18 January 2011

Jejak Perjalanan Sains dalam Dunia Islam

Transformasi peradaban menyentuh bangsa Arab. Para sejarawan mencatat terjadinya perubahan besar berupa pencapain luar biasa di bidang sains dan teknologi. Pada awalnya, tak banyak yang bersentuhan dengan ilmu pengetahuan. Kedatangan Islam mengantarkan mereka pada beragam literatur.

Istilah ilmu atau ilmu yang terdapat dalam kitab suci dan hadis, mendorong geliat tradisi keilmuan. Mereka menyerap ilmu pengetahuan dari beragam sumber. Pedagang dan penjelajah Muslim berperan besar dalam memajukan gairah perubahan di kalangan masyarakat Arab Muslim pada masa awal.

Mereka berasal dari Makkah, Madinah, dan Yaman. Setelah mengadakan perjalanan melintasi gurun pasir, mereka mencapai Mesir, Mesopotamia, dan Suriah yang dikenal sebagai pusat peradaban kuno. Dari wilayah-wilayah itu, berbagai pemikiran ilmiah maupun teknik instrumen lawas dibawa dan diperkenalkan ke jazirah Arab.

Di saat yang bersamaan, muncul kelompok baru di masyarakat Muslim, yakni kalangan terpelajar yang terdiri dari ulama, filsuf, dan cendekiawan. Para tokoh ini sangat tertarik dengan keunggulan peradaban kuno. Mereka menjelma sebagai pendorong utama percepatan kemajuan ilmu di dunia Islam.

Hanya dalam waktu singkat, terjadi perkembangan pesat di bidang politik, sosial, budaya, dan pemikiran. Muhammad Abdul Jabar Beg, peneliti tamu di Cambridge Universtity, Inggris, dalam tulisannya The Origins of Islamic Science menyatakan, Muslim tak hanya mengubah cara pikir, tetapi juga pandangan dunia.

Menurut dia, sikap ini mendorong mereka mengkaji dan mempelajari warisan peradaban kuno yang mereka temukan. Kegiatan itu terus berlangsung hingga masa kekhalifahan pada abad ke-8 Masehi. Para penguasa memberikan kontribusi besar terhadap perkembangan bidang ilmu.

Buku berjudul Ilmuwan Muslim Pelopor Hebat di Bidang Sains Modern karya sejarawan Ehsan Masood mengungkapkan, salah satu ciri periode pembangunan Islam yakni menyerap keunggulan peradaban lain, memodifikasi, dan melakukan inovasi. Islam kemudian melahirkan sejumlah ilmuwan terkemuka di bidang sains dan teknologi.

Kota-kota pusat ilmu, bermunculan di seantero dunia Islam, mulai dari Damaskus, Basra, Kordoba hingga Kairo. Kegiatan intelektual mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah yang ditandai gencarnya gerakan penerjemahan literatur ilmiah asing.

Beberapa cendekiawan Muslim klasik secara khusus mencatat fenomena perubahan yang terjadi pada masyarakat Arab, terutama kecenderungan akan pen carian ilmu. Mereka itu antara lain Ibnu Qutaibah, AlKhawarizmi, serta Ibnu Al-Qifti. Karya Ibnu Qutaibah berjudul AlMa'arif mengulas hal tersebut dalam perspektif sejarah.

Pada buku ensiklopedia ilmu ini, Ibnu Qutaibah menyingkap beragam pemikiran kuno, termasuk legenda, mitos, dan kepercayaan yang diketahui komunitas Muslim pada masa awal. Terdapat pula kajian terkait ilmu pengetahuan, misalnya, teori penciptaan, astronomi, maupun ilmu bumi.

Deskripsi dari Ibnu Qutaibah menjadi rujukan ilmiah para sarjana Muslim berikutnya, bahkan memengaruhi perkembangan sains di dunia Barat. Sedangkan, buku Mafatih AlUlum (Kunci Ilmu), yang disusun AlKhawarizmi, dipandang sebagai karya umat Islam pertama yang meneliti asal mula sains Islam.

Gagasan itu lantas diperluas AlQifti lewat karyanya, Tarikh AlHukama. Ia menuliskan secara perinci sebanyak 144 biografi filsuf dan cendekiawan kondang pada masa Yunani kuno hingga masa kekhalifahan. Menurut dia, proses transfer ilmu pada masa awal Islam berlangsung lebih pesat di kawasan Semenanjung Arab.

Wilayah itu berdekatan dengan pusat-pusat peradaban kuno. Pengetahuan kuno dalam bidang seni, teknologi, dan pemikiran, disam paikan oleh para hukama (tetua) melalui cerita, dongeng, dan mitos, dari generasi ke generasi. Informasi ihwal pengetahuan dan teknologi itu juga berasal dari para pengembara dan pedagang Islam.

