30 December 2010

Jaringan Jalan di Masa Dinasti Abbasiyah

Sistem transportasi yang terintegrasi telah lama dimiliki umat Islam. Jalan-jalan dibangun secara terencana. Menghubungkan ibu kota kekhalifahan dengan kota-kota lain. Selain itu, berfungsi pula menopang kegiatan komersial, sosial, administratif, militer, dan sejumlah hal lainnya.

Pembuatan jaringan jalan mulai menggeliat ketika Dinasti Abbasiyah berkuasa di abad ke-8. Saat itu, fokus utama dinasti tersebut adalah mewujudkan stabilitas serta kemakmuran. Bukan lagi penaklukan wilayah seperti pada dinasti sebelumnya. Maka itu, mereka berpikir perlunya sistem jaringan transportasi dan komunikasi yang andal.

Baghdad sebagai ibu kota pemerintahan, menjadi sentral. Beberapa jalur yang dibuka, semuanya dari dan menuju kota ini. Dengan keberadaan jalan, ungkap Mansour Elbabour dalam System of Cities: an Alternative Approach to Medieval Islamic Urbanism, tercipta integrasi dengan kota-kota provinsi utama hingga wilayah perbatasan.

Kota-kota tersebut memang diharapkan dapat menunjang gerak kehidupan di ibu kota dengan berbagai komoditas yang dihasilkan. Pembangunan jaringan jalan terbagi dalam dua periode. Pada abad ke-9, seluruh jaringan transportasi masih berpusat di Baghdad. Jalan utama atau jalan negara menghubungkan Baghdad dengan kota provinsi yang strategis.

Periode kedua, yakni di abad ke-10 ketika terjadi perkembangan luar biasa di sejumlah provinsi. Kondisi itu membuat kota-kota provinsi kian otonom. Baghdad bukan lagi satu-satunya pusat pertumbuhan. Dengan demikian, pembangunan jaringan jalan di provinsi memiliki fungsi yang sejajar dengan jalan negara.

Beberapa aspek menuntut kebutuhan akan jaringan jalan yang tersistematisasi. Seperti komunikasi antaranggota masyarakat kian intens. Hubungan terjalin di berbagai bidang. Mereka pun membutuhkan kecepatan waktu untuk mempermudah urusan, dan itu hanya bisa dipenuhi lewat sistem transportasi yang baik.

Jalan-jalan yang terbangun dengan baik, memberi kemudahan pula bagi pejabat pemerintah pusat yang seringkali menginspeksi wilayah kekuasaannya. Di sisi lain, pada masa itu bangkit gairah keagamaan di dunia Islam. Umat Islam selalu berharap dapat mengunjungi kota suci Makkah dan Madinah.

Perjalanan harus difasilitasi dengan adanya jaringan yang menghubungkan kota-kota yang bisa mengantarkan umat Islam ke sana. Secara garis besar, terdapat empat jaringan jalan utama. Masing-masing bermula dari Baghdad sebagai ibu kota pemerintahan.

Ada pula yang disebut dengan jaringan jalan kelima. Yaitu, berupa jalur transportasi air melintasi Sungai Tigris menuju Basra dan Teluk Arab. Jaringan pertama adalah Jalan Raya Khurasan. Al-Yaqubi, sejarawan Muslim yang hidup di abad ke9, menyebutnya jaringan besar.

Jalan utama ini membentang dari Baghdad menuju wilayah timur laut dan utara hingga ke kawasan perbatasan dengan Cina. Jalan ini juga melintasi kawasan di sepanjang Sungai Syr Daria. Begitu pula, melewati sejumlah kota, antara lain Hamazan, Ray, Naysapur, Thus, Merv , Bukhara, dan Samarkand.

Ini merupakan daerah yang akan mengarah pada perlintasan Jalan Sutera yang terkenal. Hingga era modern, jaringan jalan tersebut masih ada. Al-Yaqubi menggambarkan, Jalan Khurasan ini sebagai jalur pos utama yang melintasi Persia. Jalan ini melewati sejumlah kota penting, misalnya, Teheran dan kota tua Ray.

Jaringan kedua adalah Jalan Lintas Tenggara. Jalan utama ini hampir paralel dengan Jalan Khurasan. Dua jalan tersebut dipisahkan oleh padang pasir luas yang terdapat di antara Khurasan dan Fars. Dari Gerbang Basra di Baghdad, jalur lintas tenggara mengikuti sepanjang Sungai Tigris. Dua kota pertama yang dilalui, yakni Wasit dan Basra.

Mulai dari Basra, barulah mengarah ke wilayah tenggara, tepatnya ke Kota Ahwaz di Kuzistan, hingga menjangkau arah timur sampai di Sungai Industan. Sedangkan jaringan ketiga, yaitu Jalan Maghreb. Jaringan ini memiliki dua jalur yang melalui Sungai Eufrat dan sedangkan jalur lainnya melewati Mosul.

Jalur yang dibangun melalui Eufrat, ke wilayah barat. Kota yang dilintasi salah satunya Qayrawan di Tunisia. Sedangkan Jalan Maghreb via Mosul, bermula dari Baghdad akan bertemu lintasan paralel di sisi barat Sungai Tigris menuju Samarra serta Mosul.

Terakhir adalah Jalur Haji. Jalan ini berawal dari Gerbang Kufah di Baghdad menuju Kota Kufah. Dari sini, jalur terus hingga ke Gurun Arabia sebelum sampai ke Madinah atau Makkah. Ini adalah salah satu jalan yang juga mengarah ke kota suci, di antara yang lain berasal dari Jazirah dan biasanya digunakan para jamaah haji dari wilayah timur dan utara.

Menurut Josef W Meri dalam Medieval Islamic Civilization, sebagian jaringan jalan yang digunakan umat Islam merupakan kelanjutan dari sistem yang dibuat sejak masa Romawi atau Persia kuno. Jalan-jalan itu sudah memakai batu yang disusun rapi. Saat bangsa Romawi berkuasa, jaringan jalan dibuat militer.

Selama masa pemerintahan Islam, jalan-jalan tadi diperbaiki serta diperluas jangkauannya sehingga dapat mencapai Makkah dan Madinah. Dari catatan Jere L Bacharach, jalur yang menuju dua kota suci bermula dari Baghdad (Darb Zubayda), Damaskus (Darb al-Hajj al-Shami), serta Kairo (Darb al-Hajj al-Misri).

Sebagian jalur belum berbatu, tetapi sudah dilengkapi fasilitas, seperti sumur, penampungan air, tempat peristirahatan, dan masjid. Ada dokumentasi yang baik tentang jalur yang dibangun dari Baghdad. Jalur ini dibangun pada masa Khalifah Harun alRasyid. Di beberapa titik jalur menuju kota suci tersedia tempat penginapan.

Beberapa peristiwa politik yang penting pada masa ini juga sedikit banyak terkait dengan lini transportasi itu. Gerakan perlawanan Abbasiyah bermula dari wilayah Humayma, sebuah desa kecil yang dilintasi jalur utama antara Damaskus dan Madinah. Sebenarnya, terdapat satu jaringan jalan yang sangat penting.

Yakni, jalur Mesir yang melintasi Kota Aqaba dan Ayla. Jalur ini memang kurang terkenal, tetapi kerap digunakan semasa pemerintahan Sultan Mamluk. Di samping membangun dan memperbaiki sistem jaringan jalan, Dinasti Abbasiyah sekaligus mengembangkan beragam fasilitas penunjangnya.

