23 April 2009

Perkembangan Penggunaan Aksara Pegon dan Melayu


Membedakan huruf Arab pegon dengan huruf Arab asli sangat mudah. M Irfan Shofwani dalam bukunya Mengenal Tulisan Arab Melayu menerangkan bahwa penulisan Arab pegon menggunakan semua aksara Arab Hijaiyah dilengkapi dengan konsonan abjad Indonesia yang ditulis dengan aksara Arab yang telah dimodifikasi.

Modifikasi huruf Arab ini dikenal sebagai huruf jati Arab Melayu yang berwujud aksara Arab serapan yang tak lazim. Misalnya, untuk konsonan ‘nga’, Arab pegon menggunakan huruf ‘ain’ atau ‘ghain’ dengan tiga titik di atasnya. Sedangkan, untuk konsonan ‘p’ diambil dari huruf ‘fa’ dengan tiga titik di atasnya dan sebagainya. Selain itu, huruf Arab pegon meniadakan syakal (tanda baca) layaknya huruf Arab gundul.

Namun, sumber lain menyebutkan, huruf Arab pegon hampir selalu dibubuhi tanda baca vokal. Ini berbeda dengan huruf Jawi yang ditulis gundul (tanpa tanda baca). Bahasa Jawa memang memiliki kosakata vokal yang lebih banyak daripada bahasa Melayu. Sehingga, vokal perlu ditulis untuk menghindari kerancuan.

Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Dr. Syamsul Hadi menjelaskan, kata ‘pegon’ berasal dari bahasa Jawa ‘pego’ yang artinya tidak lazim dalam mengucapkan bahasa Jawa. Hal ini, menurutnya, disebabkan banyaknya kata Jawa yang ditulis dengan tulisan Arab dan menjadi aneh ketika diucapkan. Penje lasan itu diperkuat oleh Titik Pudji astuti dalam tulisan ‘Aksara pegon: Sarana Dakwah dan Sastra dalam Budaya Jawa’. Menurutnya, teks Jawa yang ditulis dengan aksara Arab disebut teks pegon yang artinya sesuatu yang berkesan menyimpang.

Lebih lanjut, ia mengatakan, penamaan ini mungkin disebabkan jumlah aksara yang diparalelkan dengan aksara Jawa lebih sedikit dari aksara Arab yang mejadi dasarnya. Ada pertanyaan yang muncul, mengapa dikatakan aneh, pego, dan menyimpang? Tentu saja karena bahasa Jawa lebih tepat jika ditulis dengan aksaranya sendiri, yakni aksara Jawa.

Menurut Prof Syamsul Hadi, hampir semua khazanah keagamaan Jawa, yakni sastra suluk, kitab kuning, terjemahan nadhoman, terjemahan jenggotan, ataupun jenis sastra berbentuk syi’iran, ditulis dengan Arab pegon. Namun, penulisan bahasa Jawa dengan huruf Arab pegon tidak terbatas saja pada khazanah naskah keagamaan. Tetapi, huruf Arab pegon juga dipakai untuk penulisan pada umumnya, terutama di kalangan pesantren.

Seperti halnya yang terjadi di tanah Melayu, penulisan bahasa Jawa dengan huruf pegon tidak terbatas pada khazanah naskah keagamaan, tetapi juga dipakai untuk penulisan pada umum nya, terutama di kalangan pesantren. Dalam tulisan pegon juga dikenal jenisjenis naskhi, riq’i, dan tsulutsi. Selain ketiga jenis tulisan itu, pegon mengenal dua macam variasi, yakni pegon berharakat dan pegon gondhul (tak berharakat).

Huruf Arab Melayu
Drs UU Hamidy MA, staf pengajar pada Universitas Riau, dalam tulisannya mengenai naskah Arab Melayu mengungkapkan bahwa para cendekiawan Riau sudah menggunakan huruf Arab Melayu untuk kegiatan penulisan mereka sejak abad ke-19, yaitu tahun 1800-an. Huruf Arab Melayu dipakai secara penuh, seperti dalam karya-karya Raja Ali Haji. Naskah-naskah yang mempergunakan huruf Arab Melayu dan angka-angka Arab orisinal antara lain adalah Kanun Kerajaan Riau Lingga, Bustan Al Kati -bin, serta Salasilah Melayu dan Bugis karya Raja Ali Haji. Begitu juga dengan Syair Abdul Muluk yang diperkirakan merupakan karya Raja Zaleha dan Raja Ali Haji, Bughyat al-Ani Fi Huruf Al Maani karya Raja Ali Kelana.

Naskah-naskah kuno Riau yang ditulis dengan menggunakan huruf Arab Melayu memiliki halamanhalaman kitab atau naskah yang tidak lagi menggunakan angka Arab orisinal (seperti angka-angka untuk halaman Alquran), namun telah dimodifikasi menjadi 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, dan 0. Naskah-naskah tersebut antara lain adalah Babal Qawaid, Syair Sahimsah terjemahan Raja Haji Abdullah, Undang-Undang Polisi Kerajaan Riau-Lingga, dan Kisah Iblis Menghadap Nabi Muhammad karya Muhammad bin Haji Muhammad Said.

Menurut Hamidy, ciri atau tandatanda huruf Arab Melayu yang dipergunakan pada masa itu agak berbeda dengan huruf Arab Melayu yang dikenal sekarang. Dalam naskah Riau, sistem huruf Arab Melayu boleh dikatakan sebagian besar memberi tanda saksi untuk tiap bunyi vokal, seperti bunyi a, i, u, (alif, waw, dan ya). Sistem ini mempermudah cara membacanya dan kemungkinan salah baca menjadi lebih kecil.

Berbeda dengan sistem penulisan Arab Melayu sekarang yang hanya memberi saksi pada bunyi vokal pada suku kata kedua dan suku terakhir pada setiap kata. Oleh karena banyak bunyi vokal yang dihilangkan, sebuah kata bisa dibaca dalam beberapa kemung kinan bunyi vokal. Dalam sistem ini, bunyi (ucapan) kata harus diperhitungkan dalam konteks kalimat.

Sistem penulisan Arab Melayu seperti dalam naskah-naskah lama Riau terus digunakan oleh para pengguna bahasa Melayu di Semenanjung Malaka (sekarang bernama Malaysia), Singapura, dan Brunei Darussalam. Suku tertutup diberi tanda dengan alif, wau, dan ya sehingga naskah lebih mudah dibaca. Meskipun demikian, tambah Hamidy, beberapa pengarang Riau, seperti Haji Abdurrahman Siddiq dan Haji Abdurrahman Yakub, tetap mempergunakan huruf Arab Melayu dengan angka Arab tanpa perubahan bentuk sama sekali. Hanya Syair Hari Kiamat karya Tuan Guru Abdurrahman Siddiq yang memakai angka Arab model Latin pada nomor halaman kitabnya.

Syamsul Hadi, dalam makalahnya yang berjudul ‘Bahasa Arab dan Khazanah Sastra Keagamaan di Indo ne sia’ menerangkan, pada naskah tulis an tangan, biasanya terdapat perbedaan penggunaan jenis-jenis huruf Arab, yakni tulisan naskhi, riq’i, dan tsulutsi.

Jenis naskhi biasanya dipergunakan untuk tulisan pada umumnya. Tulisan riq’i digunakan untuk penulisan cepat. Adapun jenis tsulutsi yang indah dipergunakan untuk judul-judul naskah. Mes -kipun kaidah baru dengan penambahan tanda diakritik berkaitan dengan adanya perbedaan vokal ataupun konsonan pada bahasa Arab dan Melayu, jenis tulisan yang dipakai masih juga sama, tidak ada jenis tulisan baru model Melayu. dia/rid/sya/berbagai sumber


Disiplin Ilmu dalam Naskah Melayu

Disiplin ilmu yang ditulis para ulama Nusantara tidak terbatas pada pengetahuan agama, tetapi juga disiplin ilmu lainnya. Dr Kun Zachrun Istanti SU dalam ‘Teks Melayu: Warisan Intelek Masa Lampau Indonesia-Malaysia’ mengklasifikasi bidang-bidang pengetahuan yang ditulis dalam naskahnaskah Melayu kuno di antaranya adalah sejarah, sastra, ilmu tradisional, obat-obatan, dan perundangundangan.

Sejarah
Karya sastra sejarah Melayu ada berbagai macam, di antaranya Misa Melayu, Salasilah Melayu dan Bugis, Hikayat Patanu, Sejarah Melayu, Hikayat Raja-raja Pasai, Hikayat Banjar, Silsilan Kutai, Tambo Minangkabau, dan Hikayat Merong Mahawangsa. Karya-karya ini kaya akan pengetahuan tentang pikiran dan keadaan susunan masyarakat Melayu pada zaman itu. Dalam Sejarah Melayu, tergambarkan adat raja-raja, pantang larang, dan hal-hal yang diperbolehkan dan dilarang untuk rakyat. Dalam Sejarah Melayu, juga digambarkan adanya penaklukan oleh Malaka dan hubungan negeri Malaka dengan Majapahit, Siam, dan Cina.

Sastra kitab
Sastra kitab pada zaman kegemilangan Islam di Nusantara umumnya berisi ajaran agama Islam. Sastra kitab dapat menjadi rujukan mengenai Islam bagi orangorang Melayu. Karena, pada waktu itu, masyarakat Melayu masih sedikit yang memahami bahasa Arab. Kebanyakan sastra kitab ini merupakan terjemahan atau hasil transformasi karya-karya Arab. Bidang pengetahuan yang terdapat dalam sastra kitab adalah ilmu tauhid, fikih, hadis, dan tasawuf. Contoh sastra kitab adalah Shifa’ al-Qulubkarya Nuruddin Arraniri bertanggal 2 Ramadhan 1225 H (Senin, 1 Oktober 1810 M). Karya ini menerangkan pengertian kalimat syahadat dan kepercayaan kepada Allah.

Ilmu tradisional
Karya sastra Melayu juga berisi ilmu tradisional yang berupa pengajaran, pemahaman, dan amalan secara formal, misalnya ilmu bintang, ilmu ramal, tabir mimpi, dan firasat. Pembahasannya berkisar tentang kedudukan bintang dan pengaruhnya terhadap kejadian alam dan kehidupan manusia, kepercayaan terhadap kekuatan gaib dan benda-benda lain yang dihubungkan dengan penyakit dan amalan hidup, kepercayaan terha dap tabir mimpi, dan firasat. Kepercayaan-kepercayaan ini diamalkan oleh masyarakat Melayu masa lampau da lam kehidupan sehari-hari dan memengaruhi hidup mereka. Contoh karya sastra Melayu yang berisi ilmu tradisional adalah Tabir Mimpi. Isinya tentang tafsir mimpi dan fatwa orang Melayu masa lampau tentang alamat pergerakan bagian tubuh tertentu, waktu yang sesuai untuk bepergian, dan tanda apabila ada binatang masuk ke rumah atau kampung pada hari tertentu.

Obat-obatan
Selain disiplin ilmu di atas, karya Melayu juga ada yang membahas masalah obat-obatan Melayu tradisonal. Naskah seperti ini dikenal dengan nama Kitab Tib(obat, penyembuh), yang biasa digunakan sebagai panduan untuk mengobati berbagai penyakit. Bahan dasar obat-obatan itu berasal dari sumber daya alam, seperti flora dan fauna. Karya sastra dalam Kitab Tibtersebut antara lain tentang obat masuk angin, demam, pilek, sakit kepala, sakit perut, sakit gigi, dan sebagainya.

Kitab undang-undang
Kitab undang-undang dalam karya sastra Melayu ini berupa tata tertib dan adat istiadat Melayu yang diwariskan secara turun-temurun. Karena itu, tak heran bila ada daerah-daerah tertentu yang mengedapan hukum daerah (adat) dibandingkan hukum positif. Dan, bagi sekelompok masyarakat, bila sudah mematuhi (menjalankan) hukum adat, tak perlu lagi menjalani hukum lainnya. rid


Persebaran Naskah Melayu Dari Indonesia ke Afrika hingga Eropa

Masuknya Islam ke Nusantara menandai peralihan dari tradisi lisan menjadi tulisan. Namun, sampai dengan tahun 1500 M, tradisi penulisan dalam wujud teks belum dilakukan. Ide atau gagasan dan nilai-nilai masih disampaikan secara lisan. Beberapa karya sastra yang kental dengan corak kelisanannya adalah tekateki, peribahasa, pantun, dan mantra.