Bangsa Arab menye but sains kuno itu dengan Ulum Al Awa'il, yang segera disesuaikan dengan tradisi setempat dan mulai digunakan secara luas. Misalnya, roda dan kapal layar yang dite mukan peradaban Mesopotamia. Begitu pula standar timbangan dari bangsa Sumeria. Sistem angka Arab berasal dari peradaban India kuno. Proses peralihan Al Qifti mencatat, hingga akhir abad ke-7 Masehi, orang-orang Arab melakukan proses peralihan pengetahuan masih secara lisan, belum dengan tulisan ilmiah. Keingintahuan yang besar dan semangat keilmuan yang membuncah mampu meningkatkan intensitas interaksi antara umat Islam dan sains teknologi kuno.

Penyebaran agama Islam yang kian luas semakin menambah jumlah orang dari berbagai wilayah untuk memeluk agama ini. Hal itu akan memperbanyak khazanah pengetahuan asing yang dapat diserap. Umat Islam menjadi begitu dekat dengan tradisi, sejarah, dan sains peradaban kuno.

"Sebagai contoh, Khalifah Khalid bin Yazid mengawali studi kimia yang diperolehnya dari literatur kuno," urai Muhammad Abdul Jabar Beg. Catatan sejarah mengungkapkan, sang khalifah merupakan salah satu pakar kimia pertama di dunia Islam. Ia memiliki peran besar dalam pengembangan ilmu pengetahuan.

Khalifah Khalid bin Yazid mendorong para ilmuwan dari Damaskus, Suriah dan Kairo, serta Mesir untuk menerjemahkan buku-buku bidang kimia, kedokteran, dan astronomi dari literatur Yunani kuno dan Koptik ke dalam bahasa Arab. Selanjutnya, kaum cendekia Muslim mengembangkan pemikiran dan inovasinya sendiri.

Mengenal Al Khazin, Ahli Matematika dan Astronomi Islam

Dari wilayah Marv, Khurasan, Iran, lahir seorang ahli matematika terkemuka di dunia Islam. Dia bernama Abu Ja'far Muhammad bin Muhammad Al-Husayn Al-Khurasani Al Khazin. Keahliannya dalam menyajikan rumus dan metode perhitungan untuk menguraikan soal-soal rumit begitu dikagumi dan dijadikan rujukan hingga berabad-abad kemudian.

Tidak diketahui secara pasti tahun kelahiran tokoh ini. Akan tetapi, para sejarawan memperkirakan Al-Khazin meninggal dunia antara 961 dan 971 Masehi. Selain dikenal sebagai ahli matematika, semasa hidup ia juga seorang fisikawan dan astronom yang disegani.

Merujuk pada sejumlah catatan sejarah, Al-Khazin merupakan satu dari sekian banyak ilmuwan yang telah lama dilupakan. Namanya baru mencuat kembali pada masa-masa belakangan ini. Di dunia Barat, Al-Khazin dikenal sebagai Alkhazen. Ejaan dalam bahasa Eropa menyebabkan ketidakjelasan identitas antara dia dan Hasan bin Ibnu Haitsam.

Hal inilah yang merupakan salah satu penyebab nama Al-Khazin sedikit tenggelam. Al-Khazin merupakan ilmuwan zuhud. Dia menjalani hidup sederhana dalam hal makanan, pakaian, dan sebagainya. Ia sering menolak hadiah para penguasa dan pegawai kerajaan agar tidak terlena oleh kesenangan materi.

Beberapa guru tenar menghiasi rekam jejak Al-Khazin saat masih menimba ilmu. Salah satu gurunya bernama Abu Al-Fadh bin Al-Amid, seorang menteri pada masa Buwayhi di Rayy. Al-Khazin menuangkan pemikirannya dalam sejumlah risalah bidang matematika dan telah memperkaya khazanah keilmuan di dunia Islam.

Sebut saja, misalnya Kitab al-Masail al-Adadiyya yang di dalamnya tercantum karya Ibnu Majah, yaitu al-Fihrist edisi Kairo, Mesir. Karyanya yang paling terkenal adalah Matalib Juziyya mayl alMuyul al-Juziyya wa al-Matali fi al-Kuraal Mustakima. Seluruh kemampuan intelektualnya dia curahkan pada karya ini.

Termasuk perhitungan rumus teorema sinus untuk segitiga. Seperti tercantum dalam buku al-Fihrist edisi Kairo, AlKhazin pernah memberikan komentar ilmiah terhadap buku Element yang ditulis ilmuwan Yunani, Euclides, termasuk bukti-bukti yang diuraikannya menyangkut kekurangan serta kelemahan pemikiran Euclides.

Kontribusi luar biasa Al-Khazin mencakup peragaan rumus untuk mengetahui permukaan segitiga sebagai fungsi sisisisinya. Ia mengambil metode penghitungan setiap sisi kerucut. Dengan itu, dirinya berhasil memecahkan bentuk persamaan x3 + a2b = cx2. Di ranah matematika, persamaan itu sangat terkenal.

Ini merupakan sebuah soal matematika rumit yang diajukan oleh Archimedes dalam bukunya The Sphere and the Cylinder. Sayangnya, seperti disebutkan pada buku Seri Ilmuwan Muslim Pengukir Sejarah, sekian banyak teks dan risalah ilmiah Al-Khazin tak banyak tersisa pada masa kini.

