu. Bukunya yang fenomenal itu telah diakui seba gai karya klasik dalam bidang politik. Tak hanya diperbin cangkan di kalangan intelektual Arab, Al-Ah kam al-Sultaniah pun menjadi kajian para orientalis. Tak heran, kalau pemikiran Al-Mawardi kerap dikutip dalam berbagai buku diskursus tentang hukum Islam dan pemerintahan. Tak melulu membahas kekuasaan, buku ini juga telah memperkenalkan batas-batas negara, reklamasi tanah, suplai air, pajak, serta hal-hal lain yang begitu detail tentang tugas dan hubungan negara dengan rakyatnya.
Dalam bidang etika, Al-Mawardi menulis kitab berjudul, Aadab al-Dunya wa al-Din. Kitab ini sangat populer dan tema-tema yang dibahas di dalamnya masih menjadi bahan kajian di beberapa negara Islam. Sebagai salah seorang pemikir ilmu politik terkemuka di abad pertengahan, pemikiran-pemikirannya telah memberi pengaruh yang begitu besar bagi pengembangan ilmu politik serta sosiologi. Pemikirannya tentang sosiologi pada zaman berikutnya dilanjutkan oleh Ibnu Khaldun. Pengaruh pemikiran Al-Mawardi terhadap Bapak Sosiologi dunia itu terlihat pada karya Nizamul Mulk Tusi, yakni Siyasat Nama, dan Prolegomena karya Ibnu Khaldun.
Salah satu ciri khas Al-Mawardi adalah selalu memberikan pandangan dalam sudut pandang yang berbeda. Inilah ciri khas pemikir yang independen, netral, dan tak memihak pada satu kelompok atau golongan. Pakar politik seperti ini sangat sulit ditemukan pada zaman modern. Al-Mawardi tutup usia pada 1058 M. Meski begitu, namanya tetap abadi dan akan dikenang sepanjang masa. 
Buah Pikir Sang Pakar Politik
Kitab Al-Ahkaam Al-Shultaniah (Hukum-hukum Kekuasaan) begitu fenomenal. Buah pikir Al-Mawardi tentang ilmu politik itu telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Kitab yang monumental itu merupakan adikarya sang pakar politik. Dalam kitab itulah, pemikiran dan gagasan Al-Mawardi tentang politik tercurah dengan begitu jelas. Tak hanya berlaku pada masanya, prinsipprinsip politik kontemporer dan kekuasaan yang dicetuskannya hingga kini masih tetap menjadi wacana yang menarik diperbincangkan bahkan diperdebatkan.
Buku dasardasar ilmu politik itu mencakup berbagai hal, seperti pengangkatan imamah (kepala negara/pemimpin), pengangkatan menteri, gubernur, panglima perang, jihad bagi kemas lahatan umum, jabatan hakim, hingga jabatan wali pidana. Kitab Al-Ahkam Al-Shultaniahjuga mengkaji masalah imam shalat, zakat, fa’i, ghanimah( rampasan perang), ketentuan pemberian tanah, ketentuan daerah-daerah yang berbeda status, hukum seputar tindak kriminal, fasilitas umum, penentuan pajak dan jizyah, masalah protektorat, dan masalah dokumen negara dengan begitu lengkap dan detail.
Imam baik itu raja, presiden, sultan menurut Al-Mawardi, adalah sebuah keniscayaan. keberadaannya sangat penting dalam suatu masyarakat atau negara. Tanpa kehadiran seorang imam, ungkap dia, sebuah masyarakat atau negara akan kacau. Tanpa kehadiran pemimpin, manusia men jadi tidak bermartabat. Sebuah bangsa pun menjadi tak lagi berharga. Inilah ketentuan seorang imamah yang legal dalam pandangan Al-Mawardi. Menurutnya, jabatan imamah menjadi sah apabila memenuhi dua metodologi. Pertama, dia dipilih oleh parlemen ( ahlul halli wal aqdi). Mereka inilah yang memiliki wewenang untuk mengikat dan mengurai atau juga disebut model Al Ikhtiar.
Kedua, ditunjuk oleh imam sebelumnya. Model pertama selaras dengan demokrasi dalam konteks modern. Sementara, tipe kedua, Al Mawardi merujuk pada eksperimen sejarah, yakni pengangkatan Khalifah Umar bin Khattab oleh khalifah sebelumnya, Abu Bakar Ash Shiddiq. Seorang khalifah, papar dia, bisa dilengserkan dan harus mundur bila mengalami dua cacat. Pertama, cacat dalam keadilannya (bisa disebabkan syahwat, atau akibat syubhat). Kedua, cacat tubuh. Dalam kaitan ini adalah cacat pancaindra (termasuk cacat yang menghalangi seseorang untuk diangkat sebagai seorang imam, seperti hilang ingatan secara permanen, hilang penglihatan).
Selain itu, juga cacat organ tubuh dan cacat tindakan. Sedangkan, cacat yang tidak menghalangi untuk diangkat sebagai imam, seperti cacat hidung yang menyebabkan tidak mampu mencium bau sesuatu, cacat alat perasa, seperti membedakan rasa makanan. Lalu, bagaimana konsep jihad menurut Al- Mawardi? Selain terdapat perintah jihad kepada orang kafir, masih ada tiga jenis jihad lainnya, yakni jihad untuk memerangi orang murtad, jihad melawan para pemberontak ( bughat), dan jihad melawan para pengacau keamanan.

Thabit Ibnu Qurra

Si Jenius Pendiri Ilmu Keseimbangan



Ia didapuk sebagai pendiri Ilmu Keseimbangan berkat kitab penting yang ditulisnya bertajuk, Kitab fi’l-qarastun (Buku Keseimbangan Balok). Inilah karyanya yang monumental dalam bidang Ilmu Mekanik.
Ilmuwan Muslim terpandang di zaman ke kuasaan Dinasti Abbasiyah ini dikenal sebagai ahli matematika. Menurut JJ O’Connor dan EF Robertson, matematikus Muslim dari abad ke-9 M itu telah berjasa dalam meletakkan dasar-dasar matematika modern. Ia memainkan peran penting dalam penemuan hitungan integral, geometri analitik, dalil trigonometri lingkaran, serta kon sep angka-angka riil.
“Dalam ilmu mekanik, dia adalah seorang pendiri ilmu statika (ilmu keseimbangan),” ujar O’Connor dan Robertson dalam tulisannya tentang biografi sang ilmuwan. Si jenius dari Harran, Mesopotamia (Turki), itu pun menguasai ilmu astronomi. Dalam bidang luar angkasa ini, sejarah mencatatnya sebagai salah seorang pembaru pertama terhadap sistem ptolemeus.
Sang matematikus Muslim yang berotak encer itu bernama Thabit Ibnu Qurra. Nama lengkapnya, Thabit Ibn Qurra Ibn Marwan al-Sabi’al-Harrani. Ia Terlahir pada 836 M di Harran, Mesopotamia—sekarang Turki. Awalnya, dia adalah anggota sekte Sabian—kelompok penyembah bintang. Lantaran menuhankan bintang, anggota sekte ini sangat termotivasi untuk mempelajari astronomi.
Pada zamannya, sekte ini telah melahirkan sederet astronom dan matematikus berkualitas. “Sekte ini memiliki hubungan yang kuat dengan Peradaban Yunani, sehingga mengadopsi kebudayaannya,” papar O’Connor dan Robertson. Ketika Islam berkembang makin meluas, sekte Sabian yang awalnya berbahasa Yunani akhirnya berada dalam kekuasaan Dinasti Abbasiyah.
Perlahan namun pasti, anggota sekte Sabian pun mulai memeluk Islam. Mereka pun mulai menggunakan bahasa Arab mengganti bahasa Yunani. Sejumlah dokumen menyebutkan, di usia muda, Thabit berprofesi sebagai pedagang penukaran mata uang. Ini menunjukkan bahwa Thabit berasal dari keluarga berada dan berpengaruh di komunitasnya.
Sejak muda, Thabit dikenal sangat cerdas. Ia menguasai bahasa Arab, Yunani, dan Syriac. Suatu hari, seorang ilmuwan terkemuda dari Baghdad, Muhammad Ibnu Musa ibnu Shakir, berkunjung ke Harran. Ia sungguh terkagum- kagum dengan pengetahuan bahasa yang dikuasi Thabit muda. “Sungguh seorang anak muda yang sangat potensial,” cetus Ibnu Musa.
Sang ilmuwan pun kemudian menyarakan agar Thabit hijrah ke Baghdad— kota metropolis intelektual. Ibnu Musa memintanya agar mau belajar matematika pada dirinya dan saudaranya. Tawaran itu tak disia-siakan Thabit. Ia pun hijrah meninggalkan tanah kelahirannya untuk menimba ilmu matematika dan belajar kedokteran di Baghdad.
Setelah menamatkan pendidikannya, dia sempat kembali ke kota kelahirannya, Harran. Sayangnya, dia harus berhadapan dengan pengadilan lantaran pemikirannya yang dianggap berbahaya. Guna menghindari hukuman, Thabit pun lari ke Baghdad. Di pusat pemerintahan Abbasiyah itu, dia mengabdikan dirinya sebagai astronom istana. Thabit pun berada dalam lindungan Khalifah Al-Mu’tadid—salah seorang khalifah Abbasiyah yang terkemuka.
Kemampuan Thabit dalam bahasa Arab dan Yunani dimanfaatkan khalifah. Thabit diminta untuk menerjemahkan teks-teks berbahasa Yunani ke dalam bahasa Arab. Sebagai ahli matematika, Thabit pun menerjemahkan dan merevisi karya-karya besar yang sempat ditulis Peradaban Yunani. Meski bertugas untuk menerjemahkan karya-karya besar, bukan berarti Thabit hanya menjiplak pengetahuan dari Yunani. Berbekal kecerdasannya, ilmuwan Muslim yang brilian ini justru telah menemukan sederet penemuan yang sangat penting bagi perkembangan ilmu matematika.
Selain itu, Thabit juga berjasa dalam mengembangkan ilmu astronomi. Karya Thabit dalam astronomi yang terkenal berjudul, Concerning the Motion of the Eighth Sphere. Selain itu, sang ilmuwan juga memublikasikan hasil pengamatannya tentang matahari.
Hingga kini, tak kurang dari delapan risalah yang ditulisnya pada abad ke-9 M tentang astronomi masih eksis. Thabit pun telah memainkan peranan yang sangat penting dalam menjadikan astronomi sebagai ilmu eksak. Ia telah meneorisasi hubungan observasi dan teori, mematematisasi astronomi, serta fokus pada penentangan hubungan antara astronomi matematika dengan astronomi fisik.
Ia didapuk sebagai pendiri Ilmu Keseimbangan berkat kitab penting yang ditulisnya bertajuk, Kitab fi’l-qarastun (Buku Keseimbangan Balok). Inilah karyanya yang monumental dalam bidang Ilmu Mekanik. Salah satu adikaryanya itu telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Gherard of Cremona. Tak heran, jika karya Thabit itu menjadi sangat populer di dunia Barat. Melalui karyanya itu, Thabit mampu membuktikan asas-asas keseimbangan pengungkit.
Dalam bidang filsafat, Thabit pun banyak melahirkan risalah. Salah satu risalahnya yang masih eksis adalah hasil percakapannya dengan Abu Musa Isa ibnu Usayyid—muridnya yang beragam Kristen. Kepada Thabit Ibnu Usayyid, Abu Musa banyak bertanya tentang berbagai hal dan semuanya dijawab Thabit. Risalah percakapan antara Thabit dengan muridnya itu hingga kini masih ada. Risalah itu masih jadi bahan diskusi dan perdebatan.
Meski terpengaruh dengan Plato dan Aristoteles, namun Thabit pun kerap mengkritisi ide-ide ilmuwan asal Yunani itu. Thabit banyak mengoreksi pemikiran Plato dan Aristoteles, khususnya mengenai gerakan (motion). Hal itu tampak pada ide-idenya yang didasarkan pada penerimaan penggunaan pendapat mengenai gerakan dalam argumenargumen geometrikalnya.
Semasa hidupnya, Thabit juga menulis risalah tentang logika, psikologi, etika, klasifikasi ilmu, tata bahasa Syriac, politik, agama, serta kebudayaan Sabian. Jejaknya dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dilanjutkan oleh putranya, Sinan ibnu Thabit, dan cucunya, Ibrahim ibnu Sinan ibnu Thabit. Keduanya itu pun menjelma sebagai ilmuwan besar yang juga berkontribusi dalam mengembangkan matematika.
Thabit meninggal pada 18 Februari 901 M di Baghdad. Meski begitu, jasa dan kontribusinya dalam beragam ilmu hingga kini masih dikenang. Sosok dan kiprahnya dalam mengembangkan ilmu pengetahuan layak dijadikan contoh oleh generasi muda Muslim di era globalisasi ini. “Hanya dengan menguasai ilmu pengetahuanlah, Islam akan bangkit dan menguasai dunia,” ungkap Dr Youssef Chebli Phd, ketua World Islamic Mission Association.
 
