20 November 2011

Ibn Hazm, Ulama Negarawan dari Spanyol

Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Sa'id bin Hazm atau lebih dikenal dengan nama Ibn Hazm diakui sebagai seorang ulama yang memiliki kontribusi luar biasa dalam dunia Islam. Ia dikenal sebagai ahli fikih dan hadits sekaligus teolog, sejarawan, penyair, negarawan, akademisi dan politisi yang handal. Tak kurang dari 400 judul kitab telah ditulisnya.


Ibn Hazm lahir di kota Cordoba, Spanyol pada akhir Ramadhan 384 H atau bertepatan dengan 7 November 994 M. Ia tumbuh dan besar di kalangan para pembesar dan pejabat. Ayahnya, Ahmad, adalah seorang menteri pada masa pemerintahan Khalifah al-Mansur dan putranya, al-Muzaffar. Kendati demikian, kemewahan hidup yang dijalaninya itu tidak menjadikannya lupa diri dan sombong. Sebaliknya, ia dikenal sebagai seorang yang baik budi pekertinya, pemaaf dan penuh kasih sayang.

Sebagai seorang anak pembesar, Ibn Hazm mendapat pendidikan dan pengajaran yang baik. Pada masa kecilnya, ia dibimbing dan diasuh oleh guru-guru yang mengajarkan Alquran, syair, dan tulisan indah Arab (khatt). Ketika meningkat remaja, ia mulai mempelajari fikih dan hadits dari gurunya yang bernama Husain bin Ali al-Farisi dan Ahmad bin Muhammad bin Jasur. Ketika dewasa, ia mempelajari bidang ilmu lainnya, seperti filsafat, bahasa, teologi, etika, mantik, dan ilmu jiwa disamping memperdalam lagi ilmu fikih dan hadits.

Penguasaan terhadap berbagai disiplin ilmu tersebut pada akhirnya menjadikan Ibn Hazm seorang yang pakar dalam bidang agama. Kepakarannya ini bukan hanya diakui oleh kaum muslimin, namun juga diakui oleh kalangan sarjana Barat. Ada sebuah nasehat yang terkenal dari Ibn Hazm yang ditujukan kepada para pencari ilmu yaitu, "Jika Anda menghadiri majelis ilmu, maka janganlah hadir kecuali kehadiranmu itu untuk menambah ilmu dan memperoleh pahala, dan bukannya kehadiranmu itu dengan merasa cukup akan ilmu yang ada padamu, mencari-cari kesalahan dari pengajar untuk menjelekkannya. Karena ini adalah perilaku orang-orang yang tercela, yang mana orang-orang tersebut tidak akan mendapatkan kesuksesan dalam ilmu selamanya.''

Terjun ke politik

Sebagai anak seorang menteri dan hidup di lingkungan istana, Ibn Hazm mulai berkenalan dengan dunia politik ketika berusia lima tahun. Pada waktu itu terjadi kerusuhan politik dalam masa pemerintahan Khalifah Hisyam II al-Mu'ayyad (1010-1013 M) yang mengakibatkan Hisyam beserta ayah Ibn Hazm diusir dari lingkungan istana.

Keterlibatan Ibn Hazm di bidang politik secara langsung terjadi pada masa pemerintahan Khalifah Abdurrahman V al-Mustahdir (1023 M) dan Khalifah Hisyam III al-Mu'tamid (1027-1031 M). Pada masa kedua khalifah ini Ibn Hazm menduduki jabatan menteri.

Pada masa pemerintahan Abdurrahman V al-Mustahdir, Ibn Hazm bersama-sama dengan khalifah berusaha memadamkan berbagai kerusuhan dan mencoba merebut wilayah Granada dari tangan musuh. Akan tetapi dalam usaha merebut wilayah itu khalifah terbunuh dan Ibn Hazm tertangkap. Ia kemudian dipenjarakan.

Hal serupa juga dialaminya pada masa pemerintahan Hisyam III al-Mu'tamid. Ibn Hazm pernah dipenjarakan setelah sebelumnya ia ikut mengatasi berbagai keributan di istana. Selepas keluar dari tahanan, ia memutuskan untuk meninggalkan dunia politik dan keluar dari istana.

Sejak keluar dari istana, Ibn Hazm tidak menetap di satu tempat tertentu, tetapi berpindah-pindah. Selain mencari ilmu, motivasinya hidup berpindah-pindah tempat karena ingin mencari ketenangan dan keamanan hidupnya. Sejak saat itu ia juga mencurahkan perhatiannya kepada penulisan kitab-kitabnya.

Kitab-kitab karangan Ibn Hazm seperti yang dikatakan oleh anaknya, Abu Rafi'i al-Fadl, berjumlah 400 buah. Tetapi karyanya yang paling monumental adalah kitab al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam (Ilmu Ushul Fikih; terdiri dari delapan jilid) dan kitab al-Muhalla (Ilmu Fikih; terdiri dari tiga belas jilid). Kedua kitab ini menjadi rujukan utama para pakar fikih kontemporer.

Karya-karyanya yang lain di antaranya adalah: Risalah fi Fada'il Ahl al-Andalus (Risalah tentang Keistimewaan Orang Andalus), al-Isal Ila Fahm al-Khisal al-Jami'ah li Jumal Syarai' al-Islam (Pengantar untuk Memahami Alternatif yang mencakup Keseluruhan Syariat Islam), al-Fisal fi al-Milal wa al-Ahwa' wa an-Nihal (Garis Pemisah antara Agama, Paham dan Mazhab), al-Ijma' (Ijmak), Maratib al-'Ulum wa Kaifiyah Talabuha (Tingkatan-Tingkatan Ilmu dan Cara Menuntutnya), Izhar Tabdil al-Yahud wa an-Nasara (Penjelasan tentang Perbedaan Yahudi dan Nasrani), dan at-Taqrib lihadd al-Mantiq (Ilmu Logika).

Selain menulis kitab mengenai ilmu-ilmu agama, Ibn Hazm juga menulis kitab sastra. Salah satu karyanya dalam bidang sastra yang sangat terkenal adalah yang berjudul Tauq al-Hamamah (Di Bawah Naungan Cinta). Kitab ini menjadi karya sastra terlaris sepanjang abad pertengahan. Kitab yang berisikan kumpulan anekdot, observasi, dan puisi tentang cinta ini tidak hanya dibaca oleh kalangan umat Islam, tetapi juga kaum Nasrani di Eropa.

