24 July 2009

Jerarld F Dirks Temui Kenikmatan dan Disiplin dalam Islam



Jerald F Dirks, sebelumnya ialah seorang pendeta yang dinobatkan sebagai Ketua Dewan Gereja Metodis Kini peraih gelar Bachelor of Arts (BA) dan Master of Divinity (M Div) dari Universitas Harvard, serta pemegang gelar Master of Arts (MA) dan Doctor of Psychology (Psy D) dari Universtas Denver, Amerika Serikat, menjalani kehidupan sebagai seorang muslim.

Dibesarkan di tengah lingkungan masyarakat penganut kepercayaan Kristen Metodis, membuat Jerald kecil terbiasa dengan suara dentingan lonceng yang kerap mengalun dari sebuah bangunan tua Gereja Kristen Metodis yang berjarak hanya dua blok dari rumahnya. Bunyi lonceng yang bergema setiap Minggu pagi ini menjadi tanda bagi seluruh anggota keluarganya agar segera menghadiri kebaktian yang diadakan di gereja.

Tidak hanya dalam urusan kebaktian saja, tetapi juga dalam setiap kegiatan yang diselenggarakan oleh pihak Gereja Kristen Metodis, seluruh anggota keluarga ini turut terlibat secara aktif. Karenanya tak mengherankan jika sejak usia kanak-kanak Jerald sudah diikutsertakan dalam kegiatan yang diadakan oleh pihak gereja. Salah satunya adalah mengikuti sekolah khusus selama dua pekan yang diadakan oleh pihak gereja setiap bulan Juni. Selama mengikuti sekolah khusus ini, para peserta mendapat pengajaran mengenai Bibel.

''Secara rutin saya mengikuti sekolah khusus ini hingga memasuki tahun kedelapan, selain kebaktian Minggu pagi dan sekolah Minggu yang diadakan setiap akhir pekan,'' ungkap muallaf kelahiran Kansas tahun 1950 ini. Diantara para peserta sekolah khusus ini, Jerald termasuk yang paling menonjol. Tidak pernah sekalipun ia absen dari kelas. Dan dalam hal menghafal ayat-ayat dalam Bibel, ia kerap mendapatkan penghargaan.

Keikutsertaan Jerald dalam setiap kegiatan yang diselenggarakan oleh komunitas Gereja Metodis terus berlanjut hingga ia memasuki jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP). Diantaranya ia terlibat secara aktif dalam organisasi kepemudaan Kristen Metodis. Dia juga kerap mengisi khotbah dalam acara kebaktian Minggu yang khusus diadakan bagi kalangan anak muda seusianya.
Dalam perjalanannya, khotbah yang ia sampaikan ternyata menarik minat komunitas Kristen Metodis di tempat lain. Ia pun kemudian diminta untuk memberikan khotbah di gereja lain, panti jompo, dan dihadapan organisasi-organisasi kepemudaan yang berafiliasi dengan Gereja Metodis. Sejak saat itu Jerald bercita-cita ingin menjadi seorang pendeta kelak.

Ketika diterima di Universitas Harvard, Jerald tidak mensia-siakan kesempatan demi mewujudkan cita-citanya itu. Ia mendaftar pada kelas perbandingan agama yang diajar oleh Wilfred Cantwell Smith untuk dua semester. Di kelas perbandingan agama ini Jerald mengambil bidang keahlian khusus agama Islam.
Namun, selama mengikuti kelas ini Jerald justru lebih tertarik untuk mempelajari agama Budha dan Hindu. Dibandingkan dengan Islam, menurut dia, kedua ajaran agama ini tidak ada kemiripan sama sekali dengan keyakinan yang ia anut selama ini.

Akan tetapi untuk memenuhi tuntutan standar kelulusan akademik, Jerald diharuskan untuk membuat makalah mengenai konsep wahyu dalam Alquran. Ia mulai membaca berbagai literatur buku mengenai Islam, yang sebagian besar justru ditulis oleh para penulis non-muslim. Ia juga membaca dua Alquran terjemahan bahasa Inggris dalam versi yang berbeda.
Diluar dugaannya buku-buku tersebutlah yang di kemudian hari justru membimbingnya ke kondisi seperti saat ini. Makalah tersebut membuat pihak Harvard memberikan penghargaan Hollis Scholar kepada Jerald. Sebuah penghargaan tertinggi bagi para mahasiswa jurusan Teologi Universitas Harvard yang dinilai berprestasi.

Untuk mewujudkan cita-citanya, bahkan Jerald rela mengisi liburan musim panasnya dengan bekerja sebagai seorang pendeta cilik di sebuah Gereja Metodis terbesar di negeri Paman Sam tersebut. Pada musim panas itu pula ia mendapatkan sertifikat untuk menjadi seorang pengkhotbah dari pihak Gereja Metodis Amerika.

Setelah lulus dari Harvard College di tahun 1971, Jerald langsung mendaftar di Harvard Divinity School atau sejenis sekolah tinggi teologi atas beasiswa dari Gereja Metodis Amerika. Selama menempuh pendidikan di bidang teologi, Jerald juga mengikuti program magang sebagai di Rumah Sakit Peter Bent Brigham di Boston.
Ia lulus dari sekolah tinggi ini tahun 1974 dan mendapatkan gelar Master di bidang teologi. Selepas meraih gelar master teologi, ia sempat menghabiskan liburan musim panasnya dengan menjadi pendeta pada dua Gereja Metodis Amerika yang berada di pinggiran Kansas.

Aktivitasnya sebagai seorang pendeta tidak hanya terbatas di lingkungan gereja saja. Ia mulai merambah ke cakupan yang lebih luas, mulai dari lingkungan sekolah, perkantoran, hingga pesan-pesan ajaran Kristen Metodis ia juga gencar sampaikan kepada para pasien yang datang ke tempat praktiknya sebagai seorang dokter ahli kejiwaan.

Meninggalkan aktivitas gereja

Namun, berbagai upaya dakwah ini dinilainya tidak memberikan dampak positif terhadap kehidupan masyarakat di sekitar ia tinggal. Ia justru menyaksikan terjadinya penurunan moralitas di tengah-tengah kehidupann beragama masyarakat Amerika. Bahkan kondisi serupa juga terjadi di lingkungan gereja.

''Dua dari tiga pasangan di Amerika selalu berakhir dengan perceraian, aksi kekerasan meningkat di lingkungan sekolah dan di jalanan, tidak ada lagi rasa tanggung jawab dan disiplin di kalangan anak muda. Bahkan yang lebih mencengangkan diantara para pemuka Kristen ada yang terlibat dalam skandal seks dan keuangan. Masyarakat Amerika seakan-akan sedang menuju kepada kehancuran moral,'' paparnya.

Melihat kenyataan seperti ini, Jerald mengambil keputusan untuk menyendiri dan tidak lagi menjalani aktivitasnya memberikan pelayanan dan khotbah kepada para jemaat. Sebagai gantinya ia memutuskan untuk ikut terlibat aktif dalam kegiatan penelitian yang dilakukan oleh sang istri. Penelitian mengenai sejarah kuda Arab ini membuat ia dan istrinya melakukan banyak kontak dengan warga Amerika keturunan Muslim Arab . Salah satunya adalah dengan Jamal.
Babak pergaulan dengan Arab Muslim

Pertemuan Jerald dengan pria Arab-Amerika ini pertama kali terjadi pada musim panas tahun 1991. Dari awalnya sekedar berhubungan melalui sambungan telepon, kemudian berlanjut pada saat Jamal berkunjung ke rumah Jerald. Pada kunjungan kali pertama ini, Jamal menawarkan jasa untuk menterjemahkan berbagai literatur dari bahasa Arab ke Inggris yang disambut baik oleh Jerald dan istrinya.

Ketika waktu shalat ashar tiba, sang tamu kemudian meminta izin agar diperbolehkan menggunakan kamar mandi dan meminjam selembar koran untuk digunakan sebagai alas shalat. Apa yang diminta oleh tamunya itu diambilkan oleh Jerald, kendati dalam hati kecilnya ia berharap bisa meminjamkan sesuatu yang lebih baik dari sekedar lembaran surat kabar sebagai alas shalat. Untuk kali pertama ia melihat gerakan shalat dalam agama Islam.

Aktivitas shalat ashar itu terus ia lihat manakala Jamal dan istrinya berkunjung ke rumah mereka seminggu sekali. Dan, hal itu membuat Jerald terkesima. ''Selama berada di rumah kami, tidak pernah sekalipun ia memberikan komentar mengenai agama yang kami anut. Begitu juga ia tidak pernah menyampaikan ajaran agama yang diyakininya kepada kami. Yang dia lakukan hanya memberikan contoh nyata yang amat sederhana, seperti berbicara dengan suara serendah mungkin jika ada diantara kami yang bertanya mengenai agamanya. Ini yang membuat kami kagum,'' ungkapnya.

Dari perkenalannya dengan Jamal dan keluarganya, justru Jerald mendapat banyak pelajaran yang tidak pernah ia dapatkan sebelumnya. Sang tamu telah menunjukkan kepadanya sebuah pelajaran disiplin melalui shalat yang dilaksanakannya. Selain pelajaran moral dan etika yang diperlihatkan Jamal dalam urusan bisnis dan sosialnya serta cara Jamal berkomunikasi dengan kedua anaknya. ''Begitu juga yang dilakukan oleh istrinya menjadi contoh bagi istriku.''

Tidak hanya itu, dari kunjungan tersebut Jerald juga mendapatkan pengetahuan seputar dunia Arab dan Islam. Dari Jamal, ia bisa mengetahui tentang sejarah Arab dan peradaban Islam, sosok Nabi Muhammad, serta ayat-ayat Alquran berikut makna yang terkandung di dalamnya. Setidaknya Jerald meminta waktu kurang lebih 30 menit kepada tamunya untuk berbicara mengenai segala aspek seputar Islam. Dari situ, diakui Jerald, dirinya mulai mengenal apa dan bagaimana itu Islam.

Kemudian oleh Jamal, Jerald sekeluarga diperkenalkan kepada keluarga Arab lainnya di masyarakat Muslim setempat. Diantaranya keluarga Wa el dan keluarga Khalid. Dan secara kontinyu, ia melakukan interaksi sehari-hari dengan komunitas keluarga Arab Amerika ini. Dari interaksi tersebut, Jerald mendapatkan sesuatu ajaran dalam Islam yang selama ini tidak ia temui manakalan berinteraksi dengan komunitas masyarakat Kristen, yakni rasa persaudaraan dan toleransi.

Baru di awal Desember 1992, sebuah pertanyaan mengganjal timbul dalam pikirannya, ''Dirinya adalah seorang pemeluk Kristen Metodis, tapi kenapa dalam keseharian justru bergaul dan berinteraksi dengan komunitas masyarakat Muslim Arab?.'' Sebuah komunitas masyarakat yang menurutnya menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan etika, serta mengedepankan sikap saling menghargai baik terhadap pasangan masing-masing, anggota keluarga maupun sesama. Sebuah kondisi yang pada masa sekarang hampir tidak ia temukan dalam masyarakat Amerika.
Serangkaian Kejadian Tak Terduga

Untuk menjawab keraguannya itu, Jerald memutuskan untuk mempelajari lebih dalam ajaran Islam melalui kitab suci Alquran. Dalam perjalanannya mempelajari Aquran, sang pendeta ini justru menemukan nilai-nilai yang sesuai dengan hati kecilnya yang selama ini tidak ia temukan dalam doktrin ajaran Kristen yang dianutnya.
Kendati demikian, hal tersebut tidak lantas membuatnya memutuskan untuk masuk Islam. Ia merasa belum siap untuk melepaskan identitas yang dikenakan selama hampir 43 tahun lamanya dan berganti identitas baru sebagai seorang muslim.

Begitu pun ketika ia bersama sang istri memutuskan untuk mengunjungi kawasan Timur Tengah di awal tahun 1993. Ketika itu, ia seorang diri makan di sebuah restoran yang hanya menyajikan makanan Arab setempat. Sang pemilik restoran, Mahmoud, kala itu memergoki dirinya tengah membaca sebuah Alquran terjemahan bahasa Inggris. Tanpa berkata sepatah kata pun, Mahmoud melontarkan senyum ke arah Jerald.

Kejadian tak terduga lagi-lagi menghampirinya. Istri Mahmoud, Iman, yang merupakan seorang Muslim Amerika, mendatangi mejanya sambil membawakan menu yang ia pesan. Kepadanya Iman berkomentar bahwa buku yang ia baca adalah sebuah Alquran. Tidak hanya itu, Iman juga bertanya apakah Jerald seorang muslim sama seperti dirinya. Pertanyaan tersebut lantas ia jawab dengan satu kata: Tidak.

Namun ketika Imam menghampiri mejanya untuk menyerahkan bukti tagihan, tanpa disadari Jerald melontarkan kalimat permintaan maaf atas sikapnya, seraya berkata: ''Saya takut untuk menjawab pertanyaan Anda tadi. Namun jika Anda bertanya kepada saya apakah saya percaya bahwa Tuhan itu hanya satu, maka jawaban saya adalah ya. Jika Anda bertanya apakah saya percaya bahwa Muhammad adalah salah satu utusan Tuhan, maka jawaban saya akan sama, iya.'' Mendengar jawaban tersebut, Iman hanya berkata: ''Tidak masalah, mungkin bagi sebagian orang butuh waktu lama dibandingkan yang lain.''

Ikut berpuasa dan shalat

Ketika memasuki minggu kelima masa liburannya di Timur Tengah atau bertepatan dengan masuknya bulan Ramadhan yang jatuh pada bulan Maret tahun 1993, untuk kali pertama Jerald dan istrinya menikmati suasana lain dari ibadah orang Muslim. Demi menghormati masyarakat sekitar, ia dan istri ikut serta berpuasa. Bahkan pada saat itu, Jerald juga mulai ikut-ikutan melaksanakan shalat lima waktu bersama-sama para temannya yang Muslim dan kenalan barunya yang berasal dari Timur Tengah.

Bersamaan dengan akan berakhirnya masa liburannya menjelajah kawasan Timur Tengah, hidayah tersebut akhirnya datang. Peristiwa penting dalam hidup Jerald ini terjadi manakala ia diajak seorang teman untuk mengunjungi Amman, ibukota Yordania.