Setelah huruf Arab dikenal oleh masyarakat Melayu, barulah dimulai penulisan ilmu pengetahuan dengan huruf Arab, terutama Arab Jawi. Hal ini mengindikasikan bahwa huruf Jawi ini berperan besar dalam mengomunikasikan khazanah intelektual Muslim di Nusantara.

Naskah-naskah Melayu kuno menyebar ke berbagai kawasan di Nusantara, seperti di Aceh, Minangkabau, Riau, Siak, Bengkulu, Sambas, Kutai, Ternate, Ambon, Bima, Palembang, Banjarmasin, dan daerah-daerah yang kini masuk kawasan Malaysia dan Singapura. Naskah-naskah tersebut saat ini disimpan di lembaga-lembaga di dalam dan luar negeri. Di Indonesia, naskah-naskah itu disimpan di museum daerah, Perpustakaan Nasional, yayasan-yayasan, pesantren, masjid, dan keluarga-keluarga atau pemilik naskah.

Ketika itu, aktivitas penulisan berkembang sangat marak, karena didukung dengan hadirnya beberapa percetakan di sejumlah kawasan, seperti Rumah Cap Kerajaan di Lingga; Mathba’at al-Riauwiyah di Penyengat, dan Al-Ahmadiyah Press di Singapura. Munculnya ketiga percetakan itu memungkinkan karya para intelektual Muslim dapat dicetak dengan baik. Akhirnya, beberapa karya pun menyebar hingga ke berbagai daerah.

Hingga saat ini, belum dapat dipastikan berapa jumlah karya Melayu yang sudah dicetak. Apalagi, hampir setiap saat, karya itu semakin banyak ditemukan. Namun, ada beberapa penelitian yang mencoba mendatanya. Chambert-Loir (1980), ahli perpustakaan dari Prancis, memperkirakan ada sekitar 4.000 buah naskah berdasarkan berbagai katalogus dan jumlah ini tersebar di 28 negara.

Ismail Husain (1974) memperkirakan ada sekitar 5.000 naskah Melayu dan lebih kurang seperempatnya berada di Indonesia dan terbanyak berada di Jakarta. Sedangkan, Russel Jones memperkirakan jumlahnya sampai pada angka 10 ribu.

Adapun 28 negara tempat penyebaran naskah-naskah Melayu yang diutarakan Chambert-Loir (1999) adalah Afrika Selatan, Amerika, Austria, Australia, Belanda, Belgia, Brunei, Ceko-Slovakia, Denmark, Hongaria, India, Indonesia, Inggris, Irlandia, Italia, Jerman, Malaysia, Mesir, Norwegia, Polandia, Prancis, Rusia, Singapura, Spanyol, Srilanka, Swedia, Swiss, dan Thailand.

Intelektual perempuan
Yang menarik di antara karya-karya tersebut terdapat sejumlah penulis dari kaum perempuan. Raja Safiah mengarang Syair Kumbang Menginderadan saudaranya Raja Kalsum menulis Syair Saudagar Bo doh. Kedua penulis perempuan itu adalah putri Raja Ali Haji, seorang intelektual Melayu tersohor yang kita kenal dengan karya besarnya Gurindam Dua Belas.

Pengarang perempuan yang juga sangat terkenal waktu itu adalah Aisyah Sulaiman. Cucu Raja Ali Haji itu menulis Syair khadamuddin, Syair Seligi Tajam Bertimbal, Syamsul Anwar, dan Hikayat Shariful Akhtar.

Selain nama-nama tersebut, masih terdapat beberapa nama intelektual perempuan yang memiliki kepedulian dalam pengembangan kesusastraan Melayu. Di antaranya adalah Salamah binti Ambar yang menulis dua buku dengan judul Nilam Permatadan Syair Nasihat untuk Penjagaan Anggota Tubuh. Ada pula Khadijah Terung yang menulis buku Perhimpunan Gunawan bagi Laki-laki dan Perempuan.

Kebudayaan Islam dalam Tradisi Kepenulisan Melayu


Karya sastra Arab-Melayu telah menyebar ke berbagai belahan dunia. Jumlahnya diperkirakan mencapai 10 ribu judul.



Masuknya Islam ke Indonesia--yang menurut sebagian orang diperkirakan pada abad ke-13 M--telah menandai perubahan besar dalam khazanah kebudayaan di bumi Nusantara. Agama Islam yang dibawa para imigran (pedagang, ulama, dan intelektual Muslim) Arab juga turut memengaruhi penggunaan bahasa (baik secara lisan maupun tulisan) dalam pergaulan sehari-hari.

Kebiasaan tulis-menulis pun mulai dilakukan. Menurut Syamsul Hadi, guru besar Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, bahasa Arab merupakan awal mula masyarakat Indonesia menggunakan kebiasaan tulis-menulis.

Hal yang sama juga diungkapkan guru besar Fakultas Falsafah dan Agama, Universitas Paramdina Mulya, Jakarta, Abdul Hadi WM. Menurut Abdul Hadi, tulisan Arab dalam bahasa Melayu yang digunakan masyarakat di Nusantara bisa dikenali melalui penemuan prasasti atau batu bertulis yang terdapat di Kuala Berang, Terengganu, pada abad ke-13 M atau abad ke-7 H. Ia menambahkan, jauh sebelum masyarakat mengenal huruf Latin, masyarakat Indonesia telah mengenal huruf Arab.

Karena itulah, tak heran bila pada sekitar abad ke 14-19 M, banyak karya-karya ulama di Nusantara yang ditulis dalam bahasa Arab-Melayu. Seperti diungkapkan Abdul Hadi, seorang ulama di Nusantara baru diakui keulamaannya apabila menguasai tiga bahasa sekaligus, yaitu Arab, Melayu, dan daerah (Jawi, Sunda, Bugis, Banjar, dan lainnya). Ketiga bahasa tersebut dibuktikan dengan dituliskannya dalam sebuah karya (kitab).

Hingga saat ini, sebagian masyarakat Muslim, utamanya yang tinggal di Pesantren Salafiyah (tradisional), mengenal dengan baik penulisan huruf Arab dalam bahasa Melayu.

Huruf-huruf hijaiyah dalam huruf Arab yang telah ditulis ke dalam bahasa Melayu disebut sebagai huruf Jawi. Sementara itu, huruf Arab yang ditulis dalam bahasa Jawa dikenal dengan huruf Pegon, yang berarti menyimpang. Penulisan atau penerjemahan karya-karya klasik atau kitab-kitab kuno dilakukan dengan menggunakan huruf Jawi atau Pegon. Huruf Jawi itu sendiri masih kental dengan nuansa Hindu. Hal ini disebabkan adanya pengaruh bahasa Sansekerta.

Sayangnya, hingga kini, cara penulisan huruf Jawi atau Pegon sudah tidak begitu dikenali lagi di sebagian masyarakat Indonesia. Misalnya, sebagian generasi Muslim Jawa yang kini berusia 35 tahun ke atas masih mengenal huruf Pegon yang ditulis dengan bahasa Hanacaraka. Sementara itu, generasi atau masyarakat Jawa sekarang (berusia 30 tahun ke bawah) sudah tidak begitu mengenal lagi huruf-huruf ini.

Tak hanya di Jawa, masyarakat lain pun, seperti Bugis, Banjar, dan lainnya, sudah tidak begitu mengenal bahasa daerahnya, termasuk bentuk hurufnya. ''Padahal, bangsa kita sangat kaya dengan kebudayaan. Kondisi ini disebabkan kesalahan kebijakan dalam sistem pendidikan kita,'' tegas Abdul Hadi.

Tersebar luas
Sampai sekarang, penulisan naskah dalam teks Arab-Melayu telah menyebar di Nusantara hingga ke berbagai penjuru dunia. Naskah-naskah itu tersebar hingga ke Afrika dan Eropa.

Di Nusantara, naskah-naskah Melayu kuno itu menyebar ke berbagai daerah, seperti Aceh, Minangkabau, Riau, Siak, Bengkulu, Sambas, Kutai, Ternate, Ambon, Bima, Palembang, Banjarmasin, dan daerah-daerah yang kini masuk kawasan Malaysia dan Singapura.

Naskah-naskah tersebut saat ini disimpan di lembaga-lembaga dalam dan luar negeri. Di Indonesia, naskah-naskah itu disimpan di museum daerah, Perpustakaan Nasional, yayasan-yayasan, pesantren, masjid, dan keluarga-keluarga atau pemilik naskah.

Ketika itu, aktivitas penulisan berkembang sangat marak. Hal ini didukung dengan hadirnya beberapa percetakan di sejumlah kawasan, seperti Rumah Cap Kerajaan di Lingga, Mathba'at al-Riauwiyah di Panyengat, dan Al-Ahmadiyah Press di Singapura. Munculnya ketiga percetakan itu memungkinkan karya para intelektual Muslim dapat dicetak dengan baik. Akhirnya, beberapa karya itu pun menyebar hingga ke berbagai daerah.

Hingga saat ini, belum dapat dipastikan berapa jumlah karya sastra yang berhasil dicetak. Apalagi, hampir setiap saat, karya itu semakin bertambah. Namun demikian, ada beberapa penelitian yang mencoba mendatanya. Chambert-Loir (1980), ahli perpustakaan dari Prancis, memperkirakan sekitar 4.000 buah naskah berdasarkan berbagai katalogus dan jumlah ini tersebar di 28 negara.

Ismail Husain (1974) memperkirakan ada sekitar 5.000 naskah Melayu dan lebih kurang seperempatnya berada di Indonesia dan terbanyak berada di Jakarta. Sedangkan, Russel Jones memperkirakan jumlahnya sampai pada angka 10 ribu.

Adapun 28 negara tempat penyebaran naskah-naskah Melayu yang diutarakan Chambert-Loir (1999) adalah Afrika Selatan, Amerika, Austria, Australia, Belanda, Belgia, Brunei, Ceko-Slovakia, Denmark, Hongaria, India, Indonesia, Inggris, Irlandia, Italia, Jerman, Malaysia, Mesir, Norwegia, Polandia, Prancis, Rusia, Singapura, Spanyol, Srilanka, Swedia, Swiss, dan Thailand.

18 April 2009

Al-Khazini

Saintis Muslim Perintis Ilmu Gravitasi


"Fisikawan terbesar sepanjang sejarah." Begitulah  Charles C Jilispe, editor  Dictionary of Scientyfic Bibliography menjuluki saintis Muslim, al-Khazini. Para sejarawan sains menempatkan saintis kelahiran Bizantium alias Yunani itu dalam posisi yang sangat terhormat.

Betapa tidak, ilmuwan Muslim yang berjaya di abad ke-12 M – tepatnya 1115-1130 M – itu telah memberi kontribusi yang sangat besar bagi perkembangan sains modern, terutama dalam fisika dan astronomi. al-Khazini merupakan saintis Muslim serbabisa yang menguasai astronomi, fisika, biologi, kimia, matematika serta filsafat.

Sederet buah pikir yang dicetuskannya tetap abadi sepanjang zaman. al-Khazini merupakan ilmuwan yang mencetuskan beragam teori penting dalam sains seperti: metode ilmiah eksperimental dalam mekanik; energi potensial gravitasi; perbedaan daya, masa dan berat; serta jarak gravitasi.

"Teori keseimbangan hidrostatis yang dicetuskannya telah mendorong penciptaan peralatan ilmiah. al-Khazini adalah salah seorang saintis terbesar sepanjang masa,'' ungkap Robert E Hall (1973) dalam tulisannya berjudul ''al-Khazini'' yang dimuat dalam A Dictionary of Scientific Biography Volume VII.