Ibn Hazm wafat di Manta Lisham pada 28 Sya'ban 456 H bertepatan pada tanggal 15 Agustus 1064 M. Wafatnya Ibn Hazm cukup membuat masyarakat kala itu merasa kehilangan dan terharu. Bahkan, Khalifah Mansur al-Muwahidi, khalifah ketiga dari Bani Muwahid termenung menatap kepergian Ibn Hazm, seraya berucap: "Setiap manusia adalah keluarga Ibn Hazm”.

Bagaimana Pengelolaan Wakaf di Era Dinasti-Dinasti Islam?

Tata cara pengelolaan wakaf dalam Islam telah diatur berdasarkan Alquran dan Sunah Rasulullah SAW. Harta wakaf, menurut ajaran Islam, hanya diambil manfaatnya, sementara barang asalnya harus tetap. Karena itu, harta wakaf tidak boleh dijual, dihibahkan, atau diwariskan. Pada prinsipnya, menurut John L Esposito dalam Ensiklopedi Oxford: Dunia Islam Modern, pembuat wakaf menentukan bentuk pengelolaan wakafnya sendiri. Pengelola wakaf biasa disebut dengan istilah mutawalli atau nadhir.


Dalam perkembangannya praktik wakaf menjadi lebih luas pada masa pemerintahan Islam sesudah era Khulafaur Rasyidin. Sri Nurhayati dalam tulisannya yang bertajuk Akuntansi Syariah di Indonesia memaparkan bahwa pada masa pemerintahan Dinasti Umayyah dan Abbasiyah, semua orang berduyun-duyun untuk melaksanakan wakaf. Pada masa itu, wakaf tidak hanya untuk orang-orang fakir dan miskin saja, tetapi wakaf menjadi modal untuk membangun lembaga pendidikan, membangun perpustakaan dan membayar gaji para stafnya, gaji para guru dan beasiswa untuk para siswa dan mahasiswa.

Antusiasme masyarakat kepada pelaksanaan wakaf telah menarik perhatian negara untuk mengatur pengelolaan wakaf. Maka, dalam perkembangan berikutnya mulai dibentuk lembaga yang mengatur wakaf. Lembaga ini bertugas untuk mengelola, memelihara dan menggunakan harta wakaf, baik secara umum seperti masjid atau secara individu atau keluarga.

Taubah bin Ghar al-Hadhramiy yang menjabat sebagai hakim di Mesir pada masa Khalifah Hisyam bin Abdul Malik (724-743 M) dari Dinasti Umayyah, misalnya, telah merintis pengelolaan wakaf di bawah pengawasan seorang hakim. Ia juga menetapkan formulir pendaftaran khusus dan kantor untuk mencatat dan mengawasi wakaf di daerahnya.

Upaya ini mencapai puncaknya dengan didirikannya kantor wakaf untuk pendaftaran dan melakukan kontrol yang dikaitkan dengan kepala pengadilan, yang biasa disebut dengan "hakimnya para hakim". Lembaga wakaf inilah yang pertama kali dilakukan dalam administrasi wakaf di Mesir, bahkan di seluruh negeri Islam pada masa itu. Pada saat itu juga, Hakim Taubah mendirikan lembaga wakaf di Basrah. Sejak itulah pengelolaan wakaf berada di bawah kewenangan lembaga kehakiman.

Keberadaan lembaga wakaf ini juga diteruskan pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah. Pemerintah Abbasiyah membentuk sebuah lembaga yang diberinama Shadr al-Wuquuf. Lembaga wakaf ini bertugas mengurusi masalah administrasi dan memilih staf pengelola lembaga wakaf.

Sementara di masa Dinasti Ayyubiyah di Mesir, perkembangan wakaf cukup menggembirakan, dimana hampir semua tanah-tanah pertanian menjadi harta wakaf yang dikelola oleh negara dan menjadi milik negara. Ketika Shalahuddin al-Ayyubi memerintah di Mesir, ia mewakafkan tanah-tanah milik negara untuk diserahkan kepada institusi agama dan sosial yang ada pada masa itu. Langkah serupa juga pernah dilakukan oleh penguasa Islam di Mesir sebelumnya dari Dinasti Fathimiyah.

Perkembangan wakaf pada masa Dinasti Mamluk sangat pesat dan beraneka ragam. Pada masa pemerintahan Mamluk, apapun yang dapat diambil manfaatnya boleh diwakafkan. Akan tetapi paling banyak yang diwakafkan pada masa itu adalah tanah pertanian dan bangunan.

Pada masa Mamluk juga dikenal yang namanya wakaf hamba sahaya, yakni mewakafkan budak untuk memelihara masjid dan madrasah. Hal ini dilakukan pertama kali oleh pengusa Dinasti Ustmani ketika menaklukan Mesir, Sulaiman Basya, yang mewakafkan budaknya untuk merawat masjid.

Undang-undang wakaf

Di era Dinasti Mamluk inilah awal mula disahkannya undang-undang wakaf dalam sebuah pemerintahan Islam. Berbagai sumber sejarah menyebutkan, perundang-undangan wakaf pada Dinasti Mamluk dimulai sejak masa Sultan Dzahir Baybars al-Bandaqdari, dimana beliau memilih hakim dari masing-masing empat mazhab.

Sementara itu di masa pemerintahan Turki Utsmaniyah, kekuasaan politik yang diraih oleh dinasti ini telah mempermudah penerapan syari'at Islam, di antaranya adalah peraturan tentang perwakafan. Bahkan untuk menangangi persoalan wakaf ini, pada awal abad ke-19 M, pemerintahan Turki Utsmaniyah membentuk kabinet khusus untuk menangangi masalah wakaf.

Di antara undang-undang perwakafan yang paling penting yang pernah dikeluarkan oleh pemerintahan Turki Utsmaniyah adalah yang dikeluarkan pada tanggal 29 November 1863. Undang-undang ini mengatur pengelolaan dan pengawasan wakaf. Undang-undang ini dipraktikkan di berbagai negara (Turki, Suriah, Irak, Lebanon, Palestina, dan Arab Saudi) untuk beberapa tahun setelah perpecahan Kesultanan Turki Utsmaniyah pada tahun 1918.