Pada saat ia melintas di sebuah jalan di pusat ibukota, tiba-tiba seseorag lelaki tua datang menghampirinya seraya mengucapkan, Salam Alaikum dan mengulurkan tangan kanannya untuk bersalaman, serta melontarkan pertanyaan apakah iaseorang Muslim?. Sapaan salam dalam ajaran Islam itu membuatnya kaget. Di sisi lain, karena kendala bahasa, ia bingung harus menjelaskan dengan cara apa ke orang tua tersebut bahwa ia bukan seorang Muslim. Terlebih lagi teman yang bersamanya juga tidak mengerti bahasa Arab.
Mengikrarkan Keislaman
Saat itu Jerald merasa dirinya tengah terjebak dalam situasi yang sulit diungkapkan. Pilihan yang ada dihadapannya saat itu hanya dua, yakni berkata N'am yang artinya iya atau berkata La yang berarti tidak. Hanya ia yang bisa menentukan pilihan tersebut, sekarang atau tidak sama sekali.

Setelah berpikir agak lama dan memohon petunjuk dari Allah, Jerald pun menjawabnya dengan perkataan N'am. Sejak peristiwa tersebut, ia resmi menyatakan diri masuk Islam. Beruntung hidayah tersebut juga datang lepada istrinya di saat bersamaan. Sang istri yang kala itu berusia 33 tahun juga menyatakan diri sebagai seorang Muslimah.

Bahkan tidak lama berselang setelah kepulangannya ke Amerika, salah seorang tetangganya yang juga merupakan seorang pendeta mendatangi kediamannya dan menyatakan ketertarikannya tehadap ajaran Islam. Dihadapannya, tetangganya yang telah berhenti menjadi pendeta Metodis ini pun berikrar masuk Islam.

Kini hari-hari Jerald dihabiskan untuk kegiatan menulis dan memberikan ceramah tentang Islam dan hubungan antara Islam dan Kristen. Bahkan ia juga kerap diundang sebagai bintang tamu dalam program Islam di televisi di banyak negara.
Salah satu hasil karyanya yang menjadi best seller adalah "The Cross and the Crescent: An Interfaith Dialogue between Christianity and Islam". Selain itu ia juga menulis lebih dari 60 artikel tentang ilmu perilaku, dan lebih dari 150 artikel tentang kuda Arab dan sejarahnya. 

Urologi dalam Kitab Al-Hawi Karya Al-Razi




Al-Razi, Ibnu al-Jazzar, al-Zahrawi serta Ibnu Sina merupakan dokter-dokter Muslim legendaris yang lahir di era kekhalifahan. Nama dan buah pikir yang mereka sumbangkan bagi kemajuan peradaban manusia telah diakui masyarakat dunia dari zaman ke zaman. Kontribusi para dokter Muslim itu sangat besar pengaruhnya bagi dunia kedokteran modern.

Salah satu sumbangan yang diberikan keempat dokter Muslim bagi dunia kedokteran modern adalah dalam bidang urologi. Urologi merupakan cabang ilmu kedokteran yang khusus menangani bedah ginjal dan saluran kemih serta alat reproduksi. Keempat dokter  Muslim itu mengkaji dan membahas tentang urologi dalam buku kedokteran yang mereka tulis.

Prof Rabie E Abdel-Halim dalam tulisannya bertajuk Paediatric Urology 1000 Years Ago, mengungkapkan keberhasilan dunia kedokteran Muslim pada 1.000 tahun silam dalam bidang urologi. Keempat  kitab kedokteran yang mengupas masalah urologi itu adalah;  Kitab al-Hawi fi al-Tibb  karya Al-Razi;  Risala fi Siyasat as-Sibian wa-Tadbirihim, karya Ibnu al-Jazzar;   Kitab at-Tasrif li-man 'Ajiza 'an at-Ta 'lif, karya Al-Zahrawi; dan  Al-Qanun fi al-Tibb, karya Ibnu Sina.

Lalu bagaimana  al-Razi mengupas urologi dalam kitabnya yang fenomenal  al-Hawi fi al-Tibb?

Campbell DC dalam karyanya  Arabian Medicine and Its Influence on the Middle Ages, mengungkapkan, kitab  al-Hawi yang terdiri dari 23 volume merupakan  karya Al-Razi dokter Muslim yang hidup di Baghdad pada 841-926 M.  Campbell menyebut  al-Hawi sebagai sebuah ensiklopedia kedokteran dan operasi. "Dan ini merupakan kontribusi utama al-Razi pada bidang kedokteran," tutur Campbell.

Dalam kitab itu, al-Razi mengkritik dunia kedokteran yang berkembang di Yunani dengan hasil pengamatannya yang sangat akurat. Ia telah mampu mengembangkan sebuah mode analisis yang di masa depan membentuk dasar penelitian ilmiah. Sejarawan kedokteran,  Margotta R Cumston, karyanya  An Illustrated History of Medicine, menyatakan, dokter-dokter Muslim di era keemasan Islam memiliki sejumlah kelebihan, yakni  lebih teliti dan hati-hati dalam menganalisis,  memiliki wawasan yang luas mengenai kedokteran Yunani serta  mampu menggali bahan-bahan yang penting dan membuang bahan yang tak berguna.

Menurut Husain dan al-Okbey dalam karyanya  Tibb ar-Razi Dirasa wa tahlil li-kitab al-Hawi,/ tidak seperti pendahulunya, al-Razi mengikuti skema asli dari metode pengklasifikasian penyakit menurut organ yang terpengaruh.

"Dalam hal ini, ia menunjukkan kemampuan yang tertinggi sebagai seorang dokter dengan presentasi berbagai kondisi ilmu penyakit,''  imbuh Campbel dan Meyerhof M dalam karyanya berjudul  Thirty-Three Clinical Observations by Rhazes (circa 900 AD).

Al-Razi biasanya mengkaji sebuah penyakit dari keluhan, kemudian dilakukan analisa awal dan akhir, menjelaskan tanda-tanda yang diperlukan untuk diagnosa. Dalam bidang urologi, al-Razi sudah mampu mendeteksi  gejala yang berat pada penyakit pinggang. Ia sudah berhasil membedakan secara tepat antara ginjal dan batu ginjal atau pembengkakan.

"Perbedaan antara penyakit ini adalah dengan peradangan, bercampur dengan demam, kekerasan dan polyuria dengan frekuensi, dengan halangan, oliguria dan air seni yang jelas dan dengan batu, air seni yang baik atau tidak dan dengan sedimentasi yang mengandung pasir,'' papar al-Razi dalam kitabnya tersebut.

Desnos E dalam karyanya  The History of Urology up to the Latter Half of the Nineteenth Century menjelaskan,  meskipun Rufus of Ephesus telah membedakan antara vesical dan ginjal haematuria, al-Razi,  juga yang memberi alasan physio-anatomis untuk perbedaan ini.

"Tiba-tiba haematuria dalam kaitan dengan pecahnya pembuluh ginjal seperti ini bukan kasus dalam kandung kemih. Ini tidak untuk pembuluh vesical  memecahkan banyak darah yang datang ke situ terjadi pada ginjal. Dan ini adalah karena darah tidak disaring pada pembuluh dari kandung kemih, karena itu terjadi di pembuluh ginjal,'' ungkap al-Razi.

''Tetapi jumlah darah yang datang ke kandung kemih hanya cukup untuk gizi, sedangkan di ginjal, karena darah yang disaring di dalamnya dan kemudian pembuluh darah membesar dan banyak darah datang ke sana, jauh lebih banyak dari yang dibutuhkan untuk nutrisi. Juga pada pembuluh di kandung kemih tidak dekat dengan interior dan tidak didukung dengan pembuluh yang masuk ke dalam ginjal," jelas Al-Razi.

Al-Razi  juga membedakan antara ginjal haematuria berkaitan dengan pemecahan pembuluh dan itu berkaitan dengan kongesti dengan peningkatan permeabilitas. Dalam bab tentang "menghentikan air seni,"  al-Razi berbeda pendapat dengan  pendahulunya Celsus yang menulis di awal era Kristen, dan Paulus of Egina (625-690 M), keduanya hanya menyebutkan untuk penyimpanan air seni.

Al-Razi membedakan antara penyimpanan dan anuria. Ia menyebutkan bahwa air seni berhenti karena kekurangan ginjal dan tanda pemberhentian dari air seni ini. Selain itu,  tidak ada rasa sakit berat di bagian belakang dan bukan di pinggang, saluran kencing dan kandung kemih.

Rasa sakit di daerah pinggang, tutur dia, terjadi akibat kekosongan pada kandung kemih. Tetapi jika ia menjadi batu, tanda-tanda dari batu akan muncul sebelum itu. Dan jika ia menjadi bengkak panas, dengan rasa sakit ada beberapa denyut. Dan jika ia menjadi penyakit di ginjal kemudian itu hanya kekakuan.

Menurut al-Razi, jika terjadi pembengkakan yang kuat, maka air seni tidak berhenti tiba-tiba, namun secara bertahap dan hanya dengan kekakuan. Dan jika akan pembekuan darah atau nanah, maka itu akan diawali oleh maag.

"Dan jika air seni dihentikan karena air seni petikan dari ginjal, kandung kemih akan kosong dan sakit di sepanjang saluran kencingnya itu karena ada penusukan dan penyulaman dan merupakan sakit yang berkelanjutan setelah itu, menggunakan kriteria sebelumnya dalam ginjal," papar Al-Razi.


Dengan gaya yang sama, ia membahas pengamatan klinis tentang penyimpanan. Menurut Husain dan Al-Okbey, al-Razi membedakan dengan presisi hebat antara ginjal vesical atau rasa sakit vesical dan sakit yang berkaitan dengan radang usus besar.

Dia juga unggul dalam membedakan antara batu dormant dan pergerakannya, yang menggambarkan lokasi yang tepat selanjutnya. Radbill menyatakan bahwa al-Razi adalah orang yang pertama  yang menjelaskan  spina bifida. Al-Razi  merupakan dokter pertama yang  menggunakan enemas sebagai persiapan untuk operasi.

Ia juga tercatat sebagai dokter pertama yang berhasil menghancurkan batu besar dengan menggunakan gapit batu. Selain itu, al-Razi juga ditabalkan sebagai dokter pertama yang pertama kali menjelaskan Meatotomi.
Kitab Rujukan Urologi Karya Dokter Muslim
Risala fi Siyasat as-Sibian wa-Tadbirihim
Kitab ini merupakan karya  Ibnu al-Jazzar atau al-Gizar (895-980 M).  Kitab  Siyasat as-Sibian wa-Tadbirihim, terdiri dari 22 bab. Buku kedokteran ini dianggap sebagai lanjutan dari perbedaan pediatri dari penyakit lain. Dalam satu bab khusus, kitab karya al-Jazzar ini  membahas batu yang terdapat pada kandung kemih, termasuk aetiology, kejadian jenis kelamin, gejala dan tanda-tanda.


At-Tasrif li-Man 'Ajiza 'an al-Ta'lif
Kitab karya al-Zahrawi (930-1013 M) itu disebut  Abouleish E dalam karyanya  Contributions of Islam to Medicine Kitab at-Tasrif li-man 'ajiza' 'an at-Ta'lif sebagai  karya terbesarnya dalam bidang pengobatan. Buku kedokteran yang terdiri dari 30 volume itu lebih cocok disebut sebagai ensiklopedia kedokteran dan operasi.

"Al-Zahrawi menjelaskan semua pengetahuan operasi sepanjang hidupnya dalam kitab sebanyak 30 jilid mengenai ensiklopedia kedokteran yang besar," imbuh  Spink MS dalam  Albucasis on Surgery and Instruments.

Sejumlah sejarawan telah menjelaskan jilid ini sebagai buku kedokteran pertama yang pertama memberikan penjelasan  pengobatan lengkap yang rasional disertai ilustrasi, dan berbagai prosedur operasi dan instrumen.

Pada bidang urologi,  al-Zahrawi telah  menemukan sebuah  peralatan pengeboran untuk sebuah lubang pada batu urethal yang berbentuk seperti bor  bernama Al-Michaab. Alat ini terbuat dari  baja, dapat dianggap sebagai dasar lithotripsy.  Al-Zahrawi juga merancang gunting khusus yang disebut  Kalalib , yang digunakan menghancurkan  vesical batu besar melalui perineal cystotomy.

Al-Qanun fi al-Tibb

Cumston menjelaskan Ibnu Sina atau Avicenna (980-1037 M) dalam bidang urologi pada dasarnya mengikuti metode atau analisis  al-Razi. Menurut Desnos, klasifikasi penyakit ginjal  dan kandung kemih telah dijelaskan Ibnu Sina dalam  Al-Qanun.

Gejala Batu Ginjal

Menurut Ibnu Sina, seseorang yang menderita batu ginjal akan merasakan rasa sakit. Rasa sakit akan tambah memburuk ketika batu mulai terbentuk atau saat batu itu turun menuju ke kandung kemih. Penderita batu ginjal, kata kedua dokter Muslim legendaris itu, akan merasakan betapa beratnya panggul mereka.

Ibnu Sina telah mampu membuat perbedaan yang jelas antara batu ginjal dan batu kandung kemih. Para dokter Muslim di zaman memang terbilang fenomenal. Saat dunia barat dikungkung kegelapan, mereka telah menguasai perbedaan beragam penyakit. Mereka telah mampu menjelaskan perbedaan diagnosis antara sakit usus dan sakit ginjal. Penjelasan yang dibuat seribu tahun lalu itu ternyata tak berbeda dengan apa yang diajarkan di sekolah kedokteran saat ini.

Islam di Hong Kong Terus Menggeliat dengan Syiar Dakwah


Hong Kong merupakan salah satu negara terfavorit untuk tujuan wisata dunia. Dan, di negeri ini, pariwisata merupakan tonggak utama perekonomian Hong Kong dengan jumlah wisatawan mencapai 21,81 juta orang tahun 2004. Bahkan, hampir setiap tahun, jumlah wisatawan terus meningkat rata-rata 11,1 persen per tahun.

Negara yang memiliki luas wilayah sekitar 1.100 kilometer persegi ini, dihuni oleh sekitar 6.880.000 jiwa berdasarkan sensus penduduk tahun 2006 dengan kepadatan penduduk mencapai 6.254 per kilometer persegi.

Di negara yang resmi diserahkan pada pemerintahan Republik Rakyat Cina (RRC) 1 Juli 1997 itu, didiami oleh berbagai komunitas agama, seperti Konghucu, Buddha, Kristen, Hindu, Katholik, dan Islam.

Dari sekitar 6,8 juta jiwa itu, sekitar 120 ribu penduduk Hong Kong menganut agama Islam. Sisanya terbagi atas Konghucu, Buddha, Kristen, Hindu, dan Katholik.

Kendati jumlah penganut Islam minoritas, namun kegiatan keagamaan di negeri ini terus menggeliat. Bahkan, dukungan dan kehadiran sejumlah Tenaga Kerja Indonesia (mereka lebih senang disebut dengan Buruh Migran Indonesia, BMI) di negara ini, membuat syiar Islam makin semarak.