Antara lain, jembatan, tempat pemberhentian, sumur air, masjid, dan sebagainya. Bahkan, catatan sejarah mengungkapkan, sejumlah jembatan yang dibangun pada era tersebut memiliki ketahanan luar biasa. Ada dua tipe jembatan, yaitu yang berstruktur batu (qantara) dan yang berstruktur kayu (jisr).

Josef W Meri mengisahkan, alat transportasi utama yang melintas di jaringan jalan itu kebanyakan adalah unta dan kuda. Kereta kuda belum banyak digunakan sebelum abad ke-13 sampai menjelang serangan bangsa Mongol. Tak hanya itu, dengan sistem jalan yang melintasi berbagai wilayah, secara berangsur permukiman di sepanjang jalur. Beberapa permukiman itu kemudian tumbuh menjadi kota besar, misalnya Sammara yang dibangun pada abad ke-8 yang terletak di persimpangan jalur antara Damaskus dan Kairo serta Jaffa dan Yerusalem.

Potret Kemajuan Dunia Kedokteran dalam Sejarah Islam

Ilmuwan bernama Ehsan Masood mengungkap fakta. Dalam bukunya, 'Science in Islam', ia menyebutkan bahwa ilmu kedokteran merupakan bidang sains yang paling produktif di masa awal Islam. Ini bukan begitu saja terjadi, namun ada latar belakang sebagai pijakan berkembangnya ilmu kedokteran.

Aspek medis dan kesehatan, sudah mendapat perhatian besar Rasulullah SAW semasa hidupnya. Inilah yang mengilhami pencapaian luar biasa umat Islam dalam ilmu kedokteran. Banyak ayat Alquran dan hadis yang berkaitan dengan persoalan kesehatan. Di lapangan, umat telah mempraktikkan ajaran Nabi Muhammad terkait kesehatan.

Bahkan, para Muslimah misalnya, secara sukarela menjadi tenaga perawat untuk mendukung perjuangan yang dilakukan pasukan Islam dalam sejumlah pertempuran. Pemanfaatan teknik pengobatan dan ilmu kedokteran terus berlanjut. Pada masa selanjutnya, terjadi pula transfer ilmu dari masa Yunani kuno.

Literatur-literatur medis dari peradaban lama diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dan Suriah pada abad ke-7 hingga ke-9. Khalifah al Ma'mun dari Dinasti Abbasiyah, mendorong gerakan gerakan pengalihbahasaan literatur penting itu. Bahkan, khalifah memberikan imbalan besar bagi ilmuwan yang melakukan penerjemahan.

Tak jarang, proses penerjemahan juga melibatkan para sarjana Kristen atau Yahudi. Salah satu karya besar yang diterjemahkan adalah buku de Materia Medica yang ditulis pada abad ke-1 oleh Dioscorides. Dia adalah dokter bedah asal Yunani yang bekerja di kententaraan Romawi.

Beberapa karya monumental dari Gelanus, dokter asal Yunani, turut dialihbahasakan. Salah satu penerjemah paling masyhur adalah Hunayn ibn Ishaq (809-873). Tokoh kelahiran al Hira ini tercatat sudah menerjemahkan sekitar 116 karya, termasuk menuliskan 21 buku bidang kedokteran.

Islam juga mengenal sejumlah penerjemah lain, seperti Jurjis ibnu Bakhtisliu dan Yuhana ibn Masawaya. Selain itu, penerjemahan literatur medis dari para dokter dan tabib India serta Persia kuno juga gencar dilakukan. Peter E Poorman dan Emilie SavageSmith melalui bukunya, Medieval Islamic Medicine, mengatakan teks itu menjadi rujukan.

Berdasarkan teks-teks terjemahan, ujar mereka, para ilmuwan Muslim meneliti, menyempurnakan, sekaligus mengembangkan teknik pengobatan baru. Agar mudah dipahami, dipelajari, dan diaplikasikan, umat Islam membuat karya itu lebih sistematis. Ini terwujud lewat daftar indeks, ensiklopedia, atau kesimpulan.

Para ilmuwan Muslim juga memadukan teknik medis dari beragam peradaban sehingga ditemukan cara pengobatan yang lebih baik. Atas dasar fakta tersebut, tak heran jika Poorman dan Smith kurang sependapat dengan anggapan bahwa dokter Muslim hanya mengambil mentah-mentah ilmu kedokteran dari Yunani kuno.

Sejarawan Philip K Hitti menyatakan, ketika Eropa memasuki zaman kegelapan, peradaban Islam mengalami masa keemasan. Termasuk, dalam ilmu kedokteran. Ia mengungkapkan, banyak kemajuan yang mampu dicapai bangsa Arab pada masa tersebut.

Mereka, jelas Hitti, membangun apotek pertama, sekolah farmasi, dan buku daftar obat-obatan. Berdiri pula banyak balai pengobatan serta rumah sakit besar di sejumlah kota utama Islam. Misalnya, Damaskus, Kairo, hingga Baghdad, yang menandai kegemilangan kaum Muslim di ranah kedokteran.

Sir John Bagot Glupp, seorang sejarawan, mengatakan pada masa itu rumah sakit di dunia Islam berfungsi ganda. Rumah sakit tak hanya untuk merawat pasien, tetapi juga tempat para dokter mengasah dan mengembangkan keahliannya. Layaknya sekarang, rumah sakit Islam tak membedakan latar belakang pasien.

Baik pemeluk Islam, Kristen, maupun Yahudi, semuanya memperoleh pelayanan terbaik dan tanpa mengeluarkan dana sepeser pun. Tenaga dokter dan perawatnya berasal dari beragam etnis dan agama. Catatan sejarang menyingkap, rumah sakit pertama berada di Damaskus pada 707 Masehi.

Rumah sakit itu dibangun pada masa pemerintahan Khalifah al-Walid ibnu Abdul Malik. Bahkan, untuk pertama kali, rumah sakit ini mengenalkan sistem dokter spesialis. Pada 872 Masehi, rumah sakit umum dibangun di Kairo. Di kota yang sama, berdiri pula rumah sakit paling modern abad pertengahan, yaitu RS al-Mansuri.

Rumah sakit ini dibangun Sultan alMansur pada 1285. Menurut pakar sejarah, Will Durant, tersedia fasilitas lengkap di sana. Di samping terdapat ruang perawatan pasien, ada pula laboratorium, perpustakaan, dapur, kamar mandi, gudang obat-obatan, serta ruang studi.

Pada abad ke-11, di setiap kota Islam sudah berdiri beberapa rumah sakit. Kordoba di Spanyol, setidaknya memiliki 50 rumah sakit yang representatif pada masa Abu al-Qasim alZahrawi (Abulcasis). Di Tunisia, Pangeran Ziyadad I membangun RS al Qayrawan pada 830 Masehi. Fasilitas umum itu dibangun di Kota al-Dimnah.

Rumah sakit ini telah menerapkan pemisahan antara kamar rawat pasien dan ruang tunggu pengunjung. Lalu di Maroko, Khalifah al-Mansur Ya'qub ibnu Yusuf pada 1190 membangun RS Marakesh. Ini menjadi rumah sakit terbesar dan terindah pada masanya. Sebuah taman asri membuat suasana rumah sakit ini menjadi begitu nyaman.

