15 March 2010

Membaca Tanda Alam dalam Khazanah Islam

Perahu penyelamat di kapal induk telah digunakan para pelaut Muslim sejak abad kesembilan.

Bercengkerama dengan alam telah melahirkan kemahiran tersendiri bagi umat Islam. Para ilmuwan Muslim kemudian juga memiliki ilmu pengetahuan mengenai alam semesta. Misalnya, menentukan ke mana arah angin dan memperkirakan terjadinya badai.

Ilmu pengetahuan ini, yang kemudian disebut meteorologi, menularkan manfaat bagi para pelaut Muslim, misalnya, dalam upaya mereka mengarungi ganasnya samudra dan menentukan waktu harus melaut. Pun, masyarakat umum dalam mengantisipasi terjadinya badai.

Ilmuwan Muslim mengenal beragam jenis badai berbahaya dan dampak yang ditimbulkannya. Dan tentunya, mereka perlu memperkirakan kedatangan badai tersebut. Filolog Arab pada awal masa Islam menyebutkan ada sejumlah karya ilmuwan Muslim mengenai bidang ini.

Dalam sebuah risalah disebutkan terdapat 100 kata yang menguraikan tentang jenis angin menurut dampaknya, kualitas, dan arah angin tersebut. Termasuk, angin ribut dan topan. Kian banyak buku tentang meteorologi seiring penerjemahan buku-buku Yunani.

Pada abad kesembilan, ilmuwan Muslim, Al-Kindi, menghasilkan sebuah karya yang terkait dengan masalah meteorologi. Bahkan, ia dikenal sebagai ilmuwan pertama yang memperkenalkan percobaan dalam ilmu bumi, termasuk meteorologi.

Al-Kindi juga menulis buku berjudul Risala fi l-Illa al-Failali l-Madd wa l-Fazr. Salah satu hal yang ia jelaskan di dalam bukunya adalah soal angin. Menurut dia, angin terkait dengan pergerakan udara, termasuk ke tempat-tempat lebih rendah.

Selain itu, Al-Kindi juga melakukan percobaan di laboratoriumnya. Dalam percobaan itu, Al-Kindi menemukan bagaimana udara yang sangat dingin berubah wujud menjadi air. Dia mengambil botol kaca lalu memenuhi botol tersebut dengan salju dan menutupinya secara rapat.

Lalu, pada permukaan botol tersebut udara berubah menjadi air, seperti botolnya mengeluarkan titik-titik air. Melalui percobaan itu, ia pun meluruskan pandangan sejumlah orang. Ia mengatakan, air atau salju tak dapat melewati kaca.

Pada abad ke-12 dan ke-13, Al-Tifashi yang hidup antara 1184 hingga 1253, mengikuti jejak Al-Kindi. Ia membuat definisi tentang angin ribut, yaitu angin yang mengembangkan kekuatannya dan naik ke atmosfer. Ada pula, ilmuwan Muslim bernama Al-Qazwini (1203-1283).

Al-Qazwini juga mengulang ide Al-Kindi. Ia membuat sebuah definisi yang hampir sama dengan apa yang telah dinyatakan Al-Tifashi. Namun, ia memberikan definisi yang lebih perinci. Pengetahuan tentang angin kemudian dikembangkan lebih jauh.

Langkah ini dilakukan oleh Ahmed Ibn Majid, yang berasal dari Ras al-Khaymah yang sekarang lebih dikenal Uni Emirat Arab dan Sulayman al-Mahri dari Yaman. Kedua orang tersebut merupakan navigator kapal dan pengetahuan tentang angin sangat berguna bagi pekerjaan mereka.

Sebagai navigator kapal, mereka memanfaatkan ilmu tersebut dalam menjalankan profesinya. Dalam pembicaraannya mengenai topan, Al-Mahri  mengatakan, sangat perlu seorang navigator untuk tahu banyak tentang topan dan tanda-tanda datangnya.

Tanda-tanda yang biasanya menyertai datangnya topan adalah meningginya temperatur air laut, hujan lebat, dan perubahan angin yang begitu tiba-tiba. Sedangkan Al-Mahri, menyebut ada lima jenis topan di Samudra India yang biasa menerjang kapal yang berlayar.

Salah satu jenis topan yang ada dalam daftar Al-Mahri adalah topan 40. Ini merupakan topan urutan ketiga dalam daftarnya. Menurut dia, topan jenis ini biasanya menghantam Laut Hurmuz. Ibn Majid juga berbicara mengenai topan.

Menurut Ibn Majid, ada topan yang menerjang laut dalam beberapa tahun dan hilang pada beberapa tahun lainnya. Topan memiliki tanda-tanda saat datang. Di antaranya adalah meningkatnya debu di daratan dan laut.

Tanda lainnya, petir dan awan menutupi langit. Ini terjadi saat langit tertutup awan yang warnanya seperti warna kulit sapi. Setelah mengetahui hal ihwal angin, navigator menentukan langkah yang harus dipersiapkan sebelum dan saat berlayar.

Seorang navigator akan meminta sejumlah awak kapal untuk meneliti lambung kapal saat masih berada di daratan. Ini untuk meneliti apakah ada bahan pembuat kapal yang tak memenuhi standar dan menuliskannya.

Tak hanya itu, para awak kapal juga diminta untuk terus memeriksa peralatan berlayar setiap saat. Ini perlu dilakukan agar semua peralatan dalam keadaan baik dan bisa segera diperbaiki bila terjadi kerusakan.