Dan, di beberapa distrik (kota) tersibuk di Hong Kong, syiar Islam terus berdenyut. Terdapat lima masjid yang menjadi pusat aktivitas keislaman di negeri bagian Cina ini.

Yang tertua adalah Masjid Jamia yang terletak di Shelley Street, yang dibangun pada 1890-an dan kemudian dibangun kembali pada 1905. Masjid Kowloon dan Pusat Islam di Nathan Road, dibuka pada 1984. Masjid Ammar dan Pusat Islam di Oi Kwan Road di Wan Chai dibuka pada September 1981. Pekuburan Muslim Cape Collinson turut mempunyai masjid. Selain itu, juga ada Masjid Stanley.

Azan mengalun indah di kawasan sibuk aktivitas Nathan Road, Hong Kong. Muazinnya adalah Ahmed Cheung Wong Yee--kini dikenal sebagai Imam Cheung --yang merupakan imam masjid tersebut. Sementara, kerumunan manusia terus bergerak sampai akhirnya berhenti di keset tenunan sebelum masuk masjid, mereka bersiap shalat Jumat.

Pada jam itu, semua perhatian seolah tersedot ke masjid. Para pria seperti sepakat berhenti sejenak dari pekerjaannya, berganti 'kostum', lalu bergerak ke masjid. Di bagian lain, seorang wanita berdiam seperti patung. Mulutnya berucap perlahan, melafalkan ayat-ayat Alquran. Begitu Imam Cheung menyudahi iqamat-nya, shalat berjamaah pun dimulai.

Aktivitas di atas merupakan sekelumit kehidupan komunitas Muslim di Hong Kong. Kota yang padat aktivitas dan memiliki kehidupan yang tidak pernah berhenti, menyisakan sebagian ruang heningnya bagi para pemeluk agama untuk beribadah. Meski bukan mayoritas, namun umat Islam di sana menikmati kebebasan menjalankan ibadah mereka.

Berdasarkan data statistik tahun 2007, jumlah warga Muslim di Hong Kong tercatat ada sekitar 120 ribu orang. Mereka saling berbagi wilayah bersama komunitas Kristen, Buddha, dan Hindu. Karena itu, mereka sangat berhati-hati untuk tidak saling mengganggu satu sama lain. Itu sebabnya, azan hanya boleh dilakukan terbatas di masjid.

Meski demikian, Imam Cheung menyebut pemerintahan Hong Kong cukup akomodatif terhadap kepentingan kelompok Muslim. ''Mereka telah memberikan daging yang disembelih sesuai hukum Islam,'' ujarnya seperti dikutip dari situs IslamOnline.

Selain itu, masjid dan pusat kegiatan Islam cukup berkembang di kota ini. Setiap Jumat, Imam Cheung melayani jamaahnya di masjid Kowloon yang banyak didatangi umat Islam dari berbagai etnis. Sebagian dari mereka merupakan komunitas Cina, sisanya terbagi atas Muslim Asia Tenggara, Timur Tengah, Pakistan, India, dan Afrika.

Ribuan tahun lalu
Komunitas Muslim telah ada di Cina sejak seribu tahun lalu. Dibawa oleh komunitas pedagang Arab yang membawa barang-barangnya berjualan melintasi jalur perdagangan yang dikenal sebagai 'jalur sutra', yang menghubungkan Cina dengan dunia Barat.

Sementara di Hong Kong, perkembangan agama Islam mencapai puncaknya pada saat kedatangan Muslim Pakistan dan India yang dipekerjakan tentara Inggris untuk menjaga kawasan ini. Hong Kong dulunya merupakan koloni Inggris sebelum diserahkan kembali ke Cina pada 1 Juli 1997.

Jumlah penganut Islam semakin berkembang pesat dengan banyaknya komunitas Cina minoritas yang masuk Islam. Kelompok Cina minoritas ini kemudian dikenal dengan nama 'Hui'.

Imam Cheung merupakan salah satu imam yang mengurusi masjid di Hong Kong. Ia memberikan kontribusi besar bagi pengembangan ajaran Islam di kota yang dulunya merupakan koloni Inggris ini.

Ia dibesarkan dan belajar di kawasan Cina Selatan dekat pelabuhan Guangzhou, atau yang dikenal sebagai Canton. Ia menjadi imam mengikuti jejak ayah dan kakeknya yang juga seorang imam dan kini dimakamkan di sana. Hingga di usianya yang lanjut, Imam Cheung masih saja tetap menjalankan tugasnya sebagai imam Masjid. Ia juga menyebarkan ajaran Islam dan mengajarkan sejarah kehidupan Rasulullah SAW.

Sejarah mencatat, perkembangan Islam di Cina sudah berlangsung sejak berabad-abad lalu. Dimulai saat Rasulullah mengirimkan tiga sahabatnya untuk mendatangi negeri Cina untuk menyebarkan ajaran Islam. Dua di antaranya meninggal di perjalanan, sementara satu orang lainnya tiba dan membangun tiga buah masjid, yang salah satunya ada di Guangzhou. Hingga kini, masjid yang dibuat pada 627 M ini masih berdiri di Guangzhou.

Dikisahkan pada 1942, saat usianya menginjak 27 tahun, Imam Cheung diundang ke Hong Kong, berbarengan dengan pendudukan Jepang di wilayah itu. Ia kewalahan mengurusi jenazah prajurit Muslim karena keterbatasan kain dan kayu untuk peti. Bertahun-tahun kemudian, sang Imam masih menjalankan profesinya. Melayani umat Islam yang terus berdatangan ke Hong Kong.

Komunitas Muslim di Hong Kong lebih dari setengahnya merupakan orang Cina asli, dan sisanya merupakan pendatang, seperti orang Pakistan, Malaysia, Indonesia, Filipina, Arab, dan Afrika. Sampai saat ini, belum diketahui secara pasti bagaimana komunitas Muslim asli Hong Kong bisa terbentuk.

Namun, keberadaan komunitas Muslim Hong Kong semakin jelas sejak Hong Kong berada di bawah pemerintahan Inggris pada pertengahan abad ke-19. Inggris membawa tentara-tentara Muslimnya dari India. Datang pula bersama mereka atribut-atribut keislamannya.

Setelah itu, jumlah penganut Islam semakin banyak di Hong Kong sehingga kemudian terbentuklah komunitas Muslim. Melihat hal tersebut, pemerintah Hong Kong kemudian mengalokasikan lahan bagi komunitas Muslim ini untuk membangun masjid dan kuburan. Bertahun-tahun kemudian, lebih banyak lagi orang Islam yang datang ke Hong Kong dan menetap. Di antara mereka adalah Muslim Cina yang datang dari Cina daratan.

Salah satu komunitas Muslim yang berkembang di Hong Kong adalah mereka yang berasal dari kelompok Syiah. Mereka berjumlah 500 orang, namun mereka merupakan kelompok yang sangat kuat dan aktif menggelar dakwah Islam di wilayah itu.

Ibnu Al-Shatir


Sang Penemu Jam Astrolab


Peradaban Barat kerap mengklaim Nicolaus Copernicus (1473 – 1543 M)  sebagai tokoh pencetus teori heliosentrisme Tata Surya.  Sejarawan astronomi menemukan fakta,  ide matematika antara buku Copernicus yang berjudul “De Revolutionibus” memiliki kesamaan dengan sebuah buku yang pernah ditulis seratus tahun sebelumnya oleh ilmuwan Muslim Arab, Ibnu Al-Shatir (1304-1375 M).

Kitab yang menjadi rujukan Copernicus itu  bertajuk  “Kitab Nihayat Al-Sul Fi Tashih al-Usul”. Itu berarti, pemikiran  al-Shatir telah mempengaruhi Copernicus. Siapakah al-Shatir sebenarnya?  Ilmuwan Muslim itu bernama  Ala Al-Din Abu'l-Hasan Ali ibnu Ibrahim ibnu al-Shatir. Ia merupakan seorang astronomer Muslim Arab, ahli matematika, ahli mesin teknik dan penemu.

Ibnu Al-Shatir merombak habis Teori Geosentris yang dicetuskan Claudius Ptolemaeus atau Ptolemy (90 SM– 168 SM). Secara matematis, al-Shatir memperkenalkan adanya epicycle yang rumit (sistem lingkaran dalam lingkaran). Al-Shatir mencoba menjelaskan bagaimana gerak merkurius jika bumi menjadi pusat alam semestanya dan merkurius bergerak mengitari bumi.

Model bentuk Merkurius Ibnu al-Shatir menunjukkan penggandaan dari epicycle menggunakan Tusi-couple, sehingga menghilangkan eksentrik dan equant teori Ptolemaic. Menurut George Saliba dalam karyanya  A History of Arabic Astronomy: Planetary Theories During the Golden Age of Islam, Kitab Nihayat al-Sul fi Tashih al-Usul, merupakan risalah astronomi Ibnu Al-Shatir yang paling penting.

"Dalam kitab itu,  secara drastis ia mereformasi model matahari, bulan, dan planet Ptolemic. Dengan memperkenalkan sendiri model non-Ptolemic yang menghapuskan epicycle pada model matahari, yang menghapuskan eksentrik dan equant. Dengan memperkenalkan epicycle ekstra pada model planet melalui model Tusi-couple, dan yang menghilangkan semua eksentrik/eccentric, epicycle dan equant di model bulan," jelas Saliba.

Sebelumnya, aliran Maragha hanya berpatokan pada model yang sama dengan model Ptolemaic. Model geometris Ibnu al-Shatir merupakan karya pertama yang benar-benar unggul daripada model Ptolemaic karena modelnya ini lebih baik sesuai dengan pengamatan empiris.

Ibnu al-Shatir juga berhasil melakukan pemisahan filsafat alam dari astronomi dan menolak model empiris Ptolemic dibanding filsafat dasar. Tidak seperti astronomer sebelumnya, Ibnu al-Shatir tidak peduli dengan mempertahankan teori prinsip kosmologi atau filsafat alam (atau fisika Aristoteles), melainkan untuk memproduksi sebuah model yang lebih konsisten dengan pengamatan empiris.

Modelnya menjadi lebih baik sesuai dengan pengamatan empiris daripada model-model sebelumnya yang diproduksi sebelum dia. Saliba menambahkan karyanya tersebut menjadi karya penting dalam astronomi, yang dapat dianggap sebagai sebuah "Revolusi ilmiah sebelum Renaissance".

Dalam membuat model barunya tersebut, Ibnu al-Shatir melakukan pengujian dengan melakukan pengamatan empiris. Tidak seperti astronomer sebelumnya, Ibnu al-Shatir umumnya tidak keberatan terhadap falsafah astronomi Ptolemaic, tetapi ia ingin menguji seberapa jauh teori Ptolemy cocok dengan pengamatan empirisnya.

Dia menguji model Ptolemaic, dan jika ada yang tidak cocok dengan pengamatannya, maka ia akan merumuskan sendiri model non-Ptolemaic pada bagian yang tidak cocok dengan pengamatannya.  Pengamatannya yang akurat membuatnya yakin untuk menghapus epicycle dalam model matahari Ptolemaic.

Ibnu al-Shatir juga merupakan astromer pertama yang memperkenalkan percobaan dalam teori planet untuk menguji model dasar empiris Ptolemaic. Saat menguji model matahari Ptolemaic, Ibnu al-Shatir memaparkan ''pengujian nilai Ptolemaic untuk bentuk dan ukuran matahari dengan menggunakan pengamatan gerhana bulan."

"Karyanya tentang percobaan dan pengamatannya memang telah musnah, namun buku  The Final Quest Concerning the Rectification of Principles adalah milik al-Shatir,'' papar Saliba.
Pengaruh Karya Ibnu Al-Shatir

"Meskipun sistemnya merupakan geosentri yang kuat, dia telah menghapuskan equant dan accentric Ptolemaic dan rincian sistem matematikanya hampir serupa dengan karya  Copernicus' De revolutionibus," jelas V  Roberts and E. S. Kennedy dalam karyanya "The Planetary Theory of Ibn al-Shatir".


Menurut Saliba, model bulan Copernicus juga tidak berbeda dengan model Ibnu al-Shatir. Dengan demikian dapat percaya bahwa model Ibnu al-Shatir telah diadaptasi oleh Copernicus dalam model heliocentric.

"Walaupun masih belum jelas bagaimana ini dapat terjadi, diketahui bahwa manuskrip Byzantine Yunani yang berisi  Tusi-couple tempat Ibnu al-Shatir bekerja telah mencapai Italia pada abad ke-15 M," jtutur AI Sabra dalam karyanya  "Configuring the Universe: Aporetic, Problem Solving, and Kinematic Modeling as Themes of Arabic Astronomy".

Saliba menambahkan, diagram model heliocentric yang dikembangkan Copernicus, termasuk tanda-tanda dari poin,  hampir sama dengan diagram dan tanda-tanda yang digunakan Ibnu al-Shatir pada model geosentrisnya. "Sehingga sangat mungkin bahwa Copernicus terpengaruh karya Ibnu al-Shatir," ujarnya.

YM Faruqi dalam karyanya " Contributions of Islamic scholars to the scientific enterprise", mengungkapkan, "Teori pergerakan bulan Ibnu al-Shatir sangat mirip dengan yang dicetuskan Copernicus sekitar 150 tahun kemudian".  Begitulah  Ilmuwan Muslim al-Shatir mampu memberi pengaruh bagi dunia Barat.

Kontribusi Al-Shatir  dalam Bidang Teknik

Jam Astrolab
David A King dalam bukunya bertajuk  The Astronomy of the Mamluks menjelaskan bahwa Ibnu al-Shatir menemukan jam astrolabe pertama di awal abad ke-14 M.

Jam Matahari
Menurut catatan sejarah, sundial atau jam matahari merupakan jam tertua dalam peradaban manusia. Jam ini telah dikenal sejak tahun 3500 SM. Pembuatan jam matahari di dunia Islam dilakukan oleh Ibnu al-Shatir, seorang ahli Astronomi Muslim ( 1304-1375 M). "Ibnu al-Shatir merakit jam matahari yang bagus sekali untuk menara Masjid Umayyah di Damaskus," ujar David A King dalam karyanya bertajuk  The Astronomy of the Mamluks.

Berkat penemuannya itu, ia kemudian dikenal sebagai  muwaqqit (pengatur waktu ibadah) pada Masjid Umayyah di Damaskus, Suriah. Jam yang dibuat Ibnu al-Shatir itu masih tergolong jam matahari kuno yang didasarkan pada garis jam lurus. Ibnu al-Shatir membagi waktu dalam sehari dengan 12 jam, pada musim dingin waktu pendek, sedangkan pada musim panas waktu lebih panjang. Jam mataharinya itu merupakan polar-axis sundial paling tua yang masih tetap eksis hingga kini. 