Sejatinya, al-Khazini bernama lengkap Abdurrahman al-Khazini. Menurut Irving M Klotz, dalam tulisannya bertajuk "Multicultural Perspectives in Science Education: One Prescription for Failure", sang ilmuwan hidup di abad ke-12 M. ''Dia berasal dari Bizantium atau Yunani,'' tutur Klotz. al-Khazini menjadi budak Dinasti Seljuk Turki, setelah kerajaan Islam itu menaklukkan wilayah kekuasaan Kaisar  Konstantinopel, Romanus IV Diogenes.

Al-Khazini kemudian dibawa ke Merv, sebuah metropolitan terkemuka pada Abad ke-12 M. Merv berada di Persia dan kini Turkmenistan. Sebagai seorang budak, nasib al-Khazini sungguh beruntung. Oleh tuannya yang bernama al-Khazin, ia diberi pendidikan sang sangat baik. Ia diajarkan matematika dan filsafat.

Tak cuma itu, al-Khazini juga dikirimkan untuk belajar pada seorang ilmuwan dan penyair agung dari Persia bernama Omar Khayyam. Dari sang guru, dia mempelajari sastra, metematika, astronomi dan filsafat.  Menurut Boris Rosenfeld (1994) dalam bukunya "Abu'l-Fath Abd al-Rahman al-Khazini, saat itu Omar Khayyam juga menetap di kota Merv.

Berbekal otak yang encer, al-Khazini pun kemudian menjelma menjadi seorang ilmuwan berpengaruh. Ia menjadi seorang matematikus terpandang yang langsung berada di bawah perlindungan, Sultan Ahmed Sanjar,  penguasa Dinasti Seljuk. Sayangnya, kisah dan perjalanan hidup al-Khazini tak banyak terekam dalam buku-buku sejarah.

Salah Zaimeche PhD (2005) dalam bukunya berjudul Merv menuturkan, al-Khazini adalah seorang ilmuwan yang bersahaja. Meski kepandaiannya sangat dikagumi dan berpengaruh, ia tak silau dengan kekayaan. Menurut Zaimeche, al-Khazini sempat menolak dan mengembalikan hadiah sebesar 1.000 keping emas (dinar) dari seorang istri Emir Seljuk.

''Ia hanya merasa cukup dengan uang tiga dinar dalam setahun,'' papar Zaimeche.

Para sejarawan sains mengungkapkan, pemikiran-pemikiran al-Khazini sangat dipengaruhi oleh sejumlah ilmuwan besar seperti Aristoteles, Archimedes, Al-Quhi,  Ibnu Haitham atau Alhacen, al-Biruni serta Omar Khayyam. Selain itu, pemikiran al-Khazini juga sangat berpengaruh bagi pengembangan sains di dunia Barat dan Islam. Salah satu ilmuwan Barat yang banyak terpengaruh al-Khazini adalah Gregory Choniades – astronom Yunani yang meninggal pada abad ke-13 M.

Pemikiran
Salah satu kontribusi penting yang diwarisakan al-Khazini dalam bidang astronomi adalah Tabel Sinjaric. Tabel itu dituliskannya dalam sebuah risalah astronomi bertajuk  az-Zij as-Sanjari. Dalam manuskrip itu, dia menjelaskan jam air 24 jam yang didesain untuk kegunaan astronomi. Inilah salah satu jam astronomi pertama yang dikenal di dunia Islam.

Selain itu, al-Khazini juga menjelaskan tentang  posisi 46 bintang. Risalahnya yang berjudul Al-Khazini's Zij as-Sanjari itu kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Yunani oleh  Gregory Choniades pada abad ke-13 M. Risalah astronomi yang ditulis al-Khazini pun menjadi rujukan para ilmuwan dan pelajar di Kekaisaran Bizantium.

Kontribusi penting lainnya yang diwariskan al-Khazini dalam bidang fisika adalah kitab Mizan al-Hikmah atau Balance of Wisdom. Buku yang ditulisnya pada  1121 M itu mengungkapkan bagian penting fisika Islam. Dalam buku itu, al-Khazini menjelaskan sacara detail pemikiran dan teori yang diciptakannya tentang keseimbangan hidrostatika, konstruksi dan kegunaan, serta teori statika atau ilmu keseimbangan dan  hidrostatika.

Selain menjelaskan pemikirannya tentang teori-terori itu, al-Khazani juga menguraikan perkembangan ilmu itu dari para pendahulu serta ilmuwan yang sezaman dengannya. Dalam bukunya itu, al-Khazini juga menjelaskan beberapa peralatan yang diciptakan ilmuwan pendahulunya seperti araeometer buatan Pappus serta  pycnometer flask yang diciptakan al-Biruni.


Buku itu dinilai Nasr sebagai sebuah karya ilmiah Muslim yang paling esensial tentang mekanika dan hidrostatika, dan terutama studi mengenai pusat gravitasi. Dalam buku itu pula, al-Khazini mengupas prinsip keseimbangan hidrostatis dengan tingkat ketelitian obyek sampai ukuran mikrogram (10-6 gr), suatu level ketelitian yang menurut K Ajram  dalam The Miracle of Islamic Science  hanya tercapai pada abad ke 20 M.

Al-Biruni and al-Khazini merupakan dua ilmuwan Muslim yang pertama kali mengembangkan metode ilmiah dalam bidang ilmu keseimbangan atau statika dan dinamika. Metode itu dikembangkan untuk menentukan berat yang didasarkan pada teori kesembangan dan berat. Al-Khazini dan ilmuwan pendahulunya menyatukan ilmu statika dan dinamika ke dalam ilmu baru bernama mekanika.

Selain itu, mereka juga menggabungkan ilmu hidrostatika dengan dinamika sehingga melahirkan ilmu baru bernama hidrodinamika. Mereka juga menerapkan teori rasio matematika dan teknik infinitesimal  serta memperkenlkan aljabar dan teknik penghitunang ke dalam statika.  Al-Khazini dan ilmuwan Muslim lainnya juga merupakan yang pertama mengeneralisasi teori pusat gravitasi dan mereka adalah yang pertama kali menerapkannya ke dalam benda tiga dimensi.
Para ilmuwan Muslim, salah satunya al-Khazini telah melahirkan ilmu gravitasi  yang kemudian berkembang di Eropa.  Al-Khazini telah berjasa dalam meletakkan fondasi bagi pengembangan mekanika klasik di era Renaisans Eropa.

Al-Khazini wafat pada abad ke-12 M. Meski begitu, pemikiran-pemikiran yang telah diwariskannya bagi peradaban dunia hingga kini masih tetap abadi dan dikenang. heri ruslan/desy susilawati


Sumbangan Sang Ilmuwan

Al-Khazini sungguh luar biasa. Ilmuwan Muslim dari abad ke-12 M itu tak hanya mencetuskan sejumlah teori penting dalam fisika dan astronomi. Namun, dia juga berhasil menciptakan sejumlah peralatan penting untuk penelitian dan pengembangan astronomi. Ia berhasil menemukan sekitar tujuh peralatan ilmiah yang terbilang sangat penting.

Ketujuh peralatan yang diciptakannya itu dituliskannya dalam Risala fi'l-alat atau Manuskrip tentang Peralatan. Ketujuh alat yang diciptakannya itu adalah triquetrum, dioptra, perlatan segi tiga, quadran dan sektan, astrolab serta peralatan asli tentang refleksi.

Selain berjasa mengembangkan fisika dan astronomi, al-Khazimi juga turut membesarkan ilmu kimia dan biologi. Secara khusus, dia menulis tentang evolusi dalam kimia dan biologi. Dia membandingkan transmutasi unsur dengan transmutasi spesies.

Secara khusus, al-Khazini juga meneliti dan menjelaskan definisi ''berat''. Menurut dia,  berat merupakan gaya yang inheren dalam tubuh benda-benda padat yang mnenyebabkan mereka bergerak, dengan sendirinya, dalam suatu garis lurus terhadap pusat bumi dan terhadap pusat benda itu sendiri.  Gaya ini pada gilirannya akan tergantung dari kerapatan benda yang bersangkutan.

Al-Khazini juga mempunyai gagasan mengenai pengaruh temperatur terhadap kerapatan, dan tabel-tabel berat spesifiknya umumnya tersusun dengan cermat. Sebelum Roger Bacon menemukan dan membuktikan suatu hipotesis tentang kerapatan air saat ia berada dekat pusat bumi, al-Khazini lebih dahulu telah mendalaminya.

Al-Khazini pun telah banyak melakukan observasi mengenai kapilaritas dan menggunakan aerometer untuk kerapatan dan yang berkenaan dengan temperatur zat-zat cair, teori tentang tuas (pengungkit) serta penggunaan neraca untuk bangunan-bangunan dan untuk pengukuran waktu.

Teknologi Pembuatan Mesiu di Era Kekhalifahan

Menguasai teknologi persenjataan merupakan salah satu faktor yang membuat Kekhalifahan Islam di masa kejayaan menjadi begitu tangguh. Selain mumpuni dalam seni pembuatan pedang, dunia Islam pun mampu menggenggam teknologi pembuatan bubuk mesiu - bahan peledak yang digunakan untuk meriam. Sesuatu yang baru diketahui peradaban Barat pada abad ke-14 M.
Meski sejumlah pakar bersepakat bahwa mesiu (gunpowder) pertama kali ditemukan peradaban Cina pada abad ke-9 M. Namun, fakta sejarah juga menyebutkan bahwa ahli kimia Muslim bernama Khalid bin Yazid (wafat tahun 709 M) sudah mengenal potassium nitrat (KNO3)  bahan utama pembuat mesiu  pada abad ke-7 M. Dua abad lebih cepat dari Cina.

Menurut Prof Ahmad Y Al-Hassan dalam bukunya bertajuk Islamic Technology - an ilustrated history tahun (1986), potasium nitrat dikenal di dunia teknologi Islam dengan beragam nama. Senyawa kimia itu pada awalnya digunakan dalam proses metalurgi serta digunakan untuk membuat asam nitra dan aqua regia.
''Rumus dan resepnya dapat ditemukan dalam karya-karya Jabir Ibnu Hayyan (wafat tahun 815 M), Abu Bakar Al-Razi (wafat tahun 932) dan ahli kimia Muslim lainnya," papar Prof Al-Hassan. Dari abad ke abad, istilah potasium nitrat di dunia Islam selalu tampil dengan beragam nama seperti natrun, buraq, milh al-ha'it, shabb Yamani, serta nama lainnya.