Studi kedokteran turut berkembang. Sir John Bagot Glubb menjelaskan, sekolah kedokteran Islam pertama hadir di Kota Baghdad pada masa kekhalifahan Abdullah al Ma'mun (786-833).
"Ketika sistem sudah terbangun, para dokter dan ahli mendapat tugas memberikan kuliah bagi para siswa kedokteran," paparnya.

Sumbangsih Islam untuk Kemajuan Teknik Mesin

Pengembangan teknologi telah dirintis lama. Umat Islam ikut memberikan andil di dalamnya. Paling tidak, hal ini bisa diketahui melalui berbagai temuan dan pembuatan peralatan mekanik oleh cendekiawan Muslim. Karya paling menonjol dihasilkan oleh Badi al-Zaman al-Jazari dan Taqi al-Din.

Sebagian teknologi peralatan yang berhasil dikembangkan itu diyakini turut membantu dimulainya revolusi industri di Barat. Beragam peralatan itu tak hanya bernilai estetik, tetapi juga memiliki fungsi membantu pengembangan perta nian, baik industri maupun keperluan sehari-hari.

Melalui al-Jazari dan Taqi al-Din, yang tercatat sebagai insinyur yang berpenga ruh pada bidang teknologi permesinan, generasi ilmuwan berikutnya dapat menemukan rujukan mengenai poros engkol, misalnya. Juga, katup yang kini mewujud pada mesin pembakaran internal.

Profesor Salim al-Hassani dari Universitas Manchester, Inggris, memuji kejeniusan mereka. Menurut dia, al-Jazari dan Taqi al-Din adalah penemu dan perancang peralatan permesinan awal di dunia Islam. Ia telah melakukan penelitian dan kajian terhadap rancangan mesin al-Jazari dan Taqi al-Din.

Selain mengandalkan analisis matema tika, Hassani melakukan pengukuran perinci memakai simulasi komputer gra fis. Hasilnya, unjuk kerja peralatan kuno memiliki karakteristik serupa dengan peralatan modern yang ada. Tak heran jika sejumlah kalangan menyematkan Bapak Teknik Modern pada al-Jazari.

Sejarah mencatat al-Jazari sebagai tokoh besar di bidang mekanik abad ke-12. Ia lahir sekitar 1136 Masehi di al-Jazira, sebuah kawasan antara Sungai Tigris dan Eufrat. Sebagian besar masa hidupnya dihabiskan di Diyar Bakir, Turki. Di sana, dia menuangkan pemikiran dan berkarya.

Ini merupakan masa ketika orang-orang berbahasa Turki mulai menguasai bagian dunia tersebut. Pada tahun 1174, al-Jazari bekerja sebagai ahli teknik untuk Dinasti Bani Artuq, penguasa Mesopotamia (Irak). Karena keahliannya, ia memperoleh sejumlah gelar prestisius, seperti Rais al-A’mal.

Gelar tersebut menunjukkan dirinya adalah pemimpin para insinyur pada masa itu. Sementara itu, gelar Badi al-Zaman dan al-Shaykh memberikan pengakuan sebagai ilmuwan tak tertandingi serta bermartabat. Ehsan Masood dalam Ilmuwan Muslim Pelopor Hebat di Bidang Sains Modern mengatakan bahwa alJazari juga seorang ahli komunikasi andal.

Al-Jazari mampu menulis dan menggambar. Temuan-temuannya menginspirasi rancangan mesin-mesin modern saat ini. Karya fenomenalnya adalah al Jami Bain al-Ilm Wal ‘Aml al-Nafi Fi Sinat ‘at al-Hiyal atau The Book of Knowledge of Ingenious Mechanical Devices yang dirampungkan pada 1198 Masehi.

Buku ini seluruhnya mencakup teori dan praktik mekanik sekaligus mendokumentasikan sekitar 50 temuan yang dilengkapi rancangan gambar secara teperinci. Berkat kepeloporan yang gemilang pada bidang teknik, al-Jazari turut mengangkat sejarah peradaban Islam pada abad pertengahan.

Di antara desain mekaniknya yang mengundang decak kagum para ilmuwan adalah pembuatan jam gajah. Alat tersebut tepatnya berupa jam air berbentuk gajah. Jam gajah mengombinasikan prinsip air Archimedes dengan gajah India dan pengukur waktu yang menggunakan air, naga Cina, phoenix Mesir, karpet Persia, serta angka Arab.

Jam tersebut dipandang sebagai pencapaian luar biasa yang memanfaatkan tekanan air untuk otomatisasi. Adanya kebutuhan untuk mengetahui waktu shalat menjadi titik penting pengembang an jam air semacam itu. Alat ini mampu menunjukkan waktu secara tepat, baik siang maupun malam, melalui simbal dan burung berkicau.

Kondisi geografis di dunia Islam memicu pula sejumlah penemuan. Air menjadi masalah krusial di wilayah kekuasaan Islam yang beriklim kering dan tanah tandus. Warga harus mencari sumber mata air bawah tanah untuk keperluan minum, rumah tangga, irigasi pertanian, industri, dan sebagainya.

Untuk itulah, diperlukan alat pemompa air yang efektif. Masyarakat kuno sejatinya sudah memanfaatkan semacam peralatan pompa air, yakni shaduf dan saqiya. Shaduf digunakan secara luas oleh peradaban Assiria dan Mesir kuno. Alat itu terdiri atas balok panjang yang ditopang dua pilar dengan balok kayu horizontal.

Adapun shaqiya berupa mesin bertenaga hewan dengan mekanisme gerak yang terdiri atas dua roda gigi.Al-Jazari lalu mengembangkan kedua alat ini menjadi sebuah mesin yang mampu memasok air dalam jumlah cukup banyak. Ia juga menciptakan mesin yang menggunakan balok dan tenaga binatang.

Mekanisme yang melibatkan roda gigi dan engkol menggerakkan secara naik turun balok tadi. Ini adalah mesin pertama yang menggunakan engkol sebagai unsur penting sebuah mesin. Sebuah mesin kontrol mekanik merupakan karyanya yang lain. Alat itu diterapkan pada pintu besi besar yang memakai kombinasi kunci dengan baut.

Dia pun merancang sejumlah peralatan automata, seperti mesin otomatis, peralatan rumah tangga, dan automata musik yang digerakkan air. Prestasi mengagumkan di bidang teknik mesin turut ditorehkan Taqi al-Din. Ilmuwan ini lahir di Damaskus, Suriah, pada 1525 Masehi.

Nama lengkapnya adalah Taqi al Din Muhammad bin Ma’ruf bin Ahmad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad bin Yusuf bin Muhammad al-Shami. Ia merupakan ahli teknik terbesar di dunia Islam. Ia juga penulis produktif. Hal ini terbukti dengan 19 buku teknik yang berhasil ia tulis.

Salah satunya berjudul Al-Toruq alSaniyah fi al-Alat al-Rohanyah, yang berisi deskripsi beberapa peralatan mesin kreasinya. Dalam manuskripnya, Taqi alDin menjelaskan mekanisme kerja mesin pompa. Mesin yang digerakkan oleh air ini menunjukkan kemajuan hebat yang dicapai umat Islam.