Kalila wa Dimna, Dongeng Fabel Menarik dari Dunia Muslim


Kisah macam 'Kancil Mencuri Timur' juga dikenal di dunia Arab. Salah satu buku dongeng binatang yang dikenal Muslim sejak lama ialah "Kalila wa Dimna". Buku ini adalah salah satu karya terlaris selama dua ribu tahun dan hingga kini masih digemari banyak orang di dunia Arab.


Buku yang berarti Kalila dan Dimna--dinamai dari dua anjing hutan yang menjadi karakter utama--ditulis sebagai panduan dan instruksi pelayanan sipil. Kisah-kisahnya begitu menghibur hingga diterima di setiap kelas, menjadi dongeng rakyat di dunia Muslim. Orang Arab membawa kisah-kisah itu ke Spanyol, di sana buku tersebut diterjemahkan ke Bahasa Spanyol Tua, pada abad ke-13. Saat diterjemahkan ke dalam Bahasa Italia, itu merupakan kali pertama buku tampil dalam versi cetak, setelah mesin cetak ditemukan.

Kalila dan Dimna aslinya ditulis dalam Bahasa Sansekerta, diperkirakan dari Kashmir pada abad ke-4. Dalam Sansekerta buku ini disebut Panchatantra atau "Lima Wacana". Buku tersebut sebenarnya ditulis untuk tiga pangeran muda yang telah membuat guru mereka putus asa dan sang ayah terganggu.

Raja takut memercayakan kerajaannya ke para putranya yang tak mampu menguasai pelajaran paling mendasar. Raja mendatangi wazirnya yang bijaksana untuk meminta bantuan dan si wazir pun menulis Panchatantra. Buku itu mengungkapkan kebijaksanaan besar dalam kisah-kisah fabel binatang yang mudah dicerna.

Enam bulan kemudian para pangeran sudah berada di jalan kebijaksanaan. Ketika raja mangkat, mereka menggantikan kepemimpinan ayahnya dengan penuh keadilan.

Dua ratus tahun kemudian, seorang shah Persia mengutus dokter pribadinya, Burzoe, ke India untuk menemukan jenis herbal tertentu yang konon mampu menghadirkan kehidupan abadi bagi mereka yang memakannya. Alih-alih, Burzoe malah membawa satu salinan Panchatantra, yang ia klaim sama baiknya dengan herbal ajaib karena ia menghadirkan kebijaksanaan besar ke pembacanya.

Shah memerintahkan Burzoe mengalihbahasakan ke Pehlavi, bentuk kuno Bahasa Persia. Ia begitu menyukai buku itu hingga menyimpannya dalam satu ruang khusus di dalam istananya.

Tiga ratus tahun berselang, setelah Muslim menguasai Persia dan Timur Dekat, seorang Persia yang telah memeluk Islam, bernama Ibnu al Mukaffah, menemukan buku itu dalam bahasa Pehlavi terjemahan Burzoe. Ia pun mengalihbahasakan lagi ke Arab dengan gaya penuturan begitu mengalir hingga sampai sekarang orang masih menganggapnya model prosa asli Arab.

Keberadaan buku tersebut menyebar ke berbagai negara termasuk Yunani, yang menjadi cikal sumber terjemahan versi berbagai bahasa di Eropa, mulai Latin, Slavia dan Jerman. Sementara versi Bahasa Arabnya juga diterjemahkan ke Bahasa Ethopia, Suriah, Persia, Turki, Melayu, Jawa, Laos dan Siam. Pada abad ke-19 Kalila wa Dimna diterjemahkan ke Hindustan, dengan demikian melengkapi siklus yang dimulai 1.700 lalu di Kashmir.

Tidak semua versi adalah terjemahan sederhana. Buku itu sudah diperluas, diperpendek, mengalami modifikasi, penambahan dan penghilangan figur serta dipermak oleh sejumlah penerjemah dengan jumlah tak terhitung.

Salah satu kisah di bawah ini tidak termasuk dalam versi Sansekerta, juga tak ada di sebagian besar manuskrip Arab salinan Ibnu al Mukaffah, namun yang menarik ia telah memasuki daratan Eropa--masih dianggap dongeng dari Arab--dan menjadi kisah cukup terkenal di sana, berjudul "Memasang Bel ke Leher Kucing.

Cerita serupa mungkin bisa ditemukan di antologi dongeng lain, juga dalam Brothers Grimm. Bedanya, tikus-tikus Arab menyelesaikan masalah mereka jauh lebih tajam ketimbang sepupu mereka di barat. Berikut kisahnya.

Memasang Bel ke Leher Kucing

"Dahulu di tanah para Brahma terdapatlah sebuah rawa bernama Dawran yang membentang di semua penjuru dengan jarak ribuan kilometer. Di tengah rawa tersebut ada sebuah kota bernama Aydazinum. Kota itu memiliki banyak daya tarik, keistimewaan dan penduduknya sangat sejahtera hingga bisa mendapatkan apa pun yang mereka mau.

Dalam kota ada seekor tikus bernama Mahraz, ia memimpin seluruh tikus yang hidup di kota itu dan juga desa-desa di pinggir kota. Ia memiliki tiga wazir yang siap memberi nasehat untuk bermacam urusan.

Suatu hari para wazir berkumpul di hadapan raja tikus untuk mendiskusikan berargam masalah. Di tengah perbincangan, raja berkata, "Apakah mungkin membebaskan diri kita dari teror turun-menurun yang kita dan juga nenek moyang kita rasakan terhadap kucing?"

"Meski kita hidup nyaman dan memiliki banyak kesenangan dalam hidup, ketakutan kita terhadap Kucing telah melenyapkan semua kenikmatan tersebut. Saya harap kalian bisa memberi saran bagaimana mengatasi masalah ini. Apa yang kalian pikir harus kita lakukan?"

"Saran saya," ujar wazir pertama, "adalah mengumpulkan sebanyak mungkin lonceng kecil dan mengalungkan bel itu ke leher setiap kucing sehingga kita dapat mendengar mereka datang dan memiliki waktu untuk bersembunyi di lubang-lubang kita."

Raja menoleh ke wazir kedua dan berkata," Bagaimana menurut kamu saran kolegamu?"