"Jam mataharinya merupakan jam tertua polar-axis sundial yang masih ada. Konsep kemudian muncul di Barat jam matahari pada 1446," ungkap Jones, Lawrence dalam karyanya  "The Sundial And Geometry".

Kompas
David A.King  mengatakan Ibnu al-Shatir juga menemukan kompas, sebuah perangkat pengatur waktu yang menggabungkan jam matahari dan kompas magnetis  pada awal abad ke-14 M.

Instrumen Universal
Ibnu al-Shatir menjelaskan instrumen astronomi lainnya yang ia disebut sebagai "instrumen universal''.  Penemuan al-Shatir ini kemudian dikembangkan  seorang astronomer dan rekayawasan legendaris di era kekhalifahan Turki  Usmani,  Taqi al-Din. Iinstrumen itu digunakandi observatorium al-Din Istanbul 1577-1580 M.

16 July 2009

Maurice Bucaille tak Ragu dengan Kebenaran Alquran

Penelitiannya tentang Mumi Firaun membawanya pada kebenaran Alquran.


Suatu hari di pertengahan tahun 1975, sebuah tawaran dari pemerintah Prancis datang kepada pemerintah Mesir. Negara Eropa tersebut menawarkan bantuan untuk meneliti, mempelajari, dan menganalisis mumi Firaun. Tawaran tersebut disambut baik oleh Mesir. Setelah mendapat restu dari pemerintah Mesir, mumi Firaun tersebut kemudian digotong ke Prancis. Bahkan, pihak Prancis membuat pesta penyambutan kedatangan mumi Firaun dengan pesta yang sangat meriah.

Mumi itu pun dibawa ke ruang khusus di Pusat Purbakala Prancis, yang selanjutnya dilakukan penelitian sekaligus mengungkap rahasia di baliknya oleh para ilmuwan terkemuka dan para pakar dokter bedah dan otopsi di Prancis. Pemimpin ahli bedah sekaligus penanggung jawab utama dalam penelitian mumi ini adalah Prof Dr Maurice Bucaille.

Bucaille adalah ahli bedah kenamaan Prancis dan pernah mengepalai klinik bedah di Universitas Paris. Ia dilahirkan di Pont-L'Eveque, Prancis, pada 19 Juli 1920. Bucaille memulai kariernya di bidang kedokteran pada 1945 sebagai ahli gastroenterology. Dan, pada 1973, ia ditunjuk menjadi dokter keluarga oleh Raja Faisal dari Arab Saudi.

Tidak hanya anggota keluarga Raja Faisal yang menjadi pasiennya. Anggota keluarga Presiden Mesir kala itu, Anwar Sadat, diketahui juga termasuk dalam daftar pasien yang pernah menggunakan jasanya.

Namanya mulai terkenal ketika ia menulis buku tentang Bibel, Alquran, dan ilmu pengetahuan modern atau judul aslinya dalam bahasa Prancis yaitu La Bible, le Coran et la Science di tahun 1976.

Ketertarikan Bucaille terhadap Islam mulai muncul ketika secara intens dia mendalami kajian biologi dan hubungannya dengan beberapa doktrin agama. Karenanya, ketika datang kesempatan kepada Bucaille untuk meneliti, mempelajari, dan menganalisis mumi Firaun, ia mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menguak misteri di balik penyebab kematian sang raja Mesir kuno tersebut.

Ternyata, hasil akhir yang ia peroleh sangat mengejutkan! Sisa-sisa garam yang melekat pada tubuh sang mumi adalah bukti terbesar bahwa dia telah mati karena tenggelam. Jasadnya segera dikeluarkan dari laut dan kemudian dibalsem untuk segera dijadikan mumi agar awet.

Penemuan tersebut masih menyisakan sebuah pertanyaan dalam kepala sang profesor. Bagaimana jasad tersebut bisa lebih baik dari jasad-jasad yang lain, padahal dia dikeluarkan dari laut?

Prof Bucaille lantas menyiapkan laporan akhir tentang sesuatu yang diyakininya sebagai penemuan baru, yaitu tentang penyelamatan mayat Firaun dari laut dan pengawetannya. Laporan akhirnya ini dia terbitkan dengan judul Mumi Firaun; Sebuah Penelitian Medis Modern, dengan judul aslinya, Les momies des Pharaons et la midecine. Berkat buku ini, dia menerima penghargaan Le prix Diane-Potier-Boes (penghargaan dalam sejarah) dari Academie Frantaise dan Prix General (Penghargaan umum) dari Academie Nationale de Medicine, Prancis.

Terkait dengan laporan akhir yang disusunnya, salah seorang di antara rekannya membisikkan sesuatu di telinganya seraya berkata: ''Jangan tergesa-gesa karena sesungguhnya kaum Muslimin telah berbicara tentang tenggelamnya mumi ini''. Bucaille awalnya mengingkari kabar ini dengan keras sekaligus menganggapnya mustahil.

Menurutnya, pengungkapan rahasia seperti ini tidak mungkin diketahui kecuali dengan perkembangan ilmu modern, melalui peralatan canggih yang mutakhir dan akurat.

Hingga salah seorang di antara mereka berkata bahwa Alquran yang diyakini umat Islam telah meriwayatkan kisah tenggelamnya Firaun dan kemudian diselamatkannya mayatnya.

Ungkapan itu makin membingungkan Bucaille. Lalu, dia mulai berpikir dan bertanya-tanya. Bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi? Bahkan, mumi tersebut baru ditemukan sekitar tahun 1898 M, sementara Alquran telah ada ribuan tahun sebelumnya.

Ia duduk semalaman memandang mayat Firaun dan terus memikirkan hal tersebut. Ucapan rekannya masih terngiang-ngiang dibenaknya, bahwa Alquran--kitab suci umat Islam--telah membicarakan kisah Firaun yang jasadnya diselamatkan dari kehancuran sejak ribuan tahun lalu.

Sementara itu, dalam kitab suci agama lain, hanya membicarakan tenggelamnya Firaun di tengah lautan saat mengejar Musa, dan tidak membicarakan tentang mayat Firaun. Bucaille pun makin bingung dan terus memikirkan hal itu.

Ia berkata pada dirinya sendiri. ''Apakah masuk akal mumi di depanku ini adalah Firaun yang akan menangkap Musa? Apakah masuk akal, Muhammad mengetahui hal itu, padahal kejadiannya ada sebelum Alquran diturunkan?''

Prof Bucaille tidak bisa tidur, dia meminta untuk didatangkan Kitab Taurat (Perjanjian Lama). Diapun membaca Taurat yang menceritakan: ''Airpun kembali (seperti semula), menutupi kereta, pasukan berkuda, dan seluruh tentara Firaun yang masuk ke dalam laut di belakang mereka, tidak tertinggal satu pun di antara mereka''.

Kemudian dia membandingkan dengan Injil. Ternyata, Injil juga tidak membicarakan tentang diselamatkannya jasad Firaun dan masih tetap utuh. Karena itu, ia semakin bingung.

Berikrar Islam
Setelah perbaikan terhadap mayat Firaun dan pemumiannya, Prancis mengembalikan mumi tersebut ke Mesir. Akan tetapi, tidak ada keputusan yang mengembirakannya, tidak ada pikiran yang membuatnya tenang semenjak ia mendapatkan temuan dan kabar dari rekannya tersebut, yakni kabar bahwa kaum Muslimin telah saling menceritakan tentang penyelamatan mayat tersebut. Dia pun memutuskan untuk menemui sejumlah ilmuwan otopsi dari kaum Muslimin.

Dari sini kemudian terjadilah perbincangan untuk pertama kalinya dengan peneliti dan ilmuwan Muslim. Ia bertanya tentang kehidupan Musa, perbuatan yang dilakukan Firaun, dan pengejarannya pada Musa hingga dia tenggelam dan bagaimana jasad Firaun diselamatkan dari laut.

Maka, berdirilah salah satu di antara ilmuwan Muslim tersebut seraya membuka mushaf Alquran dan membacakan untuk Bucaille firman Allah SWT yang artinya: ''Maka pada hari ini kami selamatkan badanmu supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang sesudahmu dan sesungguhnya kebanyakan dari manusia lengah dari tanda-tanda kekuasaan Kami.'' (QS Yunus: 92).

Ayat ini sangat menyentuh hati Bucaille. Ia mengatakan bahwa ayat Alquran tersebut masuk akal dan mendorong sains untuk maju. Hatinya bergetar, dan getaran itu membuatnya berdiri di hadapan orang-orang yang hadir seraya menyeru dengan lantang: ''Sungguh aku masuk Islam dan aku beriman dengan Alquran ini''.

Ia pun kembali ke Prancis dengan wajah baru, berbeda dengan wajah pada saat dia pergi dulu. Sejak memeluk Islam, ia menghabiskan waktunya untuk meneliti tingkat kesesuaian hakikat ilmiah dan penemuan-penemuan modern dengan Alquran, serta mencari satu pertentangan ilmiah yang dibicarakan Alquran.

Semua hasil penelitiannya tersebut kemudian ia bukukan dengan judul Bibel, Alquran dan Ilmu Pengetahuan Modern, judul asli dalam bahasa Prancis, La Bible, le Coran et la Science. Buku yang dirilis tahun 1976 ini menjadi best-seller internasional (laris) di dunia Muslim dan telah diterjemahkan ke hampir semua bahasa utama umat Muslim di dunia.

Karyanya ini menerangkan bahwa Alquran sangat konsisten dengan ilmu pengetahuan dan sains, sedangkan Al-Kitab atau Bibel tidak demikian. Bucaille dalam bukunya mengkritik Bibel yang ia anggap tidak konsisten dan penurunannya diragukan.