Hanya beberapa saja yang masih tersimpan, di antaranya komentarnya terhadap buku ke10 dari Nasr Mansur dalam Rasail Abi Nasr ila al-Biruni. Jejak keilmuan Al-Khazin juga dapat ditelusuri dalam lingkup astronomi. Dia mengukir prestasi gemilang melalui karyakaryanya. Salah satu yang berpengaruh adalah buku berjudul Zij as Safa'ih.

Al-Khazin mempersembahkan karya itu untuk salah satu gurunya, Ibnu Al Amid. Ia juga membahas tentang peralatan astronomi untuk mengukur ketebalan udara dan gas (sejenis aerometer). Saat nilai ketebalan bergantung pada suhu udara, alat ini merupakan langkah penting dalam mengukur suhu udara dan membuka jalan terciptanya termometer.

Manuskrip karya Al-Khazin tersebut tersimpan di Berlin, Jerman, namun hilang ketika berkecamuk Perang Dunia II. Oleh astronom terkemuka, Al-Qifti, karya itu dianggap sebagai subyek terbaik dan sangat menarik untuk dipelajari. Buku Zij as Safa'ih menuai banyak pujian dari para ilmuwan.

Menurut Al-Biruni, beragam mekanisme teknis instrumen astronomi berhasil diurai dan dijelaskan dengan baik oleh Al-Khazin. Tokoh ternama ini pun kagum atas sikap kritis Al-Khazin saat mengomentari pemikiran Abu Ma'syar dalam hal yang sama. Tokoh lain yang menyampaikan komentarnya adalah Abu Al-Jud Muhammad Al-Layth.

Ia menyatakan, pendapat Al-Khazin mengenai cara menghitung rumus chord dari sudut satu derajat. Dalam Zij disebutkan, soal itu bisa dihitung apabila chord dibagi menjadi tiga sudut. Sementara itu, Abu Nash Mansur memberikan koreksi atas sejumlah kekurangan yang terdapat pada karya Al-Khazin itu.

Penetapan inklanasi ekliptika tak luput dari perhatian Al-Khazin. Persoalan astronomi ini sudah mengemuka sejak zaman Archimedes. Para ilmuwan Muslim seperti Al-Mahani, meninggal pada 884 Masehi, yang pertama mengangkat kembali tema ini. Oleh AlKhazin, hal itu kembali dipelajari dan dia berhasil menjabarkannya dengan baik.

Menurut Al-Khazin, pembagian bola dengan sebuah bidang datar dalam satu rasio ditentukan dengan menyelesaikan persamaan pangkat tiga. Demikian ilmuwan ini menyelesaikan soal astronomi tadi yang segera mendapatkan pujian dari astronom-astronom lainnya.

Terdapat beberapa aspek penting yang dikupas oleh Al-Khazin dalam buku astronomi yang ia tulis. Dalam Zij, ia menunjukkan penetapan titik derajat tengah atau cakrawala yang kemiringannya tidak diketahui sebelumnya. Ia juga mampu menghitung sudut matahari melalui penentuan garis bujur.

Sumbangsih lain adalah menyangkut penentuan azimut atau ukuran sudut arah kiblat dengan memakai peralatan tertentu. Al-Khazin berhasil mengenalkan metode hitung segitiga sferis. Komentar-komentarnya cukup mendalam terhadap karya astronomi lain, misalnya, ia pernah menulis sebuah komentar atas Almagest karya Ptolemeus.

Subjek yang ia bahas adalah tentang sudut kemiringan ekliptik. Sebelumnya, rumus itu dikenalkan Banu Musa pada 868 Masehu di Baghdad, Irak. Ia juga mencermati hasil pengamatan AlMawarudzi, Ali bin Isa Al-Harrani, dan Sanad bin Ali. Hal ini terkait dengan penentuan musim semi dan musim panas. Sementara itu, melalui tulisannya yang berjudul Sirr al-Alamin, Al-Khazin mengembangkan lebih jauh gagasan-gagasan dari Ptolemeus yang terdapat pada buku Planetary.

Mengenal Syekh Muhammad Jamil Jaho, Ulama Pembaru dari Minang



Syekh Muhammad Jamil Jaho (duduk kedua dari kiri)


Jaho adalah sebuah daerah kecil yang terletak di bukit Tambangan, antara wilayah perbatasan Aceh, Padang Panjang, dan Tanah Datar, Sumatra Barat. Daerahnya dikenal sejuk dan asri. Di tengah daerah yang indah itu, lahirlah seorang ulama yang sangat kharismatik. Beliau adalah Syekh Muhammad Jamil Jaho, yang kerap dipanggil dengan sebutan Buya Jaho, atau Inyiak Jaho, atau Angku Jaho.

Syekh Muhammad Jamil Jaho lahir pada tahun 1875. Ayahnya bergelar Datuk Garang yang berasal dari Negeri Tambangan, Padang Panjang. Sang ayah pernah menjabat sebagai Qadhi Tambangan. Sementara ibunya, Umbuik, adalah seorang perempuan yang disegani di tengah-tengah masyarakat.