Selain itu, ada langkah lain yang juga perlu dilakukan, yaitu mempertimbangkan antara kapasitas kapal dengan beban kargo dan muatan yang dibawa penumpang ke dalam kapal. Bahkan, ada urutan siapa yang bertanggung jawab jika prosedur ini dilanggar.

Pertama yang bertanggung jawab adalah kapten kapal. Selanjutnya, pemilik barang atau para pedagang yang biasanya membawa muatan dalam kapal. Ini jika mereka telah diingatkan mengenai kelebihan beban muatan.

Pemilik kapal juga dimintai pertanggungjawabannya jika terbukti terlibat dalam pelanggaran tersebut. Ada pula langkah yang biasa direkomendasikan kepada para navigator untuk menghindari hantaman topan, yaitu kembali ke pelabuhan terdekat.

Kasus seperti ini pernah terjadi pada Sabtu, 13 November 1518. Saat itu, sejumlah kapal yang meninggalkan Alexandria menuju Istanbul, terpaksa harus kembali ke pelabuhan Rosetta karena adanya topan yang menghadang mereka.

Membawa perahu penyelamat seperti yang lazim ada pada kapal-kapal besar di masa sekarang, telah dilakukan pada masa itu. Ini merupakan langkah kehati-hatian dalam menghadapi badai yang terjadi di tengah samudra.

Perahu penyelamat yang ditempatkan di kapal induk, telah diketahui dan digunakan oleh para navigator Muslim dan Arab selama masa periode klasik Islam, yaitu pada abad kesembilan hingga ke-13.

Biasanya perahu-perahu tersebut digunakan ketika kapal induk tak dapat lagi menahan hantaman badai. Selain itu, perahu itu juga bisa digunakan untuk perjalanan laut jarak pendek saat musim angin tiba.

MENYINGKAP RAHASIA HUJAN

Tak hanya persoalan angin yang telah menarik perhatian ilmuwan Muslim. Gejala alam lainnya juga menarik perhatian mereka. Pada abad ke-9, ada Ibnu Doraid Al-Azdi yang me nulis sebuah buku yang dalam terjemahan bahasa Inggris berju dul Description of Rain and Clouds.

Dalam buku yang berisi 27 bab itu, Ibnu Doraid memberikan penjelasan ilmiah tentang hujan dan awan. Selain itu, buku ini juga membahas perkiraan cuaca; deskripsi awan, baik corak maupun warna mereka; gerakan awan; akumulasi; serta penebalan dan perubahan bentuk awan.

Ibnu Doraid pun memberi gambaran mengenai jenis curah hujan dan efeknya terhadap tanah dan sumber daya air tanah. Seperti dikutip muslimheritage, ia memberikan penjelasan mengenai Al-Hamma’a dan Al-Hawwa’a atau awan hitam yang menjadi merah.

Selain hujan dan awan, Ibnu Doraid menjelaskan kilat. Ia membagi kilat berdasarkan intensitas cahayanya. Al-hafo merupakan kilat yang paling lemah, Al-wamed bentuknya mirip senyum kecil, dan Al-wallaf adalah kilat yang menyerang dua kali.

Dengan mengetahui gerak dan penyebaran awan serta intensitas kilat, Ibnu Doraid memperkirakan jumlah dan tingkat kelebatan hujan. Ia menjelaskan pula jenis intensitas hujan, antara lain Ghait Thare atau hujan deras.

Seabad kemudian, Ibnu Wahshiyyahe, seorang ahli di bidang pertanian dari Irak, menulis buku berjudul Kitab al-Falaha al-Nabatiya. Buku ini berisi pembahasan mengenai perkiraan cuaca, perubahan atmosfer, dan tanda turunnya hujan berdasar fase bulan.

Dengan adanya perkiraan cuaca, kemudian diketahui awal musim tanam secara tepat. Ini melahirkan kemajuan yang berarti bagi umat Islam dalam bidang pertanian. Para petani pun bisa merencanakan penanaman sejumlah tanaman dan panen dalam setahun.

Ada pula Ibn al-Haytham, lebih dikenal Alhazen, yang pada 1021 memperkenalkan bukunya yang berjudul Kitab Optik. Ia membahas soal pergantian masa. Salah satu penjelasannya mengenai senja yang ia yakini disebabkan oleh pembiasan atmosfer.

Alhazen juga menyatakan, senja baru akan mewujud saat matahari berada 19 derajat di bawah cakrawala. Ia pun menerbitkan kitab lainnya sebagai pelengkap Kitab Optik, yaitu Risalah fi l-Daw atau risalah tentang cahaya.

Dalam Risalah fi l-Daw, Alhazen memberikan penjelasan tentang meteorologi, pelangi, kepadatan atmosfer, dan berbagai fenomena langit lainnya, termasuk gerhana, matahari terbenam, dan cahaya bulan.

Ibnu Juljul Menjadi Rujukan Pengobatan Herbal


Kemahirannya di bidang pengobatan mengantarnya memasuki gerbang istana.

Bergelut dengan ilmu, bukan hal yang asing bagi Abu Da'ud Sulayman bin Hassan, yang akrab dipanggil Ibnu Juljul. Sejak usia dini, ia telah akrab dengan beragam bacaan dan ilmu pengetahuan. Hingga kemudian, ia dikenal di bidang medis dan pengobatan herbal.