SAID BIN MUSAYYIB

KETIKA SANG ALIM MENOLAK FITNAH DUNIA


Siang itu, tiba-tiba khalifah Abdul Malik bin Marwan memanggil Maysarah, salah seorang pembantunya, untuk pergi ke mesjid Nabawi. “Pergilah ke masjid Nabawi, panggilah salah satu ulama yang ada di sana agar dia berbincang-bincang denganku,” demikian ucapan khalifah kepada Maysarah. Dengan kostum dan atribut lengkap selaku pembantu khalifah, Maysarah segera bertolak ke masjid Nabawi dan di sana ia mendaparti salah seorang tokoh ulama Madinah yang termasuk tokoh dari generasi tabi’in. Saat itu, syaikh tengah duduk khusyu’ dan serius memimpin sebuah halaqah pengajian di depan banyak murid-muridnya.
Sebenarnya tak seberapa jauh, jarak antara Maysarah berdiri dan halaqah tersebut. Namun berulang kali ia mengangkat tangan memberi isyarat ke arah Syaikh, beliau sedikitpun tak menoleh dan tak perduli kepada Maysarah. Akhirnya, Maysarah maju dan mendekatkan diri kepada syaikh seraya berkata:
“Apakah anda tidak melihat isyarat dari saya kepada anda?” Syaikh sendiri seolah tampak tak mengerti sehingga balik bertanya: “Kepada saya?” Maysarah kalu mengiyakan. “Apa keperluanmu?” tanya syaikh. Lalu Maysarah menjelaskan bahwa ia adalah pembantu khalifah untuk meminta syaikh datang menghadap khalifah agar ia dapat berbicara dengannya. Di luar dugaan, syaikh menjawab: “Aku bukan juru bicara khalifah, sesungguhnya siapapun yang menghendaki sesuatu, maka hendaknya sendiri yang datang kepadanya. Di masjid ini banyak tempat untuknya jika ia mau,” demikian jawaban syaikh.
Akhirnya, Maysarah pulang kembali ke tempat kediaman khalifah dan melaporkan kejadian ini kepada khalifah. Mendengar cerita Maysarah, khalifah merasa ta’jub dan segera berdiri sambil berkata: “Syaikh itu pasti ‘Sa’id bin Musayyib. Andaikan engkau tadi tak mendatangi dan berkata seperti itu kepadanya, wahai Maysarah,” ucap khalifah.
Menyaksikan peristiwa yang dialami ayahnya, seorang putra bungsu khalifah ada yang bertanya kepada salah seorang kakaknya: “Siapakah orang yang berani menolak perintah amirul mu’minin, lancang tak mau menghadap, dan hadir di majlis khalifah. Padahal dunia telah tunduk kepadanya, dan ia disegani oleh raja-raja Romawi.” Kakaknya menjawab: “Dia adalah orang yang dahulu pernah ayah lamarkan putrinya untuk dinikahkan dengan saudaramu alwalid. Tapi ia menolak permintaan ayah…”
Mendengar jawaban itu sang adik terheran-heran dan bergumam: “Bagaimana mungkin orang tak ingin mewarisi tahta kekhalifahan? Bagaimana orang tak menerima kedudukan terhormat sebagai mantu khalifah? Lalu dengan siapakah putrinya kini ia nikahkan? Apakah suaminya lebih baik dari putra khalifah? Sang kakak menggeleng dan mengatakan tak tahu menahu kabar putri Sa’id bin Musayyib setelah itu.
Di kalangan pemburu hart; dunia, sikap Sa’id bin Musayyib mungkin dinilai “neko-neko’ dan menyia-nyiakan kesempat an menaikkan taraf hidup. Namun demikianlah, Sa’id bin Musayyib sebagai orang tua sekaligus seorang ‘alim yang lebil banyak menenggelamkan diri dalam aktivitas da’wah dan ibadah dan da’wah ilallah. Tak ada penilaian yang bersifat materi keduniaan dalam jiwa dan benaknya.
Ingin tahu, kepada siapa Sa’id bin Musayyib kemudian menikahkan anaknya? Lebih hebatkah dia dari al-Walid putri khalifah? Sa’id bin Musayyib menyerahkan putrinya kepada salah seorang murid halaqah pengajiannya. Ia bukanlah seorang kaya, apalagi keturunan bangsawan, bahkan hanya seorang pemuda yatim yang berstatus duda dari wilayah Hayna, namanya Abu Wada’ah.
Kisahnya begini. Seperti biasa, setiap hari Sa’id bin Musayyib secara rutin memberi pelajaran di masjid Nabawi. Banyak para pemuda dari berbagai daerah yang hadir pada halaqah Sa’id bin Musayyib. Namun suatu hari, Abu Wada’ah, salah seorang murid halaqah, tak hadir dalam majlis. Sejak hari pertama, ketidakhadiran Abu Wada’ah selalu dipertanyakan oleh Sa’id bin Musayyib. Beliau bertanya kepada beberapa orang muridnya yang hadir prihal Abu Wada’ah, namun tak satupun yang tahu tentang beritanya secara pasti. Mereka hanya menduga barangkali Abu Wada’ah menderita sakit atau ada halangan lain hingga tak dapat hadir di majlis. Ketidakhadiran Abu Wada’ah, bahkan berlanjut hingga beberapa hari setelah itu.
Selang beberapa hari, barulah Abu Wada’ah tampak kembali di antara murid-murid halaqah Sa’id bin Musayyib. “Ke mana saja engkau wahai Abu Wada’ah?” sapa Sa’id bin Musayyib. Air muka Abu Wada’ah mendadak menggambarkan kesedihan, ia lalu menerangkan perihal istrinya yang meninggal beberapa hari lalu, sehingga ia sibuk mengurus masalah-masalah istrinya beberapa hari dan tak sempat hadir ke halaqah. “Mengapa tak kau beritakan hal itu kepada kami wahai Abu Wada’ah? Sehingga kami bisa menyaksikan janazah istrimu dan membantu kesulitanmu,” tanya Sa’id bin Musayyib.
“Jazakumulullah khairan…” ucap Abu Wada’ah sambil hendak beranjak pergi, namun syaikh menahannya. Sampai ketika semua murid yang lainnya telah pulang, syaikh berkata dengan sedikit berbisik: “Tidakkah engkau berfikir untuk menikah kembali, wahai Abu Wada’ah.” Abu Wada’ah cukup tersentak mendengar pertanyaan yang diajukan gurunya, ia segera menjawab: “Yarhamukallahu wahai guruku. Siapakah yang ingin menikahkan aku dengan putrinya? Saya hanya seorang yatim yang miskin,” ucap Abu Wada’ah polos. “Bahkan saya tak memiliki harta kecuali uang seharga dua atau tiga dirham saja…” lanjutnya.
Beberapa saat keduanya terdiam, Syaikh sendiri tampak arif dan demikian memahami perasaan Abu Wada’ah. Tak lama kemudian, syaikh mengucapkan sebuah perkataan yang sama sekali tak diduga oleh Abu Wada’ah: “Saya yang akan menikahkan putrinya denganmu, wahai Abu Wada’ah,” bisik syaikh pelan.
“Syaikh… ” lidah Abu Wada’ah seolah kelu mengungkapkan ketakjuban dan ketidakrnengertiannya. “Anda akan menikahkan putri anda dengan saya, setelah mengetahui kondisi yang saya alami…?” kata Abu Wada’ah.
Sa’id bin Musayyib dengan tenang berkata: “Ya…, bila datang kepada kami seorang pemuda yang baik agama dan akhlaqnya, kami akan nikahkan dia dengan putriku. Dan engkau, bagi kami telah memenuhi kriteria itu…”
Tak berapa lama kemudian, Sa’id bin Musayyib memanggil beberapa orang muridnya yang kebetulan masih berada di dalam masjid. Ketika mereka ada di dekatnya, saat itu juga Sa’id bin Musayyib mengucapkan lafaz hamdalah dan shalawat atas Rasulullah SAW… lalu disebutah lafaz akad nikah antara putrinya dan Abu Wada’ah. Maharnya adalah uang seharga dua dirham.
Berbagai perasaan gembira, haru, bingung bercampur dalam hati Abu Wada’ah. Setelah selesai acara ‘aqad nikah yang sangat sederhana itu, ia segera pamit pulang ke rumahnya.
“Siang itu sebenarnya saya tengah puasa, tapi peristiwa itu menjadikan aku hampir lupa dengan puasaku…” ungkap Abu Wada’ah. Dalam perjalanan hingga sampai di rumahnya, hatinya selalu dipenuhf tanda tanya. Apa sebenarnya yang telah saya lakukan? Kepada siapa saya akan meminjam uang? Dari mana saya akan memperoleh harta…? Dan sebagainya.
Dari pertanyaan-pertanyaan sejenis terlintas terus menerus dalam hati Abu Wada’ah hingga tiba saatnya waktu shalat maghrib dan ia harus berbuka puasa. Selesai melakukan shalat maghrib, ia bersiap untuk berbuka dengan sepotong roti dan minyak.
Akan tetapi, baru ia telan satu atau dua potong roti, tiba-tiba terdengar suara orang mengetuk pintu rumahnya. “Siapa di luar…?” tanya Abu Wada’ah. Suara yang terdengar kemudian segera dikenalnya, ia adalah Sa’id bin Musayyib. Datang bersama putrinya yang telah sah menjadi isteri Abu Wada’ah. Mulanya, Abu Wada’ah mengira, bahwa Sa’id bin Musayyab datang untuk memperbincangkan masalah lebih lanjut dari pernikahan antara dirinya dan putrinya.
Namun Sa’id bin Musayyab berkata: “Sesungguhnya puteriku kini telah menjadi isterimu, sejak senja hari tadi. Dan, aku paham bahwa tak ada seoangpun yang akan menemanimu di sini. Aku tak ingin bila engkau berpisah dengan isterimu. Sekarang, saya datang bersamanya…
Sejenak kemudian, ia panggil putrinya dan berkata: “Dengan nama dan barakah Allah, masuklah ke rumah suamimu wa¬hai puteriku…” ucap Sa’id bin Musayyib. Beberapa hari selanjutnya, kehidupan Abu Wada’ah penuh dengan kebahagiaan, apalagi setelah mengetahui bahwa ternyata isterinya adalah seorang wanita yang paling cantik di kotanya. Yang paling hafal al Qur’an dan paling menguasai tentang hadits-hadits Rasulullah. Selain wanita yang paling memahami hak-hak suaminya. Berhari-hari kemudian Abu Wada’ah hidup bersama isteri shalihatnya, tanpa sekalipun dikunjungi oleh Sa’id bin Musayyib, mertuanya.
Ketika ia kembali hadir mengikuti pengajian Sa’id bin Musayyib, beliau berkata: “Bagaimana kabar isterimu wahai Abu Wada’ah?”
“Alhamdulillah, keadaannya sebagaimana yang disukai dengan orang yang benar dan tidak disukai oleh musuh..?” ucap Abu wada’ah puitis.
“Alhamdulillah, kalau demikian,” jawab Sa’id bin Musayyib.
Setelah kembali ke rumahnya, Abu Wada’ah terkejut karena temyata Sa’id bin Musayyib telah mengirimkan sejumlah uang untuk awal kebutuhan rumah tangganya.
Bagaimana pendapat putera Khalifah atas kejadian ini?
“Aneh sekali orang ini. Manusia yang menjadikan dunia sebagai jembatan ke akhiratnya. Demi Allah, penolakannya atas permintaan khalifah untuk menikahkan puterinya, bukan karena keangkuhannya dan bukan karena putera khalifah tidak sekufu dengan puterinya. Tapi ia menolaknya lantaran kekhawatirannya akan fitnah dunia.
Sa’id bin Musayyib sendiri, tatkala ditanya tentang sikapnya berkata: “Sesungguhnya, puteriku adalah amanat yang ada di leherku. Aku telah carikan untuknya apa-apa yang menjadi mashlahat untuk kebaikan dirinya. Bagaimana pendapat anda, bila puteriku dipindahkan ke istana bani Umayyah. Di sana ia menikmati berbagai keindahan dan kepuasan harta.
Sementara di sampingnya banyak pelayan yang selalu setia memenuhi keinginannya. Bagaimana pula bila ternyata suaminya kemudian menjadi khalifah? Di manakah agamanya saat itu?”
Itulah Sa’id bin Musayyib, seorang tokoh ulama dari generasi tabi’in yang.pernah berguru kepada Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhum. Salah satu syi’ar dalam hidupnya adalah: “Penghargaan seorang hamba terhadap dirinya adalah sebatas keta’atannya kepada Allah. Sedangkan penghinaan seorang hamba kepada dirinya adalah sebatas kema’shiatannya kepada Allah…” Rahimakallahuyaa Sa’id bin Musayyib. Barakallahu yaa Aba wada’ah

Geologi dalam Peradaban Islam

Geologi merupakan cabang ilmu alam yang mempelajari bumi, komposisinya, struktur, sifat-sifat fisik, sejarah, dan proses asal mula terbentuknya bumi serta sejarah perkembangannya. Studi ini mendapat perhatian penting dari para ilmuwan Muslim di zaman kekhalifahan.

Ilmu ini dipandang memiliki kegunaan dan manfaat yang begitu besar. Betapa tidak. Geologi mampu membantu peradaban Manusia dalam menemukan dan mengatur sumber daya alam yang ada di bumi, seperti minyak bumi, batu bara, dan juga metal seperti besi, tembaga, emas dan uranium.

Selain itu, studi yang dikembangkan para saintis Islam itu juga sangat membantu dalam menemukan zat mineral lainnya yang memiliki nilai ekonomi, seperti: asbestos, perlit, mika, fosfat, zeolit, tanah liat, pumis, kuarsa, dan silika, dan juga elemen lainnya seperti belerang, klorin, dan helium. Sejak era kekhalifahan, umat Islam telah mampu menemukan ladang minyak serta besi, emas dan lainnya.

Adalah ilmuwan Barat bernama Fielding H Garisson yang menyatakan bahwa studi geologi modern dimulai pada era kekhalifahan. Dalam bukunya berjudul History of Medicine, Garisson mengatakan, “Umat Islam di abad pertengahan tak hanya mengawali berkembangnya aljabar, kimia dan geologi. Namun, juga telah meningkatkan dan memuliakan peradaban.”

Abdus Salam (1984) dalam Islam and Science menyatakan bahwa Abu al-Raihan al-Biruni (973-1048 M) merupakan geolog Muslim perintis yang berjasa mendirikan studi geologi modern. Secara mendalam, ilmuwan Muslim abad ke-11 M itu menulis tentang geologi India. Al-Biruni melontarkan sebuah hipotesis bahwa anak benua India awalnya adalah sebuah lautan.

"Jika Anda melihat tanah India dengan mata sendiri dan mengamati alamnya, sebenarnya daratan India awalnya adalah laut,” papar al-Biruni dalam Book of Coordinates. Ia juga menuturkan bahwa keberadaan kerang dan fosil di wilayah negeri Hindustan menunjukkan bahwa kawasan itu adalah lautan yang kemudian meningkat menjadi daratan kering.

Berdasarkan penemuannya itu, al-Biruni menyatakan bahwa bumi secara konstan mengembang. Temuannya itu memperkuat pandangan Islam yang menyatakan bahwa bumi tak kekal. Teori bumi tak kekal yang dilontarkan al-Biruni itu berlawanan dengan keyakinan ilmuwan Yunani Kuno yang berpendapat bahwa bumi itu kekal.

Al-Biruni pun lalu menyatakan bahwa bumi juga memiliki usia. Pendapat sang ilmuwan Muslim di era kekhalifahan itu terbukti. Para Geolog modern akhirnya membuktikan pendapat itu dengan menyatakan usia Bumi diperkirakan sekitar 4,5 miliar (4,5x109) tahun.

Ilmuwan Muslim legendaris, Ibnu Sina (981-1037) juga turut memberi kontribusi yang amat penting bagi studi geologi. Avicenna – begitu masyarakat Barat biasa menyebutnya -- menamakan geologi sebagai Attabieyat. Dalam bab lima ensiklopedia berjudul Kitab al-Shifa, Ibnu Sina menjelaskan tentang mineralogi, meteorologi.

Selain itu, bab keenam Kitab Al-Shifa, juga mengupas berbagai hal tentang bumi dan proses pembentukannya. Secara rinci dan lugas, Ibnu Sina membahas tentang; pembentukan gunung; manfaat gunung dalam pembentukan awan: sumber-sumber air, asal muasal gempa bumi; pembentukan mineral-mineral; serta keanekaragamaan lahan tanah di bumi.

Pemikiran Ibnu Sina tentang geologi ternyata sangat berpengaruh terhadap peradaban Barat. Berkat jasa Avicenna-lah, masyarakat Barat kemudian mengenal hukum superposisi, konsep katastropisme (bencana besar) serta doktrin uniformitarianism. Buah pikir Ibnu Sina juga banyak mempengaruhi ilmuwan Barat bernama James Hutton dalam mencetuskan Teori Bumi pada abad ke-18 M.

Secara terang-terangan, dua akademisi Barat bernama Toulmin dan Goodfield (1965), menjelaskan sumbangsih yang diberika Ibnu Sina bagi studi geologi modern. “Sekitar abad ke-10 M, Avicenna telah melontarkan hipotesis tentang asal-muasal bentangan gunung. Padahal, 800 tahun kemudian, pemikiran seperti itu masih dianggap radikal di dunia Kristen,” papar Toulim dan Goodfield.

Tak cuma itu, metodelogi ilmiah serta observasi lapangan yang dikembangkan Ibnu Sina hingga kini masih tetap menjadi bagian yang penting dalam investigasi geologi modern. Studi geologi juga sebenarnya secara lusa tercantum dalam Alquran. Dalam Surat Al-Hijr ayat 19 Allah SWT berfirman: “Dan Kami telah menghamparkan bumi dan menjadikan padanya gunung-gunung dan Kami tumbuhkan padanya segala sesuatu menurut ukuran.

Dalam Surat An-Nahl ayat 15, Sang Khalik juga berfirman: “Dan Dia menancapkan gunung-gunung di bumi supaya bumi itu tidak goncang bersama kamu, (dan Dia menciptakan) sungai-sungai dan jalan-jalan agar kamu mendapat petunjuk.” Ayat-ayat inilah yang kemungkinan memberi inspirasi bagi para ilmuwan Muslim untuk mengkaji studi geologi.

Sumbangan lainnya yang didedikasikan ilmuwan Muslim untuk studi geologi adalah penemuan kristalisasi dalam proses pemurnian. Terobosan penting yang dilakukan Jabir Ibnu Hayyan – saintis pada abad ke-8 M – itu sangat penting dalam kristallogi. Bapak Sejarah Sains, George Sarton menegaskan bahwa Jabir Ibnu Hayyan juga turut berkontribusi dalam geologi.

“Kami menemukan dalam tulisannya (Jabir) pandangan tentang metode penelitian kimia, sebuah teori pembentukan logam pada lapisan tanah, ” papar Sarton. Dalam risalah yang ditulisnya, papar Sarton, Jabir Ibnu Hayyan menyatakan bahwa pada dasarnya terdapat enam logam yang berbeda, akibat adanya perbedaan perbandingan sulfur dan merkuri pada keenam jenis logam itu.

Bila kita simak secara teliti, studi geologi mendapat perhatian dalam Alquran. Selain banyak memaparkan tentang gunung, ayat suci Alquran juga membahas tentang tanah. Dalam surat Al-A'raaf ayat 58, Allah SWT berfirman, “Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan seizin Allah; dan tanah yang tidak subur, tanaman-tanamannya hanya tumbuh merana. Demikianlah Kami mengulangi tanda-tanda kebesaran (Kami) bagi orang-orang yang bersyukur.”