Syekh Muhammad Jamil Jaho dibesarkan di tengah keluarga yang kuat menjalankan tradisi dan agama. Masa kecilnya dihiasi dengan nuansa religi yang sangat kental. Latar belakang keluarga yang alim inilah yang membuatnya senantiasa haus akan ilmu agama. Ia menuntut ilmu agama kepada ulama-ulama besar Minang di zaman itu.

Beliau belajar Alquran dan kitab perukunan (kitab-kitab berbahasa Melayu yang ditulis dengan huruf Arab) dari ayahnya sendiri. Berkat kecerdasan dan kesungguhannya, pada usia 13 tahun, ia telah hafal Alqur'an dan isi kitab perukunan.

Melihat kecerdasan dan kesungguhan Muhammad Jamil, sang ayah lalu berinisiatif untuk mengajarinya kitab-kitab kuning. Dalam waktu yang relatif singkat, Muhammad Jamil mampu mencerna maksud yang terkandung dalam kitab kuning tersebut, dan cakap menguasai bahasa Arab, baik secara lisan atau tulisan.

Selepas menimba ilmu dari sang ayah, Muhammad Jamil pun memutuskan pergi menuju halaqah atau majelis ilmu pesantren milik Syeikh al-Jufri di Gunung Raja, Batu Putih, Padang Panjang. Selama belajar di pangkuan Syeikh al-Jufri, Muhammad Jamil menunjukkan ketekunan dan kecerdasannya sehingga ia pun menjadi murid kesayangan sang guru.

Setelah menyelesaikan belajar di pesantren Syeikh al-Jufri pada tahun 1893, Muhammad Jamil melanjutkan pendidikannya ke seorang ulama fikih terkenal, Syeikh al-Ayyubi di Tanjung Bungo, Padang Ganting. Di pesantren barunya inilah Muhammad Jamil berteman akrab dengan Sulaiman ar-Rusuli, yang kelak menjadi seorang ulama terkenal dari tanah Minang. Keduanya adalah santri yang pandai, dan belajar dengan Syeikh al-Ayyubi selama enam tahun. Keduanya kemudian melanjutkan mengaji ke Biaro Kota Tuo, yang pada masa itu merupakan tempat berkumpulnya para ulama besar Minang.

Pada tahun 1899, Muhammad Jamil dan Sulaiman ar-Rasuli pindah mengaji ke Syeikh Abdullah Halaban, seorang ulama Minang yang terkenal mahir dalam ilmu fikih dan ushul fikih. Di perguruan Syeikh Halaban inilah Muhammad Jamil dipercaya untuk menjadi seorang pengajar (ustadz) dan asisten pribadi Syeikh Halaban. Karenanya ia kerap dibawa serta ke pengajian-pengajian keliling negeri Minang oleh gurunya ini.

Di tahun 1908, ia berkesempatan pergi ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji sekaligus menuntut ilmu agama. Sebelum berangkat ke tanah suci, Muhammad Jamil dipersuntingkan dengan gadis Tambangan yang bernama Saidah, yang kelak mengaruniai dua orang puteri bernama Samsiyyah dan Syafiah.

A Ginandjar Sya'ban sebagaimana mengutip dari mukaddimah kitab Tadzkirah al-Qulub karangan Syeikh Jamil Jaho mengungkapkan bahwa saat di Makkah, Muhammad Jamil berguru kepada Syeikh Ahmad Khatib Minangkabau, seorang putera Minang yang menjadi imam, khatib sekaligus mufti mazhab Syafi'i di Masjidil Haram. Di tanah suci ini beliau bertemu dan belajar bersama Syeikh Abdul Karim Amrullah (ayahanda Buya Hamka). Keduanya menjadi murid kesayangan Syeikh Ahmad Khatib, dan diberi kehormatan untuk membimbing dan mengajar murid-murid yang lain.

Muhammad Jamil belajar di Makkah selama 10 tahun lamanya. Selama itu juga ia telah memperoleh tiga ijazah dari tiga orang ulama besar di Makkah pada zaman itu, yaitu Syeikh Ahmad Khatib Minangkabau (guru besar madzhab Syafi’i), Syeikh Alwi al-Maliki (guru besar madzhab Maliki), dan Syeikh Mukhtar al-Affani (guru besar madzhab Hanbali).

Setelah bermukim 10 tahun lamanya di Makkah, ia memutuskan untuk kembali ke Padang Panjang. Sekembalinya dari tanah suci, Syeikh Jamil Jaho menjadi ulama terkenal dan disegani karena kedalaman ilmunya dan kesolehan pribadinya. Beliau mengajar di Jaho dan di beberapa daerah di Minangkabau.

Menolak ijtihad

Di kalangan ulama Minang pada masa itu, Syeikh Jamil Jaho termasuk ulama yang berpaham pembaharu, namun menolak pola ijtihad yang selama ini didengung-dengungkan, sekaligus bersikap menerima taqlid kepada ulama-ulama terdahulu. Sebuah cara berpikir yang bertolak belakang dengan trend berpikir yang digandrungi oleh ulama muda di masa itu.