Sang Pencetus Bilangan Bersahabat
Salah satu penemuan penting yang diwariskan Thabit Ibnu Qurra bagi peradaban manusia modern adalah teori bilangan bersahabat (amicable number). Yakni, pasangan bilangan yang mempunyai sifat unik; dua bilangan yang masing-masingnya adalah jumlah dari pembagi sejati bilangan lainnya. Thabit berhasil menciptakan rumus bilangan bersahabat sebagai berikut:

p = 3 x 2n11
q = 3 x 2n1
r = 9 x 22n11

Penjelasannya: n > 1 adalah sebuah bilangan bulat. p, qr, dan r adalah bilangan prima. Sedangkan, 2npq dan 2nr adalah sepasang bilangan bersahabat. Rumus ini menghasilkan pasangan bersahabat (220; 284), sama seperti pasangan (17296, 18416) dan pasangan (9363584; 9437056). Pasangan (6232; 6368) juga bersahabat, namun tak dihasilkan dari rumus di atas.
Teori bilangan bersahabat yang dikembangkan Thabit juga telah menarik perhatian matematikus sesudahnya. Abu Mansur Tahir Al-Baghdadi (980 M-1037 M) juga turut mengembangkan teori bilangan ini. Selain itu, matematikus Al Madshritti (wafat 1007 M) juga tertarik mengembangkannya. Ilmuwan Muslim lainnya yang mengembangkan teori itu adalah Al-Farisi (1260 M-1320 M).
Tak cuma matematikus Muslim yang tertarik dengan teori bilangan bersahabat. Ilmuwan yang diagungagungkan peradaban Barat, Rene Descartes (1596 M- 1650 M), juga mengembangkannya. Peradaban Barat kerap mengklaim teori bilangan bersahabat berasal dari Descartes. Selain itu, matematikus lain yang mengembangkan teori ini adalah C Rudolphus.
Pasangan bilangan bersahabat dikembangkan lagi oleh Euler. Jika Thabit hanya menyebut tiga pasang bilangan bersahabat, Euler menambahnya menjadi lebih dari 59 bilangan bersahabat. Akibatnya, sejarah matematika pun seakan-akan menutupi jasa Thabit Ibnu Qurra sebagai penemu pertama bilangan bersahabat.
Peradaban Barat memang pandai memanupulasi fakta sejarah. Hal itu terbukti pada klaim yang menyatakan pasangan (9363584; 9437056) ditemukan oleh Descartes. Sejatinya, pasangan bilangan bersahabat itu pertama kali ditemukan oleh Muhammad Baqir Yazdi di Iran.

22 March 2009

Melacak Warisan Islam di Tiongkok

Sebuah kabar tak sedap berembus dari Negeri Tirai Bambu. Umat Islam di Xinjiang sebuah daerah otonom yang berbatasan dengan Tibet--dilarang otoritas Cina untuk menunaikan shalat Tarawih berjamaah di bulan Ramadhan. Tak cuma itu, mengunakan jilbab bercadar dan sorban pun menjadi hal terlarang bagi delapan juta umat Muslim Uighur yang tinggal di wilayah barat daya Xinjiang, Republik Rakyat Cina (RRC), itu.
 
Perlakuan diskriminatif terhadap umat Islam itu tentu saja sungguh sangat tak adil. Padahal, umat Islam yang tinggal di negeri itu sejak abad ke-7 M telah menyumbangkan sederet warisan penting bagi peradaban bangsa Cina. Sejarah mencatat, Islam yang dikenal sebagai Yisian Jiabao (agama yang murni) juga telah memberi pengaruh dalam kehidupan masyarakat Tiongkok yang multietnis.
 
Peradaban Islam di Cina mulai memiliki pengaruh yang kuat dalam berbagai aspek kehidupan pada era kekuasaan Dinasti Mongol Yuan (1274 M-1368 M). Dikuasainya sebagian besar wilayah Eurasia pada abad ke-13 M telah membawa dampak yang luas bagi tradisi Cina dan Persia. Ketika itu, dua peradaban berbaur menjadi satu dalam satu kekaisaran.
 
Penguasa Dinasti Mongol Yuan mengangkat status imigran Muslim menjadi Cina Han. Dinasti Yuan pun mendatangkan ratusan ribu imigran Muslim dari wilayah Barat dan Asia Tengah untuk memperluas wilayah dan pengaruh kekaisaran. Di era itulah, umat Islam memberi pengaruh yang begitu besar dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat Cina.
Anthony Garnaut, seorang pakar hubungan antara Cina dengan kebudayaan Islam dalam tulisannya berjudul, The Islamic Heritage in China: A General Survey, memaparkan sumbangan Islam di negeri itu. ''Islam telah memberi pengaruh yang cukup besar dalam teknologi, ilmu pengetahuan, filsafat, dan seni di Cina,'' papar Garnaut.
 
Menurut Garnaut, salah satu pengaruh umat Islam yang paling tampak di Cina adalah dalam bidang arsitektur. Peradaban Islam banyak memberi warna dalam motif hiasan serta kaligrafi. Menurut catatan sejarah, bangunan masjid pertama kali dibangun pada abad ke-7 M di era kekuasaan Dinasti Tang (618 M-907 M). Uniknya, arsitektur bangunan masjid ini mengikuti arsitektur tradisional Cina.
 
Paling tidak ada tiga jenis arsitektur masjid di dataran Cina. Di bagian barat Cina, arsitektur masjid menggunakan elemen-lemen seperti yang digunakan di bagian dunia yang lain. Salah satu cirinya; memiliki menara dan kubah. Namun, di belahan timur Cina, bangunan masjid justru tampak seperti pagoda. Sedangkan di barat laut Cina, masjid Muslim Uighur memadukan arsitektur Timur dan Barat.
 
Saat ini, tak kurang terdapat 45 ribu masjid di Cina. Lima masjid yang paling populer di antaranya; Masjid Niujie yang berada di Beijing dibangun pada 996 M; Masjid Huaisheng di Guangzhou; Masjid Kowloon dan Islamic Center di Kowloon, Hong Kong, dibangun pada 1896; Masjid Id Kah di Kashgar Xinjiang; serta Masjid Agung Xi'an di Xi'an, Shaanxi. Arsitektur bangunan masjid di Cina dikenal dengan keindahannya.
 
Peninggalan Islam lainnya yang masih bertahan di negeri Tiongkok itu adalah makam dua dari empat sahabat Rasulullah SAW yang berada di kaki Gunung Lingshan. Tempat itu dikenal sebagai "Makam Suci" tempat Sa-Ke-Zu dan Wu-Ko-Shun, dua sahabat Nabi Muhammad, dimakamkan. Mereka adalah orang pertama yang menyebarkan agama Islam di Cina. Hingga kini, makam itu masih tetap terpelihara.
 
Salah satu jasa penting peradaban Islam lainnya di era kekuasaan Dinasti Yuan adalah pembangunan kota bernama Khanbaliq. Kota itu dibangun oleh para seniman dan insinyur serta tukang batu yang didatangkan dari negeri-negeri Islam di Asia Tengah. Selain itu, seorang insinyur Muslim bernama Amir al-Din juga tercatat telah mendesain Pulau Qionghua kini berada di sekitar danau Taman Beihai di pusat Kota Beijing.
 
Peradaban Cina juga mengenal tulisan indah yang dikenal di dunia Muslim sebagai kaligrafi. Seni menulis indah khas Islam itu di Cina dikenal dengan nama Sini. Karya-karya Sini itu banyak digunakan di masjid-masjid yang berada di timur Cina. Seniman kaligrafi Sini terkemuka bernama Hajji Noor Deen Mi Guangjiang.
 
Selain itu, peradaban Islam sempat memegang peran penting dalam pemerintahan di negeri Tirai Bambu. Di era kekuasaan Dinasti Ming, umat Muslim pun masih memiliki pengaruh yang kuat di lingkaran pemerintahan. Pendiri Dinasti Ming, Zhu Yuanzhang, adalah jenderal Muslim terkemuka, termasuk Lan Yu Who. Pada 1388 M, Lan memimpin pasukan Dinasti Ming dan menundukkan Mongolia. Tak lama setelah itu, muncul Laksamana Cheng Ho--seorang pelaut Muslim andal.
 
Menurut Garnaut, perdaban Islam juga telah memberi pengaruh dalam dunia kedokteran Cina. Umat Islam di negeri itu telah memelopori pendirian rumah sakit pertama, hu yah wo yuan, pada 1277 M. Selain itu, buku kedokteran Cina yang direvisi pada era kekuasaan Dinasti Song pada 1056 M dan 1107 M banyak mengambil dari buku kedokteran yang ditulis Ibnu Sina.
 
Yang tak kalah penting, Islam pun cukup dominan memengaruhi seni kuliner Cina yang dikenal dengan aneka masakannya yang lezat. "Makanan halal yang bisa diterapkan umat Islam sejak dahulu masih cukup berpengaruh," papar Garnaut, ilmuwan alumnus Australian National University, di Melbourne itu.
 
Dalam bidang seni kuliner, masakan halal tak terlalu sulit untuk ditemukan di kota-kota besar di Cina. Sebab, banyak restoran maupun tempat makan di Cina yang dikelola orang Muslim. Bahkan, sudah ada provinsi yang mengeluarkan sertifikat makanan beku yang halal, yakni dari Provinsi Jiangsu.
 
Garnaut juga memaparkan bahwa budaya menulis juga merupakan salah satu warisan peninggalan peradaban Islam di daratan Cina. Aneka macam peninggalan budaya itu masih bertahan hingga sekarang. Dalam bidang astrologi dan astronomi, peradaban Islam juga sangat besar pengaruhnya di Cina.
 
Prof Li Hua Ying dalam tulisannya bertajuk, Islamic Heritage of Muslims in China, menambahkan, pada abad ke-17 M, Islam masih memberi pengaruh yang besar bagi masyarakat di daratan. "Umat Muslim bersama dengan suku Han telah membantu Cina pada masa-masa senang dan susah," papar Prof Li. Umat Islam, papar Li, juga telah turut berjasa mewujudkan perdamaian di wilayah perbatasan.
 
Prof Li juga menilai, umat Islam di Cina pada abad ke-17 M juga sangat berjasa memperbaiki perekonomian dan mengembangkan pengetahuan keagamaan. Pada era itu, buku-buku Islam tentang linguistik, filsafat, fikih, akhlak, sejarah, dan pemikiran serta tradisi Cina dalam bahasa klasik Han begitu banyak diterbitkan.
 
"Penulis seperti Ma Chu (1640 M-1711 M), Leo Tse (1660 M-1730 M), dan Chang Chung (1584 M-1670 M) dengan produktif menghasilkan karya-karyanya, tak hanya menerjemahkan dari bahasa Arab dan Persia," ungkap Prof Li. Buku-buku Islami itu lalu disinkronisasi dengan sistem pengajaran dan filosofi Confucius. Para sarjana Muslim seperti Wang Dai Yu dan Liu Tsi di era kekuasaan Dinasti Ming dan Chen, telah memberi pengaruh pada pemikiran filasafat Cina. N heri ruslan
 
 
Pengaruh Islam dalam Wushu dan Kungfu 
Siapa yang tak kenal Wushu dan Kungfu? Ya, olahraga bela diri asal Cina itu begitu mengagumkan. Gerakan-gerakannya sungguh indah sekaligus mematikan. Di balik nama besar dan popularitasnya, ternyata peradaban Islam di Cina banyak memberi sumbangan dan pengaruh yang sangat penting bagi kedua olahraga bela diri itu.
 
Wushu berasal dari kata Wu berarti ilmu perang dan Shu bermakna seni. Sumbangan peradaban Islam dalam Wushu mulai terjadi di era kekuasaan Dinasti Yuan. Ketika itu, umat Islam memiliki pengaruh yang besar dalam pemerintahan. Pengaruh itu kian menguat ketika Dinasti Ming didirikan Kaisar Zhu Yuanzhang, seorang jenderal yang beragama Islam.
 
Dinasti Ming memiliki enam orang komandan perang Muslim yang gagah. Mereka adalah Chang Yuchun, Hu Dahai, Mu Ying, Lan Yu, Feng Sheng, dan Ding Dexing. Semua komandan perang dari Dinasti Ming itu adalah para master Wushu. Mereka banyak memberi pengaruh dalam jurus-jurus Wushu.
 
Ketika kekuasaan beralih ke Dinasti Qing, para master Wushu yang beragama Islam banyak menemukan dan mengembangkan jurus-jurus dalam Wushu, seperti bajiquan, piguazhang, dan liuhequan. Pusat Wushu Muslim di Cina berada di Kabupaten Cangzhou, Provinsi Hebei. Dari kota itu telah lahir master Wushu Muslim yang sangat termasyhur bernama Wang Zi Ping atau Wu Zhong (1881 M-1973 M).
 
Selain memberi pengaruh yang besar dalam olahraga Wushu, peneliti Cina bernama Mohammed Khamouch dalam tulisannya berjudul, The Legacy of Muslim Kung Fu Masters, memaparkan warisan Islam dalam seni bela diri yang dikuasai aktor Jet Lee itu. Menurut Khamouch, para master kungfu Muslim telah menanamkan sebuah filosofi penting dalam seni bela diri asal Cina itu.
 