Bahkan, karya-karya Ibnu Juljul dalam pengobatan herbal, menjadi rujukan banyak ilmuwan lainnya. Ia memang tak hanya mumpuni dalam praktik pengobatan herbal. Namun, ia pun rajin menggerakkan penanya untuk menuangkan buah pemikirannya. Ibnu Juljul, lahir di Kordoba, Spanyol, pada 994. Sejak masa kanak-kanak, ketertarikan terhadap ilmu pengetahuan telah tertanam dalam dirinya. Ia banyak menghabiskan waktu untuk belajar. Saat berusia 10 tahun, ia telah belajar tata bahasa dan tradisi masyarakatnya.

Ketika usia Ibnu Juljul beranjak 15 tahun, ia mulai bersentuhan dengan ilmu kedokteran. Padahal, pada masa sekarang, ilmu kedokteran baru dipelajari secara mendalam di bangku kuliah. Tak heran, jika di usianya yang masih belia, ia menguasai ilmu kedokteran.

Di sisi lain, Ibnu Juljul juga terampil dalam pengobatan herbal. Dan rupanya, ia memang sejak semula juga sangat tertarik dengan obat-obatan, terutama yang berhubungan dengan herbal, obat alami yang banyak diekstrak dari tumbuh-tumbuhan. Ia juga mendalami farmasi.

Kemahirannya di bidang pengobatan mengantarnya memasuki gerbang istana. Menurut situs Muslimheritage, Ibnu Juljul pernah bekerja sebagai dokter pribadi Al-Mu'ayyad Billah Hisyam, seorang khalifah yang berkuasa pada 977 hingga 1009.

Selain mempraktikkan keahlian medisnya, Ibnu Juljul juga banyak menuliskan karya-karya di bidang medis. Tak hanya itu, upaya mendalami ilmu pengobatan terus ia lakukan. Dalam hal ini, ia banyak berbagi pandangan dan berlatih dengan Albucasis.

Albucasis merupakan nama tenar Abu al-Qasim Khalaf bin Abbas Al-Zahrawi. Saat itu, Albucasis adalah dokter bedah ternama di Kordoba. Ia menemukan penyakit hemofilia, di mana penderitanya, jika luka darahnya akan terus mengalir dan sulit membeku.

Dalam kariernya sebagai dokter, Albucasis menulis buku yang sangat terkenal berjudul At-Tasrif liman 'Ajiza 'an at-Ta'lif (Metode Pengobatan). Ibnu Juljul dan Abulcasis tak hanya berbagi pandangan, tetapi juga bersama-sama menuliskan pemikirannya di bidang medis.

Mereka bersama-sama menulis saat masa-masa terakhir kekhalifahan di Andalusia, Spanyol. Di sisi lain, Ibnu Juljul juga menghasilkan karyanya sendiri. Sejarawan terkenal dari Baghdad, Irak, Bin Abi Usaybi'a, menyatakan, Ibnu Juljul menulis buku sejarah pengobatan. Buku itu berjudul Atibba'wa'l Tabaqat al-Hukama . Buku tersebut telah beberapa kali diedit.

Ibnu Juljul mengawali tulisan dalam bukunya itu dengan menguraikan tentang riwayat ayahnya yang juga ahli obat-obatan. Pada bab-bab selanjutnya, ia menuliskan para ahli obat-obatan yang sangat terkenal sebagai para pendahulunya di Andalusia.

Selain itu, Ibnu Juljul mengungkapkan soal hubungan dan komunikasi yang terjalin antara kekhalifahan di Timur dan Andalusia. Ia pun mengisahkan bagaimana banyaknya para mahasiswa menempuh perjalanan dari tempat yang jauh untuk mencari ilmu pengetahuan.

Ibnu Juljul mempelajari ilmu pengobatan herbal yang dilakukan oleh Pedanius Dioscorides, seorang dokter Yunani kuno, ahli farmasi, dan ahli botani. Dioscorides sering bepergian guna mencari bahan-bahan jamu dari seluruh wilayah Romawi dan Yunani.

Dia juga menulis lima jilid buku dalam bahasa Yunani asli. Salah satu bukunya yang terkenal berjudul  De Materia Medica (Masalah-masalah yang berhubungan dengan medis). Berdasarkan ajaran dalam buku milik Dioscorides, Ibn Juljul membuat sebuah karya berjudul Maqalah .

Dalam karyanya itu, Ibnu Juljul menuliskan berbagai macam tumbuhan yang penting bagi obat-obatan, termasuk sifat tumbuh-tumbuhan tersebut. Lalu, dia juga menuliskan efek dari penggunaan tumbuh-tumbuhan itu bagi organ tubuh tertentu.

Tumbuh-tumbuhan untuk herbal yang ditulisnya sebanyak 28 jenis berasal dari India atau yang perjalanannya melalui rute perdagangan India, dua  dari Yaman, dua dari Mesir, satu dari Ceylan, satu dari Khwarizm, dan dua dari kota yang dekat dengan Kordoba. Dalam bukunya itu, Ibnu Juljul kadang-kadang menuliskan nama orang yang pertama kali menggunakan tumbuhan tersebut untuk pengobatan atau orang yang menceritakan fungsi dan efek penggunaan tumbuhan pada tubuh manusia.

Ibnu Juljul, juga membahas tentang batu Bezoar yang dapat digunakan untuk melawan semua racun. Batu tersebut memiliki warna yang kekuning-kuningan dengan garis-garis putih. Selain itu, dia juga pernah membahas soal Ribas. Mengutip pedagang kepercayaannya, Ibnu Juljul mengungkapkan, Ribas merupakan sejenis sayuran yang rasanya masam. Ribas bisa didapatkan di pegunungan yang tertutup salju. Apa yang diungkapkan dalam bukunya sarat dengan pengalaman dan pengetahuan Ibnu Juljul di bidang medis.