"Saya kira itu saran buruk," ujar wazir kedua. "Setelah mengumpulkan semua bel yang dibutuhkan, lalu siapa yang berani memasang ke leher bahkan anak kucing terkecil sekalipun, apalagi tipe kucing jalanan veteran?"

"Dalam opini saya, kita harus bermigrasi dari kota dan tingga di desa selama setahun hingga orang-orang kota berpikir bahwa mereka dapat mulai mengeluarkan kucing karena tak punya sumber buruan. Orang-orang akan menendang mereka keluar, atau mungkin membunuh para kucing. Mereka akan tersebar dan hidup liar dan tak lagi cocok untuk kucing rumahan. Lalu kita dapat pulang kembali dengan aman ke kota dan hidup selamanya tanpa cemas terhadap kucing."

Raja, sepertinya masih tak puas dengan jawaban wazir kedua menolah lagi ke wazir ketiga, yang terbijak. "Bagaimana dengan ide tersebut?"

"Gagasan yang sangat menyedihkan," balas wazir ketiga, "Jika kita meninggalkan kota dan tinggal di desa bagaimana kita pastikan bahwa kucing-kucing itu akan menghilang dalam satu tahun? Bagaimana pula dengan kesulitan yang akan kita alami? Kehidupan di alam penuh dengan binatang liar yang juga suka makan tikus, dan mereka bisa melakukan hal lebih buruk ketimbang yang dilakukan kucing."

"Kamu benar tentang itu," ujar sang raja. "Jadi apa yang kamu pikir seharusnya dilakukan?"

"Saya dapat menyarankan satu rencana yang paling masuk akal. Raja harus memanggil seluruh tikus di kota dan kawasan sub urban dan memerintahkan mereka membangun lorong di dalam rumah-rumah orang terkaya yang menghubungkan ke semua ruang dalam rumah," ujar wazir ketiga.

"Lalu kita akan masuk ke terowongan itu, tapi kita tak akan menyentuh makanan manusia. Alih-alih kita konsentrasi merusak pakaian, tempat tidur dan karpet mereka. Ketika melihat kerusakan itu, ia akan berpikir. 'Wah satu kucing sepertinya tak bisa mengatasi banyak tikus di sini!' Dan ia pasti akan menambah satu lagi kucing piaraan," ujar Wazir.

"Begitu kucing ditambah, kita pun menambah jumlah kerusakan, benar-benar merobek pakaian-pakaian mereka. Ia pasti akan menambah satu lagi kucing, lalu kita tambah lagi kerusakan hingga tiga kali lipat. Itu seharusnya membuat mereka berhenti dan berpikir 'Hei, kerusakan hanya sedikit ketika aku memiliki satu kucing. Makin banyak kucing, semakin banyak tikus,' seolah-olah itulah yang terlihat" ujar wazir ketiga lagi.

"Jadi ia akan mencoba sebuah eksperimen. Ia akan menyingkirkan satu kucingnya. Saat itu pula kita akan turunkan jumlah kerusakan, menjadi dua pertiga saja. Si pemilik pasti berpikir, 'Aneh sekali,'. Ia lalu menyingkirkan satu lagi kucing lain. Lagi, kita pun kurangi kerusakan hingga hanya sepertiganya. Ia pun akan terdorong untuk menyingkirkan satu lagi kucing tersisa.

Saat itu pula kita hentikan aksi dan tidak merusak apa pun. Ia akan menemukan hal besar. 'Wah ternyata bukan tikus,'. Ia pasti bakal pergi ke para tetangga kaya lain untuk memberi tahu itu. Karena ia adalah orang terkaya dan dihormati maka semua akan mempercayainya dan mulai membuang kucing-kucing mereka ke jalan atau bahkan membunuh mereka. Kemudian setiap kali melihat kucing, mereka akan mengejar dan membunuhnya."

Raja Mahraz pun mengikuti saran wazir ketiga. Butuh waktu tak terlalu lama hingga tidak satupun kucing berada di kota tersebut. Bila mereka melihat lubang di pakaian mereka, orang-orang tetap yakin bahwa itu adalah ulah kucing.

Kini, jika tu terjadi, mereka pasti berkata, "Seekor kucing pasti menyelinap ke rumah tadi malam. Seekor kucing pasti mengendap-endap di kota tadi malam." Alhasil, dengan strategi itu, para tikus benar-benar berhasil membebaskan diri dari warisan rasa takut turun-temurun terhadap kucing.

Wang Zipping, Legenda Grandmaster Wushu Muslim Cina

Seratus delapan puluh kilometer dari utara Kota Terlarang (Beijing saat ini), terletak Changzhou, tempat tinggal suku Hui. Hui adalah suku Muslim di Cina. Namun, selain Islam, ada hal yang menjadi kecintaan anggota suku, yakni tradisi seni bela diri.


Sebelum penemuan senjata, Wushu merupakan alat utama pertempuran dan pertahanan diri di Cina. Para pemimpon Hui selalu mendorong anggotanya mempelajari Wushu sebagai 'kebiasaan suci' demi memperkuat disiplin dan keberanian untuk memperjuangkan sekaligus bertahan di tanah mereka.

Saat itu masjid-masjid, bagi suku Hui, bukan hanya tempat untuk beribadah, tapi juga medan latihan bagi grandmaster untuk menempa dasar-dasar Wushu kepada murid-murid yang antusias.

Seperti banyak Hui yang lain, Wang Ziping lahir di tengah keluarga miskin. Ayahnya bekerja sebagai petinju bayaran. Saat masih bocah, Ziping menunjukkan keinginan kuat belajar Wushu. Bela diri ini adalah identitas Hui. Tidak ada Hui--yang saat itu hanya senilai upah garam--akan berani menjalani hidup tanpa "Latihan Delapanbelas Pukulan Pertempuran" dan "Tinju Diagram Delapan" melekat pada tubuh dan pikiran.

Selain Wushu, Hui juga mendalami ajaran Islam. Dengan demikian kehidupan Hui adalah campuran antara buruh miskin, latihan keras dan spiritual mendalam. Kemampuan luar biasa mereka dalam Wushu bukan sesuatu yang datang sekejap mata.