Filosofi itu berasal dari sebuah hadis Rasulullah SAW. Empat belas abad lampau Nabi Muhammad pernah bersabda, "Manusia yang kuat bukanlah orang yang membanting orang lain dalam sebuah perkelahian. Manusia yang kuat adalah orang yang dapat mengendalikan dirinya ketika marah." Hikmah yang dimasukan para kungfu master Muslim itu melahirkan apa yang disebut sebagai "Chi" (energi dalam).
 
Dengan menguasai Chi, seorang ahli kungfu mampu menjinakkan nafsu dan sifat kebinatangan yang ada dalam dirinya. Selain itu, dengan memiliki Chi, seseorang akan dengan lebih mudah menguasai seni bela diri kungfu. "Para master kungfu Muslim telah berhasil mengharmonisasi bentuk internal maupun eksternal dalam seni bela diri itu," papar Khamouch. 

Salah satu seni bela diri warisan peradaban Islam di Cina yang dikenal di Tanah Air adalah Thifan Po Khan. Seni bela diri ini sejenis kungfu yang dikombinasi dengan bela diri lainnya. Ciri Islamnya, bela diri yang satu ini sudah dibersihkan dari unsur-unsur kesyirikan dan kejahiliyahan. Konon, seni bela diri yang dikembangkan umat Islam di Cina itu mulai berkembang pada abad ke-7 M.
 
Secara bahasa, Thifan Po Khan berarti pukulan tangan bangsawan. Disebut demikian karena gerakan-gerakan dalam thifan relatif halus dibandingkan bela diri serumpunnya, seperti Syufu Taesyu Khan. Sehingga, bela diri yang halus ini dianggap cocok untuk para bangsawan. Di negeri asalnya, Thifan merupakan olahraga bela diri kalangan pesantren-pesantren yang lazim disebut lanah. Seni bela diri ini masuk ke Nusantara pada abad ke-17 M. Thifan sempat menjadi bela diri resmi kerajaan di Aceh, saat Sultan Iskandar Muda berkuasa.  

Peradaban Islam Perintis Geologi Modern

Menelusuri sumbangan peradaban Islam di era keemasan terhadap ilmu pengetahuan seakan tak pernah ada habisnya. Di zaman kejayaannya, para ilmuwan Muslim ternyata telah berjasa mengembangkan geologi modern: sebuah cabang ilmu alam yang mempelajari bumi, komposisinya, struktur, sifat-sifat fisik, sejarah, dan proses asal mula terbentuknya bumi serta sejarah perkembangannya.
Geologi mendapat perhatian penting dari para ilmuwan Muslim di zaman kekhalifahan. Sebab, studi tentang bumi itu memiliki kegunaan dan manfaat yang sangat tinggi. Geologi mampu membantu peradaban manusia dalam menemukan dan mengatur sumber daya alam yang ada di bumi, seperti minyak bumi, batu bara, dan juga metal, seperti besi, tembaga, emas, dan uranium.
Selain itu, studi yang dikembangkan para saintis Islam itu juga sangat membantu dalam menemukan zat mineral lainnya yang memiliki nilai ekonomi, seperti asbestos, perlit, mika, fosfat, zeolit, tanah liat, pumis, kuarsa, dan silika serta elemen lainnya, termasuk belerang, klorin, dan helium. Sejak era kekhalifahan, umat Islam telah mampu menemukan ladang minyak, besi, emas, dan lainnya.
Ilmuwan Barat, Fielding H Garisson, menyatakan bahwa studi geologi modern dimulai pada era kekhalifahan. Dalam bukunya yang berjudul History of Medicine, Garisson mengatakan, "Umat Islam di abad pertengahan tak hanya mengawali berkembangnya aljabar, kimia, dan geologi, tapi juga telah meningkatkan dan memuliakan peradaban."
Abdus Salam (1984) dalam Islam and Science menyatakan bahwa Abu Al Raihan Al Biruni (973-1048 M) merupakan geolog Muslim perintis yang berjasa mendirikan studi geologi modern. Secara mendalam, ilmuwan Muslim abad ke-11 M itu menulis geologi India. Al Biruni melontarkan sebuah hipotesis bahwa anak benua India awalnya adalah sebuah lautan.
''Jika Anda melihat tanah India dengan mata sendiri dan mengamati alamnya, sebenarnya daratan India awalnya adalah laut,'' papar Al Biruni dalam Book of Coordinates. Ia juga menuturkan, keberadaan kerang dan fosil di wilayah negeri Hindustan menunjukkan kawasan itu adalah lautan yang kemudian meningkat menjadi daratan kering.
Berdasarkan penemuannya itu, Al Biruni menyatakan bahwa bumi secara konstan mengembang. Temuannya itu memperkuat pandangan Islam yang menyatakan bahwa bumi tak kekal. Teori bumi tak kekal yang dilontarkan Al Biruni itu berlawanan dengan keyakinan ilmuwan Yunani Kuno yang berpendapat bahwa bumi itu kekal.
Al Biruni pun lalu menyatakan bahwa bumi juga memiliki usia. Pendapat sang ilmuwan Muslim di era kekhalifahan itu terbukti. Para geolog modern akhirnya membuktikan pendapat itu dengan menyatakan bahwa usia bumi yang diperkirakan sekitar 4,5 miliar (4,5x109) tahun.
Ilmuwan Muslim legendaris, Ibnu Sina (981-1037 M), juga turut memberi kontribusi yang amat penting bagi studi geologi. Avicenna--begitu masyarakat Barat biasa menyebutnya--menamakan geologi sebagai Attabieyat. Dalam bab lima ensiklopedia berjudul Kitab al Shifa, Ibnu Sina menjelaskan mineralogi dan meteorologi.
Selain itu, bab keenam Kitab Al-Shifa juga mengupas berbagai hal tentang bumi dan proses pembentukannya. Secara perinci dan lugas, Ibnu Sina membahas pembentukan gunung, manfaat gunung dalam pembentukan awan, sumber-sumber air, asal muasal gempa bumi, pembentukan mineral-mineral, serta keanekaragamaan lahan tanah di bumi.
Pemikiran Ibnu Sina tentang geologi ternyata sangat berpengaruh terhadap peradaban Barat. Berkat jasa Avicenna-lah masyarakat Barat kemudian mengenal hukum superposisi, konsep katastropisme (bencana besar), serta doktrin uniformitarianism. Buah pikir Ibnu Sina juga banyak memengaruhi ilmuwan Barat bernama James Hutton dalam mencetuskan Teori Bumi pada abad ke-18 M.
Secara terang-terangan, dua akademisi Barat bernama Toulmin dan Goodfield (1965) menjelaskan sumbangsih yang diberikan Ibnu Sina bagi studi geologi modern. "Sekitar abad ke-10 M, Avicenna telah melontarkan hipotesis tentang asal muasal bentangan gunung. Padahal, 800 tahun kemudian, pemikiran seperti itu masih dianggap radikal di dunia Kristen,'' papar Toulim dan Goodfield.
Tak cuma itu, metodologi ilmiah serta observasi lapangan yang dikembangkan Ibnu Sina hingga kini masih tetap menjadi bagian yang penting dalam investigasi geologi modern. Studi geologi juga sebenarnya secara lusa tercantum dalam Alquran. Dalam surat Alhijr ayat 19, Allah SWT berfirman, "Dan, Kami telah menghamparkan bumi dan menjadikan padanya gunung-gunung dan Kami tumbuhkan padanya segala sesuatu menurut ukuran."
Dalam surat Annahl ayat 15, Sang Khalik juga berfirman, "Dan, Dia menancapkan gunung-gunung di bumi supaya bumi itu tidak goncang bersama kamu. (Dan, Dia menciptakan) sungai-sungai dan jalan-jalan agar kamu mendapat petunjuk." Ayat-ayat inilah yang kemungkinan memberi inspirasi bagi para ilmuwan Muslim untuk mengkaji studi geologi.
Sumbangan lainnya yang didedikasikan ilmuwan Muslim untuk studi geologi adalah penemuan kristalisasi dalam proses pemurnian. Terobosan penting yang dilakukan Jabir Ibnu Hayyan--saintis pada abad ke-8 M--itu sangat penting dalam kristalogi. Bapak Sejarah Sains, George Sarton, menegaskan bahwa Jabir Ibnu Hayyan juga turut berkontribusi dalam geologi.
"Kami menemukan dalam tulisannya (Jabir) pandangan tentang metode penelitian kimia, sebuah teori pembentukan logam pada lapisan tanah, " papar Sarton. Dalam risalah yang ditulisnya, papar Sarton, Jabir Ibnu Hayyan menyatakan bahwa pada dasarnya terdapat enam logam yang berbeda, akibat adanya perbedaan perbandingan sulfur dan merkuri pada keenam jenis logam itu.
Bila kita simak secara teliti, studi geologi mendapat perhatian dalam Alquran. Selain banyak memaparkan gunung, ayat suci Alquran juga membahas tanah. Dalam surat Al A'raaf ayat 58, Allah SWT berfirman, "Dan, tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan seizin Allah. Dan, tanah yang tidak subur, tanaman-tanamannya hanya tumbuh merana. Demikianlah Kami mengulangi tanda-tanda kebesaran (Kami) bagi orang-orang yang bersyukur."
Dalam ayat lainnya, Alquran juga menjelaskan adanya kandungan penting dalam tanah. "Kepunyaan-Nya-lah semua yang ada di langit, semua yang di bumi, semua yang ada di antara keduanya dan semua yang ada di bawah tanah." (QS Thaahaa: ayat 6). Allah SWT juga berfirman dalam surat Alkahfi ayat 41, "Atau, airnya menjadi surut ke dalam tanah. Maka, sekali-kali kamu tidak dapat menemukannya lagi."Demikianlah bukti nyata bahwa Alquran sangat mendorong umat Islam untuk mengembangkan sains.  heri ruslan

Karya Para Ilmuwan Muslim untuk Geologi
Pada era keemasan, begitu banyak ilmuwan Muslim yang mengkaji studi geologi. Menurut Guru Besar Universitas Yordania, Prof Abdulkader M Abed, para saintis Islam itu mengkaji tema-tema khusus, seperti mineral, batu-batuan, serta permata. Sayangnya, kebanyakan risalah itu banyak yang hilang dan tak eksis lagi. Berikut ini adalah para ilmuwan yang risalah pentingnya masih tersisa.
Yahya bin Masawaih (wafat 857 M) menulis permata dan kekayaannya.Al Kindi (wafat 873 M) menulis tiga risalah. Salah satu karyanya yang terbaik berjudul Gems and The Likes.Al Hasan bin Ahmad Al Hamdani (334 H) menulis tiga buku mengenai metode eksplorasi emas, perak, permata, dan bahan mineral lainnya. Ikhwaan As Safa (pertengahan abad ke-4 H) menulis ensiklopedia yang berisi bagian-bagian minelar serta klasifikasinya.
Abu Ar Rayhan Mohammad bin Ahmad Al Biruni (wafat 1048 M) adalah ahli mineralogi terhebat sepanjang sejarah peradaban Islam. Selain menulis Book of Coordinates, dia juga menyusun buku berjudul Al Jamhir fi Ma'rifatil Al Jawahir yang mengupas cara mengenali permata. Buku itu dinilai sebagai kontribusi terbaik yang disumbangkan peradaban Islam bagi studi mineralogi.
Ahmad bin Yousef Al Tifashi menulis kitab Azhar Al Afkar fi Jawahir Al Ahjar yang berisi tentang cara mengenali batu-batu mulia. Mohammad bin Ibrahim Ibnu Al Akfani (wafat 1348 M) menulis buku berjudul Nukhab Al Thakhair fi Ahwaal Al Jawahir. Buku tersebut mengupas karakteristik batu-batu mulia. N hri

Mineralogi dalam Peradaban Islam
Para ilmuwan Muslim di abad ke-10 hingga 11 M banyak menaruh perhatian untuk meneliti dan menulis risalah tentang mineralogi. Studi mineralogi merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan dari geologi. Sebab, mineralogi merupakan cabang geologi yang berfokus pada sifat kimia, struktur kristal, dan fisika dari mineral.
Studi ini juga mencakup proses pembentukan dan perubahan mineral. Sekitar 10 abad yang lalu, para saintis Muslim sudah mampu mengidentifikasi beragam jenis mineral. Mereka mendedikasikan dirinya untuk mempelajari mineral. Al Biruni dikenal sebagai pakar mineralogi Muslim yang paling hebat dalam sejarah peradaban Islam.
Di zaman itu, para ilmuwan Islam sudah mampu menjelaskan komposisi kimia dan struktur kristal. Batu permata dan batu mulia dinilai para ilmuwan Muslim sebagai jenis mineral yang khusus. Intan, batu nilam, jamrud, serta yang lainnya digolongkan ke dalam mineral. Sejak zaman dahulu, batu-batu mulia itu menjadi lambang kemewahan raja-raja dan para wanita.
Sumbangan peradaban Islam dalam bidang mineralogi tak lepas dari keberhasilan umat Islam menguasai wilayah-wilayah penting, seperti Mesir, Mesopotamia, India, dan Romawi. Peradaban wilayah itu sebelumnya juga telah mengenal beragam jenis mineral, batu mulia, dan permata. Karya-karya terdahulu itu lalu dikembangkan dan diteliti lebih lanjut oleh para ilmuwan Muslim. 