Pada tahun 1922, bersama-sama Syeikh Sulaiman ar-Rusuli dan Syeikh Abdul Karim Amrullah, beliau mendirikan Persatuan Ulama Minangkabau dan perguruan Islam Thawalib. Di kampung halamannya Jaho, pada tahun 1924 ia mendirikan surau dan membuka halaqah pengajian. Muridnya beragam yang datang. Ada dari Aceh, Jambi, Sumatra Utara, dan Lampung.

Halaqah yang didirikannya ini kelak berkembang menjadi Madrasah Tarbiyah Islamiyah Jaho, setelah bergabung dengan Syeikh Sulaiman ar-Rusuli. Menurut Akhria Nazwar dalam bukunya Syeikh Ahmad Khatib (1983), kedua tokoh ini sepaham dalam menolak ijtihad dan menolak meninggalkan taqlid pada ulama. Namun dalam soal tarekat keduanya berbeda paham.

Bersama-sama dengan Syeikh ar-Rusuli, beliau mengembangkan Madrasah Tarbiyah Islamiyah ini menjadi sebuah gerakan organisasi Islam dengan nama Persatuan Tarbiyah Islamiyah. Duet Syeikh Muhammad Jamil Jaho dan Syeikh Sulaiman ar-Rusuli menjadi simbol utama ulama tradisional pada masa itu.

Di kalangan masyarakat Minang saat itu, Syeikh Jamil Jaho dikenal memiliki sikap netral dalam menghadapi perbedaan pendapat antara kaum tua dengan kaum muda soal pembaharuan Islam di Minangkabau. Pola penyebaran dakwah yang beliau terapkan merupakan cara yang dipakai oleh Syeikh Jamil Jambek, yakni dengan mendatangi kampung-kampung untuk menyampaikan risalah Islam.

Syeikh Muhammad Jamil Jaho mengikuti cara berpikir Syeikh Yusuf Nabhani, yang dikenal anti kepada pemikiran Muhammad Abduh, Jamaluddin al-Afghani dan Rasyid Ridha yang kala itu banyak diikuti oleh para ulama muda di seluruh penjuru dunia Islam.

Selain aktif mengajar dan berdakwah, semasa hidupnya Syeikh Muhammad Jamil Jaho juga gemar menulis. Ulama Minang yang wafat pada tahun 1360 H/1941 M ini banyak meninggalkan karya berharga yang menjadi suluh ummat di kemudian hari. Karya-karyanya tersebut antara lain Tadzkiratul Qulub fil Muraqabah 'Allamul Ghuyub, Nujumul Hidayah, as-Syamsul Lami'ah, fil 'Aqidah wa Diyanah, Hujjatul Balighah, al-Maqalah ar-Radhiyah, Kasyful Awsiyah.

Sosok ulama Minang yang satu ini juga dikenal sebagai orang yang memiliki peran besar dalam kiprah Muhammadiyah di tanah Minangkabau. Hadirnya Muhammadiyah di Minangkabau, dan berkembang sampai di Batipuh tidak lepas dari kepedulian Ayeikh Muhammad Jamil Jaho bersama Syeikh Muhammad Zain Simabur.

Kedua tokoh ulama Minang ini di kemudian hari mengundurkan diri dari kepengurusan organisasi Islam ini. Keduanya menyatakan mundur setelah mengikuti kongres Muhammadiyah ke-16 di Pekalongan pada tahun 1927. Alasannya adalah masih pada persoalan peluang membuka ijtihad dan menolak taqlid kepada ulama.

Geliat Industri Kimia dalam Perjalanan Sejarah Islam

Kemajuan di bidang kimia tak terhenti pada konsep dan kajian. Namun, ilmuwan Muslim membuat tero bosan penting hingga lahirlah industri. Berbagai produk yang bermula dari inovasi dalam ranah ini bertebaran di kota-kota Islam. Tak hanya memberi manfaat fungsional, tetapi juga mendorong kemajuan ekonomi.

Sejak awal, ilmuwan Muslim berkomitmen mengembangkan kimia. Mereka melakukan kajian dan menuliskannya dalam serangkaian karya. Sejumlah risalah, misalnya yang ditulis oleh ahli kimia terkemuka, Jabir ibnu Hayyan, menggambarkan bagaimana menghasilkan zat kimia tertentu, yang menjadi bahan baku industri secara rinci.

Jabir, ungkap Ehsan Masood melalui karya Ilmuwan Muslim Pelopor Hebat di Bidang Sains Modern, berhasil menemukan proses kimiawi, seperti reduksi, sublimasi, dan penyulingan. Dia menciptakan bahan alembik, tabung penelitian sederhana untuk memanaskan cairan.

Alembik bisa mengubah anggur menjadi alkohol. Namun, di tangan ilmuwan Muslim, alkohol tidak dialihkan sebagai bahan minuman keras. Sebaliknya, pembuatan bahan alkohol menjadi proses kunci untuk sejumlah industri kimia yang berkembang di peradaban Islam.

Termasuk produksi parfum, tinta dan bahan celup, obat-obatan ataupun bahan kimia tertentu. Jabir juga menemukan jenis asam, antara lain asam sulfat, asam hidrokolat, dan asam nitrat, yang bisa melarutkan logam serta banyak dipakai di industri kerajinan logam dan lainnya.