Salah satu kelebihan peradaban Islam dibandingkan Cina dalam penguasaan teknologi pembuatan mesium adalah proses pemurnian potasium nitrat. Sebelum bisa digunakan secara efektif sebagai bahan utama pembuatan mesiu, papar Al-Hassan, potasium nitrat harus dimurnikan terlebih dahulu.
Ada dua proses pemurnian potasium nitrat yang tercantum dalam naskah berbahasa Arab. Proses pemurnian yang pertama dicetuskan Ibnu Bakhtawaih pada awal abad ke-11 M. Dalam kitab yang ditulisnya berjudul Al-Muqaddimat yang disusun pada tahun 402 H/1029 M, Ibnu Bakhtawaih menjelaskan tentang pembekuan air dengan menggunakan potasium nitrat - yang disebut sebagai shabb Yamani.
Proses pemurnian potasium nitrat juga termaktub dalam buku berjudul Al-Furusiyyah wa Al-Manasib Al-Harbiyyah karya Hasan Al-Rammah - ilmuwan Muslim pada abad ke-13 M. Dalam karyanya itu, Al-Rammah menjelaskan proses pemurnian potasium nitrat secara komplet. "Prosesnya purifikasi yang disusun Al-Rammah menjadi standar baku yang dapat kita temuka dalam beragaman risalah kemiliteran," imbuh Prof Al-Hassan.
Al-Rammah menjelaskan secara rinci dan jelas tentang proses pemurnian potasium nitrat. Metode pembuatan potasium nitrat ini kerap diklaim peradaban Barat sebagai temuan Roger Bacon. Namun klaim itu dipatahkan sendiri oleh ilmuwan barat bernama Partington. "Proses pembuatan saltpetre - nama lain potasium nitrat - pertama kali diketahui dari Hasan Al-Rammah.
Prof Al-Hassan menemukan fakta bahwa potasium nitrat begitu banyak digunakan pada saat meletusnya Perang Salib. Pada tahun 1249 M, Raja Louis IX dari Prancis mengobarkan Perang Salib VII. Pasukan tentara Perang salib dari Prancis berniat menyerbu Mesir. Dalam Pertempuran Al-Mansurah yang meletus tahun 1250 M, pasukan tentara Salib dibuat kocar-kacir oleh pasukan Muslim.
Bahkan, Raja Louis IX pun takluk dan ditahan karena tak mampu menghadapi kehebatan mnocong meriam dan roket. Pada saat itu, pasukan Muslim sudah menggunakan bubuk mesiu sebagai bahan peledak meriam. Jean de Joinville, salah seorang perwira tentara Perang Salib, menjelaskan dengan betapa hebatnya dampak proyektil yang ditembakkan meriam tentara Muslim terhadap pasukan tentara Prancis.
Kalangan sejarawan menafsirkan kesaksian Joinville itu. Menurut para sejarawan, proyektil yang dijelaskan Joinville itu pastilah mengandung bubuk mesiu. Kehebatannya mampu membuat kocar-kacir pasukan tentara Salib. Lembaga Ruang Angkasa Amerika Serikat (NASA) dalam publikasinya mengenai sejarah roket juga mengakui teknologi militer dunia Islam di abad ke-13 M.
"Pasukan tentara Muslim melengkapi persenjataannya dengan roket yang ditemukannya sendiri. Saat Perang Salib VII mereka menggunakannya untuk melawan pasukan Prancis yang dipimpin Raja Louis IX." Dua dasawarsa berikutnya Raja Louis mencoba kembali menyerang Tunisia.
Namun, dendamnya itu justru berakhir dengan kematian baginya. Pasukan Muslim dibawah kekuasaan Dinasti Mamluk dengan mesiu dan senjatanya kembali membuat kocar-kacir tentara Salib. Sejarawan Inggris, Steven Runciman dalam bukunya A History of the Crusades menuturkan bahwa mesiu digunakan secara besar-besaran pada 1291 M di akhir Perang Salib.
Sejak itu, persenjataan militer menggunakan mesiu secara besar-besaran Pada tahun 1453 M, Sultan Muhammad II Al-Fatih dari Turki juga mampu menaklukkan kepongahan Konstantinopel dengan mesiu dan meriam raksasa. Dalam empat risalah berbahasa Arab disebutkan pada perang Ayn Jalut di Palestina pada tahun 1260 M antara tentara Islam sudah menggunakan meriam kecil yang bisa dijinjing saat bertempur melawan Mongol.
Meriam dan mesiu digunakan dalam peperang di abad pertengahan untuk menakuti kuda-kuda dan pasukan kavaleri musuh. Selain menggunakan mesiu untuk persenjataan, pada era itu juga digunakan untuk membuat mercon. Dinasti Mamluk dalam perayaan-perayaan di abad ke-14 M, dilaporkan biasa menampilkan atraksi petasan. Istilah petasan sudah disebutkan dalam harraqat al-naft or harraqat al-barud.
Seorang penjelajah asal Prancis bernama Bertrandon de la Brocquiere terperangah melihat pertunjukan petasan ketika tiba di Beirut pada tahun 1432 M. Saat itu, penduduk Beirut tengah bersuka cita merayakan hari Idul Fitri. Brocquiere mengaku baru pertama kali melihat pertunjukan mercon. Pada era itu bangsa Prancis belum mengenal dan melihat mercon.
Pada waktu itula, Brocquiere kemudian mencoba mempelajari rumus dan resep rahasia pembuatan mercon. Ia lalu membawa rumus-rumus yang diperolehnya ke Prancis. Sementara itu, untuk pertama kalinya mercon dikenal di Inggris pada tahun 1486 M ketika Henry VII menikah. Sejak era kekuasaan Ratu Elizabeth I, mercon dan kembang api mulai populer.
Sejak abad ke-13 M, peradaban Islam sudah mampu menyusun rumus dan komposisi mesiu serta bahan lainnya yang digunakan untuk membuat berbagai jenis bahan peledak. Peradaban Barat lalu meniru dan menggunakan teknologi yang dimiliki dan dikuasai umat Islam di era keemasan itu.
Meski berutang kepada peradaban Islam, pencapain sangat tinggi yang diraih umat Islam dalam teknologi pembuatan mesiu dan meriam kerap kali dihilangkan para sejarawan Barat. Sejarah Barat selalu menyebutkan sejarah mesiu dari Cina langsung ke Barat, tanpa menyebut pencapaian di dunia Islam. heri ruslan

Hasan Al-Rammah Sang Penemu Roket

Hasan Al-Rammah memang sungguh luar biasa. Pengetahuannya tentang bubuk mesiu sungguh sangat mengagumkan. Betapa tidak. Dalam bukunya berjudul Al-Furusiyyah wa Al-Manasib Al-Harbiyyah, ilmuwan Muslim kelahiran Suriah itu berhasail menulis sebanyak 107 rumus atau resep penggunaan mesiu.
Sebanyak 22 resep mesiu yang diraciknya khusus digunakan untuk roket. Menurut Al-Rammah, komposisi bahan untuk meluncurkan sebuah roket terdiri dari 75 persen potasium nitrat, 9,06 persen sulfur dan 15,94 persennya karbon. Perhitungan yang dilakukan Al-rammah pada abad ke-13 M itu sudah mampu mendekati komposisi ideal, yakni 75 persen potasium nitrat, 10 persen sulfur, dan 15 persen karbon.
Sisa rumus atau komposisi racikan mesiu lainnya yang dibuat Al-Rammah untuk kepentingan militer dan sisanya untuk membuat mercon. Ia menulis buku yang penting dan mengguncangkan itu antara tahun 1270 M hingga 1280 M. buku tersebut secara khusus ditulis atas permintaan seorang guru yang terkenal bernama Najm al-Din Hasan Al-Rammah.
Para sejarawan berpendapat, begitu banyaknya jumlah rumus penggunaan mesiu untuk beragam tipe persenjataan mengindikasikan bahwa Al-rammah tak menemukannya seorang diri. Dalam lembar pertama bukunya, Al-Rammah menyebut pengetahuan yang ditulisnya sebagai warisan pengetahuan. Bisa jadi semua pengetahuannya itu menurun dari sang kakek.
Sebab, pada akhir abad ke-12 M atau awal abad ke-13 M bubuk mesiu sudah dikenal di Suriah dan Mesir. Pencapaian Al-Rammah itu mendapat pengakuan dari peradaban Barat. Johnson mengatakan, dunia Islam merupakan peradaban yang pertama kali kali mengembangkan senjata yang sesungguhnya. Ia juga mampu menjelaskan saltpetre melalui proses kimia dan kristalisasi.
Al-Rammah juga tercatat sebagai seorang insinyur Muslim pertama yang mencetuskan dan menjelaskan tentang torpedo pada 1270 M. dalam bukunya, ia juga menggambarkan sebuah torpedo melesat dengan sebuah sistem roket yang diisi dengan bahan peledak dan memiliki tiga titik api.Al-Rammah memang bukanlah ilmuwan Muslim pertama yang mengenal potasium nitrat. Insinyur Muslim sebelumnya seperti Al-Razi, Al-Hamdani, dan risalah berbahasa Arab-Suriah pada abad ke-10 M itu sudah menjelaskan tentang potasium nitrat dan rumus-rumus tentang mesiu. Ibnu Al-Baitar juga telah mengungkapkan tentang potasium nitrat pada tahun 1240 M.
Peradaban Barat mengklaim bahwa Roger Bacon sebagai orang pertama yang menemukan mesiu. Namun ternyata, penemuan Bacon yang dibangga-banggakan Barat itu merupakan hasil jiplakan dari buku-buku kimia yang berasal dari Arab. Tak heran, jika para sejarawan meragukan kebenaran dan efektivitas rumus yang dihasilkan Bacon.
Ilmuwan Jerman, Albert Magnus juga menguasai mesiu dari 'Liber Ignium'. Ternyata buku itu berasal dari terjemahan dari kitab bahasa Arab ke bahasa Spanyol.

07 April 2009

Nasiruddin Al-Tusi

Saintis Agung Abad ke-13 M


Sejarawan sains kerap menyejajarkan kemasyhuran Nasirudin al-Tusi dengan Thomas Aquinas. Betapa tidak, al-Tusi memang seorang saintis Agung yang terlahir di dunia Islam pada abad ke-13 M. Kontribusinya  bagi perkembangan ilmu pengetahuan modern begitu luar biasa. Hidupnya didedikasikan untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan peradaban Islam.
Al-Tusi pun dikenal sebagai ilmuwan serbabisa. Beragam ilmu pengetahuan dikuasainya, seperti  astronomi, biologi, kimia, matematika, filsafat, kedokteran hingga ilmu agama Islam.Ilmuwan asal Persia ini bernama lengkap Abu Ja’far Muhammad ibn Muhammad ibnu al-Hasan Nasiruddin al-Tusi. Ia terlahir pada 18 Februari 1201 di kota Tus yang terletak di dekat Meshed,  Persia  sekarang sebelah timurlaut Iran.

Ia begitu termasyhur. Tak pelak, jika al-Tusi memiliki banyak nama antara lain, Muhaqqiq Al-Tusi, Khuwaja Tusi dan Khuwaja Nasir. Ia terlahir di awal abad ke-13 M, ketika dunia Islam tengah mengalami masa-masa sulit. Pada era itu, kekuatan militer Mongol yang begitu kuat terus menginvansi wilayah kekuasaan Islam. Satu demi satu, kota-kota Islam dihancurkan dan jatuh ke tangan bangsa Mongol.

''Pada masa itu dunia diliputi kecemasan,'' papar  JJ O'Connor dan EF Robertson. Hal itu membuat rasa aman dan ketenangan para ilmuwan terusik, sehingga sulit untuk mengembangkan pengetahuannya. Dihadapkan pada situasi sulit seperti itu, al-Tusi pun tak dapat mengelak. Al-Tusi tetap belajar dengan segala keterbatasan yang dihadapi.

Ayahnya adalah guru pertama baginya. Sejak belia, al-Tusi  digembleng ilmu agama oleh sang ayahnya yang berprofesi sebagai seorang ahli hukum di Sekolah Imam Keduabelas. Selain digembleng ilmu agama di sekolah itu, al-Tusi juga mempelajari beragam topik ilmu pengetahuan lainnya dari sang paman.

Menurut O'Connor dan Robertson, pengetahuan tambahan yang diperoleh dari pamannya itu begitu berpengaruh pada perkembangan intelektual al-Tusi. Pengetahuan pertama yang diperolehnya dari sang paman antara lain; logika, fisika, metafisika. Ia begitu tertarik pada aljabar dan geometri.

Ketika menginjak usia 13 tahun, kondisi keamanan kian tak menentu. Pasukan Mongol dibawah pimpinan Jengis Khan yang berutal dan sadis mulai bergerak cepat dari Cina ke wilayah barat. Sebelum tentara Mongol menghancurkan kota kelahirannya, dia sudah mempelajari dan menguasai beragam ilmu pengetahuan.

Untuk menimba ilmu lebih banyak lagi, al-Tusi hijrah dari kota kelahirannya ke Nishapur sebuah kota yang berjarak 75 km di sebelah barat Tus. Di kota itulah, sang saintis agung menyelesaikan pendidikannya filsafat, kedokteran dan matematika. Dia sungguh beruntung, karena bisa belajar matematika dari Kamaluddin ibn Yunus. Kariernya mulai melejit di Nishapur.  Pamornya kian mengkilap, sehingga ia  mulai dikenal sebagai seorang sarjana yang hebat.