Roda air yang ada di dalam mesin menggerakkan piston yang saling berhubungan. Silinder piston terhubung dengan pipa penyedot. Pipa penyedot selanjutnya menyedot air dari sumbernya dan membagikannya ke sistem pasokan air. Para ahli permesinan meyakini bahwa pompa ini merupakan contoh awal dari sistem double-acting principle.

Menurut Ehsan Masood, periode kedua tokoh besar ini berkiprah merupakan puncak teknologi mekanik Islam. Yang mereka ciptakan telah membawa penga ruh luar biasa di berbagai bidang kehidupan pada zamannya. Al-Jazari dan Taqi al-Din berhasil menunjukkan betapa penting teknologi kuno dalam membentuk dunia modern. 

Gerakan Freemason dalam Lintasan Sejarah Indonesia

Meski ratusan tahun beroperasi di Nusantara, keberadaan Freemason (Belanda:Vrijmetselaarij), nyaris tak tertulis dalam buku-buku sejarah. Padahal, banyak literatur yang cukup memadai untuk dijadikan rujukan penulisan sejarah tentang gerakan salah satu kelompok Yahudi di wilayah jajahan yang dulu bernama Hindia Belanda ini.

Di antaranya adalah: Vrijmet selaarij: Geschiedenis, Maats chapelijke Beteekenis en Doel (Freemason: Sejarah, Arti untuk Masyarakat dan Tujuannya) yang ditulis oleh Dr Dirk de Visser Smith pada tahun 1931, Geschiedenis der Vrymet selary in de Oostelijke en Zuidelijke Deelen (Sejarah Freemason di Timur dan Selatan Bumi) yang ditulis oleh J Hagemen JCz pada tahun 1886, Geschiedenis van de Orde der Vrijmetselaren In Nederland Onderhoorige Kolonien en Londen (Sejarah Orde Freemason di Nederland di Bawah Kolonialisme) yang ditulis oleh H Maarschalk pada tahun 1872, dan Gedenkboek van de Vrijmet selaaren In Nederlandsche Oost Indie 1767-1917 (Buku Kenang-kenangan Freemason di Hindia Belanda 1767-1917), yang diterbitkan secara resmi pada tahun 1917 oleh tiga loge besar; Loge de Ster in het Oosten (Batavia), Loge La Constante et Fidele (Semarang), dan Loge de Vriendschap (Surabaya).

Di samping literatur yang sudah berusia ratusan tahun tersebut, pada tahun 1994, sebuah buku berjudul Vrijmetselarij en samenleving in Nederlands-Indie en Indonesie 1764- 1962 (Freemason dan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia 1764- 1962) ditulis oleh Dr Th Stevens, seorang peneliti yang juga anggota Freemason. Berbeda dengan buku-buku tentang Freemason di Hindia Belanda sebelumnya, buku karangan Dr Th Stevens ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia pada tahun 2004.

Buku-buku yang mengungkap tentang sejarah keberadaan jaringan Freemason di Indonesia sejak masa penjajahan tersebut, sampai saat ini masih bisa dijumpai di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Bahkan, Indisch Macconiek Tijdschrift (Majalah Freemason Hindia), sebuah majalah resmi milik Freemason Hindia Belanda yang terbit di Semarang pada 1895 sampai awal tahun 1940-an, juga masih tersimpan rapi di perpustakaan nasional.

Selain karya Stevens dan H Maarschalk yang diterbitkan di negeri Belanda, buku-buku lainnya seperti tersebut di atas, diterbitkan di Semarang dan Surabaya, dua wilayah yang pada masa lalu menjadi basis gerakan Freemason di Hindia Belanda, selain Batavia. Keberadaan jaringan Freemason di Indonesia seperti ditulis dalam buku Kenang-kenangan Freemason di Hindia Belanda 1767-1917 adalah 150 tahun atau 199 tahun, dihitung sejak masuknya pertama kali jaringan Freemason di Batavia pada tahun 1762 sampai dibubarkan pemerintah Soekarno pada tahun 1961.

Selama kurun tersebut Freemason telah memberikan pengaruh yang kuat di negeri ini. Buku Kenang-kenangan Freemason di Hindia Belanda 1767-1917 misalnya, memuat secara lengkap operasional, para tokoh, dokumentasi foto, dan aktivitas loge-loge yang berada langsung di bawah pengawasan Freemason di Belanda. Buku setebal 700 halaman yang ditulis oleh Tim Komite Sejarah Freemason ini adalah bukti tak terbantahkan tentang keberadaan jaringan mereka di seluruh Nusantara.

Keterlibatan elite-elite pribumi, di antaranya para tokoh Boedi Oetomo dan elite keraton di Kadipaten Pakualaman, Yogyakarta, terekam dalam buku kenang-kenangan ini. Radjiman Wediodiningrat, orang yang pernah menjabat sebagai pimpinan Boedi Oetomo, adalah satu-satunya tokoh pribumi yang artikelnya dimuat dalam buku kenang-kenangan yang menjadi pegangan anggota Freemason di seluruh Hindia Belanda ini.

Radjiman yang masuk sebagai anggota Freemason pada tahun 1913, menulis sebuah artikel berjudul ”Een Broderketen der Volken” (Persaudaraan Rakyat). Radjiman pernah memimpin jalannya sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Selain Radjiman, tokoh-tokoh Boedi Oetomo lainnya yang tercatat sebagai anggota Freemason bisa dilihat dalam paper berjudul The Freemason in Boedi Oetomo yang ditulis oleh CG van Wering.

Kedekatan Boedi Oetomo pada masa-masa awal dengan gerakan Freemason bisa dilihat setahun setelah berdirinya organisasi tersebut. Adalah Dirk van Hinloopen Labberton, pada 16 Januari 1909 mengadakan pidato umum (openbare) di Loge de Sterinhet Oosten (Loji Bin - tang Timur) Batavia. Dalam pertemuan di loge tersebut, Labberton memberikan ceramah berjudul, ”Theosofische in Verband met Boedi Oetomo” (Theosofi dalam Kaitannya dengan Boedi Oetomo).

Theosofi adalah bagian dari jaringan Freemason yang bergerak dalam kebatinan. Aktivis Theosofi pada masa lalu, juga adalah aktivis Freemason. Cita-cita Theosofi sejalan dengan Freemason. Apa misi Freemason? Dalam buku Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia 1764-1962, karya Dr Th Steven dijelaskan misi organisasi yang memiliki simbol Bintang David ini: ”Setiap insan Mason Bebas mengemban tugas, di mana pun dia berada dan bekerja,untuk memajukan segala sesuatu yang mempersatukan dan menghapus pemisah antar manusia.”

Jadi, misi Freemason adalah “menghapus pemisah antarmanusia!”. Salah satu yang dianggap sebagai pemisah antarmanusia adalah 'agama'. Maka, jangan heran, jika banyak manusia berteriak lantang: ”semua agama adalah sama”. Atau, ”semua agama adalah benar, karena merupakan jalan yang sama-sama sah untuk menuju Tuhan yang satu.”

Paham yang dikembangkan Freemason adalah humanisme sekular. Semboyannya: liberty, egality, fraternity. Sejak awal abad ke-18, Freemasonry telah merambah ke berbagai dunia. Di AS, misalnya, sejak didirikan pada 1733, Freemason segera menyebar luas ke negara itu, sehingga orang-orang seperti George Washington, Thomas Jefferson, John Hancock, Benjamin Franklin menjadi anggotanya.