Banyak dipelajari
Karya Ibnu Juljul tentang pengobatan herbal, dipelajari pula oleh banyak ilmuwan lainnya. Di antara ilmuwan yang mempelajari karya Ibnu Juljul, adalah ahli botani yang bernama Al-Ghafiqi. Ia mengoleksi beragam jenis tumbuhan dari Spanyol maupun Afrika. Selain itu, Al-Ghafiqi juga membuat catatan yang menggambarkan secara rinci tentang jenis-jenis tumbuhan yang dikoleksinya itu. Bahkan, seorang ahli sejarah dari Barat, George Sarton, mengatakan, Al-Ghafiqi merupakan ahli botani paling cerdas pada masanya.

Sejumlah kalangan mengatakan, deskripsi tentang tumbuh-tumbuhan yang dibuat Al-Ghafiqi diakui sebagai karya paling membanggakan yang pernah dibuat seorang Muslim. Karya fenomenal Al-Ghafiqi berjudul Al-Adwiyah al-Mufradah. Buku milik Al-Ghafiqi, menginspirasi Abdullah Ibnu Ahmad Ibn Al-Baitar atau Ibnu Baitar, untuk meneliti tumbuh-tumbuhan. Ia juga dikenal sebagai salah satu ahli botani sekaligus obat-obatan di Spanyol pada abad pertengahan.

Selain terinsipirasi Al-Ghafiqi, Ibnu Baitar juga mengutip empat belas tulisan tentang obat-obatan herbal milik Ibn Juljul. Padahal, Al-Baitar merupakan ahli botani yang hebat. Terbukti, ia mengoleksi dan mencatat 1.400 jenis tanaman obat.

Catatan dan koleksi tersebut, Ibnu Baitar peroleh saat ia menjelajahi pesisir Mediteranian dari Spanyol ke Suriah. Salah satu karya Al-Baitar yang paling termasyhur berjudul Al-Mughani-fi al Adwiyah al Mufradah. Dari banyaknya para ahli botani dan medis yang mengutip karya Ibnu Juljul, menunjukkan bahwa karyanya di bidang pengobatan herbal merupakan karya hebat dan teruji. Karya Ibnu Juljul dianggap sebagai karya yang memiliki nilai tinggi.

Bahkan, karya Ibnu Juljul tak hanya menjadi rujukan ilmuwan di wilayah Andalusia, namun juga oleh ilmuwan luar negeri seperti Maroko. Kontribusi Ibnu Juljul di dunia medis, sangat berharga bagi penggunaan tanaman untuk obat, bahkan di dunia modern.

Dunia Islam dan Tumbuhan

Ajaran agama untuk menggali ilmu pengetahuan telah mendorong Muslim untuk mengenal banyak ilmu. Segala upaya mereka kerahkan untuk menekuni sebuah, bahkan beragam ilmu. Termasuk, ilmu pengobatan yang menggunakan tumbuhan.

Ketertarikan pada tumbuhan tak hanya melahirkan ahli pengobatan herbal. Namun, juga melahirkan perkembangan menakjubkan di bidang pertanian. Termasuk, teknik baru dalam mengembangkan tanaman, bahkan pembangunan bendungan dan irigasi.

Dari berbagai penelitian yang dilakukan ilmuwan Muslim soal tanaman ini, kemudian lahirlah ilmu tentang pengobatan herbal. Dalam banyak literatur Islam di abad pertengahan, kehidupan tumbuh-tumbuhan erat kaitannya dengan ilmu kedokteran dan agronomi.

Sejak Al-Asma'i yang hidup pada 740 hingga 828, seorang ilmuwan terkenal pada masa kekhalifahan Harun Al-Rasyid menuliskan Kitab al-Nabat wa-'l-Shajar, ilmuwan Muslim tak lagi merasa ragu untuk menggunakan istilah botani.

Bahkan kemudian, para filolog Muslim menggambarkan tanaman secara sistematis. Beragam jenis tumbuhan digolongkan menurut jenisnya. Ada tanaman masuk dalam golongan pohon, bunga, sayur-sayuran, dan semak-semak. Pohon juga dibagi menurut kualitas yang dapat dimakan dari kulit dan biji buah-buahan pohon tersebut.

Menengok Revolusi Pertanian di Era Islam




Negeri-negeri Islam berkembang pesat dan memiliki masyarakat makmur dari hasil pertanian.

Lahan pertanian telah lama menjadi karib umat Islam. Dalam konteks ini, umat Islam tak sekadar mengolah lahan. Namun, mereka juga mengenalkan sistem dan cara pengolahan lahan pertanian secara lebih modern. Termasuk, cara tanam dan penggunaan irigasi.

Bahkan, pada awal abad ke-9, sistem pertanian modern menjadi pusat kehidupan ekonomi dan organisasi di negeri-negeri Muslim. Pertanian di Timur Dekat, Afrika Utara, dan Spanyol, didukung sistem pertanian yang maju.

Sebab, praktik pertanian di sana telah menggunakan irigasi yang baik dan pengetahuan yang sangat memadai. Fakta ini menunjukkan bahwa metode pertanian yang dipraktikkan merupakan metode paling maju di dunia.

Umat Islam memiliki kuda-kuda terbaik, ternak domba, dan kemampuan membudidayakan kebun buah-buahan dan sayuran. Mereka tahu bagaimana cara membasmi serangga dan menggunakan pupuk dengan dosis yang tepat.