Pada tahun 1220, invasi militer Mongol telah mencapai Tus dan kota kelahiran Nasiruddin pun dihancurkan. Ketika situasi keamanan tak menentu, penguasa Ismailiyah Nasiruddin Abdurrahim mengajak sang ilmuwan itu untuk bergabung. Tawaran itu tak disia-siakannya. Nasiruddin pun bergabung menjadi salah seorang pejabat di Istana Ismailiyah.

Selama mengabdi di istana itu, ia mengisi waktunya untuk menulis beragam karya yang penting tentang logika, filsafat, matematika serta astronomi. Karya pertamanya adalah kitab Akhlag-i Nasiri yang ditulisnya pada 1232.

Pasukan Mongol yang dipimpin Hulagu Khan  cucu Jengis Khan  pada tahun 1251 akhirnya menguasai istana Alamut dan meluluh-lantakannya. Nyawa al-Tusi selamat, karena Hulagu ternyata sangat menaruh minat terhadap ilmu pengetahuan. Hulagu yang dikenal bengis dan kejam memperlakukannya dengan penuh hormat. Dia pun diangkat Hulagu menjadi penasihat di bidang ilmu pengetahuan.

Meski telah menjadi penasihat pasukan Mongol, sayangnya al-Tusi tak mampu menghentikan ulah dan kebiadaban Hulagu Khan yang membumihanguskan metropolis intelektual dunia, Baghdad pada tahun 1258. Terlebih, saat itu Dinasti Abbasiyah berada dalam kekuasaan Khalifah Al-Musta'sim yang lemah. Terbukti, militer Abbasiyah tak mampu membendung gempuran pasukan Mongol.

Meski tak mampu mencegah terjadinya serangan bangsa Mongol, paling tidak Nasiruddin bisa menyelamatkan dirinya dan masih berkesempatan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Hulagu sangat bangga karena berhasil menaklukkan Baghdad dan lebih bangga lagi karena ilmuwan terkemuka seperti Al-Tusi bisa bergabung bersamanya,'' papar O'Connor dan Robertson dalam tulisannya tentang sejarah al-Tusi.

Hulagu juga amat senang, ketika Nasirrudin mengungkapan rencananya untuk membangun Observatorium di Malagha. Saat itu, Hulagu telah menjadikan Malagha yang berada di wilayah Azerbaijan sebagai ibu kota pemerintahannya. Pada tahun 1259, al-Tusi pun mulai membangun observatorium yang megah. Jejak dan bekas bangunan observatorium itu masih ada hingga sekarang.

Observatorium Malagha mulai beroperasi pada tahun 1262. Pembangunan dan operasional observatorium itu melibatkan sarjana dari Persia dibantum astronom dari Cina. Tekonologi yang diunakan di observatorium itu terbilang canggih pada zamannya. Beberapa peralatan dan teknologi penguak luar angkasa yang digunakan di observatorium itu ternyata merupakan penemuan Nasiruddin, salah satunya adalah kuadran azimuth.

Selain itu, dia juga membangun perpustakaan di observatorium itu. Koleksi bukunya tebilang lengkap, terdiri dari beragam ilmu pengetahuan. Di tempat itu, al-Tusi tak cuma mengembangkan bidang astronomi saja. Dia pun turut mengembangkan matematikan serta filsafat.

Di Observatorium yang dipimpinnya itu, al-Tusi berhasil membuat tabel pergerakan planet yang sangat akurat. Kontribusi lainnya yang amat penting bagi perkembangan astronomi adalah kitab  Zij-i Ilkhaniyang ditulis dalam bahasa Persia dan lalu diterjemahkan dalam bahasa Arab. Kitab itu disusun setelah 12 tahun memimpin obeservatorium Malagha.

Selain itu, al-Tusi juga berhasil menulis kitab terkemuka lainnya berudul Al-Tadhkira fi'ilm Al-hay'a (Memoir Astronomi). Nasiruddin mampul memodifikasi model semesta episiklus Ptolomeus dengan prinsip-prinsip mekanika untuk menjaga keseragaman rotasi benda-benda langit. Ia wafat pada 26 Juni 1274 di Baghdad. Meski begitu, jasa dan kontribusinya dalam pengembangan ilmu pengetahuan masih tetap dikenang.  hri

Karya dan Pencapaian Sang Ilmuwan Besar


Selama mendedikasikan hidupnya dalam pengembangan ilmu pengetahuan, Nasiruddin Al-Tusi telah menulis beragam kitab yang mengupas bermacam ilmu pengetahuan. Di antara kitab yang berhasil ditulisnya itu antara lain; kitab Tajrid-al-'Aqaid, sebuah kajian tentang Ilmu Kalam; serta Al-Tadhkirah fi'ilm al-hay'ah, sebuah memoir tentang ilmu astronomi.

Kitab tentang astronomi yang ditulis Nasiruddin itu banyak mendapat komentar dari para pakar astronomi. Komentar-komentar itu dibukukan dalam sebuah buku berjudulSharh al-Tadhkirah (Sebuah Komentar atas Al-Tadhkirah) yang ditulis Abd al-Ali ibn Muhammad ibn al-Husayn al-Birjandi dan Nazzam Nishapuri.

Selain itu, Nasiruddin juga menulis kitab berjudul Akhlaq-i-Nasri yang mengupas tentang etika. Kitab lainnya yang terbilang populer adalah Al-Risalah Al-Asturlabiyah (Risalah Astrolabe). Kitab ini mengupas tentang peralatan yang digunakan dalam astronomi. Di bidang astronomi, Nasiruddin juga menulis risalah yang amat populer, yakni Zij-i ilkhani (Ilkhanic Tables). Ia juga menulis Sharh Al-Isharat, sebuah kritik terhadap hasil kerja Ibnu Sina.

Selama tinggal di Nishapur, Nasiruddin memiliki reputasi yang cemerlang, sebagai ilmuwan yang beda dari yang lain. Pencapaian mengagumkan yang berhasil ditorehkan Nasiruddin dalam bidang matematika adalah pembuatan rumus sinus untuk segitiga, yakni; a / sin A = b / sin B = c / sin C.  hri


Kontribusi Sang Ilmuwan bagi  Sains

Astronomi
Ia menulis beragam kitab yang mengupas tentang Astronomi. al-Tusi juga membangun observatorium yang mampu menghasilkan tabel pergerakan planet secara akurat. Model sistem plenaterium yang dibuatnya diyakini paling maju pada zamannya. Dia juga berhasil menemukan sebuah teknik geometrik yang dikenal dengan al-Tusi-couple. Sejarah juga mencatat, al-Tusi sebagai astronom pertama yang mengungkapkan bukti observasi empiris tentang rotasi Bumi.

Biologi
Ia juga turut memberi sumbangan dalam pengembangan ilmu hayat atau biologi. Ia menulis secara luas tentang biologi.  Al-Tusi  menempatkan dirinya sebagai perintis awal dalam evolusi biologi. Dia memulai teorinya tentang evolusi dengan alam semesta yang terdiri dari elemen-eleman yang sama dan mirip. Menurutnya, kontradiksi internal mulai tampak , dan sebagai sebuah hasil, beberapa zat mulai berkembang lebih cepat dan berbeda dengan zat lain.

Dia lalu menjelaskan bagaimana elemen-elemen berkembang menjadi mineral kemudian tanaman, kemudian hewan dan kemudian manusia. Di juga menjelaskan bagaimana variabilitas heriditas merupakan faktor penting dalam evolusi biologi mahluk hidup.

Kimia
Al-Tusi  mengungkapkan versi awal tentang hukum kekekalan massa. Inilah salah satu kontribusinya yang paling penting dalam ilmu kimia. Zat dalam tubuh tak bisa sepenuhnya menghilang. Zat itu hanya mengubah bentuk, kondisi, komposisi, warna dan bentuk lainnya yang berbeda.

Matematika
Selain menghasilkan rumus sinus pada segitiga,  al-Tusi  juga  seorang  matematikus pertama yang memisahkan trigonometri sebagai disiplin ilmu yang terpisah dari matematika

Mustadrak al-Hakim

Sebuah Biografi


1. Nama kelahiran

Nama imam al-hakim adalah Abu Abdillah Al-hakim Muhammad bin Abdullah bin Muhammad bin Na’im bin Al-hakam Adh-dhabbi Ath-Athahmani An-Nasaiburi Al-Hafidz yang terkenal dengan sebutan Ibnu Bayyi’.
Dia lahir pada hari, tanggal 3 bulan Rabiul Awal tahun321 HIjriyah.

Abu Abdillah Al-hakim menuntut ilmu di mulai semenjak masih kecil melalui berkat bimbingan dan arahan ayah serta paman dari ibunya. Adapun pertama kali dia mendengarkan hadits tahun330 Hijriyah ketika baru berumur tuju tahun. Dia mendapatkan hadits secara imla’ dari Abu Hatim Ibnu Hibban pada tahun334 Hijriyah.

Setelah itu, Abu Abdillah Al-hakim melakukan perjalannya mencari ilmu dari Naisaburi ke Irak pada tahun 341 Hijriyah, selang beberapa bulan setelah Isamail As-Syaffar meninggal dunia. Kemudian dia melakukan ibadah haji dan selanjutnya meneruskan perjalannya mencari ilmu kenegeri Khurasan, daerah ma wara’an an-nahri dan lainnya. Adapun para guru Abu Abdillah Al-hakim di naisaburi sendiri jumlahnya mencapai 1000 syaikh. Sedangkan guru-guru yang diperoleh selain dari naisaburi pun kurang lebih 1000 syaikh.

Sebagaimana yang dikatakan Al-Khalil bin Abdillah di depan bahwasannya Abu Abdillah Al-hakim pernah dua kali melakukan perjalannya mencari ilmu ke Irak dan Hijaz. Perjalanan mencari ilmu yang kedua ini dilaksanakan pda tahun 338 Hijriyah.
Adz-Dzahabi berkata, “Abu Abdillah Al-hakim mendapakan sanad hadits yang ‘ali di Khurasan, Irak dan daerah ma wara’an an-nahri. Dia melakukan perjalanannya mencari ilmu ke Irak sewaktu berusia dua puluh tahun tidak lama setelah meninggalnya Ash-Shaffar.

2. Sanjungan para ulama terhadapnya

Abu Ath-Thahrir As-Salafi berkata,” aku telah mendengar Ismail bin Abdul Jabar Al-Qadhi di daerah Qazwain berkata,” aku telah mendengar Al-Khalil bin Abdullah Al-Hafizh ketika menyebut nama Abu Abdillah Al-hakim dengan penuh hormat, dia berkata,” Abu Abdillah Al-hakim telah dua kkali mengujungi Irak dan Hijaz. Kunjungan keduanya ter jadi pada tahun 338 Hijriyah, dimana dia berdiskusi dengan Imam Ad-Daruquthni sampai ia ridha atas Abu Abdillah Al-hakim. Abu Abdillah Al-hakim adalah seorang yang Tsiqah, mempunyai ilmu luas dan karya mencapai kurang lebih lima ratus juz.
Abu Hazim Umar bin Ahmad bin Ibrahim Al-Abdawi Al-Hafidz berkata, “ sesungguhnya Abu Abdillah Al-hakim pernah diangakat menjadi hakim didaerah Nasa’ pada tahun 359 Hijriyah ketika daulah As-Samaniyah berkuasa dengan perdana menterinya yang bernama Abu Ja’far Al-Atabi.

Pada waktu itu, Al-Khalil bin Ahmad As-Sijzi Al-Qadhi menemui Al-Atabi dan berkata,” Allah telah menganugrahkan kepadamu dengan syaikh (Abu Abdillah Al-hakim). Dia telah mnyiapkan diri ke Nsa’ dengan membawa 300.000 hadits Rasulullah S.A.W. “mendengar berita ang dibaca Al-Khalil As-Sijzi ini, wajah Al-Atabi lalu Nampak berseri-seri karena gembira. Kemudian jabatan Abu Abdillah Al-hakim sebagai hakim hendak dipindahkan tugaskan keJUrjan, akan tetapi diamenolaknya.