Leo Africans

Ilmuwan Fenomenal Dua Peradaban


”The Renaissance Man.’‘ Julukan itu ditabalkan masyarakat Eropa di abad ke-16 M kepada sejarawan dan penjelajah Muslim terkemuka Al Hassan ibnu Muhammad Al-Wazzan Al-Fassi atau Leo Africanus. Catatan perjalanannya tentang Afrika yang detail dan mengagumkan telah turut `membangunkan’ peradaban Barat yang tertidur lelap dalam era kegelapan.
Perlawanannya terhadap tindakan sewenang- wenang Paus Hadrianus VIpengganti Paus Leo X  membuat Al-Wazzan dianggap sebagai salah seorang `lokomotif’ Renaisans di Eropa. Saat era pencerahan itu bergulir, Al- Wazzan berada di Italia. Ia tercatat sebagai seorang intelektual terkemuka yang tinggal di Negeri Spaghetti itu.
Al-Wazzan adalah sosok ilmuwan yang unik dan legendaris. Dua peradaban yakni Islam dan Barat (Kristen)mengklaim sang intelektual sebagai milik mereka. Tak heran, jika Sejarawan Tom Verde menyebut Al-Wazzan sebagai ‘Manusia Dua Dunia’. Saat berada di Afrika Utara, dia mengabdikan dirinya untuk Sultan di Maroko.
Namun di Barat, dia bekerja untuk kepentingan pemimpin tertinggi umat Katolik, Paus. Al-Wazzan pun dinilai mampu menjembatani peradaban yang berseberangan lewat kamus tiga bahasa yang ditulisnya Arab- Latin-Yahudi. ‘’Kebudayaan dan identitas nasionalnya sangat sulit untuk ditentukan. Sebab, mereka begitu melekat erat,’‘ papar Sejarawan Lotfi Bouchentouf dari Universitas Hasan II di Ain Chok, dekat Casablanca.
Menurut Bouchentouf, Al-Wazzan adalah seorang Muslim yang hidup sebagai seorang Kristen dan menulis dunia Islam untuk masyarakat Kristen. Laiknya intelektual Muslim kenamaan lainnya, Ibnu Battuta, Ibnu Khaldun dan Ibnu Jubair — Al-Wazzan alias Leo juga adalah ilmuwan serbabisa.
Ia tak hanya dikenal sebagai seorang sejarawan dan penjelajah kenamaan, namun juga seorang diplomat, ahli hukum, geographer, guru, pengelola rumah sakit, dan tokoh internasional. Peradaban Islam juga mencatatnya sebagai seorang ahli pembuat peta alias kartografer dan seorang navigator.
Al-Wazzan terlahir di kota Granada, Spanyol Muslim pada tahun 1493 atau 1494. Menu rut Prof Mohammad Hajjipenyusun ensiklopedia Maroko, nama depan Al-Wazzan adalah Hassan. Ayahnya bernama Muhammad. “Ia pastinya dari sebuah keluarga yang memiliki posisi tinggi di Istana Sultan di Granada,” papar Prof Hajji.
Leo beserta keluarganya hijrah ke kota Fez Maroko ketika umat Islam terusir dari Spanyol pa da abad ke-15 M. Saat itu, umat Islam di Spanyol Muslim dibantai oleh penguasa Kris ten. Prof Hajji menuturkan, sang ayah dan pa man Al-Wazzan bekerja untuk Sultan Fes. Al-Wazzan sempat menimba ilmu di Universitas Al- Qarawiyyinperguruan tinggi tertua di dunia.
‘’Sebagai seorang mahasiswa Al- Qarawiyyin, Leo mempelajari tata bahasa, retorika, sastra, astronomi dan ilmu-ilmu lanilla,’‘ ungkap John Pory, penerjemah bukubuku karya Leo Africanus. Al-Wazzan merupakan mahasiswa yang cerdas. Di usia 14 tahun, dia sudah memegang gelar qadi atau hakim. Dua tahun kemudian, dia sudah menjadi seorang diplomat ulung.
Di usianya 16 tahun, Al-Wazzan atau yang dikenal di Fez dengan panggilan Al-Fasii itu kerap menemani pamannya menjalankan tugas-tugas diplomatik mewakili Sultan Wattasid untuk kawasan MaghribiAfrika Utara. Ia juga sempat singgah ke Timbuktu dan Gaodua kota Muslim terkemuka yang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Songhai.
Ia pun mengisahkan perjalanannya ke Timbuktu itu dalam buku catatannya. Ia begitu mengagumi kemajuan yang dicapai Timbuktu yang telah menjelma menjadi kota ilmu pengetahuan dan perdagangan yang sangat maju. Al-Wazzan juga begitu terkagum- kagum dengan gunung-gunung nan Indah yang ada ditemuinya di Timbuktu.
Kemampuan diplomasinya yang hebat menarik perhatian Sultan Muhammad. Tak heran, jika ia menjadi salah satu duta besar kepercayaan Sultan. Karena itu, Al-Wazzan kerap mendapat tugas diplomatik ke Timbuktu. Ia pun sempat melakukan perjalanan dari Timbuktu (Mali) menuju Hausaland (Nigeria) melewati Mesir.
Semua perjalanan yang dilaluinya itu ditu liskannya dalam buku catatan. Ia juga meng gambarkan jalur perjalanannya itu dalam peta pada abad ke-15 M untuk Charles Vmeng gam barkan jalur perdagangan di sub-Sahara Afrika. Karirnya yang cemerlang sebagai se orang di plo mat membawanya hingga ke Istan bulibu kota pemerintahan Kekhalifahan Us mani Turki. Ia sempat bertemu dengan Sultan Sulaimanpenguasa Eropa yang sangat disegani.
Pada tahun 1518, dalam perjalanan pulang dari Istanbul rombongannya ditangkap oleh para bajak laut yang bekerja untuk Ksatria Saint Jhon. Biasanya mereka yang ditangkap para bajak laut itu dijual ke para pedagang budak di Pisa dan Genoa. Namun, Al-Wazzan yang terpelajar dengan peta dan catatan perjalanan yang ditulisnya diserahkan Ksatria Saint Jhon kepada Paus Leo X.
Ia lalu tiba di Roma sebagai tahanan yang istimewa. Al-Wazzan diperlakukan secara khusus, karena dianggap memiliki kemampuan dan pengatahuan yang luas. Apalagi, Al- Wazzan dianggap mengetahui kekuatan Sultan Sulaiman. Saat itu, Amat Kristen dan Islam tengah terlibat pertempuran dalam Perang Salib. Dalam waktu yang tak terlalu lama, dia menjadi orang yang terkenal di Roma.
Pada 6 Januari 1520 M, Al-Wazzan sempat dibaptis oleh Paus Leo X dan diberi nama ‘Johannes Leo de Medicis’, atau ‘Giovanni Leone’. Saat itu dia berusia 24 tahun. Namun, dia lebih suka dengan nama barunya Yuhana Al-Asad. Sejatinya, dia tak pernah menggunakan nama Leo Africanus. Nama bekennya di dunia Barat itu dipopulerkan oleh penerbit dari Venesia, Giovanni Battista Ramusio.
Setelah menjadi ilmuwan kepercayaan Paus, Leo memilih untuk kembali ke Afrika Utara. Baru pada tahun 1527 dia kembali ke Roma. Saat itu kepemimpinan tertinggi Katolik sudah dijabat Paus Clement VII. Situasi politik Romapusat Katolik  ketika itu juga tak menentu. Posisi Kekhalifahan Usmani Turki yang semakin kuat membuat Paus kebingungan.
Selain itu di Jerman juga muncul gerakan Reformasi Protestan dan Raja Henry VIIIpenguasa Inggrismemutuskan hubungan diplomatik dengan Roma. Ketika Roma diserang pada Mei 1527 oleh Raja Charles V, Leo melarikan diri ke kota Tunis, Tunisia. Namun, umat Katolik meyakini Leo meninggal di kota Roma pada tahun itu.
Namun, orientalis asal Jerman bernama Johann Albrecht von Widmanstetter (1506 M1557 M) pada 1531 M mengaku bertemu dengan ilmuwan Muslim terkemuka yang dikenal dengan panggilan Leo. Al-Wazzan alias Leo diyakini tutup usia pada tahun 1550 M di Tunis. Ia meninggal dalam keyakinannya sebagai seorang Muslim.
   
Karya Fenomenal Sang Ilmuwan
Buah pikir Leo Africanus atau Al- Wazzan begitu popular di Afrika. Sejak 1550 M tak kurang dari 33 edisi buku sejarah yang ditulisnya telah dipublikasikan dalam delapan bahasa. ‘’Dalam waktu yang sangat cepat, bukunya telah menyebar di seluruh Eropa,’‘ papar Sejarawan Ahmed Boucharb.
Menjelang era Renaisans itu, begitu banyak orang Eropa yang ingin mengetahui apa yang dapat mereka pelajari tentang Afrika. Kemajuan pesat yang dialami kota-kota Muslim di Afrika paling tidak telah membuka kesadaran masyarakat Eropa yang berada dalam keterbelakangan.
Potret kemajuan Afrika yang ditulis Leo Africanus telah memantik kesadaran masyarakat Eropa untuk berubah. Inilah yang membuat orang Eropa menyebutnya sebagai ‘The Renaissance Man’. Diplomat Swedia yang ditempatkan di Tangier, Maroko pada tahun 1834 M, mengakui karya Leo dalam Cosmographia Del Africa masih akurat.
Buku itu merupakan karya terbesar Al- Wazzan. Buku ini pertama kali diterbitkan di Italia pada tahun 1550 M. Buku itu diterbitkan dalam bahasa Italia berjudul Della Descrittione Dell’Africa et Delle Cose Notabli che Ivi Sono. Buku itu kemudian diedit ulang pada tahun 1554, 1563, 1588, 1606 dan 1613 M. Pada edisi 1588 penerbit mengklaim Leo meninggal di Roma, Italia.
Selain itu, buku fenomenal Al-wazan juga diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis pada 1556 M oleh Jean Temporal dengan judul Historiale Description de l’Afrique Tierce Partie du Monde. Buku itu juga diterbitkan pada 1896 dalam bahasa Francis dengan judul Description de l’Afrique. Buku itu juga pada tahun 1559 dan 1632 diterjemahkan dalam bahasa Latin berjudul De totius Africae descriptione libri IX. Dalam bahasa Jerman, buku karya Leo tampil dengan judul Beschreibung von Africa diterbitkan oleh Lorbach pada tahun 1805 M.
 
Budak Paus yang Muslim
Benarkah Al-Hassan ibnu Muhammad Al-Wazzan Al-Fassi atau Leo Africanus sempat berpindah keyakinan menjadi seorang Katholik? Kepindahan keyakinan Al-Wazzan hingga kini masih mengundang beragam spekulasi. Adalah sebuah fakta sejarah bahwa Al-Wazzan sempat dibaptis oleh Paus Leo X pada tahun 1520 M.
‘’Pembaptisan itu tak mengubah keyakinan Al-Wazzan. Dia tetap seorang Muslim sejati,’‘ cetus Prof Mohammad Hajji, seorang guru besar yang menyusun Ensikopedia Maroko. Keputusan Al-Wazzan untuk menjalani baptis, semata-mata hanyalah strategi agar lepas dari penjara Paus. Selain itu, Al- Wazzan juga bersiasat untuk bebas dari kewajiban membayar pajak.
‘’Pada saat itu, hal seperti ini biasa ter jadi,’‘ papar Sejarawan Ahmed Boucharb, mantan dekan Sekolah Seni dan Sains Uni versitas Muhammad. ‘’Orang Islam dan Ya hu di pindah menjadi Kristen; orang Kristen menjadi Muslim,’‘ ujar Baouchard. Ia mencontohkan, Kekhalifahan Usmani Turki diper kuat prajurit yang sebenarnya beragama Kristen.
Begitu pula tentara Maroko yang memiliki ribuan prajurit yang pindah agama menjadi Islam. Al-Wazzan mengibaratkan diri sebagai burung pada satu kesempatan dan mengibaratkan dirinya sebagai ikan pada kesempatan yang lain. Ketika pungutan pajak membebaninya, ia terbang sebagai burung bagi sang Paus.
Ketika beribadah dan menyakini tauhid yang sebenarnya yakni Islam, Al-Wazzan segera berubah menjadi ikan yang menyelam di dasar air. Apa yang dilakukan Al-Wazan sebagai sebuah startegi menyembunyikan keyakinan untuk menyelamatkan diri yang dikernal sebagai taqiyya.Ia mengelabui Paus dengan baptis palsunya agar dia bisa menyelesaikan karya besarnya berjudul Cosmographia pada Maret 1526 M.
Dia menulis banyak buku saat mengajar bahasa Arab di Universitas Bolognauniversitas pertama yang dimiliki peradaban Barat. Ketika Paus Leo X meninggal pada 1524 M, Al-Wazzan segera bergegas ke Afrika Utara untuk menghindar dari Hadrian IVsahabat Paus. Ketika berada di Italia, dia menulis beberapa beberapa risalah seperti sejarah Islam dan keyakinannya tentang Islam. Namun, risalah itu hilang dan tak ditemukan lagi.