Selain itu, mereka juga telah memiliki kecakapan dalam mencangkok pohon dan tanaman untuk menghasilkan varietas baru. Tak heran jika kemudian lahir varietas tanaman yang unggul dan menambahkan keragaman tanaman yang ada.

Sejumlah jenis tanaman yang sebelumnya tak dikenal, juga diperkenalkan oleh umat Islam. Pohon jeruk, misalnya, dibawa umat Islam dari India ke Arab sebelum abad ke-10. Pohon ini kemudian diperkenalkan ke wilayah lainnya.

Pada akhirnya, pohon jeruk ini juga dikenal di Suriah, Asia Kecil, Palestina, Mesir, dan Spanyol. Berawal dari Spanyol, lalu pohon jeruk tersebut menyebar ke seluruh wilayah yang ada di Eropa Selatan.

Budidaya tebu dan pemurnian gula juga disebarkan oleh orang-orang Arab Muslim dari India melalui Timur Dekat, kemudian dibawa tentara Salib ke negara-negara Eropa. Kapas pertama kali dibudidayakan di Eropa oleh bangsa Arab.

Pencapaian umat Muslim dalam bidang pertanian mampu pula diwujudkan di tanah Arab, yang sebagian besar merupakan lahan kering. Ini terwujud dengan menggunakan sistem irigasi yang terorganisasi dengan baik.

Khalifah sebagai pemimpin pemerintahan, membiayai pemeliharaan kanal-kanal besar demi kepentingan pertanian. Sungai Efrat dialirkan ke Mesopotamia, sedangkan air dari Tigris dialirkan ke Persia.

Tak hanya itu, pemerintahan Islam juga membangun sebuah kanal besar yang menghubungkan dua sungai di Baghdad. Kekhalifahan Abbasiyah merupakan dinasti yang memelopori pengeringan rawa-rawa agar digunakan untuk pertanian.

Saat memerintah, mereka pun merehabilitasi desa-desa yang hancur dan memperbaiki ladang yang mengering. Pada abad ke-10, di bawah kepemimpinan pangeran-pangeran Samanid, daerah antara Bukhara dan Samarkand, Uzbekistan berkembang pesat.

Tak heran jika kemudian, daerah tersebut ditetapkan sebagai salah satu dari empat surga dunia. Tiga wilayah lainnya adalah Persia Selatan, Irak Selatan, dan kawasan yang ada di sekitar Damaskus, Suriah.

Berdasarkan catatan sejarah dan komentar para ilmuwan termasuk dari Barat, sistem pertanian pada era Spanyol Muslim merupakan sistem pertanian yang paling kompleks dan paling ilmiah, yang pernah disusun oleh kecerdikan manusia.

Hal ini terjadi karena kaum Muslim memperkenalkan banyak perubahan. Salah satu bukti, pada masa itu seluruh Eropa hancur di bawah perbudakan, namun tanah di bawah kekuasaan Islam mengalami kemajuan pesat di bidang pertanian.

Salah seorang cendekiawan berkebangsaan Inggris, Joseph McCabe, mengungkapkan, di bawah kendali Muslim Arab, perkebunan di Andalusia jarang dikerjakan oleh budak. Tapi, perkebunan dikerjakan oleh para petani sendiri.

Di sepanjang Sungai Guadalquivir, juga terdapat 12 ribu desa yang berkecukupan, bahkan makmur. Revolusi pertanian Islam telah diawali pada abad ke-7. Negeri-negeri Islam berkembang pesat dan memiliki masyarakat makmur dari hasil pertanian.

Para ahli geografi awal mengungkapkan, terdapat 360 desa di Fayyum, sebuah provinsi di selatan Kairo, Mesir, yang masing-masing dapat menyediakan kebutuhan makanan bagi penduduk seluruh Mesir setiap hari.

Di sisi lain, terdapat 12 ribu desa di sepanjang Guadalquivir, Spanyol, yang memiliki lahan pertanian subur. Ada pula 200 desa di sepanjang Sungai Tigris, Irak, yang pertaniannya juga maju.

Bukti lain, yang menunjukkan kemajuan umat Islam di bidang pertanian, yakni adanya sebuah sensus yang dilakukan pada abad ke-8 di Mesir. Dalam sensus itu, dari 10 ribu desa di Mesir, tak ada desa yang memiliki bajak kurang dari 500 unit.

Wilayah-wilayah yang kemudian berada di bawah kekuasaan pemerintah Islam, juga mengalami perubahan ke arah kemajuan yang drastis. Banyak wilayah yang sebelumnya tak maju, namun di bawah pemerintah Islam, kemajuan kemudian terwujud.

Pada masa pra-Islam, Mediteranian kuno pada umumnya hanya bisa memanen tanaman saat musim dingin. Itu pun, satu bidang lahan hanya mampu menghasilkan satu jenis tanaman setiap tahunnya.

Namun, datangnya Islam ke sana membuat segalanya berubah. Sebab, Muslim yang datang ke wilayah itu
memperkenalkan berbagai macam tanaman baru. Dengan demikian, garapan pertanian pun kian beragam. Seorang ahli agronomi Andalusia, seperti Al-Tignarî yang berasal dari Granada, membuat referensi tentang tanaman-tanaman yang memberikan kontribusi besar bagi peningkatan pertanian yang cukup signifikan.