Begitu pula yang dialami Ziping. Di tengah pelajaran mengaji Al Qur'an, Ziping juga harus mengangkat batu berat untuk membangun stamina, kekuatan dan galian parit yang kian lama kiat luas begitu kemampuannya melompat meningkat. Keseimbangan yang baik diasah dengan cara berbahaya. Zipping ditanam dalam tanah.

Saat itu pula Zipping membaca lantunan zikir. Kekuatan dan keseimbangannya pun bertambah berlipat ganda. Konsentrasi yang biasa dilakukan saat shalat sebagai tuntutan dalam Islam menjadi tulang punggung sesolid batu bagi gerakan mengalir Wushu.

Iklim di Changzou cukup sejuk ketika musim panas, namun dingin saat musim salju. Dalam bulan-bulan musim dingin salju jarang turun sehingga memungkina latihan tetap digelar. Zipping berlatih dengan seluruh elemen untuk membuat tangguh tubuhnya. Begitu ia menginjak usia 14 tahun, ia sudah bisa melompat lebih dari 3 meter dari posisi berdiri.

Sayang bocah dengan tubuh setegap pria dewasa dan kualitas petarung itu tak memiliki guru. Ayahnya yang keras kepala menolak memasukkan Zipping ke sekolah Wushu. Setengah putus asa mencari guru dan teman, ia jatuh ke dalam komunitas rahasia yang menyebut diri mereka "Jurus Kebenaran dan Keharmonian".

Akhirnya Wang Zipping memutuskan pergi dan mengembara ke selatan Jinan, di mana ia menjadi musafir yang tinggal di sebuah Masjid Besar. Dalam ruang utama masjid itulah, Zipping bertemu pria seperti dirinya, seorang petinju. Ia bernama Yang Hongxiu, grandmaster Wushu yang akhirnya menjadi gurunya.

Dan Zipping pun dengan serius mulai mempelajari gerakan burung dan mamalia, seperti elang menukik menyambar mangsa, gerakan kelinci melintas padang rumput, hingga lompatan jitu anjing menghindar dari bahaya. Ia menyerap semua karakter gerakan itu kemudian menciptakan gayanya sendiri. Stamina dan refleksnya yang kian berkembang, membuat Zipping tak hanya kuat tetapi juga cepat--sebuah kombinasi mematikan dalam Wushu.

Seorang dianggap Grandmaster ketika ia mampu menggunakan alat apa pun sebagai senjata. Pengembangan kemampuan ini adalah seni sekaligus kebutuhan dalam Wushu. Zipping, menjadi luar biasa fasih dengan semua senjata utama.

Dia sangat mahir terutama dalam melakukan Qinna, yakni teknik sergapan yang dapat mengunci sendi dan otot-otot lawan dalam persiapan melakukan serangan dahsyat; Shuaijiao. Nama yang terakhir itu adalah gaya bertarung tangan kosong yang menggabungkan prinsip Tai Chi, Hard Qigong dan Teknik Meringankan Tubuh.

Ia mendapat pengakuan sebagai seniman bela diri yang utuh. Pada saat bersamaan ia juga pakar dalam trauma tulang. Ia mengombinasikan pengetahuan mendalam dalam Qinna dengan ketrampilang mengatur tulang. Akhirnya ia menemukan sistem penyembuhan untuk cedera Wushu dan olahraga di utara Cina.

Legenda Klasik

Banyak kisah, ada yang asli dan juga sekedar mitos, yang telah disematkan pada sosoknya. Namun yang selalu diulang adalah kisah satu ini.

Selama melakukan praktek pengobatan di Jiaozhou, Jerman ditugaskan untuk membangun rel kereta api dari kawasan itu menuju Jinan. Proyek mercusuar itu adalah harga mahal yang harus dibayar setelah Ratu Ci'xi gagal dalam pemberontakan tinju. Rel dibuat dengan yang tujuan memperluas dan mengkokohkan kontrol Eropa atas daratan Cina.

Reputasi Zipping bukannya tak diketahui oleh Jerman. Lebih cerdas dan berani dari pada koleganya, para Jerman berupaya mempermainkannya. Seorang petinggi militer Jerman bersiasat dengan menempatkan penggilingan batu besar di depan stasiun rel kereta api dan menantang siapa pun untuk mengangkatnya.

Zipping yang tidak pernah bisa tahan dengan penghinaan terhadap orang Cina, secara alami langsung gusar. Seperti yang diharapkan Jerman, Zipping masuk perangkap.

"Bagaimana kalau saya bisa mengangkatnya," tanya Zipping.

"Maka gilingan itu menjadi milikmu," para Jerman menjawab dengan tampang mengolok-olok.

"Bila saya gagal?"

"Maka kamu harus membayar,"

Zipping denga mudah mengangkan gilingan batu itu, meninggalkan para Jerman tercengang-cengang. Seorang warga Amerika yang bekerja sebagai guru fisika di tempat itu, menyaksikan aksi Zipping. Ia pun menantang duel.

Saat berjabat tangan mengawali pertandingan, tiba-tiba si Amerika dengan kuat memegang tangan Zipping dan berupaya membantingnya ke tanah. Zipping secepat kilat menyapukan kaki ke bagian bawah tubuh lawannya dan membuatnya ambruk.

Karena reputasinya, Zipping ditunjuk sebagai kepala Divisi Shaolin di Institut Pusat Seni Bela Diri. Ia juga pernah menjabat wakil presiden Asosiasi Whusu Cina, organisasi Wushu tertinggi di CIna.

Ia memegang banyak gelar dan tanggung jawab, termasuk konsultan sejumlah rumah sakit besar di penjuru Cina. Karirnya sebagai pakar bela diri juga kian menajam setelah ia melakoni banyak duel dengan orang asing. Ia selalu ingin membuktikan bahwa Cina bukan ras inferior.

Meski dalam usia senja, Zipping tak pernah kehilangan kekuatan dan kecepatannya. Pada 1960 ketika ia menjadi pelatih dan direktur grup pelajar Wushu yang menyertai perdana menteri saat itu, Zhou Enlai, melawat ke Burma, ia diminta mendemonstrasikan kemampuannya. Di depan tuan rumah ia menampilkan jurus dengan senjata luar biasa berat, Pedang Naga Hitam. Dengan teknik tinggi, kemampuan dan semangat muda, tak satupun orang berpikir ia telah berkepala delapan.