Al-Mas'udi

Sejarawan Muslim Termasyhur di Abad X


"Herodotus dari Arab." Begitulah para orientalis Barat menjuluki Abu Al-Husain Ali Ibnu Al-Husain Al-Mas'udi sejarawan dan penjelajah Muslim tersohor pada abad X. Sejarah mencatat prestasi dan dedikasinya bagi pengembangan ilmu sejarah modern dengan tinta emas.
Al-Mas'udi merupakan sejarawan Muslim pertama yang 'mengawinkan' sejarah dan geografi ilmiah lewat sebuah adikarya berjudul Muruj Adh-Dhahab Wa Ma'adin Al-Jawahir (Padang Rumput Emas dan Tambang Permata). Karya besarnya itu merupakan bagian dari sejarah dunia.
Ahmed MH Shboul dalam tulisannya yang berjudul  Al-Mas'udi and His World: A Muslim Humanist and His Interest in Non-Muslims menuturkan, bukan tanpa alasan sejarawan Muslim itu kerap disejajarkan dengan Herodotus--ahli sejarah Yunani yang hidup pada abad ke-5 SM.
Herodotus dikenal sebagai 'Bapak Sejarah' karena telah menulis suatu kumpulan cerita mengenai berbagai tempat dan orang yang ia kumpulkan sepanjang perjalanannya. Itu pula yang dilakukan Al-Mas'udi pada abad 10 M. Ia menulis catatan perjalanannya ke berbagai tempat.
Al-Mas'udi tak hanya mampu menggabungkan geografi ilmiah dengan sejarah. Ia juga menulis peristiwa-peristiwa sejarah yang disaksikannya dengan kritis. Dialah sejarawan pertama yang mengawali perubahan dalam seni menulis sejarah. Al-Mas'udi pun tercatat sebagai sejarawan yang memperkenalkan elemen-elemen analisis, refleksi, dan kritik dalam penulisan sejarah.
Sistem penulisan sejarah yang digagasnya kemudian disempurnakan oleh sejarawan dan ilmuwan Muslim legendaris dari abad ke-14 M yang bernama Ibnu Khaldun. Kontribusi Al-Mas'udi yang begitu besar bagi studi sejarah juga dituangkan dalam kitab bertajuk  Al-Tanbeeh . Dalam kitab itu, Al-Mas'udi membuat sebuah studi sejarah sistematis yang berlawanan dengan perspektif geografi, sosiologi, antropologi, dan ekologi.
Kedalaman dan keluasan ilmunya tak perlu diragukan. Pada masanya, Al-Mas'udi mampu menganalisis secara tajam dan mendalam tentang penyebab jatuh bangunnya negara-negara. Dengan pendekatan analitis dan ilmiahnya, dia mampu menyampaikan sebuah laporan mengenai penyebab gempa bumi yang terjadi pada tahun 955 M.
Al-Mas'udi pun mampu membahas Laut Merah serta masalah-masalah lainnya dalam ilmu bumi. Dia juga tercatat sebagai penulis pertama yang mengungkapkan adanya kincir angin ditemukan oleh Muslim Sijistan. Selain menguasai sejarah dan geografi, Al-Mas'udi pun menguasai beragam bidang ilmu lainnya.
Ia juga telah mendedikasikan dirinya bagi pengembangan musik dan bidang ilmu lainnya. Lewat bukunya yang bertajuk  Muruj al-Thahab , Al-Mas'udi mengungkapkan informasi penting mengenai asal mula musik Arab dan musik-musik di negara lain. Karya lain yang ditulis Al-Mas'udi adalah risalah berjudul  Muruj al-Zaman .
Selain itu, Al-Mas'udi juga sempat menyelesaikan penulisan  Kitab Al-Ausat . Di akhir kariernya, sang sejarawan legendaris mampu merampungkan penulisan  Kitab al-Tanbih wa al-Ishraf . Semasa hidupnya, Al-Mas'udi mampu menulis tak kurang dari 34 judul kitab. Hal itu diungkapkannya dalam kitab berjudul  Al-Tanbih .
Sayangnya, dari 34 judul buku yang berhasil ditulisnya pada abad ke-10 M, hanya tiga buku yang masih eksis hingga kini. "Dengan hilangnya sebagian besar buku yang ditulisnya sehingga ada yang meragukan kemampuannya melakukan penjelajahan hingga ke Cina dan Madagaskar," papar Ahmed MH Shboul.
Terlepas dari itu, masyarakat dunia patut berterima kasih kepada Al-Mas'udi yang telah berjasa dan memberi kontribusi penting bagi geografi, sejarah, dan ilmu bumi. Al-Mas'udi juga tercatat sebagai saintis awal yang mencetuskan beberapa aspek dalam evolusi. Ia sempat mencetuskan tesis mengenai evolusi kehidupan dari mineral menjadi tanaman, tanaman menjadi binatang, dan binatang ke manusia.
Lalu, bagaimana kisah hidup Al-Mas'udi? Sangat sedikit catatan tentang kisah hidupnya di masa kecil. Yang jelas, dalam buku yang ditulisnya, ia menyatakan terlahir di Kota Baghdad pada 896 M. Dia adalah keturunan dari Abdullah Ibnu Mas'ud, seorang sahabat Nabi Muhammad SAW.
Ketika menginjak usia 30 tahun, Al-Mas'udi mulai melakukan perjalanan dan penjelajahan. Perjalanan pertama dilakukannya ke Fars pada 915 M. Setelah menetap selama satu tahun di Istikhar, dia melakukan perjalanan ke India melalui Baghdad. Ia juga sempat mengunjungi Multan dan Mansoora sebelum kembali ke Fars.
Dikisahkan pula, Al-Mas'udi sempat mengunjungi Kirman dan kembali lagi ke India. Pada masa itu, Mansoora digambarkan Al-Mas'udi sebagai kota besar terkemuka yang menjadi ibu kota negara Muslim bernama Sind. Pada 918 M, Al-Mas'udi juga sempat singgah di Gujarat. Dalam catatan perjalanannya, ia menceritakan bahwa sekitar 10 ribu Muslim dari Arab telah tinggal di Pelabuhan Laut Chamoor.
Kota lainnya yang sempat dikunjung Al-Mas'udi adalah Deccan, Srilanka, Indo-Cina, Cina, dan kembali ke Basrah melalui Madagaskar, Zanjibar, serta Oman. Sesampainya di Basrah, Irak, dia berhasil merampungkan penulisan kitab  Muruj al-Thahab . Buku itu berisi pengalamannya selama tinggal di berbagai negara dengan orang-orang dan iklim yang juga berbeda-beda.
Al-Mas'udi juga melaporkan keseharian hidupnya yang mengharuskannya berinteraksi dengan orang Yahudi, Iran, India, dan Kristen. Setelah menetap di Basrah, ia hijrah ke Suriah, lalu ke Kairo, Mesir. Di Negeri Piramida itu, Al-Mas'udi menulis buku keduanya yang berjudul  Muruj al-Zaman sebanyak 30 volume.
Dalam buku itu, ia menjelaskan secara perinci geografi dan sejarah negeri-negeri yang pernah dikunjunginya. Paul Lunde dan Caroline Stone dalam pengantar buku terjemahan karya Al-Mas'udi bertajuk  Mas'udi, The Meadows of Gold, The Abbasids menyatakan, Al-Mas'udi banyak menerima informasi tentang Cina dari Abu Zaid Al-Sirafi. Informasi itu diperolehnya ketika mereka bertemu di Teluk Persia.
"Di Suriah, Al-Mas'udi juga bertemu dengan Leo Tripoli. Leo adalah panglima Bizantium yang masuk Islam," papar Lunde dan Stone. Dari Leo, papar Lunde dan Stone, Al-Mas'udi banyak menyerap informasi tentang Bizantium. Sungguh sayang, sebagian besar karya besar Al-Mas'udi telah hilang.
Meski begitu, pengaruhnya hingga kini tak pernah mati. Penelitian dan pandangan-pandangannya mampu memberi pengaruh secara luas dalam ilmu penulisan sejarah ( historiografi ), geografi, dan ilmu bumi di beberapa negara. Meski jasadnya telah terkubur 11 abad silam Al-Mas'udi wafat pada September 956 M di Kairo--lewat karya-karyanya yang legendaris, nama besar Al-Mas'udi tak hilang ditelan zaman. N heri ruslan
Aktivitas Intelektual di Era Al-Mas'udi
"Al-Mas'udi hidup di saat buku melimpah ruah dan harganya relatif murah," tutur Paul Lunde dan Caroline Stone dalam buku  Mas'udi, The Meadows of Gold, The Abbasids . Sang sejarawan memang hidup di era keemasan Dinasti Abbasiyah. Kala itu, aktivitas intelektual tengah menggeliat di kota-kota Islam.
Lunde dan Stone menuturkan, di era kehidupan Al-Mas'udi di Baghdad dan kota-kota besar lainnya, bermunculan perpustakaan umum. Selain itu, ulama, ilmuwan, dan penguasa juga memiliki perpustakaan pribadi. "Sebagai contoh, temannya Al-Mas'udi bernama Al-Suli memiliki perpustakaan pribadi dengan koleksi buku mencapai ribuan volume," imbuh Lunde dan Stone.
Melimpahnya buku dengan harga yang murah meriah di era kejayaan Abbasiyah, tak lepas dari penguasaan teknologi pengolahan kertas. Dalam pertempuran Talas tahun 751 M, umat Islam berhasil melakukan transfer teknologi pengolahan kertas dari peradaban Cina. Di puncak kejayaan Kekhalifahan Abbasiyah, industri kertas dan buku berkembang pesat seiring dengan geliat intelektualitas.
Sebagai seorang penulis yang produktif, Al-Mas'udi pun kerap mendorong para pembacanya untuk mendiskusikan buku-buku yang telah ditulisnya. Hal itu menunjukkan betapa dunia Islam di era kejayaan mengalami geliat keilmuan yang sangat pesat. Menurut Lunde dan Stone, dunia Islam pada masa itu sungguh sangat terpelajar.
Menurut Ahmad Shboul, sebelum menjadi seorang ilmuwan yang terkemuka, Al-Mas'udi adalah seorang murid dari sejumlah tokoh intelektual Irak kenamaan. Ia sempat berguru pada filologis, seperti Al-Zajjaj, Ibnu Duraid, Niftawaih, dan Ibnu Anbari. Selain itu, dia juga sempat menimba ilmu pada Kashajim yang ditemuinya di Aleppo.
Selama masih menjadi seorang murid, Al-Mas'udi sangat menyukai filsafat. Buku-buku filsafat karya filosof terkemuka, seperti Al-Razi, Al-Kindi, Aristoteles, Al-Farbi, dan Plato dilahapnya setiap hari. Ia pun mencatat dalam bukunya tentang pertemuannya dengan Yahya Ibnu Adi, seorang murid sang legenda: Al-Farabi.
Karya-karya ilmuwan Yunani juga dipelajarinya. Al-Mas'udi sangat akrab dengan karya-karya kedokteran yang ditulis Galen. Ia juga suka sekali membaca karya Ptolemous tentang astronomi serta buah pikir Marinus tentang geografi. Al-Mas'udi pun tak lupa mempelajari hasil karya para astronom dan geografer Muslim terkemuka.
Sang sejarawan juga sempat mempelajari ilmu hukum. Salah satu kebiasaannya adalah kerap menemui para ahli hukum berpengaruh dan tak lupa mempelajari hasil karyanya. Al-Subkhi menyatakan, Al-Mas'udi merupakan salah seorang murid Ibnu Suraij ulama terkemuka dari Sekolah Shafi'ie. Setiap mengunjungi sebuah negara, ia selalu menemui para ulama dan ilmuwan terkemuka di wilayah itu. hri


Pengaruh Sang Sejarawan
Kapasitas keilmuwan Al-Mas'udi tak hanya diakui di dunia Islam. Peradaban Barat pun mengakui karya dan dedikasi sang sejarawan dalam pengembangan studi sejarah. Salah satu bentuk pengakuan masyarakat Barat terhadap Al-Mas'udi adalah dengan diterjemahkannya kitab  Muruj Adh-Dhahab Wa Ma'adin Al-Jawahir ke dalam bahasa Prancis oleh Societa Asiatique sebanyak sembilan volume pada 1861 M hingga 1877 M.
Seabad kemudian, buah karya Al-Mas'udi direvisi Charles Pellat. Buku itu kemudian diterbitkan dalam lima volume oleh Universitas Libanon, Beirut. Selain itu, Pellat juga merevisi terjemahan buku itu dalam bahasa Prancis. Di tahun 1989, dua penulis bernama Paul Lunde dan Caroline Stone menerjemahkan  Muruj Adh-Dhahab Wa Ma'adin Al-Jawahir ke dalam bahasa Inggris.
Menurut Ahmad Shboul, penerjemahan buku Al-Mas'udi ke dalam bahasa Prancis telah memberi pengaruh bagi intelektual Eropa. Tak heran, jika Al-Mas'udi dikenal dan mendapat tempat terhormat dalam peradaban Barat. E Renan, misalnya, membandingkan Al-Mas'udi dengan penulis Yunani di abad ke-2 M, yakni Pausanius.
Ilmuwan Barat lainnya kerap membandingkan Al-Mas'udi dengan penulis dari Romawi bernama Pliny. Sebelum karya Al-Mas'udi diterjemahkan ke dalam bahasa yang digunakan di Eropa, para orientalis kerap membandingkan Al-Mas'udi dengan Herodotus, "Bapak Sejarah" dari Yunani. Menurut Shboul, perbandingan itu sungguh sangat menarik dan membuktikan Al-Mas'udi memiliki pengaruh yang besar terhadap peradaban Barat.