Salah seorang orientalis dari Prancis, Baron Carra de Vaux, bahkan menyebutkan, sejumlah tumbuhan dan hewan yang berasal dari Timur dibawa ke Spanyol oleh umat Islam. Tumbuhan dan hewan itu, kata dia, digunakan untuk beragam kebutuhan. Jadi, tak hanya untuk keperluan pertanian maupun peternakan, tapi tumbuhan dan hewan itu digunakan juga untuk keperluan pengembangan perkebunan, status kemewahan, perdagangan, dan seni.

De Vaux membuat sebuah daftar. Tumbuhan dan hewan itu adalah tulip, bakung, narcissi, lili, melati, mawar, persik, plum, domba, kambing, kucing Anggora, ayam Persia, sutra, dan katun. Salah satu tanaman penting yang diperkenalkan oleh umat Islam di Spanyol adalah tebu. Sedangkan kapas, mulai dibudidayakan di Andalusia pada akhir abad ke-11. Andalusia kemudian mampu berswasembada kapas.

Bahkan kemudian, para petani di Andalusia mampu mengekspor kapas hingga ke luar negeri. Di sisi lain, pengenalan tanaman baru kelak melahirkan sistem pertanian yang kompleks. Termasuk, pembangunan irigasi. Semula sebidang lahan hanya menghasilkan sekali panen satu macam tanaman per tahun. Namun, dengan makin beragamnya tanaman dan adanya irigasi, petani mampu panen tiga atau lebih tanaman per tahun.

Dengan produksi pertanian yang semacam ini, penduduk kosmopolitan di kota-kota Islam, termasuk yang ada di Spanyol, mampu memenuhi kotanya dengan beragam produk buah dan sayuran yang sebelumnya tak dikenal di Eropa.

Paling tidak, ada beberapa faktor penyebab revolusi pertanian Islam yang akhirnya sampai ke Spanyol. Yaitu, pengenalan tanaman baru oleh umat Islam, penggunaan irigasi yang intensif, dan penggunaan serta pengolahan tanah yang lebih baik.

Selain itu, faktor lain yang juga sangat menentukan adalah banyaknya karya ilmiah, yang memperkenalkan inovasi pertanian dan ilmu pengetahuan tentang pertanian.


Mereka yang Berjasa

Kemajuan pertanian di wilayah Islam, termasuk di Spanyol, tentu tak lepas dari kontribusi ahli pertanian Muslim. Mereka menyumbangkan pemikiran-pemikirannya dalam buku-buku tentang pertanian. Karya mereka menjadi panduan dalam pengembangan pertanian kala itu.

Abu'l Khair, seorang ahli pertanian di Spanyol pada abad ke-12, misalnya, menulis Kitab Al-Filaha yang berisi tentang hal ihwal pertanian. Dalam kitabnya itu, ia menuliskan empat cara untuk menampung air hujan dan membuat perairan buatan.

Khair menegaskan perlunya penggunaan air hujan untuk membantu proses reproduksi pohon zaitun dengan cara stek. Ia juga menguraikan tentang proses pembuatan gula yang sebelumnya telah diungkapkan ilmuwan lainnya, Ibn Al-Awwam.

Proses pembuatan gula diawali dengan memanen tanaman tebu yang telah dewasa. Lalu, tebu-tebu tersebut dipotong menjadi potongan-potongan kecil yang kemudian dihancurkan dengan cara dimasukkan ke dalam alat penekan.

Setelah itu, ekstrak tebu direbus dalam jangka waktu tertentu lalu hasilnya disaring. Hasil saringan ekstrak tebu itu dimasak lagi sampai tinggal seperempat bagian dari jumlah semula. Kemudian, ekstrak tebu yang terakhir ini dituangkan ke dalam cetakan tanah liat.

Ekstrak tebu yang dimasukkan ke dalam cetakan-cetakan berbentuk khusus itu, disimpan di tempat teduh hingga mengeras atau mengkristal. Langkah selanjutnya, gula dikeluarkan dari cetakan dan dikeringkan di tempat yang teduh.

Gula tersebut digunakan untuk pemanis minuman maupun sebagai bahan campuran membuat makanan atau kue-kue yang sangat lezat. Di sisi lain, sisi tanaman tebu tak dibuang sia-sia. Namun, dijadikan makanan kuda, sebagai sumber kekuatan dan energi.

Ada pula ahli pertanian dari Damaskus Suriah, Riyad al-Din al-Ghazzi al-Amiri (935/1529). Dia menulis sebuah buku tentang pertanian yang perinci. Secara umum, para penulis Arab kuno menuliskan tentang pertanian dalam berbagai subjek.

Di antaranya, soal jenis lahan pertanian dan pilihan tanah, pupuk kandang dan pupuk lain, alat pertanian dan karya budidaya, sumur, mata air, saluran irigasi, tanaman, pembibitan, penanaman, pemangkasan, dan pencangkokan buah.

Mereka juga membahas soal budidaya serealia, kacang-kacangan, sayuran, bunga, umbi-umbian, dan tanaman untuk parfum. Pun, tentang tumbuhan dan hewan beracun serta pengawetan buah. 