Rumah Sakit Sultan Bayezid II, Termodern di Zamannya

Sebelum dijadikan ibukota pemerintahan Ottoman, Edirne sudah ramai sebagai pusat perdagangan dan juga budaya Muslim. Hal ini ditandai dengan banyaknya bangunan yang dibangun oleh penguasa Muslim di kota ini. Salah satunya adalah Rumah Sakit (RS)Bayezid II. Rumah sakit ini berada di dalam Kompleks (Kulliye) Bayezid II.


RS Bayezid II dibangun atas perintah Sultan Bayezid II. Proses pembangunan Kulliye Bayezid II berikut bangunan rumah sakitnya memakan waktu empat tahun, dari 1484 M hingga 1488 M. Hingga abad ke-19 M, para dokter dididik di rumah sakit yang sekaligus menjadi sekolah kedokteran itu.

Yulianto Sumalyo dalam bukunya yang bertajuk Arsitektur Masjid dan Monumen Sejarah Muslim mengungkapkan, setibanya di Edirne dalam perjalanan ke Balkan bersama pasukannya pada akhir musim semi 1484, Sultan Bayezid II memerintahkan membangun banyak proyek, yaitu masjid baru dan pusat kesehatan (medical centre) termasuk di dalamnya rumah sakit, sanatorium, rumah sakit jiwa dan sekolah kedokteran di tepian Sungai Tunca.

Seperti halnya di sejumlah kota lain yang berada dalam wilayah kekuasaan Ottoman, bangunan-bangunan tersebut didirikan dalam sebuah kulliye. Untuk perencanaan pembangunannya, Sultan Bayezid II menunjuk arsitek kerajaan pada waktu itu, Mimar Hayrettin, untuk mendesain keseluruhan bangunan dalam Kulliye Bayezid II ini.

Bangunan rumah sakit (darussifa) dan rumah sakit jiwa (timarhane) Bayezid II terletak di sisi barat daya bangunan masjid dalam Kompleks Bayezid II. Tata letak rumah sakit tersebut terbilang cukup unik, pada ujung selatan terdapat unit berdenah segi delapan, pada masing-masing sisinya terdapat ruang-ruang untuk perawatan.

Setiap ruang dalam unit ini beratap kubah, termasuk sebuah ruangan yang menyerupai hall. Namun berbeda dengan kubah pada ruang perawatan, kubah di atas hall jauh lebih besar dan dilengkapi dengan sebuah lantern yang terdapat pada bagian puncak kubah tepat di atas bak air besar yang terdapat di tengah-tengah hall. Lantern tersebut juga beratap kubah, namun dalam ukuran yang lebih kecil.

Bagian penampang kubah hall berbentuk segi dua belas. Di sekeliling dinding kubah berbentuk silindris ini terdapat jendela-jendela yang berfungsi sebagai tempat sirkulasi udara. Sinar matahari dan udara alami masuk melalui jendela-jendela tersebut hingga ke dalam ruangan yang berada tepat di bawah kubah.

Rumah sakit Sultan Bayezid II ini beroperasi selama empat ratus tahun sejak diresmikan tahun 1488 M hingga berkecamuknya Perang Rusia-Turki (1877-1878 M). Hingga abad ke-19 M, rumah sakit ini menjadi salah satu rumah sakit rujukan bagi pasien-pasien yang hendak menjalani perawatan bedah dan mereka yang mengidap penyakit mental.

Sejarah mencatat, RS Bayezid II terutama terkenal karena memiliki tenaga-tenaga ahli bedah yang terampil. Disamping juga terkenal karena metode pengobatan untuk penyakit mental yang diberikan kepada para pasien di timarhane (rumah sakit jiwa). Metode pengobatan penyakit mental yang dilakukan oleh para dokter di rumah sakit ini menggunakan terapi musik, suara air, dan penggunaan wewangian atau yang dikenal dengan aromatherapy.

Selain terkenal karena para ahli bedah serta terapi mental yang dimilikinya, RS Bayezid II juga terkenal berkat pusat pengobatan matanya. Karenanya pada masa lalu, rumah sakit ini menjadi satu-satunya rumah sakit rujukan bagi penderita penyakit mata.

Kini bangunan rumah sakit bersejarah tersebut menjadi bagian dari kompleks Universitas Trakya yang juga berada di kota Edirne. Dan, sejak tahun 1997, bangunan rumah sakit tersebut dialihfungsikan menjadi sebuah museum kesehatan bernama Bayezid II Kulliye Health Museum. Museum tersebut didedikasikan untuk mengenang peran dan kontribusi penguasa Ottoman dalam mengembangkan khazanah ilmu pengobatan dan kedokteran.

Hingga saat ini, Bayezid II Kulliye Health Museum menjadi satu-satunya museum kesehatan yang terdapat di Turki. Museum ini memberikan berbagai informasi penting seputar sejarah dan perkembangan ilmu kedokteran dan pengobatan, khususnya pada masa pemerintahan Ottoman, kepada para pengunjung.

Museum ini tercatat sebagai tempay bersejarah kedua di Edirne yang paling banyak dikunjungi oleh para wisatawan setelah Masjid Selimiye (Sultan Salim). Karenanya, pada tahun 2004 lalu, Bayezid II Kulliye Health Museum dianuegrahi Museum Award oleh Dewan Kebudayaan Eropa.

Jejak Pembuatan Tembikar dalam Sejarah Islam

Jejak peradaban Islam tertoreh juga pada tembikar. Benda berbahan tanah liat yang bermotif indah itu hadir melalui proses yang cukup panjang. Menyerap teknik pembuatan dari beraneka sumber, mengkajinya, dan mengembangkannya sendiri. Para ahli kimia turut menyumbang pemikiran bagaimana memadu bahan agar tembikar berkualitas.


Nyatanya, tembikar yang menjadi satu buah peradaban Islam menuai sanjungan. Philip K Hitti melontarkan kekagumannya. Melalui bukunya, History of the Arabs, ia menyatakan, di tangan seniman Muslim, seni tembikar mencapai tingkat keindahan yang sulit ditandingi.