Aku telah mendengar para syaikh kami berkata,”Abu Bakar Ibnu Ishaq dan Al-walid An-Naisaburi sering bertandang menemui Abu Abdillah Al-hakim untuk menanyakan tentang Jarh wa At-Ta’dil, Illat hadits dan menemukan hadits-hadits yang shahih dari yang tidak shahih.
Pada waktu itu ia tinggal bersama Abu Abdillah Al-Ashami kurang lebih tiga tahun lamanya. Tak satu pun syaikh yang kau ketahui lebih bertaqwa dan cepat bereaksi daripada Abu Abdillah Al-Ashami . Apabila ia menemui dalam hadits, maka dia menyuruhku untuk menanyakan kepada Abu Abdillah Al-hakim dan menulis jawabannya. Jika apa yang aku tulis dari Imam Al-Hakim terdapat jawabannya, maka Abu Abdillah Al-AShami akan memberikan hukum keputusan hadits tersebut dengan jawaban Al-Hakim. Dia telah memilih para gurunya selama 50 tahun.”

Abdul Ghafir Al-Farisi berkata,” Abu Abdillah Al-hakim hanya berteman dengan imam pada masanya, yaitu Abu Bakar Ahmad bin Ishaq Ash-Shibghi. Dia selalu bertanya kepada Ibnu Ishaq Ash-Shighi tentang Jarh Wa Ta’dil dan illat hadits. Abu Bakar Ahmad Ibnu Ishaq As-Sibghi juga berwasiat kepada Al-hakim mnengenai permasalahan madrasahnya Dar As-Sunah, sampai Abu Bakar mempercayakn urusan madrasahnya kepada Abu Abdillah Al-hakim.
Aku juga sering mendengar para guru kami menceritakan hari-harinya dimasa lalu dengan berkata, “sesungguhnya para imam terkemuka dan terdepan dimasanya semisal Imam Sahl Ash-Shu’luki, Imam Ibnu Furak dan beberapa imam lainnya menghormati Abu Abdillah Al-hakim melebihi dari merka sendiri. Mereka mengutamakan dan mendahulukan kepentingan Abu Abdillah Al-hakim karena kelebihan dan kemampuan menghafal makrifat ynag dimilikinya.”

Ketika Abu Abdillah Al-hakim menghadiri suatu pengajian, par syaikh dan peserta yang hadir akan memuliakannya. Mereka setia mendengarkan apa yang disampaikan Abu Abdillah Al-hakim karena hormat dan fasihnya pembicaraanya .”
Al-Abdawi berkata, “ aku telah mendengar Abu Abdurrahman As-Sulami berkata, “pada waktu itu aku akan menulis hadits di juz kitab bagian luar dari hadits Imam Abi Al-Husain Al-Hajjaji Al-Hafizh; ketika aku mengambil pena untuk menulisnya, tiba-tiba Al-Hafizh membantingku dan berkata, “apa-apaan ini! Aku(Al-Hafizh) telah menghafalnya dan Abu Abdillah Al-hakim lebih hafizh dariku. Sedangkan aku tidak menjumpai seorangpun yang hafizh selain Abu Ali An-Naisaburi dan Abu Abbas Ibnu Uqdah.”kemudian aku(As-Sulami) bertanya kepada Ad-Daruquthni,” siapakah yang lebih hafizh di antara Ibnu Mandah dan Abu Abdillah Al-hakim? Ad-Daruquthni menjawab,” Abu Abdillah Al-hakim lebih mutqin (mantap)hafalannya”.
Ad-Dzahabi,” Abu Abdillah Al-hakim adalah seorang imam yang hafizh, kritukus perawi hadits yang dalm ilmunya serta syaihknya para ulama ahli hadits.”

Adz-Dzahabi berkata lebih lanjut, “barang siap mernungkan karya-karya Imam Abu Abdillah Al-hakim, pembahsannya ketika meberikan imla’ dan analisa pandanganya menganai jalur-jalur periwayatan hadits, maka ia kan mengakui kecerdasan dan kelebihan yang dimiliki Imam Abu Abdillah Al-hakim.Sesungguhnya Imam Al-Hakim mengikuti jejak para pendahulunya dimana para ulama setelahnya akan kerepotan mengikuti jerih payah sebagaimana yang di lakukan Abu Abdillah Al-hakim. Dia hidup dengan terpuji dan tidak ada seorang pun setelahnya menyamainya.”
Tajudin As-Subki mengatakan bahwasannya Abu Abdillah Al-hakim adalah seorang imam yang mulia, hafizh yang banyak hafalannya dimana ulama telah mengakui kemampuannya yang telah dia miliki. Banyak ahli hadits berdatangan untuk menemuinya dari berbagai Negara karena keluasan ilmunya dan banyaknya hadits yang diriwayatkannya.
Para ulama sepakat bahwasanya Abu Abdillah Al-hakim termasuk ulama yang paling pandai yang telah Allah utus guna memelihara agama-Nya ini.

Abu Hazim berkata, “orang pertama kali yang popular mengusai dan menghafal hadits berikut I’llat-I’llatnya di naisaburi setelah Imam Muslim bin Al-Hajjaj Adalah Ibrahim bin Abi Thalib yang semasa denagn imam An-Nasa’I dan Ja’far Al-Faryabi.
Periode berikutnya adalah Abu Hamid Asy-Syarqi yang semasa dengan Abu Bakar bin Ziyad An-Naisaburi dan Abu Al-Abbas bin Said.
Kemudian Abu Ali Hafizh yang semasa dengan Abu Ahmad Al-Assal dan Ibrahim bin Hamzah. Setelah itu adalh Asy-Syaikhani, Abu Al-Husain Al-Hajjaj dan Abu Ahmad Al-hakim yang semasa dengan Ibnu Adi, Ibnu Al-Mudzhaffar dan Ad-Daruqthuni.

Sedangkan, Abu Abdillah Al-hakim dimasanya adlah seorang diri yang tidak ada ulama lain selain dirinya, baik di Hijaz, Irak, Jabal, Rai Thabaristan, Qaus, Khurasan, dan daerah mawara’an an-nahri.”
Inilah sebagian penuturan Abu Hazim yang disampaikan dalam biografi Imam Abu Abdillah Al-hakim. Di akhir kisahnya , Abu Hazim berkata,”semoga Allah menjadikan kita sebagai orang-orang yang pandai bersyukur atas nikmatnya ini.”

3. Jawaban atas tuduhan yang menuduhnya mengikuti syiah

Imam At-Taj As-Subki berkata secara ringkasnya adalah sebagai berikut, “Abu Abdillah Al-hakim tealah di tuduh mengikuti aliran syiah.tuduhan itu berdasarkan pada suatu pendapat bahwa Abu Abdillah Al-hakim tealah mendahulukan kedudukan Ali bin abi Thalib biarpun dia tidak mencela salah satu sahabat.

Setelah kami koreksi peryataan tersebut, teryata kami jumpai bahwa Abu Abdillah Al-hakim adalah seorang ulama ahli hadits yang para ulama tidak mengalami perbedaan pendapat tentangnya. Sesungguhnya jarang sekali kita jumapai ulama ahli hadits yang mengikuti aliran syiah.kalau pun ada, maka itu hanya segelintir orang saja pada suatu komunitas.
Dan, dari segekintir orang yang mengikuti aqidah syi’ah ini, ketika kami pelajari gurunya yang memiliki hubungan lebih khusus kepada mereka, teryata guru tersebut adalah ulama ahli hadits terkemuka yang mengikuti Ahlus Sunnah wal Jamaah.

Disamping itu, mereka para guru juga berpegang teguh pada aqidah Imam Abu Al-Hasan Al-Asy’ari semisal syaikh Abu Bakar Ibnu Ishaq As-Shibghi, Abu Bakar bin Furak, Abu Sahal Ash-Shu’uluki dan yanga lainya. Orang-orang seperti mereka inilah yang selalu mereka geluti pengajiannya dan yang menyampaikan kepada mereka dasar-dasar agama dan sejenisnya.
Dan, ketika kami melihat dengan seksama kitab sejarah karya Imam Abu Abdillah Al-hakim dalam menyebutkan biografi para ulama Ahlul Sunnahwal Jamaah, maka kami menamukan bahwasannya Abu Abdillah Al-hakim menyebutkan bigrafi mereka sesuai hak-hak dan kemulian mereka.
Sebagai misal, perhatikanlah biografi Abu Sahal Ash-Shu’luki, Abu Bakar Ibnu Ishaq dan selainya dalam kitab sejarah karaya Al-Hakim. Disitu Abu Abdillah Al-hakim tidak menyinggung sedikitpun tengtang perbedaan akidah mereka.
Ketika saya mengoreksiya dengan metode istiqra’, tidak tamapak sedikit pun pembahasan sejarahwan yang bersifat celaan ataupun ejekan dalam akidah dan kitab sejarah Al-Hakim. Padahal, sudah menjadi kebiasaan mereka (para ahli sejarah) adalah mngutip dari pendapat ulama yang lain, dan la haula wa quwwat illa billah.
Dan, ketiaka saya melihat biografi Abu Abdillah Al-hakim yang disebutkan Abu Al-Qasim Ibnu Asakir Al-Hafizh Ats-Tsabit, maka Ibnu Akasir menyebutkanya dalam sekelompok ulama Asy’ariyah, Abu Abdillah Al-hakim adalah ulama yang termasuk diklaim berlaku bid’ah karena berlaku tasyayyu’. Namun, para ulama kahirnya menyerhakan semua klaim sekelompok orang terhadap Abu Abdillah Al-hakim tersebut kepada Allah SWT.

4. Guru dan Murid-muridnya

Guru-guru Abu Abdillah Al-hakim sebagaimana disebutkan Adz-Dzahabi adalah: Ayahnya sendiri, Muhammad bin ali bin Umar Al-Mudzakkar, abu Al-Abbas al-asham, Abu Ja’far Muhammad bin Shalehbin Hani’, Muhammad bin Abdullah Ash-Shafar, Abu Abdillah Ibnu akhram, Abu Al-Abba Ibnu Mahbub, Abu Hamid Hasnawiyah, Al-Hasan bin Ya’kub Al-Bukhari.
Juga, Abu An-Nadhar bin Muhammad bin Muhammad bin Yusuf, Abu Al-Walid Hasan bin Muhammad, Abu Amr Ibnu As-Samak, Abu Bakar An-Najar, Abu Muhammad Ibnu Darastawiayah, Abu Sahal bin Ziyad, Abdurrahman bin Hamdan Al-Jallab, Ali bin Muhammad bin Uqbah Asy-Syaibani dan abu ali Al-Hafizh. Abu Abdillah Al-hakim senantisa mau belajar dari orang lain meskipun itu dari sahabatnya sendiri.
Sedangkan para murid Abu Abdillah Al-hakim adalah: Ad-Daruqthni, Abu Al-Fath bin Abu Fawaris, Abul Ala’ Al-Wasithi, Muhammad bin ahmad bin Ya’qub, Abu Dzar Al-Harawi, Abu Ya’la Al-Khalili, Abu Bakar Al-Baihaqi, Abu Al-Qasim Al-Qusairi, Abu Shaleh Al-Muadzin, Az-Zaki Abdul Hamid Al-buhari, Utsman Bin Muhammad Al-Mahmahi, Abu Bakar Ahmad bin Ali Bin Khalaf Asy-Syairazi dan masih banyak yang lainnya.
Abu Abdillah Al-hakim belajar ilmu qira’at dari Ibnul Imam, Muhammad bin Abu Manshur Ash-Sharam, Abu Abu Ali bin An-Naqqar Al-Kuffi dan Abu Isa Bakkar Al-Baghdadi. Dan, dia belajar tengtang madzhab dari Ibnu Abi Hurairah, Abu SahalAsh-Shu’luki dan Abu Al-Walid Hisan Bin Muhammad. Al-Hakim sering berdiskusi dengan Al-Ja’labi, Ad-Daruquthni dan yang lain.