Blues, Musik yang Berakar dari Tradisi Islam

Blues dikenal sebagai sebuah aliran musik vokal dan instrumental yang berasal dari Amerika Serikat (AS). Musik yang mulai berkembang pesat pada abad ke-19 M itu muncul dari musik-musik spiritual dan pujian yang biasa dilantunkan komunitas kulit hitam asal Afrika di AS. Musik yang menerapkan blue note dan pola call and response itu diyakini publik AS dipopulerkan oleh 'Bapak Blues'--WC Handy (1873-1958).
Percayakah Anda bahwa musik Blues berakar dari tradisi kaum Muslim? Awalnya, publik di negeri Paman Sam pun tak meyakininya. Namun, seorang penulis dan ilmuwan serta peneliti pada Schomburg Center for Research in Black Culture di New York, Sylviane Diouf, berhasil meyakinkan publik bahwa Blues memiliki relasi dengan tradisi masyarakat Muslim di Afrika Barat.
Untuk membuktikan keterkaitan antara musik Blues Amerika dengan tradisi kaum Muslim, Diouf memutar dua rekaman. Yang pertama diperdengarkannya kepada publik yang hadir di sebuah ruangan Universitas Harvard itu adalah lantunan adzan--panggilan bagi umat Islam untuk menunaikan ibadah shalat. Setelah itu, Diouf memutar Levee Camp Holler.
Rekaman kedua itu adalah lagu Blues lawas yang pertama kali muncul di Delta Mississippi sekitar 100 tahun yang lalu. Levee Camp Holler bukanlah lagu blues yang terbilang biasa. Lagu itu diciptakan oleh komunitas kulit hitam Muslim asal Afrika Barat yang bekerja di Amerika pasca-Perang Sipil.
Lirik lagu Levee Camp Holler yang diperdengarkan Diouf itu terdengar seperti panggilan suara adzan--berisi tentang keagungan Tuhan. Seperti halnya lantunan adzan, lagu Levee Camp Holler itu menekankan kata-kata yang terdengar bergetar. Menurut Diouf, langgam yang sengau antara lagu Blues Levee Cam Holler yang mirip adzan juga merupakan bukti adanya pertautan antara keduanya.
Publik yang hadir di ruangan itu pun takjub dengan kebenaran bukti yang diungkapkan Diouf. "Tepuk tangan pun bergemuruh, sebab hubungan antara musik Blues Amerika dengan tradisi Muslim jelas-jelas terbukti," papar Diouf. "Mereka berkata, 'Wow, benar-benar terdengar sama. Blues ternyata benar berakar dari sana (tradisi Islam)'."
Jonathan Curiel dalam tulisannya bertajuk, Muslim Roots, US Blues, mengungkapkan bahwa publik Amerika perlu berterima kasih kepada umat Islam dari Afrika Barat yang tinggal di Amerika. Sekitar tahun 1600 hingga pertengahan 1800 M, banyak penduduk kulit hitam dari Afrika Barat yang dibawa paksa ke Amerika dan dijadikan budak.
Menurut para sejarawan, sekitar 30 persen budak dari Afrika Barat yang dipekerjakan secara paksa di Amerika itu adalah Muslim. "Meski oleh tuannya dipaksa untuk menganut Kristen, namun banyak budak dari Afrika itu tetap menjalankan agama Islam serta kebudayaan asalnya," cetus Curiel.
Mereka tetap melantunkan ayat-ayat Alquran setiap hari. Namun, sejarah juga mencatat bahwa para pelaut Muslim dari Afrika Barat adalah yang pertama kali menemukan benua Amerika sebelum Columbus. "Tak perlu diragukan lagi, secara historis kaum Muslimin telah memberi pengaruh dalam evolusi masyarakat Amerika beberapa abad sebelum Christopher Columbus menemukannya," tutur Fareed H Numan dalam American Muslim History A Chronological Observation.
Sejarawan Ivan Van Sertima dalam karyanya, They Came Before Columbus, membuktikan adanya kontak antara Muslim Afrika dengan orang Amerika asli. Dalam African Presence in Early America, Van Sertima menemukan fakta bahwa para pedagang Muslim dari Arab juga sangat aktif berniaga dengan masyarakat yang tinggal di Amerika.
"Columbus juga tahu bahwa Muslim dari pantai barat Afrika telah tinggal lebih dulu di Karibia, Amerika Tengah, Selatan, dan Utara," papar Van Sertima. Umat Islam yang awalnya berdagang telah membangun komunitas di wilayah itu dengan menikahi penduduk asli.
Curiel menambahkan, pengaruh lainnya yang diberikan komunitas kulit hitam yang beragama Muslim di Amerika terhadap musik Blues adalah alat-alat musik yang bisa mereka mainkan. Pada era perbudakan di Amerika, orang kulit putih melarang mereka untuk menabuh drum, karena khawatir akan menumbuhkan semangat perlawanan para budak.
Namun, penggunaan alat musik gesek yang biasa dimainkan umat Islam dari Afrika masih diizinkan untuk dimainkan karena dianggap mirip biola. Guru Besar Ethnomusikologi dari Universitas Mainz, Jerman, bernama Prof Gehard Kubik mengatakan alat musik banjo Amerika juga berasal dari Afrika.
Secara khusus, Prof Kubik menulis sebuah buku tentang relasi musik Blues dengan peradaban Islam di Afrika Barat berjudul, Africa and the Blues, yang diterbitkan University Press of Mississippi pada 1999. "Saya yakin banyak penyanyi Blues saat ini yang tak menyadari bahwa pola musik mereka meniru tradisi musik kaum Muslim di Arab," cetusnya.