20 March 2009

Al-Zahrawi,

Bapak Ilmu Bedah Modern


Di era keemasannya, peradaban Islam memiliki seorang dokter bedah yang paling top. Kontri - businya sungguh sangat besar bagi pengembangan ilmu bedah. Selain melahirkan prosedur dan metode ilmu bedah modern, dia juga menciptakan beragam alat dan teknologi yang digunakan untuk bedah. Tak heran bila dunia pun mendapuknya sebagai ‘Bapak Ilmu Bedah Modern’.

Peletak dasar-dasar ilmu bedah modern itu bernama Al-Zahrawi (936 M -1013 M). Orang Barat mengenalnya sebagai Abulcasis. Al-Zahrawi adalah seorang dokter bedah yang amat fenomenal. Karya dan hasil pemikirannya banyak diadopsi para dokter di dunia Barat. ‘’Prinsipprinsip ilmu kedokteran yang diajarkan Al- Zahrawi menjadi kurikulum pendidikan kedokteran di Eropa,’‘ ujar Dr Campbell dalam History of Arab Medicine.

Ahli bedah yang termasyhur hingga ke abad 21 itu bernama lengkap Abu al-Qasim Khalaf ibn al-Abbas Al-Zahrawi. Ia terlahir pada tahun 936 M di kota Al-Zahra, sebuah kota berjarak 9,6 km dari Cordoba, Spanyol. Al-Zahrawi merupakan keturunan Arab Ansar yang menetap di Spanyol. Di kota Cordoba itulah dia menimba ilmu, mengajarkan ilmu kedokteran, mengobati masyarakat, serta mengembangkan ilmu bedah bahkan hingga tutup usia.

Kisah masa kecilnya tak banyak terungkap. Sebab, tanah kelahirannya Al- Zahra dijarah dan dihancurkan. Sosok dan kiprah Al-Zahrawi baru terungkap ke permukaan, setelah ilmuwan Andalusia Abu Muhammad bin Hazm (993 M - 1064 M) menempatkannya sebagai salah seorang dokter bedah terkemuka di Spanyol. Sejarah hidup alias biografinya baru muncul dalam Al-Humaydi’s Jadhwat al- Muqtabis yang baru rampung setelah enam dasawarsa kematiannya.

Al-Zahrawi mendedikasikan separuh abad masa hidupnya untuk praktik dan mengajarkan ilmu kedokteran. Sebagai seorang dokter termasyhur, Al-Zahrawi pun diangkat menjadi dokter Istana pada era Kekhalifahan Al-Hakam II di Andaluasia. Berbeda dengan ilmuwan Muslim kebanyakan, Al-Zahrawi tak terlalu banyak melakukan perjalanan. Ia lebih banyak mendedikasikan hidupnya untuk merawat korban kecelakaan serta korban perang.

Para dokter di zamannya mengakui bahwa Al-Zahrawi adalah seorang dokter yang jenius terutama di bidang bedah. Jasanya dalam mengembangkan ilmu kedokteran sungguh sangat besar. Al- Zahrawi meninggalkan sebuah ‘harta karun’ yang tak ternilai harganya bagi ilmu kedokteran yakni berupa Kitab Al-Tasrif li man ajaz an-il-taliI sebuah ensiklopedia kedokteran. Kitab yang dijadikan sekolah kedokteran di Eropa itu terdiri dari 30 volume.

Dalam kitab yang diwariskannya bagi peradaban dunia itu, Al-Zahrawi secara rinci dan lugas mengupas tentang ilmu bedah, orthopedi, opththalmologi, farmakologi, serta ilmu kedokteran secara umum. Ia juga mengupas tentang kosmetika. Al-Zahrawi pun ternyata begitu berjasa dalam bidang kosmetika. Sederet produk kosmetika seperti deodoran, hand lotion, pewarna rambut yang berkembang hingga kini merupakan hasil karya Al-Zahrawi.

Popularitas Al-Zahrawi sebagai dokter bedah yang andal menyebar hingga ke seantero Eropa. Tak heran, bila kemudian pasien dan anak muda yang ingin belajar ilmu kedokteran dari Abulcasis berdatangan dari berbagai penjuru Eropa. Menurut Will Durant, pada masa itu Cordoba menjadi tempat favorit bagi orang-orang Eropa yang ingin menjalani operasi bedah. Di puncak kejayaannya, Cordoba memiliki tak kurang 50 rumah sakit yang menawarkan pelayanan yang prima.

Sebagai seorang guru ilmu kedokteran, Al-Zahrawi begitu mencintai murid-muridnya. Dalam Al-Tasrif, dia mengungkapkan kepeduliannya terhadap kesejahteraan siswanya. Al-Zahrawi pun mengingatkan kepada para muridnya tentang pentingnya membangun hubungan yang baik dengan pasien. Menurut Al-Zahrawi, seorang dokter yang baik haruslah melayani pasiennya sebaik mungkin tanpa membedakan status sosialnya.

Dalam menjalankan praktik kedokterannya, Al-Zahrawi menankan pentingnya observasi tertutup dalam kasus-kasus individual. Hal itu dilakukan untuk tercapai - nya diagnosis yang akurat serta kemung - kin an pelayanan yang terbaik. Al-Zahrawi pun selalu mengingatkan agar para dokter untuk berpegang pada norma dan kode etik kedokteran, yakni tak menggunakan profesi dokter hanya untuk meraup keuntungan materi.

Menurut Al-Zahrawi profesi dokter bedah tak bisa dilakukan sembarang orang. Pada masa itu, dia kerap mengingatkan agar masyarakat tak melakukan operasi bedah kepada dokter atau dukun yang mengaku-ngaku memiliki keahlian operasi bedah. Hanya dokter yang memiliki keahlian dan bersertifikat saja yang boleh melakukan operasi bedah. Mungkin karena itulah di era modern ini muncul istilah dokter spesialis bedah (surgeon).

Kehebatan dan profesionalitas Al- Zahrawi sebagai seorang ahli bedah diakui para dokter di Eropa. ‘’Tak diragukan lagi, Al-Zahrawi adalah kepala dari seluruh ahli bedah,’‘ ucap Pietro Argallata. Kitab Al- Tasrif yang ditulisnya lalu diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Gerard of Cremona pada abad ke-12 M. Kitab itu juga dilengkapi dengan ilustrasi. Kitab itu menjadi rujukan dan buku resmi sekolah kedokteran dan para dokter sera ahli bedah Eropa selama lima abad lamanya pada periode abad pertengahan.

Sosok dan pemikiran Al-Zahrawi begitu dikagumi para dokter serta mahasiswa kedokteran di Eropa. Pada abad ke-14 M, seorang ahli bedah Prancis bernama Guy de Chauliac mengutip Al-Tasrif hampir lebih dari 200 kali. Kitab Al-Tasrif terus menjadi pegangan para dokter di Eropa hingga terciptanya era Renaissance. Hingga abad ke- 16 M, ahli bedah berkebangsaan Prancis , Jaques Delechamps (1513 M - 1588 M) masih menjadikan Al-Tasrif sebagai rujukan.

Al-Zahrawi tutup usia di kota Cordoba pada tahun 1013 M - dua tahun setelah tanah kelahirannya dijarah dan dihancurkan. Meski Corboba kini bukan lagi menjadi kota bagi umat Islam, namun namanya masih diabadikan menjadi nama jalan kehormatan yakni ‘Calle Albucasis’. Di jalan itu terdapat rumah nomor 6 yakni rumah tempat Al-Zahrawi tinggal. Kini rumah itu menjadi cagar budaya yang dilindungi Badan Kepariwisataan Spanyol.
 
Sang Penemu Puluhan Alat Bedah Modern


Selama separuh abad mendedikasikan dirinya untuk pengembangan ilmu kedokteran khususnya bedah, Al-Zahrawi telah menemukan puluhan alat bedah modern. Dalam Kitab Al-Tasrif, ‘Bapak Ilmu Bedah’ itu memperkenalkan lebih dari 200 alat bedah yang dimilikinya. Di an tara ratusan koleksi alat bedah yang dipunyainya, ternyata banyak peralatan yang tak pernah digunakan ahli bedah sebelumnya.

Menurut catatan, selama karirnya Al-Zahrawi telah menciptakan atau menemukan 26 peralatan bedah. Salah satu alat bedah yang ditemukan dan digunakan Al-Zahrawi adalah catgut. Alat yang d gu nakan Al-Zahrawi untuk menjahit bagian dalam itu hingga kini masih digunakan ilmu bedah modern. Selain itu, juga menemukan forceps untuk mengangkat janin yang meninggal. Alat itu digambarkan dalam Kitab Al-Tasrif.

Dalam Al-Tasrif, Al-Zahrawi juga memperkenalkan penggenaan ligature 9benang pengikat luka) untuk mengontrol pendarahaan arteri. Ja rum bedah ternyata juga ditemukan dan dipapar kan secara jelas oleh Al-Zahrawi dalam kitabnya yang paling fenomenal itu. Selain itu, Al-Zahrawi juga memperkenalkan sedere alat bedah lain hasil penemuannya dalam Kitab Al-Tasrif.

Peralatan penting untuk bedah yang ditemukan Al-Zahrawi itu antara lain, pisau bedah (scalpel), curette, retractor, sendok bedah (surgical spoon), sound, pengait bedah (surgical hook), surgical rod, dan specula. Tak cuma itu, Al-Zahrawi juga menemukan peralatan bedah yang digunakan untuk memeriksi dalam uretra, alat untuk memindahkan benda asing dari tenggorokan serta alat pemeriksa telinga. Kontribusi Al- Zahrawi bagi dunia kedokteran khususnya bedah hingga kini tetap dikenang dunia. hri
 
Dr Mehmet Oz, Sang Pelanjut Kejayaan Al-Zahrawi


Jika di abad pertengahan umat Islam memiliki Al-Zahrawi seorang ahli bedah nomor satu di Eropa, di millenium baru ini Islam pun memiliki Dr Mehmet Oz dokter bedah nomor wahid di Amerika Serikat (AS). Kiprah gemilang Mehmet Oz sebagai ahli bedah jantung di AS mendapat pengakuan dari majalah Timesebagai salah satu dari 100 orang berpengaruh di dunia.

Mehmet Oz nama yang mengingatkan kita pada kehebatan Sultan Mehmet II dari Kerajaan Usmani erlahir pada 12 Juni 1960. Ia merupakan keturunan Turki. Dokter bedah yang dalam setahun sukses melakukan 400 operasi bedah itu lahir di Cleveland, Ohio. Sang ayah juga merupakan ilmuwan terkemuka bernama Profesor Mustafa Oz. Mehmet Oz menimba ilmu pada Tower Hill School di Wilmington, Delaware. Pada tahun 1982, dia menyabet gelar sarjananya dari Harvard University. Empat tahun kemudian, Mehmet meraih gelar MBA dari University of Pennsylvania School of Medicine dan The Wharton School.

Kini, Mehmet adalah seorang guru besar Ilmu Bedah Jantung pada Columbia University. Dia juga tercatat memimpin Heart Assist Device Program. Selain itu, Mehmet merupakan seorang pendiri Complementary Medicine Program di NewYork-Presbyterian Hospital. Salah satu penelitiannya adalah bedah ganti jantung.

Mehmet semakin diakui kiprahnya di bidang ilmu bedah jantung di AS dan dunia setelah mampu menghasilkan 350 artikel orisinil yang dimuat berbagai media bergeng si dunia. Dia pun banyak menulis buku. Sela in itu, dia sukses mengoperasi jantung 400 pasien dalam setahun. Saat ini, Mehmet pun dipercaya menjadi direktur Siga Technologies sebuah perusahaan bioteknologi.


Selain didaulat majalah Timesebagai 100 tokoh berpengaruh dunia, Mehmet pun sempat didapuk sebuah majalah terkemuka lainnya di AS menjadi dokter spesialis bedah jantung nomor wahid di New York. Mehmet paling tidak telah melanjutkan kiprah yang pernah dicatat Al-Zahrawi sebagai seorang dokter bedah Muslim terkemuka di abad ke 10 M.

Muhammad Bin Sirin:

Tak Henti Mengingatkan Kebesaran Allah SWT


Tokoh ini dikenal sebagai seorang Tabi'i yang agung. Semangatnya dalam menegakkan syiar Islam tidak pernah luruh walau berbagai cobaan pernah dihadapi termasuk menjadi tahanan sekalipun.