Keindahan yang tertoreh pada tembikar mewujud melalui lukisan manusia, hewan, dan tumbuhan, selain bentuk geometris dan epigraf. Karya ini segera berkembang pesat hingga menjadi sebuah industri yang sangat maju di beberapa wilayah Islam. Sentra produksi tembikar ada di Antiokia, Aleppo, Damaskus, Tyre, dan Phoenix.

Sejumlah tembikar peninggalan umat Muslim pada zaman pertengahan masih tersisa. Sebagian masih disimpan di Museum Lauvre, British Museum, dan Arabic Museum di Kairo, Mesir. Tembikar memiliki kegunaan luas. Salah satunya untuk hiasan dan menjadi bagian dari dekorasi bangunan megah.

Salah satu yang terkenal adalah tembikar Qasyani. Karya seni asal Persia itu berhias gambar bunga dan diakui keistimewaannya oleh banyak kalangan. Perkembangan seni tembikar di dunia Islam bermula sejak abad ke-7 Masehi. Pengetahuan pembuatan barang itu diserap dari sejumlah sumber, seperti Persia dan Cina.

Teknik-teknik yang diadopsi dari luar kemudian dipadukan dengan teknik yang dikembangkan oleh umat Islam. Maka itu, hadirlah sebuah karya seni dengan reputasi menjulang sepanjang masa.Dalam tulisannya berjudul The Potters of Islam, John Luter mencatat kontribusi sains Islam dalam pengembangan tembikar. Menurut dia, pembuatan tembikar berkualitas oleh masyarakat Muslim terinspirasi keunggulan teknik yang dikembangkan di Cina. Bangsa Cina dikenal dengan tembikarnya yang kuat, tidak mudah pecah, berbalut dekorasi warna-warni, dan mengilap.

Buku karya Muhammad bin alHusayn al-Baihaki yang berangka tahun 1059 Masehi menjadi rujukan para sejarawan kontempoter. Al Baihaki berkata, seorang gubernur dari Khurasan, Iran, mengirimkan hadiah kepada Khalifah Harun alRasyid berupa tembikar yang berasal dari Cina.

Sang khalifah terpikat keindahan benda itu. Lalu, ia mendorong seniman Muslim untuk membuat karya yang tak kalah hebatnya. Inisiatif ini memicu banyak seniman terkemuka berdatangan ke Baghdad, ibu kota pemerintahan, untuk memenuhi tantangan Khalifah Harun al-Rasyid. Karya awal mereka masih berupa eksperimen. Seiring waktu, kajian teknik untuk melahirkan karya berkualitas gencar dilakukan. Kemudian, hadirlah motif, rancangan, ataupun dekorasi baru. Begitu pula teknik dan metode pembuatan tembikar berkembang begitu pesat dan diperbarui dari waktu ke waktu.

Salah satu inovasi penting adalah kemampuan mewujudkan lukisan yang berkilau. Beberapa sumber sejarah menyebut teknik itu pertama kali diciptakan bangsa Mesir dan Cina. Umat Islam mengadopsi metode itu bahkan memperbaikinya untuk memperoleh kualitas yang lebih baik.

Para seniman pada masa Abbasiyah memunculkan kreasi warna keemasan dan juga menghadirkan motif mengilap pada tembikar yang biasanya hanya dihias warna biru, hijau, atau abu-abu. Teknik itu, sambung John Luter, memakai bahan sulfur dan zat asam serta dicampurkan dengan material tanah lempung.

Bahan campuran itu dipakai sebagai cat pada motif lukisan. Goresan motif gambar dilakukan segera setelah tembikar itu melalui proses pencetakan dan pembakaran. Setelah digambar dan diberi motif atau dekorasi, sekali lagi tembikar itu dibakar untuk mencegah pengapuran. "Ketika residu bahan perlahan menghilang selama proses pem bakaran, efek mengilap dari cat tadi muncul sehingga menjadikan tembikar itu tampak sangat indah," ujar John Luter. Menurut dia, bahan pembuat tembikar yang juga paling umum digunakan adalah semacam semen putih.

Di sini, ahli kimia Muslim memainkan peran penting. Mereka menemukan bahan yang sanggup menghasilkan tembikar berkualitas tinggi. Kian majunya teknik pembuatan tembikar memantik lahirnya industri tembikar. Masa-masa pentingnya berlangsung dalam kurun abad ke-9 hingga abad ke-13 Masehi.

Ragam tembikar dan variasi motif membanjiri kota-kota besar Islam. Gedung-gedung dan istana berhias barang tembikar nan indah. Di sisi lain, seni tembikar Islam juga mendapatkan sentuhan aspek kaligrafi. Hal ini menambah keunggulan dan keistimewaan yang tidak ada pada peradaban lainnya.

Kaligrafi bukan sekadar untuk menghias permukaan tembikar. Pada beberapa daerah, kalimat kaligrafi yang tersemat di permukaan tembikar mencerminkan tradisi keagamaan ataupun kondisi umat Muslim setempat. Tak dimungkiri bahwa masyarakat pada masa itu telah memandang seni tembikar bukan sekadar hiasan, tapi juga ekspresi keyakinan.

Hingga masa kekuasaan Dinasti Seljuk, penelitian ilmiah dan kreasi baru seni tembikar tak henti bermunculan. Seniman era ini mengenalkan tembikar jenis baru, yaitu faience. Tembikar itu terbuat dari bahan semen putih dicampur dengan cairan alkalin yang memunculkan efek kaca. Risalah dari Abulqassim pada tahun 1301 Masehi menjelaskan teknik dan proses pembuatan faience. Dalam salah satu bagian risalah, ia menuturkan, untuk menambah kekuatan tembikar, para pembuatnya mengurangi kadar air pada bahan-bahan dasar tembikar.

Tradisi Diplomasi dalam Sejarah Islam

Jalan diplomasi sudah lama dibangun. Banyak cendekiawan yang dilibatkan dalam menjalin hubungan dengan bangsa dan peradaban lain. Pemerintahan Islam di abad pertengahan banyak mengirim diplomatnya, selain untuk menjaga pertemanan, juga untuk mewujudkan perdamaian.

Jere L Bacharach dalam bukunya Medieval Islamic Civilization, an Encyclopedia mengatakan, praktik diplomasi sudah menjadi bagian dari politik Islam sejak berabadabad silam. Sejarawan ini mencatat, terdapat dua karakteristik diplomasi yang dipraktikkan umat Islam.