Prinsip Freemasonry adalah 'Liberty, Equality, and Fraternity'. (Lihat, A New Encyclopedia of Freemasonry, (New York: Wing Books, 1996). Harun Yahya, dalam bukunya, Ksatria-kstaria Templar Cikal Bakal Gerakan Freemasonry (Terj), mengungkap upaya kaum Freemason di Turki Usmani untuk menggusur Islam dengan paham humanisme.

Dalam suratnya kepada seorang petinggi Turki Usmani, Mustafa Rasid Pasya, August Comte menulis, “Sekali Usmaniyah mengganti keimanan mereka terhadap Tuhan dengan humanisme, maka tujuan di atas akan cepat dapat tercapai.” Comte yang dikenal sebagai penggagas alir n positivisme juga mendesak agar Islam diganti dengan positivisme. Jadi, memang erat kaitannya antara pengembangan liberalisasi, sekularisasi, dan misi Freemason. .

08 December 2010

Benarkah Manusia Purba Memang Ada?

Sekali-kali, tengoklah buku sejarah untuk tingkat SMP. Bab I buku itu membahas tentang sejarah manusia, yang dikaitkan dengan kemungkinan adanya jenis makhluk bernama 'manusia purba'. Mengapa teori semacam ini dimunculkan dan diajarkan di sekolah-sekolah?

Perlu dicatat, Ilmu pengetahuan yang berkembang pada era dominasi Peradaban Barat sekarang ini bersumber dari paham sekularisme, utilitarianisme dan materialisme. Pahampaham tersebut menolak unsur transenden dalam alam semesta, memisahkan agama dari kehidupan dan nilai yang tidak mutlak atau relatif (Harvey Cox, The Secular City, 1965).

Semenjak Rene Descartes (m. 1650) menyampaikan prinsip cogito ergo sum (aku berpikir maka aku ada) maka rasio menjadi satu-satunya pengetahuan dan satu-satunya kriteria untuk mengukur kebenaran. Rasio menjadi pokok pengetahuan dan ia harus terbebas dari mitos-mitos keagamaan seperti wahyu, Tuhan, credo, nilai dan lain sebagainya.

Ilmu pengetahuan Barat modern tidak mempunyai pinjakan kuat tentang asal-usul manusia, berbeda dengan wahyu yang jelas-jelas menyebutkan manusia pertama adalah Adam. Merekapun menyusun suatu landasan teori yang menyebutkan bahwa asal-usul manusia adalah manusia purba. Teori ini 'diperkuat' dengan temuan-temuan fosil manusia purba yang berusia jutaan tahun. Maka muncul dan berkembanglah teori evolusi yang menyatakan asal usul manusia sekarang ini adalah manusia kera, kemudian berkembang menjadi manusia purba dan manusia modern.

Dalam pelajaran sejarah Indonesia kita sering mendapat informasi adanya fosil-fosil Homo erectus yang ditemukan di beberapa lokasi di Jawa yang oleh para arkeolog diperkirakan berumur mulai dari 1,7 juta tahun (Sangiran) hingga 50 ribu tahun yang lalu (Ngandong). Terdapat kategori dua subspesies berbeda yaitu Homo erectus paleojavanicus yang lebih tua daripada Homo erectus soloensis. Disebutkan bahwa mereka hidup sezaman dengan manusia modern Homo sapiens kurang lebih 50.000 tahun lalu.

Namun demikian hampir semuanya sepakat bahwa nenek manusia bukan manusia model yang fosilnya ditemukan itu. Para ahli pendukung teori evolusi mengatakan bahwa makhluk itu merupakan missing link (mata rantai yang hilang) dari ras manusia. Namun bagi umat Islam dan para ilmuwan modern, keberadaan fosil manusia purba tidak pernah diakui kebenarannya. Para evolusionis (kaum yang menganut paham teori evolusi Darwin) yang memang atheis tidak punya pijakan siapa manusia pertama sehingga berasumsi bahwa manusia yang sekarang ada merupakan perkembangan dari manusia purba.

Keberadaan manusia purba, termasuk binatang dinosaurus sudah banyak disangkal oleh para ilmuwan modern. Beberapa temuan terakhir justru menunjukkan bahwa teori manusia purba tidak benar alias tidak pernah ada. Selama ini kita mendapatkan pemahaman yang salah yang diberikan pada waktu pendidikan dasar, ditambah dengan rekayasa film ala holywood yang memvisualisasi keberadaan mahlukmahluk di jaman purba, di antaranya Film Jurasic Park. Keadaan menjadi bertambah parah tatkala teori tentang manusia purba yang dikemukakan oleh para evolusionis ini diberikan tempat di dalam kurikulum pendidikan dasar kita.

Para ilmuwan Barat yang sebagian besar memang menganut teori evolusi memasukkan Australopithecus atau ras kera yang telah punah sebagai ras "nenek moyang manusia".
Padahal ada jurang besar dan tak berhubungan antara kera dan manusia. Perbedaan ini yang tidak bisa dijelaskan oleh mereka selanjutnya disebut dengan mata rantai yang hilang (missing link).

Adapun ras manusia primitif menurut mereka, sebenarnya hanya variasi dari ras manusia modern, namun dibesar-besarkan sebagai spesies yang berbeda. Faktanya, spesies yang berbeda. Fakta tidak ada urutan kronologis seperti itu. Banyak yang hidup pada periode yang sama yang berarti tidak ada evolusi, bahkan ada yang lebih tua dari jenis yang diklaim sebagai nenek moyangnya.

Tatkala para evolusionis tak juga menemukan satu fosilpun yang bisa mendukung teori mereka, terpaksa mereka melakukan manipulasi. Contoh yang paling terkenal adalah manusia Piltdown yang dibuat dengan memasangkan tulang rahang orang utan pada tengkorak manusia. Fosil ini telah mem bohongi dunia ilmu pengetahuan selama 40 tahun. Ilmuwan evolusionis yang tidak mengenal Tuhan tidak mendapatkan informasi siapa manusia pertama yang mendiami bumi ini.

Oleh karena itu mereka membuat teori asal usul manusia yang dimulai dari manusia kera, manusia purba dan manusia modern. Apabila kita orang Islam mengemukakan konsep manusia pertama adalah Adam, sebagaimana disebutkan di dalam Alquran dan Hadis Nabi SAW, besar kemungkinan akan ditolak karena bertentangan dengan teori yang mereka buat. Karena dunia Barat saat ini tengah menguasai peradaban dunia, maka mereka bisa dengan mudahnya memasukkan teori-teori tersebut ke dalam kurikulum pendidikan, termasuk pendidikan Islam di negeri-negeri muslim. Sampai saat ini teori evolusi dengan keberadaan manusia purbanya masih banyak dipakai dan di ajarkan di sekolah-sekolah Islam.

Padahal itu semua tidak benar karena berasal dari pemikiran yang sangat spekulatif dan jauh dari unsur wahyu. Ironisnya, banyak orang tua tidak peduli, saat belajar sejarah, anaknya dijejali dengan teori yang menanamkan benih keraguan terhadap iman mereka.