Dalam ayat lainnya, Alquran juga menjelaskan adanya kandungan penting dalam tanah. “Kepunyaan-Nya-lah semua yang ada di langit, semua yang di bumi, semua yang di antara keduanya dan semua yang di bawah tanah.” (QS:Thaahaa:ayat 6). Allah SWT juga berfirman dalam Surat Al-Kahfi ayat 41, “Atau airnya menjadi surut ke dalam tanah, maka sekali-kali kamu tidak dapat menemukannya lagi".

Sumbangsih  Saintis Muslim bagi Geologi

Sejarah mencatat begitu banyak ilmuwan Muslim yang mengkaji geologi di era keemasan Islam. Menurut Guru Besar Universitas Yordania, Prof Abdulkader M Abed, para saintis Islam itu mengkaji tema-tema khusus seperti mineral, batu-batuan serta permata. Sayangnya, kebanyakan risalah itu banyak yang hilang dan tak eksis lagi.

Berikut ini beberapa ilmuwan Muslim yang mengkaji geologi:

* Yahya bin Masawaih (wafat 857 M): Dia menulis tentang permata dan kekayaannya.

* Al-Kindi (wafat 873 M): Menulis tiga risalah. Salah satu karyanya yang terbaik berjudul "Gems and the Likes".

*  Al-Hasan Bin Ahmad al-Hamdani(334 H): Menulis tiga buku mengenai metode eksplorasi emas, perak, permata dan bahan mineral lainnya.

* Ikhwaan As-Safa (pertengahan abad ke-4 H): Menulis ensiklopedia yang berisi bagian-bagian minelar serta klasifikasinya.

* Abu Ar-Rayhan Mohammad Bin Ahmad al-Biruni: (wafat 1048 M): Adalah ahli minerallogi terhebat sepanjang seharah peradaban Islam. Selain menulis Book of Coordinates, dia juga menyusun buku berjudul Al-Jamhir fi Ma'rifatil Al-Jawahir. Yang mengupas tentang cara mengenali permata. Buku itu dinilai sebagai kontribusi terbaik yang disumbangkan perdaban Islam bagi studi minerallogi.

* Ahmad Bin Yousef Al-Tifashi: Ia menulis kitab Azhar Al-Afkar fi Jawahir Al-Ahjar yang berisi tentang cara mengenali batu-batu mulia.

* Mohammad Bin Ibrahim Ibnu Al-Akfani (wafat 1348A): menulis buku berjudul Nukhab Al-Thakhair fi Ahwaal Al-Jawahir. Mengupas karakteristik batu-batu mulia.

Mineralogi di Era Kekhalifahan


Para ilmuwan Muslim di abad ke-10 hingga 11 M banyak menaruh perhatian untuk meneliti dan menulis risalah tentang mineralogi. Studi mineralogi merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan dari geologi. Sebab, mineralogi merupakan cabang geologi yang berfokus pada sifat kimia, struktur kristal, dan fisika dari mineral.

Studi ini juga mencakup proses pembentukan dan perubahan mineral. Sekitar 10 abad yang lalu, para saintis Muslim sudah mampu mengidentifikasi beragam jenis mineral. Mereka mendedikasikan dirinya untuk mempelajari mineral. Al-Biruni dikenal sebagai pakar mineralogi Muslim yang paling hebat dalam sejarah peradaban Islam.

Di zaman itu, para ilmuwan Islam sudah mampu menjelaskan komposisi kimia dan struktur kristal. Batu permata dan batu mulia dinilai para ilmuwan Muslim sebagai jenis mineral yang khusus. Intan, batu nilam, jamrud serta yang lainnya digolongkan ke dalam mineral. Sejak zaman dahulu batu-batu mulia itu menjadi lambang kemewahan raja-raja dan para wanita.

Sumbangan peradaban Islam dalam bidang mineralogi tak lepas dari keberhasilan umat Islam menguasai wilayah-wilayah penting seperti Mesir, Mesopotamia, India dan Romawi. Peradaban wilayah itu sebelumnya juga telah mengenal beragam jenis mineral, batu mulia, dan permata. Karya-karya terdahulu itu lalu dikembangkan dan diteliti lebih lanjut oleh para ilmuwan Muslim.

Sejarah Muslim Uighur

Tindak kekerasan di Xinjiang tidak terjadi tiba-tiba. Akar penyebabnya adalah ketegangan etnis antara warga Uighur Muslim dan warga Cina etnis Han.

Masalah ini bisa dirunut balik hingga beberapa dekade, dan bahkan ke penaklukan wilayah yang kini disebut Xinjiang oleh Dinasti Qing Manchu pada abad ke-18.

Pada tahun 1940-an, muncul Republik Turkestan Timur di sebagian Xinjiang, dan banyak warga Uighur merasakan itu menjadi hak asasi mereka.

Namun, kenyataannya, mereka menjadi bagian Republik Rakyat Cina pada tahun 1949, dan Xinjiang dinyatakan sebagai salah satu kawasan otonomi Cina dengan mengeyampingkan fakta bahwa mayoritas penduduk di sana pada saat itu orang Uighur.

Status otonomi tidak tulus, dan meski Xinjiang dewasa ini dipimpin oleh gubernur dari kalangan warga Uighur, orang yang memegang kekuasaan riil adalah sekretaris jenderal daerah Partai Komunis Cina , Wang Lequan, yang orang Cina etnis Han.

Perpindahan Warga


Di bawah pemerintahan Partai Komunis, terjadi pembangunan ekonomi yang sangat gencar, namun kehidupan warga Uighur semakin sulit dalam 20-30 tahun terakhir akibat masuknya banyak warga Cina muda dan memiliki kecakapan teknis dari provinsi-provinsi di bagian timur Cina.
   
Para migran ini jauh lebih mahir berbahasa Cina dan cenderung diberi lapangan pekerjaan terbaik. Hanya sedikit orang Uighur berbahasa Cina.

Tidak mengejutkan, ini menimbulkan penentangan mendalam di kalangan warga Uighur, yang memandang perpindahan orang-orang Han ke Xinjiang sebagai makar pemerintah untuk menggerogoti posisi mereka, merongrong budaya mereka dan mencegah perlawanan serius terhadap keuasaan Beijing.

Dalam perkembangan yang lebih baru, anak-anak muda Uighur terdorong untuk meninggalkan Xinjiang untuk mendapatkan pekerjaan di belahan lain Cina, dan proses ini sudah berlangsung secara informal dalam beberapa tahun.

Ada kekhawatiran khusus atas tekanan pemerintah Cina untuk mendoroang wanita muda Uighur pindah ke bagian lain Cina untuk mendapatkan pekerjaan. Dan, ini memperkuat kekhawatiran bahwa mereka akhirnya akan bekerja di bar atau klub malam atau bahkan pelacuran tanpa perlindungan keluarga atau masyarakat mereka.

Islam adalah bagian integral kehidupan dan identitas warga Uighur Xinjiang, dan salah satu keluhan utama mereka terhadap pemerintah Cina adalah tingkat pembatasan yang diberlakukan oleh Beijing terhadap kegiatan keagamaan mereka.

Jumlah masjid di Xinjiang merosot jika dibandingkan dengan jumlah pada masa sebelum tahun 1949, dan institusi keagamaan itu menghadapi pembatasan yang sangat ketat.

Anak-anak di bawah usia 18 tahun tidak diizinkan beribadah di masjid. Demikian juga pejabat Partai Komunis dan aparat pemerintah.

Pendidikan Agama Dibatasi


Sekolah keagamaan, madrasah, juga sangat dibatasi. Lembaga-lembaga Islam lain yang dulu menjadi bagian sangat penting kehidupan kegamaan di Xinjiang pun dilarang, termasuk persaudaraan Sufi, yang berpusat di makam pendirinya dan menyediakan jasa kesejahteraan dan semacamnya kepada anggotanya.

Semua agama di Cina dikendalikan oleh Administrasi Negara untuk Urusan Agama, tapi pembatasan terhadap Islam di kalangan warga Uighur lebih keras daripada terhadap kelompok-kelompok lain, termasuk etnis Hui yang juga Muslim, tapi penutur bahasa Cina.

Ketatnya pembatasan itu akibat pertautan antara kelompok-kelompok Muslim dan gerakan kemerdekaan di Xinjiang. Gerakan ini sangat bertentangan dengan posisi Beijing.

Ada kelompok-kelompok di dalam Xinjiang yang mendukung gagasan kemerdekaan, tapi mereka tidak diperkenakan mewujudkannya secara terbuka, sebab "memisahkan diri dari ibu pertiwi" dipandang sebagai pengkhianatan.

Pada dekade 1990-an, setelah ambruknya Uni Soviet dan munculnya negara-negara Muslim independen di Asia Tengah, terjadi peningkatan dukungan terbuka atas kelompok-kelompok "separatis", yang memuncak pada unjuk rasa massal di Ghulja pada tahun 1995 dan 1997.

Beijing menindas unjukrasa dengan penggunaan kekuataan luar biasa, dan para akitvis dipaksa keluar dari Xinjiang ke Asia Tengah dan Pakistan atau terpaksa bergerak di bawah tanah.

Iklim Ketakutan


Penindasan keras sejak digulirkannya kampanye "Strike Hard" (Gebuk Keras) pada 1996 mencakup kebijakan memperketat pengendalian terhadap kegiatan agama, pembatasan pergerakan orang dan tidak menerbitkan paspor dan menahan orang-orang yang didicurigai mendukung separatis dan anggota keluarga mereka.
   
Ini menciptakan iklim ketakutan dan kebencian sangat kuat terhadap pemerintah Cina dan warga Cina etnis Han.

Mengejutkan bahwa kebencian ini tidak meledak menjadi kemarahan publik, dan unjukrasa sebelumnya, tapi itu dampak ketatnya kontrol yang diberlakukan Cina atas Xinjiang.

Ada banyak organisasi kaum pendatang Uighur di Eropa dan Amerika Serikat. Dalam banyak kasus mereka mendukung otonomi sejati bagi kawasan tanah asal mereka.

Di masa lalu, Beijing juga mempersalahkan Gerakan Islami Turkestan Timur memicu kerusuhan, meski tidak ada bukti bahwa gerakan ini pernah muncul di Xinjiang.

Aparat di Beijing tidak bisa menerima bahwa kebijakan mereka sendiri di Xinjiang mungkin penyebab konflik, dan berupaya mempersalahkan orang luar yang mereka tuding memicu tindak kekerasan. Itu juga terjadi dalam kasus Dalai Lama dan Tibet.

Kalau pun organisasi pelarian Uighur ingin menggerakan kerusuhan, tentu sangat sulit bagi mereka untuk melakukannya, dan ada banyak malasah lokal menjadi penyebab kerusuhan tanpa perlu ada campur tangan dari luar.

10 July 2009

Industri Gelas di Era Keemasan Islam

Seni membuat gelas merupakan salah satu pencapaian yang pernah ditorehkan peradaban Islam di era keemasan. Jauh sebelum Islam ada, industri gelas telah dikembangkan peradaban Mesir, Mesopotamia dan Suriah. Namun,  pada era kejayaan Islam, industri gelas tumbuh pesat di sejumlah kota Muslim.

Menurut Ahmad Y al-Hassan dan Donald R Hill dalam bukunya bertajuk Islamic Technology: An Illustrated History, pada era kekhalifahan, industri gelas tak hanya tumbuh subur  di sentra-sentra produksi peninggalan peradaban lama. Sentra industri gelas juga bermunculan di sejumlah kota Muslim lainnya.

''Temuan gelas peninggalan  Muslim yang kini tersebar di berbagai Museum di dunia mencerminkan  karakter gelas yang unik dari tiap pusat pembuatan,'' papar al-Hassan dan Hill. Salah satu gelas berkualitas tinggi yang sangat masyhur pada abad ke-9 M dibuat di kota Samarra – sekarang Irak.

Namun, papar al-Hassan, Samarra bukanlah satu-satunya kota penghasil gelas berkualitas tinggi di wilayah Irak. Di kawasan itu juga terdapat sentra produksi gelas terkemuka seperti Mosul, Najat dan Baghdad. ''Di Suriah, gelas dari Damaskus terkenal sepanjang sejarah Islam, meski terdapat pusat-pusat pabrikasi lain di Aleppo, Raqqa, Armanaz, Tyre, Sidon, Acre, Hebron dan Rasafa,'' ungkap al-Hassan.

Di kawasan Mesir juga bermunculan pabrik gelas, seperti di Iskandariah dan Kairo. Wilayah lainnya yang dikuasai Islam yang terkenal sebagai produsen gelas adalah Persia, Spanyol dan Afrika.  Menurut al-Hassan, gelas buatan Suriah tetap menjadi primadona, sampai berkembangnya industri gelas di Venesia pada abad ke-13 M.

Berkembangnya industri gelas di dunia Barat tak lepas dari pengaruh dari dunia Islam. Menurut al-Hassan dan Hill, peradaban Barat melakukan transfer teknologi pembuatan gelas dari dunia Islam. Pada abad ke-11 M,  para perajin gelas asal Mesir sempat mendirikan pabrik gelas di Corinth, Yunani.

Alih teknologi pembuatan gelas dari dunia Islam ke Barat juga terjadi pada abad ke-13 M, ketika penjajah Mongol membawa begitu banyak perajin gelas dari Damaskus dan Aleppo untuk dipekerjakan di  pusat pembuatan gelas di Barat. ''Transfer teknologi juga terjadi paska-Perang Salib,'' tutur al-Hassan dan Hill.

Pembuatan gelas akhirnya dikuasai Venesia pada abad ke-13 M, setelah disepakatinya perjanjian pengalihan teknologi yang disusun Bohemond VII, pengeran titular dari Antioch dan Doge of Venice, pada Juni 1277 M. ''Melalui perjanjian itu, rahasia pembuatan gelas dibawa ke Venesia, bahan baku dan perajin diimpor dari Suriah.''

Setelah menguasai teknologi pembuatan gelas, Venesia berupaya menjaga rahasia teknologi itu dengan ketat. Venesia melakukan monopoli pembuatan gelas di Eropa. Baru pada abad ke-17 M, teknologi pembuatan gelas diketahui Prancis.  Fakta itu membuktikan bahwa jauh sebelum Barat menguasai teknologi pembuatan gelas, peradaban Islam telah lebih dulu menggenggamnya.

Seakan ingin menutupi keberhasilan yang pernah dicapai umat Islam, para ahli gelas di Barat selalu menonjolkan kemewahan seni pembuatan gelas di Eropa. Padahal, teknologi dan teknik pembuatan kaca atau gelas yang dikuasai Barat, saat ini, merupakan hasil transfer pengetahuan dan teknologi dari dunia Islam.