Sesuatu yang membuatku paling kagum adalah setelah meliahat abahwa Abu Umar Adh-Dhalmanki telah menulis karya disiplin Ilmu Hadits dari Imam Abu Abdillah Al-hakim. Peristiwa tersebut terjadi pada tahun 339 Hijruyah dimana Abu Umar Adh-Dhalmanki menulis karya Ilmu Hadits tersebut dari seorang syaikh dari Abu Abdillah Al-hakim.

5. Karya-karyanya.

Abu Hazim Umar bin Ahmad Al-Abduwi Al-Hafizh berkata, “aku telah mendengar Abu Abdillah Al-hakim, seorang imam ahli hadits pada masanya, berkata, “aku telah minum air zamzam dengan memohon kepada Allah agar aku diberi anugrah karya yang bagus”.
Abu Thahir berkata, “akau tleah bertanya kepada Sa’ad bin Ali Al-Hafizh tengtang empat ulama yang hidupnya satu masa. Pertayaanku adalah, “dari keempatnya, siapakah yang paling hafizh?” lalu, Sa’ad bin Ali bertanya tentang sipakah empat ulama yang kaumaksudkan.

Setelah aku jelaskan bahwa mereka adalah Ad-Daruquthni, Abdul Ghani, Ibnu Mandah dan Al-Hakim, akhirnya Sa’ad bin Ali menjawab seputar mereka dengan, “Ad-Daruquthni adalah orang yang paling tahu tentang illat-illat hadits, Abdul Ghani Adalah orang yang paling mengerti tentang sejarah manusia, Ibnu Mandah adalah orang yang paling banyak memiliki hadits berikut makrifat yang sempurna, dan Al-Hakim adalah orang yang paling bagus dalam berkarya diantara mereka berempat.”

Adz-Dzahabi berkata, “Al-Hakim telah memulai menuangkan ilmunya dalam bentuk karya kitab pada tahun 337 Hijriyah. Jumlah karya Abu Abdillah Al-Hakim mencapai sekitar 1000(seribu) juz yang terdiri dari tahkrij Ash-Shahihain, Al-Illal, At-Tarajum, Al-Abwab dan Aku-Syuyukh.

Disamping itu, Abu Abdillah Al-Hakim juga menulis kitab Ma’rifah ‘Ulum Al-Hadits, Mustadrak Al-Hakim, Tarikh An-Naisaburiyin, Muzaka Al-Akhbar, Al-Madkhal ila Al-‘Ilmi Ash-Shahih, Al-Iklil, Fadha’il Asy-Syafi’I dan selainya.
Tidak dapat dipungkiri bahwa karya Abu Abdillah Al-Hakim yang paling terkenal adalah kitab Al-Mustadrak ‘ala Ash-Shahihain. Kitab ini telah dicetak menjadi empat jilid berikut catatan pinggir ringkasan Imam Adz-Dzahabi.
Imam Adz-Dzahabi berkata, “ aku telah mendengar Al-Muzhaffar bin Hamzah, ketika di Jurjan, ia berkata, “aku telah mendengar Abu Sa’ad Al-Malini berkata, “aku telah melihat kitab Al-Mustadrak ‘ala Ash-Shahihain karya Imam Abu Abdillah Al-Hakim. Setelah aku periksa dari hadits pertama sampai terakhir, maka aku tidak menjumpai hadits yang sesuai dengan kriteria Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim.”

Atas ungkapan Abu Sa’ad Al-Malini ini, Adz-Dzahabi berkata, “ini adalah penilaian berlebih-lebihan yang bernada sombong dari Abu Sa’ad. Sesungguh didalam Mustadrak ‘ala Ash-Shahihain banyak dijumpai hadits yang sesuai dengan kriteria Imam Al-Bukahri dan Imam Muslim, sesuai dari kriteria salah satu dari Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim yang mencapi sepertiga atau lebih sedikit lagi dari semua isi kitab.

Sebabnya adalah karena banyak dijumpai hadits yang secara lahir Nampak seperti kriteria Syaikhaini atau salah satunya, namun ketika dikoreksi ternyata menyimpan illat khafi (tersembunyi) yang mempengaruhi kadar keshahihan hadits tersebut. Sedangkan, bagian hadits yang sanadnya shaleh, hasan dan jayyid (bagus) mencapai seperempat isi kitab. Dan sisanya adalah hadits mungkar dan ‘ajaib.

6. Meninggalnya

Abu Musa Al-Madani berkata, “Sesungguhnya Abu Abdillah Al-Hakim masuk kamar mandi untuk mandi, ketika keluar, tiba-tiba terdengar suara ‘ah’ pada waktu terdengar suara ‘ah’ itulah, ruh Abu Abdillah Al-Hakim meniggalkan badannya. Kemudian jasadnya dimakamkan setelah Ashar hari Rabu. Abu Bakar Al-Qadhi turut menyalati jenazah”.
Adz-Dzahabi berkata, “ Imam Abu Abdillah Al-Hakim meninggal bulan safar tahun 405 Hijriyah.”
Al-Hasan bin Asy’ats Al-Qursy berkata, “dalam tidur, aku melihat Imam Abu Abdillah Al-Hakim menunggang kuda dalam kondisi yang amat baik sekali sambil berkata, “selamat.” Lalu aku bertanya, “ wahai Al-Hakim, dalm hal apa?” Abu Abdillah Al-Hakim menjawab, “ dalam menulis hadits. “ As-Subki berkata, “menurutku yang demikian itu benar”.

7. Kitabnya Al-Mustadrak ‘Ala as-Shohihain.

Tujuan al-Hakim menyusun kitab al-Mustadrak adalah untuk menghimpun hadis-hadis sahih berdasarkan syarat al-Bukhari dan Muslim, atau salah seorang daripada mereka, yang tidak ditulis dalam kitab sahih masing-masing. Al-Hakim telah menghimpun sebanyak 8,803 hadis di dalamnya dan mensahihkannya mengikut beberapa tahap:
1. Hadis yang sahih mengikut syarat al-Bukhari dan Muslim.
2. Hadis yang sahih mengikut syarat salah seorang daripada mereka sama ada syarat al-Bukhari atau mengikut syarat Muslim.
3. Hadis yang sahih tanpa disandarkan kepada al-Bukhari atau Muslim yaitu hadis sahih mengikut syarat al-Hakim sendiri.
4. Hadis yang tidak diberi apa-apa derajat. Kemungkinan al-Hakim bermaksud untuk menilainya setelah siap menyusun kitab al-Mustadrak tetapi dia tidak sempat untuk menunaikan maksudnya.
Kajian yang dilakukan semula oleh tokoh-tokoh hadis selepas al-Hakim mendapati wujud beberapa penyanggahan dalam teknik pensahihan al-Hakim. Mereka dapati hanya sebahagian hadis yang derajatnya menempati pensahihan al-Hakim manakala selainnya tidak.

Ada hadis yang dihukum sahih oleh al-Hakim berdasarkan syarat al-Bukhari dan Muslim akan tetapi ada pula yang mendapati ia tidak menempati syarat al-Bukhari dan Muslim.Demikian juga bagi hadis yang beliau sahihkan berdasarkan syarat salah seorang daripada mereka, atau berdasarkan syarat al-Hakim sendiri. Bahkan adakalanya di balik pensahihan tersebut, ada pula yang mendapati hadis tersebut sebenarnya memiliki derajat dha‘if, sangat dha‘if sehingga sampai ke darjat palsu (maudhu’).

Para ahli hadis ini yang mengetahui penyanggahan ini telah terbagi kepada 3 bagian:

Pertama:

mereka yang mendakwa beliau adalah seorang ahli hadis tetapi pada masa yang sama juga adalah seorang Syi‘ah al-Rafidhah yang jahat. Oleh itu disahihkan hadis-hadis yang tidak sahih bertujuan mencemari asas-asas Ahl al-Sunnah dan pada waktu yang sama membenarkan Mazhab Syi‘ah.

Hal ini dijelaskan oleh al-Zahabi: “Beliau merupakan seorang yang dipercayai tetapi beliau mensahihkan di dalam kitab Mustadraknya itu beberapa hadis yang digugurkan dan begitu banyak boleh dijumpai di dalamnya. Aku tidak mengetahui apa yang dia sembunyikan daripada hal itu atau sememangnya dia tidak mengetahui perkara tersebut (dari kejahilannya sendiri)”.

Sekiranya dia mengetahui kesalahan yang dia lakukan itu dan disengajakan, maka itu merupakan perbuatan khianat dan dia adalah seorang Syiah yang sememangnya masyhur dengan perlakuan sedemikian dalam mengambil hadis yang bercanggah dengan hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim.”
Perkataan yang agak ‘keras’ dilafazkan oleh Abu Ismail Abdullah al-Ansari apabila ditanya tentang al-Hakim: “Beliau ialah seorang imam dalam hadis dan juga Rafidhah yang najis.”

Berkata pula Ibn Thahir al-Maqdisi: “Beliau adalah seorang yang begitu fanatik dalam jiwanya terhadap Syiah. Beliau menampakkan dirinya sunnah dengan mendahulukan para khulafa yang awal, tetapi mula bersikap menyeleweng tentang Mu’awiyah dan ahli keluarganya secara terang dan langsung tidak memohon maaf atas kesalahannya”.
Al-Zahabi berkata: “Aku mengambil jalan sederhana dengan menyatakan bahwa beliau bukanlah Rafidhah (pelampau Syiah) tetapi hanya sekadar seorang Syiah.

Pendapat ini dianggap lemah malah ditolak oleh Ahl al-Sunnah. Ini karena Mazhab Ahl al-Sunnah tidak menghukum seseorang melainkan pada amal zahirnya. Amalan zahir al-Hakim tidak menunjuk atau mengisyaratkan apa-apa tanda bahwa beliau bermazhab Syiah al-Rafidhah.
Perkara paling utama yang boleh dikatakan tentang al-Hakim ialah beliau hanya mengutamakan kecintaan kepada para Ahl al-Bait dan ini dikenali sebagai al-Tasyaiyu’ atau al-Mufadhdhilah.

Kedua:

Bagi usaha mengumpulkan 8,803 buah hadis yang sahih menurutnya. al-Hakim telah mengambil jangka masa yang begitu lama sehingga ke penghujung hayatnya. Dalam jangka masa yang lama ini, sebagaimana kebiasaannya bagi orang yang berusia lanjut mereka tidak begitu mantap dalam menghukum derajat sesebuah hadis, bahkan sering keliru.
Kecerdasan fikiran yang semakin lemah dan berkemungkinan telah menyebabkan al-Hakim banyak membuat kekeliruan di dalam periwayatan hadis dalam al-Mustadrak sehingga ke tahap mensahihkan hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang pernah ditolaknya sendiri dalam kitab yang lain.

Oleh karena kekeliruan yang begitu nampak ini dalam kajian ilmu hadis, sebagian ahli hadis menganggap lemah pensahihan hadis al-Hakim sehingga tidak boleh berhujah dengannya melainkan perlu di teliti lebih dulu.
Ibn Hajar al-‘Asqalani rahimahullah (852H) menerangkan: (al-Hakim adalah) seorang imam yang sangat benar dan juga seorang yang sangat bahaya, paling utama yang disebutkan tentangnya adalah dia digolongkan di kalangan orang-orang yang dha‘if. Tetapi telah diperkatakan oleh sebahagian ulama tentang keuzurannya kerana dia menulis kitab al-Mustadrak ketika di penghujung umurnya. Malahan sebahagian yang lain menyebutkan bahwa beliau telah mulai tidak kuat mengingat.

Ketiga:

al-Hakim dalam periwayatan hadis agak bermudah-mudahan (tasahul) di dalam mensahihkan sesuatu hadis. Ini sebagaimana terang Ibn al-Shalah rahimahullah (643H): ”Dan dia (al-Hakim) meluaskan syarat penetapan hadis sahih dan mengambil sikap bermudah-mudahan dalam menghukum dengannya.”
Ibn Dihyah di dalam kitabnya al-‘Ilm berkata: “Menjadi kewajipan kepada ulama hadis untuk berwaspada pada setiap perkataan al-Hakim Abu Abdullah karena dia banyak berbuat keliru, menzahirkan hadis-hadis yang tertolak.”
Berkata Abu Sa’id al-Malini: “Aku telah melihat kitab al-Mustadrak yang dikarang oleh al-hakim daripada mula hingga akhir dan kau tidak jumpa sebuah hadis yang terdapat syarat kedua imam tersebut (al-Bukhari dan Muslim).”