Secara akademis Prof Kubik telah membuktikannya. "Gaya vokal kebanyakan penyanyi Blues menggunakan melisma, intonasi bergelombang. Gaya vokal seperti itu merupakan peninggalam masyarakat di Afrika Barat yang telah melakukan kontak dengan dunia Islam sejak abad ke-7 dan 8 M," paparnya. Melisma menggunakan banyak nada dalam satu suku kata.
Sedangkan, intonasi bergelombang merupakan rentetan yang beralih dari mayor ke skala minor dan kembali lagi. Hal itu sangat umum digunakan saat kaum Muslim melantunkan adzan dan membaca Alquran. Dengan fakta itu, papar Prof Kubik, para peneliti musik seharusnya mengakui bahwa Blues berakar dari tradisi Islam yang berkembang di Afrika Barat.
Meski telah dibuktikan secara akademis, namun masih banyak pula yang tak mengakui adanya pengaruh tradisi masyarakat Muslim Afrika dalam musik Blues. "Non-Muslim sangat sulit untuk meyakini fakta itu, karena mereka tak memiliki pengetahuan yang cukup tentang peradaban Islam dan musik Islami," ungkap Barry Danielian, seorang pemain terompet yang tampil bersama Paul Simon, Natalie Cole, dan Tower of Power.
Suara lantunan adzan dan ayat-ayat Alquran yang biasa dilantunkan para Muslim kulit hitam di Amerika mengandung musikalitas. "Dalam jamaah saya, kata Danielian yang tinggal di Jersey City, New Jersey, 'Ketika kami berkumpul dan sang imam datang ada ratusan orang dan kami melantunkan doa, pasti terdengar sangat musikal. Anda akan mendengar musikal itu seperti orang Amerika menyebut Blues.'" Begitulah tradisi Islam di AS telah melahirkan sebuah aliran musik bernama Blues. N hri
Musik dalam Peradaban Islam
Bagaimanakah Islam memandang musik? Ada dua pandangan di dalam Islam terhadap musik. Ada ulama yang membolehkan dan ada pula yang melarangnya. Perbedaan ini muncul lantaran Alquran tak membolehkan dan melarangnya.
Ulama terkemuka Dr Yusuf Al-Qardawi dalam bukunya, Al-Halaal wal Haraam fil Islam, memperbolehkan musik dengan sejumlah syarat. Sebenarnya, sejumlah ritual keagamaan yang dijalankan umat Islam mengandung musikalitas. Salah satu contohnya adalah alunan adzan. Selain itu, ilmu membaca Alquran atau ilm al-qiraah juga mengandung musik.
Meski begitu, Al-Albani melarang umat Islam untuk bermusik. Ia mendasarkannya pada salah satu hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari. "Akan ada dari ummatku kaum yang menghalalkan zina, memakai sutra, minuman keras, dan alat-alat musik."
Secara umum, umat Islam memperbolehkan musik. Bahkan, di era kejayaannya, umat Islam mampu mencapai kemajuan dalam bidang seni musik. Terlebih lagi, musik dan puisi menjadi salah satu tradisi yang berkembang di Semenanjung Arab sebelum kedatangan Islam.
Pencapaian peradaban Islam dalam bidang musik tercatat dalam Kitab Al-Aghani yang ditulis oleh Al-Isfahani (897 M-967 M). Dalam kitab itu, tertulis sederet musisi di zaman kekhalifan, seperti Sa'ib Khathir (wafat 683 M), Tuwais (wafat 710 M), dan Ibnu Mijjah (wafat 714 M). Penyebaran Islam ke seluruh penjuru jazirah Arab, Persia, Turki, hingga India, semuanya memilik tradisi musik.
Seni musik berkembang pesat di era kekuasaan Dinasti Abbasiyah. Para ilmuwan Muslim banyak menerjemahkan risalah musik dari Yunani terutama ketika Khalifah Al-Ma'mun berkuasa. Para Khalifah Abbasiyah pun turut mensponsori para penyair dan musisi. Salah satu musisi yang karyanya diakui dan disegani adalah Ishaq Al-Mausili (767 M-850 M).
Pada awal berkembangnya Islam, musik diyakini sebagai cabang dari matematika dan filsafat. Tak heran, jika matematikus dan filosof Muslim terkemuka, Al-Kindi (800 M-877 M), adalah ahli teori musik yang kesohor. Al-Kindi juga tercatat sebagai ilmuwan yang menjadikan musik untuk pengobatan dan penyembuhan penyakit. Ia menulis tak kurang dari 15 kitab tentang musik, namun yang masih ada tinggal lima. Al-Kindi adalah orang pertama yang menyebut kata 'musiqi'.
Tokoh Muslim lainnya yang juga banyak menyumbangkan pemikirannya bagi musik adalah Al-Farabi (870 M-950 M). Ia tinggal di Istana Saif al-Dawla Al-Hamdan¡ di kota Aleppo. Matematikus dan filosof ini juga sangat menggemari musik serta puisi. Selama tinggal di istana itu, Al-Farabi mengembangkan kemampuan musik serta teori tentang musik.
Al-Farabi juga diyakini sebagai penemu dua alat musik, yakni rabab dan qanun. Ia menulis tak kurang dari lima judul kitab tentang musik. Salah satu buku musiknya yang populer bertajuk, Kitabu al-Musiqa to al-Kabir, atau The Great Book of Music. Berisi teori-teori musik dalam Islam.
Pemikiran Al-Farabi dalam bidang musik masih kuat pengaruhnya hingga abad ke-16 M. Kitab musik yang ditulisnya itu sempat diterjemahkan oleh Ibnu Aqnin (1160 M-1226 M) ke dalam bahasa Ibrani. Selain itu, karyanya itu juga dialihbahasakan ke dalam bahasa latin berjudul De Scientiis dan De Ortu Scientiarum. Salah satu ahli teori musik Muslim lainnya adalah Ibnu Sina.