“Apa yang dilakukan para ahli kaca atau gelas Barat sungguh tak adil, karena menyembunyikan  nilai-nilai seni gelas Islami serta menihilkan pencapaian yang sesunguhnya,” cetus Norman A Rubin dalam tulisannya berjudul Islamic Glass Treasure: The Art of Glassmaking in the Islamic World. 

Berbicara mengenai sejarah seni pembuatan kaca atau, papar Rubin,  prestasi gemilang yang telah ditorehkan dunia Islam tak bisa dilupakan. Para seniman Muslim telah memberi sumbangan yang begitu besar dalam pembuatan  gelas. Menurut Rubin, para seniman Muslim itu telah menciptakan bentuk dan pola baru dalam teknik pembuatan kaca atau gelas.

“Para seniman Muslim telah melahirkan ruh serta semangat artistik baru dan pendekatan seni Islam,” ungkap Rubin. . Stefano Carboni dan Qamar Adamjee dari The Metropolitan Museum of Art dalam tulisannya berjudul Glass from Islamic Lands memaparkan,  dari abad ke-7 hingga 14 M,  produksi gelas didominasi oleh negeri-negeri Islam.

Tak cuma itu, inovasi serta teknologi yang digunakan untuk memproduksi gelas atau kaca di era kekhalifahan begitu sangat tinggi. “Inilah fase yang gemilang dalam seni pembuatan gelas serta kaca,” papar Stefano dan Qamar Adamjee.  Teknik serta teknologi pembuatan gelas yang diciptakan peradaban Islam dapat dipelajari dengan lebih baik  berdasarkan teknik manipulasinya.

Beragam teknik pembuatan  gelas di dunia Islam yang mudah dipelajari itu begitu berpengaruh terhadap dunia Barat. Pada abad ke-17 M, peradaban Barat menyerap beragam teknik pembuatan gelas itu dari peradaban Islam. Sayangnya, setelah menguasai teknik dan teknologi pembuatan kaca atau gelas, peradaban Barat lalu berupaya menyembunyikan pencapaian yang ditotehkan umat Islam.

Sejarah mencatat, sejak abad ke-9 M, seni pembuatan kaca di dunia Islam sudah menemukan bentuknya dan mulai berani tampil beda. Laiknya pembuatan keramik, dekorasi arsitektur dan barang-barang dari kayu,  seni pembuatan gelas pada  era kekuasaan Dinasti Abbasiyah mulai menampakkan rasa serta nilai-nilai seni Islam.

Meski proses imitasi dari gelas Romawi masih berlangsung, namun para seniman Muslim mulai mengembangkan pembuatan kaca serta gelas dengan corak dan gaya artistik yang khas, yakni menonjolkan nilai-nilai keislaman.  Elif Gokcidge dalam tulisannya bertajuk Fragile Beauty Islamic Glass, ciri khas teknik utama pembuatan gelas atau kaca pada periode itu adalah kaca dekorasi relief-cut dengan teknik cold-cut. 

Para seniman Muslim mencoba menampilkan efek cameo (batu  berharga yang latar belakangnya berwarna lain). Selain itu,  gels yang dibuat juga sudah memiliki dua lapis warna berbeda.  Corning Ewer merupakan salah satu gelas cameo yang sangat Indah yang diciptakan para seniman Muslim.

Memasuki abad ke-11 M, barang pecah belah yang berwarna-warni serta dilapisi hiasan mulai nge-trend di dunia Islam. Hiasan dalamgelas pada era itu tak hanya dicetak namun juga sudah dipahat. Motif bunga-bunga serta gambar hewan dan manusia menjadi ciri khas hiasan pada kaca atau gelas di abad itu.

Salah satu pencapaian yang terpenting dalam sejarah pembuatan kaca atau gelas di dunia Islam terjadi pada abad ke-13 M. Kala itu, secara mengejutkan para seniman  pembuat  gelas di Mesir dan Suriah sudah mempu membuat kaca atau dengan dilapisi warna-warna polychrome untuk pertama kalinya.

Pada abad ke-14 M,  terjadi perubahan pada cita rasa artistik kaca atau gelas Islam. Pola serta corak bunga-bunga dan geometrisnya  lebih menonjol. Hal itu sangat tampak dari beragam perabotan pecah-belah yang dihasilkan pada era kekuasaan Dinasti  Mamluk yang berkuasa di wilayah Mesir dan Suriah.  Cita rasa artistik gelas serta kaca yang lebih menonjolkan corak flora dan geometris itu tampak pada lampu gantung, vas bunga, serta botol-botol yang diproduksi saat itu.

Tiga Ilmuwan Penemu Teknologi Pembuatan Gelas
Abbas Ibnu Firnas (810-887)
Nama lengkapnya adalah Abbas Qasim Ibnu Firnas. Orang Barat biasa memanggilnya dengan sebutan Armen Firman. Sejatinya, dia begitu populer sebagai perintis dalam dunia penerbangan. Ilmuwan yang terlahir di Ronda, Spanyol pada tahun 810 M itu dikenal sebagai oahli dalam bidang kimia dan memiliki karakter yang humanis, kreatif, dan kerap menciptakan barang- barang berteknologi baru saat itu.

Salah satu penemuannya yang terbilang amat penting adalah pembuatan kaca silika serta kaca murni tak berwarna. Ibnu Firnas juga dikenal sebagai ilmuwan pertama yang memproduksi kaca dari pasir dan batu-batuan. Kejernihan kaca atau gelas yang diciptakannya itu mengundang decak kagum penyair Arab, Al-Buhturi (820-897). described the clarity of such glass, "Its colour hides the glass as if it is standing in it without a container."[44]

Sarjana Muslim yang hobi bermain musik dan berpuisi itu hidup pada saat pemerintahan Khalifah Umayyah di Andalusia. Pada tahun 852, di bawah pemerintahan khalifah baru, Abdul Rahman II, Ibnu Firnas membuat pengumuman yang menghebohkan warga Cordoba saat itu dia melakukan ujicoba terbang dari menara Masjid Mezquita dengan menggunakan `sayap’ yang dipasangkan di tubuhnya.

Jabir Ibnu Hayyan
Tak kurang dari 200 kitab berhasil dituliskannya. Sebanyak 80 kitab yang ditulisnya itu mengkaji dan mengupas seluk-beluk ilmu kimia. Atas prestasinya itu,  ilmuwan kebanggaan umat Islam yang  bernama lengkap Abu Musa Jabir Ibnu Hayyan itu didapuk sebagai pelatak dasar kimia modern.

Ilmuwan yang terlahir di Tus, Khurasan, Iran pada 721 M itu juga turut berkontribusi mengembangkan kaca atau gelas. Pada abad ke-8 M, ahli kimia itu secara mengejutkan telah menjelaskan tak kurang dari 58 resep orisinil untuk memproduksi gelas atau kaca berwarna. Rumus pembuatan kaca berwarna itu dituliskannya dalam dua kitab yang dituliskannya selama hidup.

Dalam Kitab al-Durra al-Maknuna atau  The Book of the Hidden Pearl , dia mengupas sebanyak 46 rumus atau formula untuk memproduksi kaca atau gelas dari sudut pandang kimia. Sebanyak 12 resep atau rumus pembuatan kaca atau gelas lainnya dipaparkan Ibnu Hayyan dalam Kitab Al-Marrakishi.

Ibnu Sahl
Nama lengkapnya dalah Abu Sa`d al-`Ala' ibnu Sahl (940-1000). Dia adalah ahli matematika Muslim sekaligus insinyur yang mengkaji studi tentang optik. Dia mendedikasikan dirninya di Istana kehalifahan di Baghdad.  Sekitar tahun 984, dia menulis risalah berjudul  On Burning Instrument . Dialah ilmuwan yang pertama kali menjelaskan tentang cermin parabola. Atas kontribusinya itu, dunia Islam tercatat sebagai yang pertama menciptakan kaca cermin yang jelas.

Ibnu Zuhr

Dokter Jantung Islam



Ibnu Zuhr membahas berbagai penyakit jantung dimulai dengan tawarrum pembengkakan ikhtilaj (deyutan) dan khafakan (debarab)

Dunia medis mencatat penyakit jantung merupakan menyebab nomor wajhid kematian di belahan dunia. Pada 2002, penyakit jantung telah menyebabkan 17 juta kasus kematian di dunia. Penyakit ini masih tetap menjadi ''mesin pembunuh'' yang harus terus diwaspadai.  Pada 2020 mendatang, para ahli memperkirakan, kematian akibat penyakit jantung akan mencapai 20 juta kasus.

Dunia kedokteran Islam telah mengenal dan menguasai penyakit jantung  sejak 900 tahun silam.  Menurut Rabie E Abdel-Halim dan Salah R Elfaqih  dalam karyanya bertajuk  ''Pericardial Pathology 900 Years Ago: A Study and Translations from an Arabic Medical Textbook,'' dunia medis Islam di era kekhalifahan sudah menguasai ilmu pengobatan penyakit jantung.

Menurut Abdel-Halim,  dokter Muslim yang sudah mengkaji dan mengasai pengobatan penyakit jantung  di zaman keemasan Islam adalah  Ibnu Zuhr (1091-1161 M). Berdasarkan hasil kajian dari Kitab al-Taysir, karya dokter Muslim legendaris  dari Andalusia itu, para sejarawan sains menemukan fakta bahwa  Ibnu Zuhr sudah menguasai pengobatan pericarditis.

Pericarditis  merupakan penyakit peradangan pada pericardium (kantong yang mengelilingi jantung). Pericarditis dapat menyebabkan cairan menumpuk di dalam pericardium dan menekan jantung, membatasi kemampuan jantung untuk mengisi dan memompa darah.

Ibnu Zuhr membahas dan mengkaji pengobatan tentang pericarditis dalam kitab berbahasa Arab yang berjudul Kitab al-Taysir fi al-Mudawat wal Tadbir. Kitab itu  terdiri dari dua volume dalam satu edisi.  Kajian tentang pericarditis dikupas sang dokter dalam bab khusus bertajuk Dhikru amradh al-qalb.

Dalam kitab itu, Ibnu Zuhr telah menyebutkan adanya fenomena penumpukan cairan yang membuat kemampuan jantung menjadi terbatas. Ibnu Zuhr menyebut cairan itu sebagai Dhikru al-Ruttubah allati Ta'ridd fi Ghisha al-Qalb.

Dalam kitab kedokterannya, Ibnu Zuhr meletakkan pembahasan penyakit jantung, setelah penyakit paru-paru dan sebelum penyakit hati. Menurut Abdel-Halim dan Elfaqih,  Ibnu Zuhr membuka kajiannya tentang penyakit jantung dengan sebuah pernyataaan, "Penyakit jantung dapat menyebabkan organ-organ lain menderita.''

Ibnu Zuhr membahas berbagai penyakit jantung dimulai dengan tawarrum (pembengkakan), ikhtilaj (deyutan) dan khafaqan (debaran).  Sang dokter membahas ketiganya  dalam judul yang terpisah. Setelah membahas ketiga masalah jantung itu, Ibnu Zuhr lalu membahas tentang pericarditis.

"Pembahasan mengenai pericarditis merupakan karya tertua dari empat manuskrip yang ditulisnya," ujar Abdel-Halim. Hal itu juga dibahas oleh Al-Khoori M dalam karyanya Kitab Al-Taysir Fi Al-Mudawat wa-'l-Tadbir by Marwan Ibn Zuhr.

Menurut Halim dan Elfaqih,  masalah pericarditis diterjemahkan dari halaman 183 dan 184 dari Kitab al-Taysir.  Berikut penjelasan Ibnu Zuhr tentang pericarditis, ''Kumpulan cairan dapat menutupi jantung: Di jantung, dapat terjadi penumpukan cairan yang mirip urine. Cairan itu ditemukan menutupi jantung. Kejadian ini bisa menyebabkan kematian pada pasien.''

Ibnu Zuhr menuturkan, perawatan terhadap kondisi itu belum pernah dijelaskan dokter mana pun sebelumnya, termasuk Galen. Ia lalu mencari solusi untuk mengobati penyakit pericarditis itu dengan caranya sendiri. ''Pengobatan aromatik dengan cairan, tonik dan pelembab berkualitas, mungkin bermanfaat,'' tutur Ibnu Zuhr.

Selain itu, Ibnu Zuhr juga menawarkan pengobatan lainnya dengan memakan apel atau minum susu segar yang diperoleh dari kambing muda serta mandi dengan air yang hangat. Ia juga menawarkan pengobatan dengan menggunakan sirup "Rayhan"  atau sirup dari  Cendana. Sang dokter juga menginstruksikan pasiennya untuk secara teratur menghirup aroma segar.

''Jika dokter menunda (perawatan) bahkan untuk waktu yang singkat, pasien akan mati karena jantung merupakan salah satu organ vital,'' tuturnya. Sejatinya,  Ibnu Zuhr tidak hanya menjelaskan jenis-jenis pericarditis yang serius, namun juga secara akurat memotret temuannya mengenai penyakit dalam fibrinous pericarditis.

Menurut DeBono DP dalam karyanya berjudul Diseases of the Cardiovascular System," penjelasan Ibnu Zuhr tentang cairan yang menutup pericardium seperti ''air urine''  sangat sesuai dengan temuan kedokteran modern.  "Ini, juga, menunjukkan bahwa ia telah melihat dan mengamati kumpulan  cairan yang belum pernah diperoleh kecuali oleh pericardiocentesis atau bedah mayat."

Ibnu Zuhr tampaknya telah melakukan bedah jantung, karena mampu menjelaskan tentang  "zat padat yang terkumpul di dalam jantung yang menutupi lapisan atas dari lapisan membran".  Abdel-Halim dalam karyanya berjudul Pediatric Urology 1000 Years Ago mengungkapkan,  Kitab al-Taysir Ibnu Zuhr mengikuti skema al-Razi (Rhazes, 841-926 M) dalam mengklasifikasi penyakit menurut organ terpengaruh.

Setiap bab dimulai dengan definisi kolektif dan klasifikasi utama penyakit yang diikuti dengan ringkasan  dari organ yang normal dan abnormal, menganalisis struktur asal dari gangguan penyakit. kemudian membahas gambar klinis, diferensial diagnosa dan prognosa.

"Selain itu, ia mengkritisi tinjauan pandangan orang dahulu dari pengalamannya sendiri," jelas Neuburger M dalam karyanya History of Medicine.  Dalam penjelasannya,  Ibnu Zuhr menyatakan bahwa jantung merupakan sebuah organ vital yang  pokok dan utama.  Dunia Islam telah menyumbangkan begitu banyak penemuan bagi dunia kedokteran modern.