Muhammad bin Sirin dilahirkan dua tahun menjelang berakhirnya kekhilafahan Utsman bin Affan RA. Semenjak kecil, Sirin sudah dididik di rumah yang dipenuhi oleh sifat wara dan taqwa dari segala sudutnya. Saat menginjak usia baligh, si anak yang baik pekerti dan cerdas ini mendapatkan masjid Rasulullah SAW disesaki oleh sisa-sisa para sahabat yang mulia dan para senior kalangan Tabi'in. Antara lain Zaid bin Tsabit, Anas bin Malik, Imran al-Hushain, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Az-Zubair, dan Abu Hurairah. Maka batapa beruntungnya dia mendapat kesempatan menimba ilmu dari para tokoh besar tersebut. Ia menimba ilmu Kitabullah, fikih, dan periwayatan hadis dari mereka, sehingga hal itu dapat mengisi akalnya dengan hikmah dan ilmu.
Beberapa tahun kemudian, keluarganya membawa pemuda ini pindah ke Bashrah, untuk kemudian menetap di sana. Ketika itu, Bashrah masih merupakan kota yang baru dibuka. Kaum Muslimin berhasil membukanya pada akhir-akhir kekhilafahan Umar Al-Faruq RA. Bashrah merupakan kota yang mewakili karakteristik umat Islam. Ia merupakan pangkalan militer tentara kaum Muslimin yang berperang di jalan Allah. Ia merupakan pusat pengajaran dan penyuluhan bagi orang-orang dari penduduk Irak dan Persia yang masuk Islam.
Dalam menempuh hidupnya yang baru di Bashrah, Muhammad bin Sirin mengambil dua cara yang berimbang; pertama, memfokuskan pada separuh harinya untuk menimba ilmu dan beribadah. Kedua, memperuntukkan sebagiannya lagi untuk mencari rejeki dengan berbisnis. Bila fajar menyingsing, dia pun berangkat ke masjid untuk mengajar dan belajar. Hingga matahari sudah naik, ia beranjak dari masjid menuju pasar untuk berjual-beli.
Bilamana malam telah tiba, ia berbaris di mihrab rumahnya, merundukkan tulang punggung guna mengulang juz-juz Alquran dan menangis karena takut kepada Allah. Sampai-sampai keluarga dan para tetangga dekatnya merasa kasihan terhadapnya karena seringnya mereka mendengar tangisnya yang seakan memutus urat nadi hati.
Ketika berkeliling pasar pada siang hari untuk berjual-beli, dia senantiasa mengingatkan manusia akan akhirat dan membuka mata mereka akan fitnah dunia. Dia bercerita kepada mereka dengan cerita menarik dan membimbing mereka kepada hal yang dapat mendekatkan diri kepada Allah serta memutuskan perkara yang diperselisihkan di antara mereka.
Terkadang dalam satu kesempatan, dia bercerita dengan cerita yang enak didengar sehingga mampu menghapuskan keburaman jiwa mereka tanpa harus mengurangi kewibawaan dan keagungan citra beliau di sisi mereka. Allah telah menganugerahinya sebagai sosok penuntun dan geliat ahli kebajikan serta mengaruniai sebagai orang yang dapat diterima dan punya pengaruh. Manakala orang-orang yang tengah tenggelam dalam suasana dan lalai kebetulan melihatnya di pasar, mereka pun tersadar lantas mengingat Allah, bertahlil dan bertakbir.
Hidup yang Sirin praktikkan merupakan tuntuan yang baik bagi manusia. Tiadalah dua hal yang dihadapi dalam perniagaannya kecuali dia akan mengambil mana di antara keduanya yang lebih menambatkan dirinya dengan agamanya, sekalipun mengakibatkan kerugian duniawi bagi dirinya. Bila ada orang yang berpamitan kepadanya untuk suatu perjalanan bisnis, dia selalu berpesan, "Bertakwalah kepada Allah, wahai anak saudaraku! Carilah rejeki ditakdirkan kepadamu dengan cara yang halal. Ketahuilah bahwa jika engkau mencarinya tanpa cara yang halal, niscaya kamu tidak akan mendapatkannya lebih banyak dari apa yang telah ditakdirkan kepadamu."
Muhammad bin Sirin juga memiliki catatan sejarah yang dapat dibuktikan dan amat masyhur saat menghadapi penguasa Bani Umayyah dengan berani mengucapkan kebenaran dan ikhlash memberikan nasehat bagi Allah, Rasul-Nya serta para pemimpin kaum Muslimin. Di antara contohnya, kisah Umar bin Hubairah al-Fazary, salah seorang tokoh besar Bani Umayyah dan penguasa Irak yang mengirimkan surat untuk mengundangya berkunjung. Maka, dia pun datang menjumpainya bersama anak saudaranya.
Sang penguasa pun menyambungnya dengan hangat, memberikan penghormatan untuk kedatangannya, meninggikan tempat duduknya serta menanyakannya seputar beberapa masalah agama, kemudian berkata kepadanya. "Bagaimana kondisi penduduk negerimu saat engkau meninggalkannya, wahai Abu Bakar?"
"Aku tinggalkan mereka dalam kondisi kezaliman merajalela terhadap mereka dan kamu lalai terhadap mereka," katanya. Karena ucapan ini, anak saudaranya memberikan isyarat dengan pundaknya. Lalu dia menoleh ke arahnya sembari berkata, "Engkau bukanlah orang yang kelak akan dipertanyakan tentang mereka tetapi akulah orang yang akan dipertanyakan itu. Ini adalah persaksian, siapa yang menyembunyikannya, maka hatinya berdosa."
Ketika pertemuan itu bubar, Umar bin Hubairah mengucapkan selamat berpisah kepadanya dengan perlakuan yang sama saat menyambutnya, yaitu dengan penuh kehangatan dan penghormatan. Bahkan dia memberikannya sebuah kantong berisi uang 3.000 dinar, namun Ibn Sirin tidak mengambilnya. Sudah menjadi kehendak Allah untuk menguji ketulusan dan kesabaran Muhammad bin Sirin. Karena itu, Dia mengujinya dengan ujian yang biasa dihadapi oleh orang-orang beriman.
Ketika Anas bin Malik RA sudah dekat ajalnya, dia berwasiat agar yang memandikan dan mengimami shalat atasnya adalah Muhammad bin Sirin yang saat itu masih di penjara. Tatkala Anas wafat, orang-orang mendatangi penguasa itu dan memberitakannya perihal wasiat sahabat Rasulullah SAW tersebut, lalu mereka meminta izinnya agar membiarkan Muhammad bin Sirin ikut bersama mereka untuk merealisasikan wasiat itu. Sang penguasa pun mengizinkan.
Lantas berkatalah Muhammad bin Sirin kepada mereka, "Aku tidak akan keluar hingga kalian meminta izin juga kepada si tukang minyak sebab aku dipenjara hanya karena ada hutang yang aku harus bayar kepadanya." Maka si tukang minyakpun mengizinkannya juga. Dia keluar dari penjara, kemudian memandikan dan mengkafani Anas RA. Setelah itu, dia kembali ke penjara sebagaimana biasanya dan tidak sempat menjenguk keluarganya sendiri. Muhammad bin Sirin wafat pada usia 77 tahun.

19 March 2009

Peradaban Islam Perintis Kedirgantaraan

Klaim peradaban Barat yang selama beberapa abad mengaku sebagai perintis di bidang kedirgantaraan akhirnya terpatahkan. Sekitar 600 tahun sebelum Roger Bacon dan Leonardo Da Vinci mencoba untuk terbang menjelajahi angkasa, ilmuwan Muslim di abad ke-9 M telah berhasil melakukan uji coba penerbangan dengan teknologi yang dikembangkannya.
Para ahli penerbangan dan sejarah Barat mengakui pencapaian peradaban Islam dalam dunia penerbangan yang sebelumnya tak pernah terpikirkan itu. ''Ibnu Firnas adalah manusia pertama dalam sejarah yang melakukan percobaan ilmiah untuk melakukan penerbangan,'' ujar Sejarawan Barat, Philip K Hitti, dalam bukunya yang bertajuk History of the Arabs.
Pencapaian yang berhasil ditorehkan ilmuwan Muslim di era kejayaan Kekhalifahan Islam di Andalusia itu juga mendapat pengakuan dari pakar kedirgantaraan Amerika Serikat (AS), Richard P Hallion. Dalam sebuah kesempatan, Hallion menyatakan, sejarah penerbangan dunia tak boleh melupakan pencapaian Ibnu Firnas.
Di bulan September 2000, University of Houston mulai memperkenalkan dan mengajarkan para mahasiswanya tentang sejarah penerbangan yang telah diperkenalkan Ibnu Firnas. ''Hari ini kita mempelajari seorang manusia yang sudah benar-benar terbang pada seribu tahun lalu,'' begitu University of Houston membuka kuliahnya.
Adalah fakta yang tak terbantahkan bahwa Ibnu Firnas yang mewakili peradaban Islam pada tahun 852 M telah berhasil melakukan uji coba penerbangan pertama. Karena itu, tak salah bila pengelola Bandara Internasional Doha di Qatar menamakan sistem manajemen airport mereka yang baru dengan julukan 'Firnas'.
Asal-usul dunia kedirgantaraan memang selalu mengundang perdebatan. Konon, peradaban pertama yang bercita-cita untuk bisa terbang adalah bangsa Cina. Memang ada beragam kisah tentang penerbangan yang pernah dilakukan sebelum peradaban Islam melakukannya.
Para ahli menyatakan, upaya penerbangan yang dilakukan secara terkontrol yang dapat dibuktikan kesahihannya terjadi pada abad ke-9 M. Karena sejatinya, bila berbicara sejarah penerbangan akan berhubungan erat dengan perkembangan penerbangan mekanis, mulai dari penerbangan yang digerakkan dengan meluncur hingga ke yang lebih modern lagi.
Peradaban Islam Spanyol di bawah kekuasaan Kekhalifahan Cordoba telah menjadi saksi uji coba penerbangan yang dilakukan Ibnu Firnas. Upaya itu mendapat dukungan dari Amir Abdurrahman II--saat itu Cordoba belum memproklamasikan diri sebagai kekhalifahan independen, yakni masih berada di bawah payung Dinasti Ummayah. Ilmuwan Muslim serbabisa itu melakukan uji coba penerbangannya pada tahun 852 M.
Ibnu Firnas membuat satu set sayap yang terbuat dari kain yang dikeraskan dengan kayu. Dengan peralatan seperti payung itulah, Ibnu Firnas lalu loncat dari menara Masjid Agung Cordoba. Pada uji coba pertama itu, dia tak bisa terbang. Namun, peralatan yang digunakannya mampu memperlambat jatuhnya Ibnu Firnas. Ia pun mendarat dengan selamat dengan luka kecil. Peralatan pertama yang diciptakan Ibnu Firnas itu menjadi semacam prototipe parasut di era modern.
Dua puluh lima tahun setelah uji coba pertamanya, di usia 65 tahun, Ibnu Firnas kembali melakukan uji coba terbang. Menggunakan semacam pesawat terbang layang--berupa sayap yang dilekatkan pada tubuhnya--sang ilmuwan meluncur dari bukit Jabal Al-Arus dan dapat terbang. Ia pun mendarat dengan selamat meski mengalami luka.
Uji coba penerbangan yang dilakukan Ibnu Firnas itu telah memberi inspirasi kepada Eilmer Malmesbury, seorang ilmuwan Inggris. Pada abad ke-11, Eilmer melakukan percobaan penerbangan dan bisa terbang sejauh 200 meter. Eimer menggunakan semacam pesawat terbang layang yang digunakan Ibnu Firnas.
Sekitar abad ke-10 M, seorang ilmuwan Turki yang tak disebutkan namanya juga sempat melakukan uji coba penerbangan. Dengan dua sayap dari kayu lebar yang direkatkan pada tubuhnya, orang Turki itu loncat dari atap sebuah masjid. Sayangnya, dia gagal mendarat dengan selamat. Upaya serupa juga dilakukan orang Turki pada tahun 1162 M. Namun, juga belum berhasil.
Pengembangan dunia penerbangan di dunia Islam kembali berkembang di era kekuasaan Kekhalifahan Usmani Turki. Seorang penjelajah Muslim bernama Evliya Celebi melaporkan pada tahun 1630 M sampai 1632 M, sarjana serbabisa Hezarfen Ahmet Celebi menggunakan pesawat bersayap berhasil terbang melintasi Sekat Basporus. Ia meluncur dari Menara Galata Istanbul setinggi 62,59 meter dan berhasil terbang sejauh tiga kilometer serta mendarat dengan selamat.
''Hezarfen Ahmet Celebi, pertama kali mencoba terbang sebanyak delapan atau sembilan kali dengan sayap elang menggunakan tenaga angin,'' ujar Evliya Celebi dalam buku catatan perjalanannya yang masih tersimpan di Perpustakaan Istanbul. Sultan Murad Han menyaksikan uji coba terbang itu dari bangunan besar bernama Sinan Pasha di Sarayburnu.
`'Hezarfen Ahmet Celebi telah membuka era baru dalam sejarah penerbangan,'' papar Sultan Murad. Upaya serupa juga dilakukan saudara laki-laki Hezarfen pada tahun 1633 M yang bernama Lagari Hasan €elebi. Lagari meluncur ke udara dengan menggunakan tujuh roket bersayap yang dilontarkan tenaga bubuk mesiu. Ia pun terlontar ke angkasa setinggi 300 meter. Unjuk kebolehan yang digelar pada acara peringatan ulang tahun putri Sultan Murad IV itu berhasil.
Lagari, menurut Evliya, mendarat dengan mulus di Bosporus dengan menggunakan sayap yang direkatkan ke tubuhnya sebagai parasut. Atas keberhasilannya itu, Lagari pun dihadiahi posisi yang sangat penting dalam militer Usmani.
Peradaban Islam Turki tercatat lebih awal dalam melakukan pengkajian ilmiah terhadap dunia penerbangan sebelum dunia Kristen Eropa. Di era kejayaan Kesultanan Ottoman, seorang sarjana Turki telah melakukan penelitian mengenai hubungan antara permukaan sayap burung dengan berat badannya. Kajian itu dilakukan untuk menemukan penyebab fisik yang bisa membuat terbang.
Penelitian itu telah menghasilkan cakrawala baru dalam bidang aerodinamika. Itulah sumbangan penting peradaban Islam bagi dunia penerbangan.