Berbagai penguasaan teknik kimiawi dari sarjana Muslim menumbuhkan semangat para industriawan. Peradaban Islam lantas memunculkan sederet industri penting, seperti industri farmasi, tekstil, perminyakan, kesehatan, makanan dan minuman, perhiasan, hingga militer.

Selain itu, ada juga industri baja, pembuatan kertas, pembuatan keramik, kerajinan tanah liat, pembuatan gelas dan kaca, pertanian, ekstraksi mineral, industri logam, dan produk kimia lainnya. Umat Islam pun telah memiliki pabrik kaca skala besar di beberapa kota di Timur Tengah.

Sentra-sentra industri kaca bermunculan di banyak tempat dan masing-masing punya ciri khas dalam hal bentuk dan desain. Menurut Ahmad Y al-Hassan dan Donald R Hill dalam bukunya Islamic Technology: An Illustrated History, produk umat Islam mencerminkan karakter unik dari masing-masing pusat pembuatannya.

Sammara, Irak, pada abad ke-9 mejadi salah satu sentra industri produk tersebut. Selain itu, ada pula di Mosul, Najat, serta Baghdad. Sedangkan, di Suriah, Kota Damaskus merupakan sentra produksi yang terkenal meskipun di kota lainnya juga ada, seperti di Aleppo, Raqqa, Armanaz, Tyre, Sidon, Acre,dan Rasafa.

Al Hassan mengungkapkan, produk yang dibuat di Suriah sangat populer sepanjang peradaban Islam hingga berkembangnya industri yang sama di Venesia, Italia, pada abad ke13. Orang-orang Barat mengetahui teknik pembuatan produk tersebut pada abad ke-13 hingga ke-17, lalu mereka mengembangkan industri di Eropa.

Di Indishapur, penelitian kimia mengantarkan umat Muslim pada pencapaian teknologi pemurnian gula. Selanjutnya, inovasi teknik ini dipergunakan pada industri gula di Khuzistan. Lalu, menyebar ke seluruh negeri Islam hingga Spanyol. Penemuan penting lain pada era keemasan adalah sabun.

Sentra industri sabun berada di Kufah, Basrah, dan Nablus di Palestina. Kemajuan industri ini dicatat ahli geografi, al-Maqdisi. Dalam risalahnya Ahsan al-Taqasim fi Ma`rifat al-Aqalim, ia menyatakan bahwa Kota Nablus sudah terkenal sebagai sentra produksi sabun pada abad ke-10 dan sebagian hasilnya diekspor ke negara-negara Islam.

Hadirnya produk sabun turut men dorong berkembangnya gaya hidup sehat dan bersih di kalangan masyarakat Muslim sejak abad ke-7. Bahan utama pembuatan sabun, ungkap al-Hassan, adalah minyak sayuran, misalnya minyak zaitun serta minyak aroma.Tokoh penting di balik penemuan formula pembuatan sabun adalah al-Razi, kimiawan asal Persia.

Ketika itu, sabun yang diproduksi umat Muslim sudah berbentuk sabun cair dan padat serta menggunakan bahan pewangi dan pewarna. Dokter Muslim asal Andalusia, Abu al-Qasim al-Zahrawi (936-1013), juga menulis resep pembuatan sabun di dunia Islam. Selain itu, fondasi industri parfum ditopang oleh teknik dan rekayasa kimia.

Pembuatan parfum

Dua ahli kimia, yakni Jabir ibnu Hayyan dan al Kindi, melalui berbagai penemuan dalam proses kimia sanggup menghasilkan formula luar biasa yang bermanfaat bagi pembuatan parfum dengan aneka jenisnya. Sejumlah ahli lainnya juga menaruh perhatian besar terhadap teknik pembuatan parfum. Tak kurang dari sembilan risalah teknis bagi produksi parfum sudah dihasilkan, seperti disampaikan al Ishbilli, kimiawan Muslim berpengaruh pada abad ke-12.

Namun, harus diakui, pengembangan industri parfum di dunia Islam mencapai tahapan mengagumkan berkat kontribusi Ibnu Hayyan. Dia dijuluki Bapak Kimia Modern. Tak tanggung-tanggung, tokoh ini melahirkan beberapa metode penting, seperti penyulingan, penguapan, dan penyaringan, yang sangat efektif untuk mengambil aroma wewangian dari tumbuhan dan bunga dalam bentuk minyak.

Intinya, umat Islam menorehkan prestasi tinggi. Terutama, dengan dikembangkannya teknik dan proses ekstraksi wewangian melalui teknologi distilasi uap. Pencapaian ini sangat berpengaruh pada kemajuan industri parfum masa berikutnya. Bahan ramuan parfum temuan ahli kimia Muslim banyak diikuti oleh kalangan industri parfum di dunia Barat.

Demikian halnya industri mesiu mengalami pencapaian signifikan sejak abad ke-7. Seorang ahli kimia bernama Khalid bin Yazid memperkenalkan bahan potasium nitrat yang menjadi bahan utama pembuatan mesiu. Karya Ibnu Hayyan dan alRazi juga menyinggung soal potasium nitrat.