Merunut Perjalanan Islam Mewarnai Eropa

Interaksi budaya kerap memicu persentuhan. Ada pertemuan antara budaya yang saling mempengaruhi satu sama lain. Demikian pula, persentuhan pemerintahan Islam Turki Usmani dengan Eropa. Di sisi lain, transfer budaya dan peradaban juga muncul dari karya-karya intelektual Muslim yang dipelajari Eropa.

Sultan Mehmed II, penguasa Turki Usmani, menjadi salah satu aktor yang mendorong terjadinya persentuhan budaya dan peradaban itu, khususnya dalam bidang seni. Namun, seorang cendekiawan Barat, Gunsel Renda, melalui tulisannya, The Ottoman Empire and Europe: Cultural Encounters, mengungkapkan, peran sang sultan tak banyak tersingkap.

Selain mengembangkan budaya Islam, Mehmed II juga dikenal sebagai sosok yang tertarik dengan sejarah masa lalu dan budaya Barat. Ketertarikan itu telah sejak belia tertanam di dalam benaknya. "Ia merupakan penguasa Turki Usmani pertama yang menjalin pertalian budaya dengan Barat," ujar Renda.

Penerimaan terhadap budaya lain dan ilmu pengetahuan, bisa tecermin dari koleksi buku di perpustakaan pribadinya. Di rak-rak perpustakaannya, bertebaran buku ilmiah yang ditulis dalam beragam bahasa. Buku itu juga sangat beraneka, dari kajian geogarfi, kesehatan, sejarah, hingga filsafat.

Bibel dan karya-karya Yunani klasik menjadi koleksi perpustakaan pribadi Mehmed II itu. Langkah Mehmed II membuka diri menjalin interaksi memicu sejumlah ilmuwan Barat memberikan apresiasi kepadanya. Giorgios Amirutzes dari Trabezond, misalnya, membuat peta dunia untuk sultan dengan menggunakan Geographike karya Ptolemeus.

Di Istana Topkapi, ada salinan Geographike dalam bahasa Latin serta terjemahan buku tersebut dalam bahasa Italia oleh Berlinghieri Fiorentino yang didedikasikan untuk Mehmed II. Pribadi Mehmed II, pandangan politik, dan sikapnya, akhirnya menebarkan citra Turki di dunia seni Eropa.

Sejumlah seniman Eropa membuat potret Mehmed II sebagai bentuk apresiasi. Di sisi lain, ia meminta dibuatkan potret dirinya. Ia pernah meminta bantuan sejumlah seniman melalui penguasa Italia. Costanza da Ferrara menjadi seniman Italia pertama yang datang ke istana Turki Usmani. Ia dikirim oleh Raja Naples, Ferdinand Ferrante II.

Hubungan Turki Usmani-Eropa yang berlangsung selama berabad-abad, terjadi di tengah perkembangan politik dan ekonomi di kedua belah pihak. Dalam bidang perdagangan, karpet Turki juga banyak diimpor oleh Eropa. Bahkan, motif rancangan pada karpet tak jarang mengikuti perkembangan seni, baik di Eropa maupun Turki Usmani.

Dengan latar belakang ini, di antara komunitas Muslim, Turki memiliki hubungan paling dekat dengan Eropa. Hubungan erat tersebut tecermin pula dalam seni dan budaya. Pada abad sebelumnya, pengaruh Muslim di bidang kuliner merambah Eropa dan menjadi rujukan.

Merujuk pada pernyataan Nabi Muhammad SAW bahwa tubuh memiliki haknya yang harus dipenuhi, dokter dan ilmuwan Muslim menyusun sejumlah buku yang terkait dengan makanan sehat. Demikian pula, dengan cara penyajiannya. Misalnya, Ibnu Sa’id alQurtubi pada abad ke-10 dengan karyanya Kitab Khalq al-janin wa Tadbir al-hibala.

Buku ini membahas diet bagi janin dan ibu yang sedang hamil. Lalu, ada Abu Marwan Ibn Zuhr (10921161) dengan karyanya, Al-Taysir fi ‘l-mudawat wa-‘ltadbir Kitab al-Aghdia. Ini merupakan buku tentang nutrisi. Buku yang membahas masakan secara khusus juga banyak jumlahnya.

Di antaranya adalah Kanz al-fawa’id fi tanwi’ almawa’id yang ada di abad ke-10. Penulisnya anonim dan buku ini diperkirakan dari Mesir. Seorang Muslim Spanyol pada abad ke-12 bernama Ibnu Razin Attujibi, menyusun sebuah buku berjudul Fadhalat al-Khiwan fi Atayyibat at-Ta’am wa-‘l-‘Alwan.

Selain itu, terdapat penulis lainnya, yaitu Mohammed al-Baghdadi, cendekiawan dari Irak pada abad ke-13, dengan karyanya Kitab at-Tabikh. Pada abad yang sama, Dawud al-Antaki dari Suriah, meluncurkan buku berjudul Tadhkira. Demikian pula, dengan Ibnu Adim yang juga dari Suriah, memiliki karya Wasla ‘l-habîb fi wasf al-tayyibât wa at-thibb.

Menurut Zohor Idrisi, seorang peneliti di Foundation for Science, Technology, and Civilization, dalam tulisannya The Influence of Islamic Culinary Art on Europe, pada abad ke-13, buku-buku yang disusun oleh dokter dan ilmuwan Muslim itu menarik perhatian, baik para penguasa maupun gereja di Barat. Rasa tertarik itu kian meningkat saat wilayah Ferrara, Salerno, Montpellier, dan Paris menjadi pusat studi karya kedokteran Muslim. Tak berhenti sampai di situ, di lingkaran penguasa dan aristokrat Eropa, permintaan makanan yang berasal dari dunia Muslim serta rempah mengalami peningkatan.

Sayangnya, ujar Idrisi, para aristokrat Eropa tak mengindahkan aturan diet dari konsumsi sayuran dan daging. Akibatnya, mereka diserang encok. Masuknya manisan, selai, dan makanan yang diawetkan ke Eropa melahirkan masalah baru lainnya bagi mereka, yaitu konstipasi. Mereka mengabaikan rekomendasi dokter Muslim soal makanan.


Namun, ada pula yang benar-benar mengikuti aturan pola makanan yang termuat dalam buku-buku karya Muslim itu. Di antaranya adalah Ratu Cristina yang mengua sai Denmark, Swedia, dan Norwegia. Ia tak mengalami permasalahan seperti yang dihadapi oleh para penguasa lainnya

*berbagai sumber

Ratusan Tahun, Lembaga Islam MDS Jadi Kunci Stabilitas Muslim di Rusia

Sistem Direktorat Spiritual Muslim (MSD) di Rusia tak memiliki basis mendasar dengan Islam, namun ia memiliki akar mendalam dalam Kerajaan Rusia dan Sejarah Soviet. Posisi bersejarah itulah yang memiliki peran kunci dalam mencegah pertikaian antar etnis dan agama di kawasan Muslim, di Volga Tengah dan di mana pun penjuru Rusia.

Pandangan tadi merupakan tulisan sebuah buku baru karangan A.Yu. Khavbutdinov, “The History of the Orenburg Muslim Spiritual Assembly (1788-1917): Institutions, Ideas and People”  terbit tahun ini. Dalam sebuah ulasan, sejarawan Rusia, Damir Mukhetdinov, menulis karena organisasi pendahulu MDS-itulah,  Majelis Spiritual Muslim Orenburg, maka wilayah Muslim masih stabil hingga kini.