Dari Parasut Hingga Roket Peluncur

Parasut
Cikal bakal parasut ditemukan ilmuwan Muslim serbabisa Abbas Ibnu Firnas pada abad ke-9M. John H Lienhard dalam bukunya berjudul The Engines of Our Ingenuity menggambarkan uji coba terbang pertama dalam sejarah peradaban manusia yang terjadi pada tahun 852 M. ''Seorang lelaki bernama Armen Firman (Ibnu Firnas) memutuskan untuk terjun dari sebuah menara Masjid Agung Cordova,'' tutur Lienhard.
Dengan satu set sayap yang terbuat dari kain yang dikeraskan dengan kayu, Ibnu Firnas loncat dari ketinggian. Pada uji coba pertama itu, dia tentunya tak bisa terbang. Namun, peralatan yang digunakannya mampu memperlambat jatuhnya Ibnu Firnas. Ia mendarat dengan selamat dengan luka-luka kecil. Inilah awal mula parasut.
* Penerbangan Terkendali
Sejarah juga mencatat Abbas Ibnu Firnas sebagai orang pertama di dunia yang melakukan uji coba penerbangan terkendali. Dengan semacam alat kendali terbang yang digunakan pada dua set sayap, Ibnu Firnas bisa mengontrol serta mengatur ketinggian terbangnya. Selain itu, dia juga bisa mengubah arah terbang. Hal itu dibuktikan dengan keberhasilannya kembali ke arah di mana ia meluncur. Meski begitu, dia mengalami luka-luka saat mendarat.
* Sayap Buatan
Sayap buatan pertama kali diperkenalkan oleh Peradaban Islam. Adalah Ibnu Firnas yang kali pertama membuat dan mencoba sayap buatan itu. Meski tak terlalu berhasil, inovasi yang digulirkannya menjadi inspirasi bagi ilmuwan dan penerbang di abad berikutnya. Seorang penjelajah di abad ke-17 M, Evliya elebi menyebutkan Hezarfen Ahmet Celebi adalah penerbang pertama yang sukses melakukan penerbangan dengan menggunakan sayap buatan pada tahun 1630 M - 1632 M.
Roket Peluncur Terbang
Era baru dalam sejarah penerbangan dunia kembali dicapai peradaban Islam pada abad ke-17 M. Pada tahun 1633, seseorang yang bernama Lagari Hasan elebi membuat kejutan. Ia berhasil meluncur ke udara setinggi 3000 m dengan menggunakan tujuh roket bersayap yang dilontarkan tenaga bubuk mesiu. Ia kemudian terbang dan mendarat dengan menggunakan parasut. N hri
Ibnu Firnas
Sang Penerbang Muslim
Nama lengkapnya adalah Abbas Qasim Ibnu Firnas. Dia terlahir di Izn-Rand Onda, Andalusia, pada tahun 810 M. Ibnu Firnas berasal dari suku Berbar. Ia adalah ilmuwan serbabisa yang menguasai beragam ilmu. Selain dikenal sebagai seorang penerbang perintis yang tangguh, dia juga seorang ahli kimia, inventor, musisi, fisikawan, penyair astronom, dan insinyur yang mumpuni.
Selain menemukan berbagai teknologi penting dalam dunia penerbangan, dia juga sukses menciptakan sebuah jam air yang dikenal dengan sebutan Al-Maqata. Tak cuma itu, dia juga berhasil memciptakan gelas berwarna. Dalam astronomi, Ibnu Firnas pun mampu menciptakan rantai cincin untuk menjelaskan gerakan planet dan bintang.
Ibnu Firnas meninggal dunia 12 tahun setelah uji coba terbang keduanya. Cedera yang dialaminya saat melakukan penerbangan membuat kondisi kesehatannya memburuk. Sejarawan Barat Philip K Hitti menempatkannya sebagai orang yang hebat--manusia pertama dalam sejarah yang melakukan uji coba ilmiah penerbangan.
Ketika orang-orang Barat mengajar anak-anaknya tentang kisah Wright Bersaudara, negara-negara Islam justru memperkenalkan generasi mudanya tentang kisah keberhasilan Ibnu Firnas. Sebagai bentuk penghormatan, pemerintah Libya mengeluarkan perangko untuk memperingatinya. Bangsa Irak membangun patung sang penerbang di sekitar lapangan terbang internasionalnya. Ia juga diabadikan sebagai nama bandara di utara Baghdad. 

Evolusi Islam di Tanduk Benua Hitam

Dibanding saudara-saudaranya nya di ujung selatan Benua Hitam, kawasan Tanduk Afrika, area yang meliputi Somalia, Etiopia, Djibouti, dan Eritrea merupakan kawasan dengan pemeluk Islam dominan. Islam diperoleh melalui nenek moyang mereka yang berpindah agama, atau para migran dari semenanjung Arab. Pemeluk Islam terutama dari kalangan etnis Somali, Oromo, Afar dan beberapa ras lain yang berbicara dengan Bahasa Cushitic.

Muslim di Somalia dan Djibouti kini bahkan hampir menjadi mayoritas, di Etiopia, 40 % adalah penganut Muslim sementara jumlah Muslim d Eritrea mencapai 50 %.

Sejarah Islam di Kawasan Tanduk Afrika

Menurut sejarah, imigrasi Muslim pertama ke Benua Hitam tersebut dilakukan oleh para sahabat Nabi Muhammad ke Etiopia karena ancaman pembunuhan dari penyembah berhala di Mekkah, Arab pada 615 Masehi.

Raja Abyssinian (Habash) Nagashi menyambut hangat para Sahabat di kerajaannya dan mengijinkan mereka mengajarkan dan mendakwahkan agama mereka di Habash. Bahkan Nagashi pun tak mau menyerahkan mereka saat delegasi Arab meminta ekstradisi para Sahabat. Beberapa warga Etiopia pun memeluk Islam karena jasa para Sahabat yang tinggal bertahun-tahun di Habash sebelum Nabi Muhammad meminta mereka kembali ke tanah air. Penyebaran Islam pun terhenti sesaat setelah Sahabat pulang ke Mekkah.

Islam masuk ke Etiopia, sebagai keyakinan utama diyakini pada abad ke-16 lewat para pedagang dan pendakwah Arah, yang akhirnya menjadikan 65 % warga Etiopia memeluk Islam. Situasi itulah yang mulai memunculkan ketakutan pada pihak Gereja Eitopia yang kemudian menganggap Muslim sebagai ancaman utama terhadap keberadaan mereka.

Pada abad ke-16 dan awal abad ke-17, Negara Islam ADAL diumumkan oleh para etnis Somalia dan Arab dipimpin oleh Ahmed Guray. Ahmad Guray atau Ahmed Gran di Etiopia, yang keturunan Arab, memimpin perang melawan Abyssinia dan mengalahkan mereka. Ahmed Guray bahkan menangkap lebih dari 50 % warga dataran tinggi Etiopia, sehingga mempercepat penambahan jumlah warga Etiopia yang memeluk Islam. Ahmed sendiri mendapat dukungan dari Kaisar Ottoman, Turki dan Raja Saeed Barqash dari Kesultanan Oman.

Perasaan negatif Gereja Etiopia terhadap Muslim meningkat sangat tajam, dan setelah mereka gagal menghentikan Ahmed Guray beserta pasukkannya, mereka mendesak Portugal mengirim bantuan. Ahmed Guray terus menambah daftar kemenangan atas pasukan Abyssinian selama dua dekade. Namun ia terbunuh dalam pertempuran melawan pasukan Portugis yang datang untuk membantu Etiopia. Sang Janda Ahmed, bernama Bati Del Wambara mengambil alih kepemimpinan kerajaan ADAL dan meneruskan kampanye peperangan terhadap Kristen Etiopia.

Markas besar ADAL sendiri terletak di kota Zayla, kota pantai yang menghubungkan Djibouti dan Tanah Somalia. ADAL sempat  ambruk sesaat setelah kematian Ahmed Guray. Situasi itu memberi kesempatan Etiopia untuk merebut kembali tanah yang hilang tanpa banyak perlawanan.

Setelah Portugis, masuk pula beberapa negara pengkoloni barat. Para pengkoloni barat pun membagi Somalia menjadi lima bagian, mereka menyerahkan Djibouti di bawah Perancis, Tanah Somalia di bawah Inggris, Selatan Somalia di bawah Italia, dan Area Cadangan dengan Etiopia sebagai tambahan wilayah NFD dan Kenya. Penjajahan area-area tersebut terjadi di dalam waktu berbeda. Terakhir Inggris menjual Area Cadangan dan NFD kepada Eitopia dan Kenya di abad ke-20.

Islam dan Somalia.

Somalia adala nama yang diambil dari kata Somali (Soo Maal) yang berarti kaya dengan sumber kehidupan. Negara itu merupakan satu-satunya negara di dunia dengan penduduk 100 Muslim. Seluruh Muslim di sana adalah kaum Suni yang mempraktekkan kitab Iman Syafi'i. Orang-orang yang hidup di Somalia umumnya berbicara Somalia dan Arab, plus bahasa Rahanwayn minoritas di selatan Somalia.

Ada empat suku besar di Somalia yakni Hawiye, Isaaq, Darod, dan Rahanwayn. Isaaq, Darod, dan Hawiye memiliki akar Arab, sementar Darod adalah keturunan dari Darod Ismail Jabarti yang berasal dari selatan Yaman. Isaaq, lebih tepatnya adalah keturunan Sheikh Isaaq bin Ahmed yang berasal dari Mosul Irak. Sedangkan Hawiye adalah kombinasi dari beberapa kelompok berbeda namun umumnya dari Yaman.

Para warga Somalia setelah ambruknya ADAL, mulai mendatangai universitas Arab khususnya Universitas Al-Azhar di Mesir. Hubungan antara Arab dan Somalia pun bertambah kuat, terutama antara Yaman dan Kesultanan Oman.

Beberapa lulusan Universitas Al-Azhar kembali pulang termasuk Sayed Abdullah Hassan, yang memiliki julkan, The Mad Mullah atau Mullah yang Gila. Ia bukanlah orang yang bijak dan mulai membangun pasukan untuk berjuang melawan Inggris. Ia mencoba mengambil alih beberapa bagian Tanah Somalia terutama area Hawd. Inggris pun menghancurkan pasukkannya dengan bom udara. The Mad Mullah itu pun terbunuh dalam serangan udara yang dilancarkan pasukan Inggris.

Sayed Abdullah Hassan (the Mad Mulla) dulu dikenal sebagai seorang penganut paham Sufi dan meyakinkan banyak warga Somalia untuk mempraktekan cara hidup Sufi sebagai keyakinan Islam. Namun kelompok Salafi, yang juga dijuluki Wahabis Somalia menolak ide pengasingan dari dunia luar. Para penganut Wahabi tersebut pun mulai berjuang untuk menyebarkan pandangan mereka di Somalia  sekitar empat dekade lalu.

Awal Paham Salafi di Somalia
Sayed Abdullah Hassan (the Mad Mulla) dulu dikenal sebagai seorang penganut paham Sufi dan meyakinkan banyak warga Somalia untuk mempraktekan cara hidup Sufi sebagai keyakinan Islam. Namun kelompok Salafi, yang juga dijuluki Wahabis Somalia menolak ide pengasingan dari dunia luar. Para penganut Wahabi tersebut pun mulai berjuang untuk menyebarkan pandangan mereka di Somalia  sekitar empat dekade lalu

Hingga tahun 1960, mayoritas Muslim Somalia mempraktekkan paham Sufi, paham yang mendapat penghormatan besar di hampir seluruh suku Somalia. Warga menganggap Sufi memiliki tingkat kekerasan jauh lebih sedikit bila dibanding Salafi.

Namun setelah gerakan ulet yang dilakukan kaum Salafi selama 40 tahun lebih, berangsur-angsur membuat sebagian warga Somalia meninggalkan paham Sufi. Kini kondisi mulai berbalik. Jumlah praktek sufi lebih sedikit dibanding para penganut paham Salafi.

Salah satu keunikkan lain yang bisa ditemukan dalam tradisi Islam Somalia menulis Al Qur'an dengan lembar dari kayu dengan tinta yang dibuat dari batu-bara Somalia. Penulisan ulang dilakukan karena penduduk tidak mengerti bahasa Arab sehingga pengajaran dilakukan dengan bahasa Somalia.  Praktek penulisan macam itu sendiri masih dapat dijumpai hingga sekarang hanya saja semakin jauh berkurang./berbagai sumber/itz