Juwairiyah binti Al-Harits

Parasnya begitu cantik, luas ilmunya dan mulia akhlaknya. Begitulah sejarah Islam melukiskan Juwairiyah binti Al-Harits. Sejatinya, ia bernama Barrah. Wanita itu berasal dari Bani Musthaliq yang menyembah berhala. Ayahnya, Al-Harits, adalah pemimpin kaumnya yang gemar menyembah patung dan sangat memusuhi Islam.

Burrah sempat menikah dengan seorang pemuda yang bernama Musafi' bin Shafwan. Ayahnya berencana untuk menyerang kaum Muslimin di Madinah. Bani Musthaliq sangat bernafsu untuk mengalahkan pasukan tentara Islam dan mengambil alih kekuasaan di antara suku-suku Arab. Rencana itupun sampai ke telinga Rasulullah SAW.

Untuk memastikan kabar itu, Nabi SAW lalu menugaskan Buraidah bin Al-Hushaid untuk memastikan kebenaran informasi itu. Ternyata, rencana penyerangan yang akan dilakukan Bani Musthaliq itu tak sekedar isu melainkan kenyataan. Rasulullah pun menyusun kekuatan dan menyerang terlebih dahulu.

Pertempuran tentara Islam melawan kaum kafir dari Bani Musthaliq itu dikenal sebagai perang Perang Muraisi' dan terjadi pada bulan Sya'ban tahun kelima Hijrah. Dalam pertempuran itu, umat Islam meraih kemenangan. Pemimpin bani Musthaliq, Al-Harits melarikan diri dari medan peperangan dan suami Barrah tewas terbunuh.

Seluruh penduduk yang selamat, termasuk Barrah menjadi tawanan. Sebagai seorang terpelajar, mengetahui dirinya menjadi tawanan, Barrah mengajukan tawaran untuk membebaskan diri. Ia lalu mencoba bernegosiasi dan meminta bertemu dengan Nabi SAW. Upayanya membuahkan hasil.

"Rasulullah, aku Barrah, putri dari Al Harits. Ayahku adalah pemimpin kaumku. Sekarang aku ditimpa kemalangan dengan menjadi tawanan perang dan jatuh ke tangan Tsabit bin Qais. Ia memang lelaki baik, tidak pernah berlaku buruk padaku. Namun ketika kukatakan aku ingin mene bus diri, ia membebaniku dengan sembilan keping emas. Maka kupikir lebih baik minta perlindungan padamu. Tolong, bebaskan aku!" ujarnya.

Nabi SAW berpikir sejenak. Lalu Rasulullah SAW balik bertanya, "Maukah engkau yang lebih baik dari itu?" Seketika Barrah tercengang dan balik bertanya, "Apakah gerangan itu, wahai Rasulullah? Lalu Nabi SAW berkata, "Aku tebus dirimu, lalu kunikahi engkau." Mendengar jawaban Nabi SAW, wajah Barrah pun berubah berseri-seri. "Baiklah, wahai Rasulul lah," tutur Burdah. Lalu Rasulullah SAW menikahi nya dan nama Barrahpun diganti menjadi Juwai riyah.

Seperti diriwayatkan Aisyah RA, kabar perni kahan Rasulullah dan Juwairiyah menyebar cepat di kalang an kaum Muslimin. Secara tak terduga, pernikahan itu menjadi berkah bagi kaum Bani Musthaliq yang tertawan dan menjadi budak. Para sahabat membebaskan semua tawanan yang masih memiliki hu bungan kekerabatan dengan Juwairiyah.

Menyusuri Kemajuan Pertanian dalam Sejarah Islam

Kemajuan menyentuh ranah pertanian. Serangkaian teori ditemukan oleh kaum intelektual dan dipraktikkan hingga membuahkan hasil melimpah di tanah-tanah negeri Muslim. Panen pun mengerek tingkat kesejahteraan. Ini semua bermuara pada pengetahuan umat Islam yang memadai tentang pertanian.

Tak hanya soal cara memanen. Mereka telah tahu bagaimana memilih lahan bagi tanaman mereka. Mana yang cocok dan mana pula yang tidak. Sistem pengairan bermunculan dan memicu perkembangan teknologi di bidang ini. Mereka hapal bagaimana membuat pupuk dan komposisi penggunaannya.

Dalam bukunya yang terkenal, Kitab al-Filaha (Buku tentang Pertanian), cendekiawan dari Andalusia atau Spanyol, Ibnu al-Awwan, menjelaskan sejumlah langkah memulai bertani. Hal pertama yang perlu diketahui mengenai pertanian adalah lahan pertanian itu. Apakah lahan tersebut baik atau tidak untuk ditanami.

Ia mengingatkan, siapa yang mengabaikan masalah itu tak akan menuai keberhasilan saat menggarap lahan pertanian. Ini bermakna para petani perlu memiliki pengetahuan tentang lahan, karakteristiknya, jenisnya, tanaman, dan pohon yang mestinya ditanam atau tidak di lahan tersebut.