Damir sendiri adalah kepala deputi MSD untuk Rusia Eropa. Ia berpendapat lembaga Orenburg, adalah "milik bersama semua Muslim Rusia, kecuali mereka yang tinggal di Kaukasus Utara,". Lembaga itu telah membantu mengembangkan strategi pengembangan dan kerjasama dengan negara dan masyarakat Rusia.

Kajian terhadap Majelis Orenburg menunjukan bahwa "jumlah masjid-masjid lebih berkembang hingga seratus kali lipat" selama masa keberadaan lembaga itu. Namun yang lebih penting bagi Muslim Rusia, "pada era tersebut proses asimilasi hampir selalu berjalan mulus dan tak ada kasus signifikan yang menunjukkan kepindahan warga pemeluk Islam ke negara lain."

"Dan hari ini kita saksikan, bahwa hal utama umat Rusia adalah keberadaan kota-kota dan aula yang menjadi pusat Islam selama epic Majelis Orenburg berlangsung," ujar Damir. Karena kondisi itu pula, para mufti di Rusia mengatakan mereka yang mengkritik sistem MDS dan aktivitas presidennya harus mempertimbangkan lagi kecamannya.

Tentu saja, imbuh Damir, tak pernah ada lembaga atau sosok yang ideal. Akhir masa tsarian di Rusia menunjukkan itu, yang ditandai munculnya bentrokan bahkan pembersihan etnis dan agama. Namun yang perlu ditekankan, mengingat sejarah bentrokan dan pembersihan etnis bukan hal jarang di Rusia, kata Damir, maka di zona mana kekerasan itu ada dan di zona mana yang tidak juga perlu.

Jika seseorang benar-benar mencermati, maka ia dapat melihat bahwa "sebuah kawasan luas yang diawasi Majelis Orenburg, mulai Petersburg hingga Chita dan dari Astrakhan ke Arkhangelsk, tetaplah bebas dari konflik berdarah. Kondisi yang sayangnya tak bisa ditemukan di Transcaucasus, Kaukasus Utara dan Kazakhstan atau Asia Tengah

Pengecualian atas pola nonkonflik dalam wilayah itu, di mana kehidupan beragama dipantau oleh Majelis Orenburg, kala periode revolusi, hanya di bagian Urals, di mana Bashkirs dan Slavic bertikai atas penguasa kawasan. Sejarah mengungkap pula mengapa selama 1990 tidak ada bentrokan berdarah di sana.

Semua mufti yang memimpin di Majelis Orenburg, tulis Damir, mempromosikan kebijakan hubungan damai dengan lingkungan dan tetangga sekitar. Lebih dari itu, Majelis Orenberg, dalam kajian terbukti menjalankan tata-kelola langka, mereka membuat pengeluaran minimal dari dana penduduk yang dikumpulkan. Mereka tidak hanya mengurus hal-hal keagamaan tetapi juga pendidikan. Majelis pun mencegah mullah dan imam terpisah dan berjarak dari populasi masyarakat.

Baik pengarang maupun pengulas mengatakan, muncul pandangan luas yang keliru bahwa Majelis Orenburg dan anggotanya hanyalah orang-orang birokratis yang tidak melihat situasi semua Rusia dari kacamata terkucil mereka. Damir menyatakan, justru hingga kini, lembaga itu tidak kehilangan kedudukan pentingnya dalam era milenium baru, ketika umat Rusia kembali mempertanyakan persatuan, perbaikan ekonomi, keuangan dan pendidikan sekaligus menjaga kepribadian Muslim di tengah dunia yang kian berubah.

RAHASIA DIPILIHNYA JAZIRAH ARAB SEBAGAI TEMPAT DITURUNNYA ISLAM

Ketika itu, dunia dikuasai oleh dua imperium raksasa, yaitu kerajaan Romawi dan Persia, kemudian disusul oleh Yunani dan India.

Persia adalah ladang subur berbagai khayalan (Khurafat) keagamaan dan filosofi yang saling bertentangan. Di antara falsafahnya adalah Zoroaster yang dianut oleh para penguasa negeri. Ajarannya antara lain mengutamakan perkawinan seseorang dengan ibunya, anak perempuannya, atau saudara perempuannya, sehingga Yazdasir II yang memerintah pada abad V mengawini anak perempuannya. Belum lagi penyimpangan-penyimpangan akhlak yang beraneka ragam sehingga tidak bisa disebutkan di sini.

Di Persia, juga terdapat ajaran Mazdakia, yang menurut Imam Syahrustani, didasarkan pada filsafat lain, yaitu menghalalkan wanita, membolehkan harta, dan menjadikan manusia sebagai serikat seperti perserikatan mereka dalam masalah api, air, dan rumput. Para kaum pengumbar hawa nafsu menyambut baik ajaran ini.

Sementara Romawi telah dikuasai sepenuhnya oleh semangat kolonialisme. Negeri ini terlibat pertentanganagama antara Romawi di satu pihak dan Nasrani. Negara ini mengandalkan kekuatan militer dan ambisi kolonialnyadalam melakukan petualangan naïf demi mengembangkan agama Kristen dan mempermainkannya sesuai dengan keinginan hawa nafsu mereka yang serakah.

Pada waktu yang sama, Negara ini tak kalah bejatnya dari Persia. Kehidupan nista, kebejatan moral, dan pemerasan ekonomi telah menyebar ke seluruh pelosok negeri akibat dari penghasilan yang melimpah dan penumpukan pajak.

Yunani dan India tidak jauh berbeda. Yunani tenggelam dalam khurafat dan mitos-mitos verbal yang tidak pernah memberinya manfaat. Demikian juga India, sebagaimana dikatakan Ustadz Abul Hasan an-Nadawi, telah disepakati oleh para penulis sejarahnya, bahwa negeri ini sedang berada pada puncak kebejatan dari segi agama, akhlak, ataupun sosial. Masa tersebut bermula sejak awal abad VI.

Di samping itu, harus diketahui bahwa ada satu hal yang menjadi sebab utama terjadinya kemerosotan, keguncangan, dan kenestapaan pada umat-umat tersebut, yaitu peradaban dan kebudayaan yang didasarkan pada nilai-nilai materialistic semata, tanpa adanya nilai-nilai moral yang mengarahkan peradaban dan kebudayaan tersebut ke jalan yang benar. Seperti halnya peradaban berikut segala implikasi dan penampilannya, tidak lain hanyalah merupakan sarana dan instrumen. Jika pemegang sarana dan instrumen tidak memiliki pemikiran dan nilai-nilai moral yang benar, peradaban yang ada di tangan mereka akan berubah menjadi alat kesengsaraan dan kehancuran. Akan tetapi, jika pemegangnya memiliki pemikiran yang benar, yang hanya bisa diperoleh melalui wahyu Ilahi, seluruh nilai peradaban dan kebudayaan akan menjadi sarana yang baik bagi kebudayaan yang bahagia penuh dengan rahmat di segala bidang.

Sementara itu, di Jazirah Arabia, bangsa Arab hidup dengan tenang, jauh dari bentuk keguncangan tersebut. Mereka tidak memiliki kemewahan dan peradaban Persia yang memungkinkan mereka kreatif dan pandai menciptakan kemerosotan-kemerosotan, filsafat keserbabolehan, dan kebejatan moral yang dikemas dalam bentuk agama.