Jejak Hidup Sang Dokter

Abu Marwan Abdal-Malik Ibnu Zuhr. Itulah nama lengkap Avenzoar atau Ibnu Zuhr yang terlahir di Seville, Spanyol, pada tahun 1091 M. Dia dikenal sebagai dokter, apoteker, ahli bedah, sarjana Islam, dan seorang guru. Beberapa sejarawan menyebut Ibnu Zuhr sebagai orang Yahudi, namun Bapak Sejarah Sains, George Sarton memastikan bahwa sang dokter adalah seorang Muslim.

Ia menimba ilmu kedokteran di Universitas Cordoba. Ibnu Zuhr merupakan keturunan dari keluarga Bani Zuhr yang melahirkan lima generasi dokter, termasuk dua di antaranya wanita. Ibnu Zuhrpertama kali belajar praktik kedokteran dari ayahnya bernama Abu’l-Ala Zuhr (wafat tahun 1131 M). Kakeknya juga adalah seorang dokter yang termasyhur di Andalusia.

Setelah merampungkan studinya, sastra, hukum, dan doktrin, Ibnu Zuhr mulai mendalami ilmu kedokteran secara khusus, Ibnu Zuhr lalu mendedikasikan dirinya untuk penguasa Dinasti Al- Murabitunpenguasa Spanyol Islam setelah padamnya Kekhalifah an Umayyah. Hubungannya dengan penguasa Dinasti Murabitun memburuk ketika Ali Ibnu Yussuf Ibnu Tachfine berkuasa.

Ibnu Zuhr lalu dipenjara selama 10 tahun di Marrakech. Setelah kekuasaan dinasti itu berakhir, Ibnu Zuhr kembali ke Andalusia dan mengabdi pada Abd al-Mu’minpenguasa pertama Dinasti Al-Muwahidun. Ia adalah teman, murid, dan guru seorang dokter serta filsuf terkemuka Ibnu Rushd. Di era kekuasaan Dinasti Muwahidun, Ibnu Zuhr menulis karya-karyanya. Ia tutup usia pada 1161 M di tanah kelahirannya, Seville. Meski begitu, ia tetap dikenang dan namanya masih tetap abadi.

Ibnu Zuhr mewariskan beberapa kitab kedokteran penting bagi peradaban manusia modern, seperti: Kitab at-Taysirfi al-mudawat wa at-tadbir (Perawatan dan Diet). Ini adalah ensiklopedia kedokteran yang membuktikan bakat dan keahlian Ibnu Zuhr. Dia lalu menawarkan kepada temannya, Ibnu Rushd, untuk mengumpulkan bukunya dalam Generalities in Medicine.

Kedua buku itu saling melengkapi satu sama lain. Buku tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Latin pada 1490 M dan masih digunakan sebagai referensi hingga abad ke-17 M. Salinan buku kompilasi antara karya Ibnu Zuhr dan Ibnu Rushd itu masih tersimpan di banyak perpustakaan, seperti di Perpustakaan Umum Rabat, perpustakaan-perpustakaan di Paris, Oxford di Inggris, dan Florence di Italia.

Kitab al-Iktisad fi Islah an-Nufus wa al-Ajsad (Curing souls and bodies) adalah rangkuman berbagai penyakit, perawatannya, pencegahan, kesehatan, dan psikoterapi. Salinan kitab ini masih tersimpan di Perpustakaan Istana di Rabat.

Kitab al-Aghdia wa al-adwya (Nutrition and Medication). Dalam kitab ini, Ibnu Zuhr menjelaskan beragam jenis makanan bergizi, obat-obatan, serta dampaknya bagi kesehatan risalah. Dua salinannya masih tersimpan dengan baik di Perpustakaan Istana di Rabat. Lewat karya-karyanya itulah pemikiran Ibnu Zuhr hingga kini tak pernah mati.

Teknologi dalam Peradaban Islam

Peradaban Islam sangat berbeda dengan Yunani, Romawi dan Bizantium dalam memandang teknologi.  Para cendekiawan Muslim di era kekhalifahan menganggap teknologi sebagai sebuah cabang ilmu pengetahuan yang sah.  Fakta itu terungkap berdasarkan pengamatan para sejarawan sains Barat di era modern terhadap sejarah sains di Abad Pertengahan.

''Para ilmuwan Muslim memberi perhatian pada semua jenis pengetahuan praktis, mengklasifikasi ilmu-ilmu terapan dan subyek-subyek teknologis berdampingan dengan telaah-telaah teoritis,''  ungkap Ahmad Y al-Hassan dan Donald R Hill   dalam Islamic Technology: An Illustrated History.

Sejumlah kitab dan risalah yang ditulis para ilmuwan Muslim tercatat telah mengklasifikasi ilmu-ilmu terapan dan teknologis. Menurut al-Hassan, hal itu dapat dilihat dalam sederet buku atau kitab karya cendikiawan Muslim, seperti;  Mafatih al-Ulum, karya al-Khuwarizmi; Ihsa al-Ulum  (Penghitungan Ilmu-ilmu) karya al-Farabi, Kitab al-Najat, (Buku Penyelamatan) karya Ibnu Sina dan buku-buku lainnya.

Simaklah penjelasan al-Amiri tentang mekanika dalam kitabnya yang bertajuk al-Ilam bimaqib al-Islam (Pengantar tentang  Keunggulan-keunggulan Islam). Menurut al-Amiri, mekanika merupakan disiplin ilmu yang menerapkan matematika dan ilmu alam.

''Mekanika memungkinkan seseorang menaikkan air yang terpendam di bawah kulit bumi dan juga mengangkat air dengan kincir atau air mancur, mengakut barang-barang berat dengan sedikit tenaga, membangun lengkungan jembatan di atas sungai yang dalam dan melakukan berbagai hal lainnya,'' papar al-Amiri seperti dikutip al-Hassan dan Hill.

Al-Amiri berpendapat bahwa ilmu mekanika sebagai cabang matematika. Tak heran, jika ia memasukannya dalam sebuah kelompok bersama aritmatika, geometri, dan musik. ''Dari penyelidikan yang kami lakukan terhadap ilmu-ilmu matematika, dapat dikatakan bahwa sama sekali tak terdapat kontradiksi antara ilmu-ilmu tersebut dengan ilmu-ilmu keagamaan,''  tutur al-Amiri yang wafat pada 381 H/ 991 M.

Di era keemasan Islam, para cendekiawan Muslim telah mengelompokkan ilmu-ilmu yang bersifat teknologis sebagai berikut; ilmu jenis-jenis bangunan, ilmu optik, ilmu pembakaran cermin, ilmu tentang pusat gravitasi, ilmu pengukuran dan pemetaan, ilmu tentang sungai dan kanal,  ilmu jembatan, ilmu tentang mesin kerek, ilmu tentang mesin-mesin militer serta ilmu pencarian sumber air tersembunyi.

Selain itu, peradaban Islam juga telah mengenal ilmu navigasi, ilmu tentang jam, ilmu tentang timbangan dan pengkuran serta ilmu tentang alat-alat genial. Menurut al-Hassan, teknik mesin dan teknik sipil yang digolongkan sebagai ilmu matematika, bukan satu-satunya subyek teknologis yang dikelompokkan sebagai sains.

''Teknologi-teknologi non-matematis seperti kimia, produksi industri dan pertanian juga telah dianggap sebagai sains,'' papar al-Hassan dan Hill. Pada era kejayaan peradaban Islam, ada pula topik-topik teknologis  yang ditemukan pada subyek-subyek saintifik murni.  Al-Hassan mencontohkan, hal itu terdapat pada ilmu obat-obatan. Buku-buku  farmasi, di zaman itu, memuat informasi yang amat bermanfaat tentang sifat-sifat dan cara pembuatan berbagai produk  organik dan anorganik.

''Aritmatika juga memuat kalkulasi teknik untuk para kekayasawan, sedangkan astronomi memiliki risalah-risalah tentang konstruksi alat ukur dan lainnya,'' ujar al-Hassan yang juga mantan direktur The Institute for the History of the Arabic Science, Universitas Aleppo itu. Begitulah cendekiawan Muslim di zaman kejayaan Islam menempatkan teknologi.

Rekayasawan di Era Kekhalifahan

Para penguasa dan masyarakat di zaman kekhalifahan Islam menempatkan para rekayasawan (engineer) dalam posisi yang tinggi dan terhormat.  Mereka diberi gelar muhandis.  Banyak di antara ilmuwan Muslim, pada masa itu, yang juga merangkap sebagai rekayasawan.

Al-Kindi, misalnya, selain dikenal sebagai fisikawan  dan ahli metalurgi adalah seorang rekayasawan.  Selain itu, al-Razi juga yang populer sebagai seorang ahli kimia juga berperan sebagai rekayasawan. Al-Biruni yang masyhur sebagai seorang astronom dan fisikawan juga seorang rekayasawan.

''Namun, beberapa tokoh seperti al-jazari mengkhususkan dirinya hanya sebagai rekayasawan,'' papar Ahmad Y al-Hassan dan Donald R Hill   dalam Islamic Technology: An Illustrated History.  Sebagian besar rekayasawan praktisi di era kejayaan Islam tak menulis buku, sehingga namanya kurang dikenal.

Salah satu cara yang mereka lakukan untuk mengabadikan namanya agar dikenal adalah dengan cara  memahatkan namanya pada bangunan-bangunan yang mereka  dirikan. Al-Hassan mencontohkan, pada gerbang kota Mardin di Diyar Bakr tergores sebuah tulisan bertarikh 197 H/910 M atas nama Khalifah al-Muqtadir bersama dua rekayasawan yang mendirikan bangunan itu.

''Salah satunya adalah Ahmad bin Jamil al-Muhandiz,'' tutur al-Hassan. Selain itu, para rekayasawan juga menulis istilah al-mi'mar untuk menyebut seorang arsitek.  Sedangkan bagi matematikus-teknik, dikenal istilah al-hasib yang berarti ''orang yang menghitung''. Sedangkan rekayasawannya mendapat gelar hasib.

'

'Seorang hasib dan rekayasawan atau arsitek kadangkala bertemu untuk melakukan konsultasi bersama,'' ujar al-Hassan. Pada masa itu,  sebagian rekayasawan berasal dari golongan pekerja.   Mereka memulai  sebagai pekerja bangunan, tukang kayu, atau pekerja mekanik. Setelah itu, mereka mempelajari rekayasa dan ilmu-ilmu lain untuk menjadi rekayasawan dan arsitek.

''Ada pula rekayasawan yang berasal dari ilmuwan yang mahir dalam  berbagai bidang pertukangan, yang kadang kala mereka praktikkan,'' ungkap al-Hassan. Para rekayasawan Muslim tak hanya dihormati dalam masyarakat, tetapi juga menempati kedudukan tinggi dalam pemerintahan.

Rekayasawan yang mendapat posisi penting di pemerintahan antara lain Banu Musa bersaudara. Mereka sangat dihormati dan disukai Khalifah al-Ma'mun. Tak hanya itu, mereka juga memegang peranan penting dalam kehidupan budaya dan politik di Baghdad, pada zaman itu.

Kadang kala, para rekayasawan dibuatkan kantor-kantor penting. Mereka juga diberi gaji serta penghargaan yang tinggi.  Al-Hassan mengungkapkan, di istana  Sultan Kerajaan Mamluk, terdapat kantor Muhandis Al Amair atau 'Arsitek Bangunan'. Dia bertanggung jawab atas semua bangunan dan penilaian bangunan, perencanaan kota.

Para rekayasawan di  Kerajaan Mamluk  diberi gelar oleh pejabat tinggi adtara lain dengan sebutan ''Yang Mulia, Yang Terhormat, Yang Terpercaya''.  Pada saat-saat tertentu gelar itu bisa bertambah tinggi lagi.

Untuk mengerjakan sebuah proyek atau pekerjaan yang sangat penting  dibentuk komite rekayasawan. Komite ini bertugas untuk merancang dan mengawasi keseluruhan proyek. Hal itu terjadi saat Khalifah al-Mansur memutuskan untuk membangun kota Baghdad. Sebelum pembangunan dilakukan, Khalifah mengirimkan para rekayasawannya untuk melakukan studi banding ke berbagai negara Islam.

''Para rekayasawan juga bertindak pula sebagai kontraktor,'' ungkap al-Hassan. Contohnya, pemerintah meminta mereka untuk menggali sebuah kanal dalam waktu tertentu, dengan biaya yang ditentukan sebelumnya. ''Mereka akan mengalokasikan bagian-bagian pekerjaan itu pada subkontraktor.'' Sistem kerja ini telah dikenal masyarakat Islam di kota Baghdad sejak abad ke-9 M.


Sumbangan Para Rekayasawan dalam Teknik Sipil

Para  rekayasawan Muslim telah berhasil membangun sederet karya besar dalam bidang teknik sipil berupa; bendungan, jembatan, penerangan jalan umum, irigasi, hingga gedung pencakar langit.  Sejarah membuktikan, di era keemasannya peradaban Islam telah mampu membangun bendungan jembatan (bridge dam). Bendung jembatan itu digunakan untuk menggerakkan roda air yang bekerja dengan mekanisme peningkatan air. Bendungan jembatan pertama dibangun di Dezful, Iran.

Bendung jembatan itu mampu menggelontorkan 50 kubik air untuk menyuplai kebutuhan masyarakat Muslim di kota itu. Setelah muncul di Dezful, Iran bendung jembatan juga muncul di kota-kota lainnya di dunia Islam. Sehingga, masyarakat Muslim pada masa itu tak mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan air bersih.

Selain itu, di era kekhalifahan para insinyur Muslim juga sudah mampu membangun bendungan pengatur air diversion dam. Bendungan ini digunakan untuk mengatur atau mengalihkan arus air. Bendungan pengatur air itu pertama kali dibangun insinyur Muslim di Sungai Uzaym yang terletak di Jabal Hamrin, Irak. Setelah itu, bendungan semacam itu pun banyak dibangun di kota dan negeri lain di dunia Islam.

Pencapaian lainnya yang berhasil ditorehkan insinyur Islam dalam bidang teknik sipil adalah pembangunan penerangan jalan umum. Lampu penerangan jalan umum pertama kali dibangun oleh kekhalifahan Islam, khususnya di Cordoba. Pada masa kejayaannya, pada malam hari jalan-jalan yang mulus di kota peradaban Muslim yang berada di benua Eropa itu bertaburkan cahaya.

Selain dikenal bertabur cahaya di waktu malam, kota-kota peradaban Islam pun dikenal sangat bersih. Ternyata, pada masa itu para insinyur Muslim sudah mampu menciptakan sarana pengumpul sampah, berupa kontainer. Sesuatu yang belum pernah ada dalam peradaban manusia sebelumnya.