Selain itu, al-Awwan mewanti-wanti pula agar memahami betul tentang tingkat kelembapan tanah yang berdampak pada semua tanaman. Perlu pula mengetahui jenis tanah, apakah lembut, keras, berpasir, hitam, putih, kuning, merah, kemerah-merahan, atau kasar.

Pengetahuan dasar tentang lahan harus didukung dengan langkah lain untuk mencapai hasil pertanian memuaskan. Untuk hal ini, umat Islam telah mengembangkan teknologi sistem irigasi. Bentuknya memang berbeda-beda di setiap wilayah, ada yang sederhana dan ada pula yang lebih canggih.

Sejarawan al-Hamdani mengisahkan salah satu bentuk sistem irigasi yang ada di Yaman, yang disebut dengan alSamman. Ini merupakan sumber air terkenal. Kedalamannya mencapai tiga meter. Di sekitarnya, terdapat sejumlah sumur dan telaga buatan sebagai penampung air. Sisi-sisinya dibatasi dengan batu.

Pakar geografi Muslim bernama al Istakhri dalam bukunya, Al-Masalik walMamalik, berbicara tentang sistem irigasi. Menurut dia, di Marw (kini berada di wilayah Khurasan, Iran), terdapat sebuah departemen yang secara khsusus dibentuk untuk menangani pengelolaan air.
Departemen tersebut memiliki sebanyak 10 ribu staf.

Menurut Jaser Abu Safieh dari Jordan University, Amman, Yordania, sistem irigasi yang diwariskan oleh umat Islam sangat efisien dan hingga kini masih digunakan di sejumlah wilayah di Andalusia atau Spanyol. Badan seperti Water Court of Valencia masih melakukan pertemuan mingguan pada Kamis seperti yang terjadi pada masa Islam.

Pengembangan sistem irigasi lainnya untuk keperluan pertanian terdapat juga di Irak. Tepatnya, di Fowkhara Gate di tepi Sungai al-Nahrawan, Samarra. Adam Mitz, dalam Al-Hadarah alIslamiyyah, menyebutkan bahwa ilmuwan Muslim saat itu telah mampu mengalirkan air dari sumbernya dengan menggunakan pipa.

Mereka mempunyai sejumlah alat-alat teknik yang bermanfaat untuk mengukur ketinggian tanah dan menggali saluran irigasi di bawah tanah. Akhirnya, ujar Mitz, para ilmuwan itu menemukan sejumlah mesin untuk mengukur tingkat air sungai. Dengan berbagai penemuannya,
pertanian di dunia Islam kian berkembang.

Pupuk Pupuk telah sejak dini menjadi perhatian. Bahkan, telah muncul pemikiran komposisi penggunaan pupuk. Ilmuwan Muslim, Ibnu al-Hajjaj al-Ishbili, melalui bukunya Al-Muqni' fi al-Filahah, menjelaskan bahwa seorang petani mesti tahu jika lahan pertanian tak dipupuk, kemampuannya akan melemah.

Di sisi lain, ia berkata agar penggunaan pupuk tak berlebihan. Bila ini terjadi, tanah akan terbakar oleh pupuk. Dengan pandangan yang disampaikan Ibnu al-Hajjaj ini, pengetahuan pertanian umat Islam saat itu telah mencapai taraf yang tinggi. Sejalan pada masa sekarang, penggunaan pupuk harus sesuai aturan pemakaian.

Pentingnya pemupukan untuk lahan pertanian; Ibnu Bassal, Ibnu Hajjaj, dan Ibnu al-Awwam memberikan penjelasan luas mengenai tipe pupuk dan tingkat kecocokan pupuk pada tanaman dan lahan tertentu. Mereka menyinggung pula penggunaan daun-daun pohon untuk menyuburkan lahan pertanian dan pemakaian pupuk kompos.

Penjelasan mengenai pupuk kompos ini di antaranya terdapat dalam buku yang disusun Ibnu al-Awwam yang berjudul Kitab al-Filaha al-Andalusiyyah. Manuskrip karyanya tersimpan di British Museum. Sedangkan, Ibnu Bassal menjelaskan bagaimana membuat pupuk kompos itu.

Paling tidak, Ibnu Bassal membagi kompos menjadi tiga jenis. Salah satunya adalah kompos yang terbuat dari campuran rumput, jerami, dan abu. Ketiga bahan itu dimasukkan ke dalam sebuah lubang. Lalu, tuangkan air ke dalam lubang tersebut, tinggalkan hingga membusuk. Ia menegaskan, penggunaan pupuk secukupnya saja.

Bassal pun berbagi pengetahuan lainnya. Kali ini, terkait dengan penanaman yang ia sebut sebagai seni menanam. Ada masa dan kondisi tertentu untuk menanam suatu jenis tumbuhan agar bisa berkembang sempurna. Ia menunjuk budi daya labu. "Di negara-negara dingin, seperti Andalusia, biji labu mesti ditanam selama bulan Januari." Lalu, pada bulan April, saat bibit tanaman telah kuat, baru dipindahkan ke lahan permanen.