Mereka juga tidak memiliki kekuatan militer Romawi yang mendorong mereka melakukan invasi dan ekspansi ke Negara-negara tetangga. Mereka tidak memiliki kemegahan filosofis dan dialektika Yunani yang menjerat mereka menjadi mangsa mitos dan khurafat.

Karakteristik mereka seperti bahan baku mentah; masih menampakkan fitrah kemanusiaan dan kecenderungan yang sehat dan kuat serta cenderung kepada kemanusiaan yang mulia, seperti menolong, dermawan, rasa harga diri, dan kesucian.

Hanya saja mereka tidak memiliki ma’rifat (pengetahuan) yang akan mengungkapkan jalan ke arah itu karena mereka hidup dalam kegelapan, kebodohan, dan alam fitrah yang pertama. Akibatnya, mereka sesat jalan, tidak menemukan nilai-nilai kemanusiaan tersebut.

Selanjutnya, mereka membunuh anak dengan dalih kemuliaan dan kesucian, memusnahkan harta kekayaan dengan alas an kedermawanan, dan membangkitkan peperangan di antara mereka dengan alasan harga diri dan kepahlawanan.

Keadaan inilah yang Alalh sebut dengan dhalal dalam firman-Nya.
“Dan Sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat. (QS. Al-Baqarah: 198)

Suatu sifat, apabila dinisbatkan kepada kondisi umat-umat lain pada waktu itu, lebih banyak menunjukkan kepada I’tidzar (excuse) daripada kecaman, celaan dan hinaan kepada mereka. Ini dikarenakan umat-umat lain tersebut melakukan penyimpangan-penyimpangan terbesar dengan “bimbingan” sorot peradaban, pengetahuan, dan kebudayaan. Mereka terjerembab ke dalam kubangan kerusakan dengan penuh kesadaran, perencanaan, dan pemikiran.

Bila diperhatikan sekarang, seperti dikatakan oleh Ustadz Muhammad Mubarak, akan diketahui betapa Jazirah Arab terletak di antara dua peradaban. Pertama, peradaban Barat yang materialistis telah suatu bentuk kemanusiaan yang tidak utuh. Kedua, peradaban spiritual penuh dengan khayalan di ujung timur, seperti umat-umat yang hidup di India, Cina, dan sekitarnya.

Jika telah kita ketahui kondisi bangsa Arab sebelum islam dan kondisi umat-umat lain di sekitarnya, dengan mudah kita dapat menjelaskan hikmah Ilahiyah yang telah berkenan menentukan Jazirah Arabia sebagai tempat kelahiran Raulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kerasulannya, dan mengapa bangsa Arab ditunjuk sebagai generasi perintis yang membawa cahaya dakwah kepada dunia menuju agama Islam yang memerintahkan seluruh manusia di dunia ini agar menyembah Allah semata.
Jadi, bukan seperti yang dikatakan oleh sebagian orang yang karena memiliki agama yang batil dan peradaban palsu, mereka sulit diluruskan dan diharapkan karena kebanggaan mereka terhadap kerusakan yang mereka lakukan dan anggapan mereka sebagai sesuatu yang benar. Sementara itu, orang-orang yang masih hidup “di masa pencarian”, mereka tidak akan mengingkari kebodohannya dan tidak akan membanggakan peradaban dan kebudayaan yang tidak dimilikinya.

Dengan demikian, mereka lebih mudah disembuhkan dan diarahkan. Kami tegaskan, bukan hanya ini yang menjadi sebab utamanya. Analisis seperti ini akan berlaku bagi orang yang kemampuannya terbatas dan orang yang memiliki potensi.

Jika Allah menghendaki terbitnya dakwah Islam ini dari suatu tempat, yaitu Romawi, Persia, atau India, niscaya untuk keberhasilan dakwah ini, Allah mempersiapkan segala prasarana di negeri tersebut, sebagaimana Dia mempersiapkannya di Jazirah Arabia. Allah tidak akan pernah kesulitan untuk melakukannya.

Akan tetapi, hikmah pilihan ini sama dengan hikmah dijadikannya Rasulullah seorang ummi, tidak bisa mennulis dan membaca, agar manusia tidak memiliki banyak sebab keraguan terhadap dakwahnya.

Adalah termasuk kesempurnaan hikmah ilahiyah jika lingkungan tempat diutusnya Rasulullah dijadikan juga sebagai bi’ah ummiyah (lingkungan yang ummi) bila dibandingkan dengan umat-umat lain disekitarnya, yakni tidak terjangkau sama sekali oelh peradaban-peradaban tetangganya. Demikian pula system pemikirannya tidak tersentuh sama sekali oleh filsafat-filsafat yagn membingungkan yang ada di sekitarnya.

Dikhawatirkan akan timbul keraguan di dada manusia jika Rasulullah itu seorang terpelajar, pandai bergaul dengan kitab-kitab, serta mengetahui sejarah umat-umat terdahulu dan semua peradaban-peradaban mereka. Dikhawatirkan pula akan timbul keraguan mereka manakala melihat munculnya dakwah Islamiyah di antara dua umat yang memiliki peradaban budaya dan sejarah, seperti Negara Persia, Romawi, atau Yunani. Hal ini karena orang yang ragu dan menolak mungkin akan menuduh dakwah Islam hanyalah sebagai mata rantai pengalaman budaya dan pemikiran-pemikiran filosofis yang akhirnya melahirkan peradaban yang unik dan perindang-undangan yang sempurna.
Al-Qur’an menjelaskan hikmah ini dengan ungkapan yang jelas
“Dialah yang mengutus kepada kaum yang ummi seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka kitab dan Hikmah. Dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata,” (QS. Al-Jumu’ah:2)

Allah telah menghendaki Rasul-Nya seorang yang ummi dan kaum di mana Rasul ini diutus juga kaum yang secara mayoritas juga ummi, agar mukjizat kenabian dan syariat Islamiyah menjadi jelas di dalam pikiran, dan tidak bercampur dengan pemikiran filosofi maupun kebudayaan yang lain.

Selain itu, ada pula hikmah-hikmah yang tidak tersembunyi bagi yang mencarinya, antara lain:
1. Sebagaimana telah diketahui, Allah menjadikan Baitul Haram sebagai tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman, dan rumah yang pertama kali dibangun bagi manusia untuk beribadah dan menegakkan syi’ar agama.
2. Secara geografis, jazirah Arabia sangat kondusif untuk mengemban tugas dakwah seperti ini karena letaknya di bagian tengah umat-umat yang ada di sekitarnya. Posisi ini akan menjadikan penyebaran dakwah ke semua bangsa di sekitarnya berjalan gampang dan lancer.
3. Sudah menjadi kebijaksanaan Allah untuk menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa dakwah Islam dan media langsung untuk menerjemahkan Kalam Allah dan penyampaiannya kepada kita. Jika kita kaji karakteristik semua bahasa, lalu kita bandingkan satu sama lain, niscaya akan kita temukan bahwa bahasa Arab banyak memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh bahasa lainnya.


(disarikan dari Kitab Sirah Nabawiyah karangan Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthy, terbitan Robbani Press cetakan ketigabelas tahun 1429 H)