Berkata al-Zahabi dalam mengomentari pendapat tersebut: “Ini merupakan pendapat yang terlalu oleh al-Malini, sedangkan masih terdapat sejumlah hadis yang menepati syarat kedua imam tersebut dan sejumlah besar lagi mengikut syarat salah seorang dari keduanya. Adapun kedua syarat tersebut memenuhi setengah kitabnya, seperempat di kalangan hadis yang sah dari aspek sanadnya sekalipun terdapat sedikit kecacatan, dan seperempat lagi yang mengandungi hadis munkar dan lemah yang tidak sah diamalkan serta selebihnya adalah hadis palsu.”

Teknologi Pengolahan Aspal di Era Kekhalifahan

Ibarat langit dan bumi. Begitulah para sejarawan kerap menggambarkan perbedaan antara kota-kota di dunia Islam dengan Eropa di era kekhalifahan. London dan Paris--kini metropolis dunia pada masa kejayaan Islam hanyalah kota kumuh dengan jalanan becek yang penuh lumpur ketika hujan. Kondisi itu sungguh berbeda dengan Baghdad dan Cordoba--dua metropolitan dunia--yang berkembang sangat pesat di zaman kejayaan Islam.
Sejarawan Barat, Philip K Hitti, dalam bukunya yang termasyhur, History of Arab, melukiskan jalan-jalan di kedua metropolis Islam itu begitu licin berlapiskan aspal. "Seni membuat jalan sungguh telah berkembang pesat di tanah-tanah Islam," ungkap Hitti. Menurutnya, bermil-mil jalan di Kota Cordoba--pusat kekhalifahan Islam di Spanyol--begitu mulus dilapisi dengan aspal.
Tak cuma itu, pada malam hari, jalan-jalan di Cordoba pun telah diterangi dengan lampu. "Di malam hari, orang-orang bisa berjalan dengan aman," imbuh Hitti. "Sedangkan di London dan Paris, orang yang berjalan di waktu hujan pasti akan terperosok dalam lumpur,'' cetusnya. Orientalis dan arkeolog terkemuka Barat, Stanley Lane-Poole, juga sangat mengagumi kehebatan pembangunan jalan di Cordoba.
"Anda dapat menelusuri jalan-jalan di Cordoba pada malam hari dan selalu ada lampu yang akan memandu perjalanan Anda," papar Lane-Poole. Sebuah inovasi dan pencapaian begitu tinggi yang belum terpikirkan peradaban Barat ketika itu. Masyarakat Barat baru mengenal pembangunan jalan berlapis aspal sekitar tujuh abad setelah peradaban Islam di Spanyol menerapkannya.
Dr Kasem Ajram (1992) dalam bukunya, The Miracle of Islam Science, 2nd Edition juga memaparkan pesatnya pembangunan infrastruktur transportasi, jalan--yang dilakukan di zaman kekhalifahan Islam. "Yang paling canggih adalah jalan-jalan di Kota Baghdad, Irak. Jalannya sudah dilapisi aspal pada abad ke-8 M," cetus Ajram. Yang paling mengagumkan, pembangunan jalan beraspal di kota itu telah dimulai ketika Khalifah Al-Mansur mendirikannya pada 762 M.
Menurut catatan sejarah transportasi dunia, negara-negara di Eropa baru mulai membangun jalan pada abad ke-18 M. Insinyur pertama Barat pertama yang membangun jalan adalah Jhon Metcalfe. Pada 1717, dia membangun jalan di Yorkshire, Inggris, sepanjang 180 mil. Ia membangun jalan dengan dilapisi batu dan belum menggunakan aspal.
Kali pertama peradaban Barat mengenal jalan aspal adalah pada 1824 M. Sejarah Barat mencatat, pada tahun itu aspal mulai melapisi jalan Champs-Elysees di Paris, Prancis. Sedangkan, jalan beraspal modern di Amerika baru dibangun pada 1872. Adalah Edward de Smedt, imigran asal Belgia, lulusan Columbia University di New York yang membangun jalan beraspal pertama di Battery Park dan Fifth Avenue, New York City, serta Pennsylvania Avenue.
Ajram mengungkapkan pesatnya pembangunan jalan-jalan beraspal di era kejayaan tak lepas dari penguasaan peradaban Islam terhadap aspal. Sejak abad ke-8 M, peradaban Muslim telah mampu mengolah dan mengelola aspal. "Aspal merupakan turunan dari minyak yang dihasilkan melalui proses kimia bernama distilasi destruktif," ujar Ajram.
Zayn Bilkadi, seoarang ahli kimia dalam tulisannya, Bitumen A History, memaparkan, pertama kali aspal dikenal oleh bangsa Sumeria. Peradaban ini menyebutnya sebagai esir. Orang Akkadia mengenal aspal dengan nama iddu. Sedangkan, orang Arab menyebutnya sayali, zift, atau qar. Sedangkan, masyarakat Barat mengenalnya dengan nama 'bitumen' atau 'asphalt'.
"Inilah produk minyak pertama yang pernah digunakan manusia," papar Bilkadi. Aspal, kata dia, sempat dikuasai oleh orang-orang Mesopotamia. Sejak dulu, aspal menjadi primadona. Aspal pernah digunakan peradaban Babilonia untuk membuat gunung buatan yang dikenal sebagai Menara Babel.
Masyarakat Mesir Kuno menggunakan aspal untuk merawat mumi. Peradaban Islam yang mewarisi teknologi pengolahan aspal, sempat menggunakannya untuk menyembuhkan penyakit kulit dan luka-luka. Hingga akhirnya, peradaban Islam mengenalkan aspal untuk melapisi jalan.
Orang Babilonia sudah mulai menguasai pengolahan aspal secara kuno. Namun, secara modern pengolahan aspal pertama kali ditemukan para ilmuwan Islam. Beberapa ilmuwan yang mengembangkan teknologi pengolahan aspal adalah 'Ali ibnu al-'Abbas al-Majusi pada 950 M. Ia sudah mampu menghasilkan minyak dari endapan aspal yang hitam.
Caranya, papar Al-Majusi, endapan aspal itu dipanaskan sampai mendidih di atas ketel. Lalu, untuk mendapatkan cairan minyak, ia memeras endapan aspal itu sampai mengeluarkan minyak. Selain itu, saintis dari Mesir Muslim lainnya, Al-Mas'udi, juga mengembangkan teknologi pengolahan aspal menjadi minyak.
Al-Mas'udi menguasai teknologi pengolahan aspal menjadi minyak melalui proses yang mirip dengan teknik pemecahan modern (cracking techniques). Dia menggunakan dua kendi berlapis yang dipisahkan oleh kasa atau ayakan. Kendi bagian atas diisi dengan aspal lalu dipanaskan dengan api. Hasilnya, cairan minyak menetes ke kasa dan ditampung di dasar kendi.
Metode pengolahan minyak dari aspal lainnya yang ditemukan insinyur Muslim adalah teknik distilasi yang disebut taqrir. Teknik ini kembangkan oleh sarjana Muslim bernama Al-Razi. Berbekal pengetahuan itulah, pada abad ke-12 peradaban Islam sudah menguasai proses pembuatan minyak tanah atau naphtha.
Menurut Bilkadi, mulai abad ke-12 minyak tanah sudah dijual secara besar-besaran. Di jalan-jalan di sekitar Damaskus, papar dia, banyak orang yang menjual minyak tanah. Di Mesir pun, minyak tanah pada abad itu telah digunakan secara besar-besaran. Dalam salah satu naskah disebutkan, dalam sehari rumah-rumah di Mesir menghabiskan 100 ton minyak untuk bahan bakar penerangan.
Penggunaan aspal menjadi pelapis jalan pun terus dikembangkan para saintis Muslim. Untuk melapisi jalan, para insinyur Muslim di Nebukadnezar menggunakan campuran aspal dengan pasir. Campuran pasir dan aspal untuk melapisi jalan itu di Irak dikenal dengan nama ghir.
Kosmografer Muslim, Al-Qazwini, dalam bukunya Aja'ib Al-Buldan (Negeri Ajaib) menuturkan ada dua macam campuran aspal dan pasir yang digunakan untuk melapisi jalan. Jika digunakan untuk mengaspal jalan, campuran itu dikenal sangat kuat dan lekat. Inilah salah satu bukti lagi bahwa peradaban Islam adalah perintis dalam berbagai penemuan dan teknologi. Sebuah kebanggaan yang seharusnya bisa menumbuhkan kembali semangat untuk bangkit mencapai kejayaan. 

Ali Ibnu Abbas Al-Majusi Penemu Teknik Pengolahan Aspal

Haly Abbas. Itulah nama panggilan Ali Ibnu Abbas Al-Majusi di Barat. Dokter dan psikolog Muslim ini turut berjasa dalam mengembangkan teknologi pengolahan aspal menjadi minyak. Ilmuwan dari Persia itu cukup dikenal di Barat lewat buah pikirnya yang berjudul Kitab Al-Maliki serta Kitab Kamil as-Sina'a at-Tibbiyya (Complete Book of the Medical Art). Buku teks kedokteran dan psikologi yang ditulisnya itu sangat berpengaruh di Barat.
Al-Majusi terlahir di Ahvaz, Persia Tenggara. Ia menimba ilmu dari Syeikh Abu Maher Musa ibnu Sayyar. Ia adalah satu dari tiga dokter terhebat di kekhalifahan Islam bagian timur pada zamannya. Berkat kehebatannya itu, dia pun diangkat menjadi dokter di istana Amir Adhad al-Dowleh Fana Khusraw--salah seorang penguasa dari Dinasti Buwaih--yang berkuasa dari tahun 949 M hingga 983 M.
Ia mendirikan sebuah rumah sakit di Shiraz, Persia, serta Rumah Sakit Al-Adudi di Baghdad pada 981 M. Sebelum masuk Islam, Al-Majusi adalah penganut Zooraster yang menyembah api. Al-Majusi berhasil mengolah aspal menjadi minyak yang dapat digunakan untuk mengobati penyakit dan luka kulit. Ia memeras endapan aspal yang dipanaskan untuk diambil airnya.
Selama mengabdikan dirinya untuk Amir Dinasti Buwaih, Al-Majusi menulis Kitab al-Maliki (Buku Istana). Buku itu telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin bertajuk Liber Regalis atau Regalis Dispositio. Buku ini dianggap lebih sistematis dan lebih ringkas dibandingkan ensiklopedia karya Al-Razi yang berjudul Al-Hawi. Bahkan, dibandingkan dengan The Canon of Medicine karya Ibnu Sina yang legendaris itu, Kitab Al-Maliki ini dipandang lebih praktis.
Kitab Al-Maliki terbagi dalam 20 diskursus. 10 bab pertama mengulas teori dan 10 bab sisanya mengupas praktik kedokteran. Kitab karya Al-Majusi itu diterjemahkan oleh Constantinus Africanus ke dalam bahasa Latin berjudul Liber Pantegni.
Buku itulah yang menjadi rujukan teks didirikannya Sekolah Kedokteran Salernitana di Salerno. Secara utuh, kitab itu diterjemahkan oleh Stephen Antioch pada tahun 1127 M. Buku kedokteran itu lalu dicetak di Venicia pada 1492 dan 1523 M.

Dalam karyanya itu, Al-Majusi menekankan pentingnya hubungan yang sehat antara dokter dan pasien. Hubungan itu, kata dia, sangat penting dalam etika kedokteran. Kitab itu juga mengupas secara detail metodologi ilmiah yang berkaitan dengan riset biomedikal modern. Secara khusus, sang ilmuwan juga mengupas seluk-beluk masalah psikologi dalam bukunya The Complete Art of Medicine.