Pertama, pada masa awal Islam, tujuan religius menjadi fokus. Diplomasi adalah untuk mengajak kaum di luar Islam untuk memeluk Islam, beriman kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Sedangkan, karakteristik kedua, lebih bersifat politis. Pada masa pemerintahan Islam banyak ekspedisi dan perluasan wilayah.

Mereka harus berhubungan dengan banyak negara dan peradaban lain. Diplomasi dibutuhkan untuk memperkuat aliansi, pertukaran pengetahuan, perdagangan, dan perdamaian. Ibnu Batutta menjadi salah satu tokoh utusan yang mewarnai perkembangan diplomasi di dunia Islam.

Ia dikenal pula sebagai penjelajah terbesar bangsa Arab. Hampir separuh dunia pernah dikunjunginya. Ibnu Batutta melakukan ekspedisi pengembaraan hingga puluhan tahun lamanya. Nama lengkap tokoh asal Maroko itu adalah Syamsuddin Muhammad bin Abdullah alTanji. Namun, lebih dikenal dengan panggilan Ibnu Batutta.

Dirinya mengabdi pada pemerintahan Sultan Abu `Inan. Beberapa ekspedisi perjalanannya dicatat pada karya yang ditulis sarjana bernama Ibnu Jauzi. Selain menjadi pengembara, Ibnu Batutta juga ahli geografi yang cermat. Keistimewaan yang dimilikinya membuatnya diberi kepercayaan oleh Sultan Abu `Inan.

Sultan menunjuknya sebagai utusan Islam untuk Dinasti Yuan, penguasa negeri Cina. Ibnu Battuta menerima amanat tersebut dan berangkat ke wilayah timur jauh. Berkat pengetahuan yang luas dan kecakapannya dalam bernegosiasi, terjalin hubungan erat antara pemerintahan Islam dan Cina.

Selama berabad-abad hampir tak ada konflik yang muncul dalam hubungan kedua pemerintahan itu. Bahkan, terjadi transfer pengetahuan yang pesat. Kerja sama perdagangan kian meningkat. Selain Ibnu Batutta, muncul pula nama lainnya, yaitu Nadhir al-Harami.

Ia pemimpin rombongan utusan Khalifah al-Muqtadir ke kawasan Volga Bulgars. Sebuah negara yang terletak di Sungai Volga dan Kama, Rusia. Seluruh kisah perjalanan maupun langkah diplomasi alHarami terekam dalam buku berjudul Ar-Risalah karya Ibnu Fadhlan. Ia merupakan sekretaris rombongan.

Al-Harami sukses menjalankan titah khalifah. Sebelumnya, penguasa dan masyarakat Volga Bulgas bersedia mempelajari agama Islam. Utusan dari Volga tiba di Baghdad pada 920 Masehi. Mereka meminta kepada khalifah agar dikirimkan ahli-ahli agama untuk mengajar di sana.

Ada pula nama Abd el Ouahed bin Messaoud. Ia bekerja di pemerintahan saat Ahmad al-Mansur menjadi penguasa Maroko pada sekitar abad ke-16. Jabatannya adalah sekretaris kerajaan. Saat itu umat Islam di Maroko sedang menghadapi pertikaian dengan bangsa Spanyol.

Abd el-Ouahed lantas diutus menemui Ratu Elizabeth I dari Inggris. Tujuannya agar terjalin aliansi antara Maroko dan Inggris untuk bersama menghadapi kekuatan armada Spanyol. Jalan ini ditempuh karena sebelumnya kekuatan Inggris mampu mengalahkan armada Spanyol, yaitu pada 1588 Masehi.

Mereka lantas menguasai wilayah Cadiz. Pasukan Maroko menang atas Spanyol pada pertempuran Alcazar tahun 1578. Dua momen itu mengilhami Ahmad al-Mansur. Dia ingin dua kekuatan, Inggris dan Maroko, bersatu. Lantas dikirimlah diplomat terbaiknya, Abd el Ouahed yang tiba di Inggris pada 1600 Masehi.

Selama menjalankan misi diplomasinya, Abd el Ouahed didampingi Haji Messa dan Haji Bahanet. Pun seorang penerjemah bernama Abd el Dodar. Tujuan lain utusan ini adalah membuka jalur perdagangan antara kedua negara. Mereka bertemu Ratu pada 19 Agustus dan 10 September.

Rombongan itu menghabiskan waktu selama enam bulan di Inggris. Saat itu, Ratu belum memberikan jawaban atas tawaran kerja sama dalam menghadang Spanyol. Namun, ia menerima keinginan Maroko untuk menjalin perdagangan. Abd el Ouahed berusaha menjalankan tugas dengan sebaikbaiknya.

Ia membahas dengan perinci prinsip-prinsip kerja sama yang akan dijalankan kedua negara. Seperti besaran kompensasi dari masing-masing negara untuk memperkuat perniagaan. Demikian pula bantuan pembuatan kapal perang. Menurut Jere Bacharach, Abd el Oauahed menunjukkan dedikasi luar biasa.

Bacharach mengatakan, Abd el Oauahed memiliki karakter seorang diplomat sejati yaitu loyal, berpengetahuan luas, mahir berbicara, cermat, pantang menyerah, dan tegas. Menurut dia, pengiriman misi diplomatik semacam itu juga lazim dilakukan penguasa Islam di Spanyol maupun Palestina.

Praktik itu kian intensif karena kerap timbul gejolak di kawasan tersebut. Para diplomat dan utusan dengan keahlian hebat sangat dibutuhkan untuk meneruskan peradaban Islam yang gemilang.

Asal Mula Rumah Sakit dalam Sejarah Islam

Kemajuan bidang medis memicu perkembangan lebih jauh. Tak melulu karya dan pemikiran yang berserak. Namun, pada akhirnya muncul sebuah institusi berupa rumah sakit. Keberadaan rumah sakit selain berfungsi sebagai pusat pelayanan kesehatan juga menjadi sentra pengembangan ilmu medis.

Rumah sakit yang representatif paling awal dibangun di Baghdad, Irak pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah. Tepatnya, ketika Harun al-Rasyid (786809) menjadi khalifah. Rumah sakit dikenal dengan sebutan bimaristan atau maristan. Bangunan rumah sakit di Baghdad besar dan megah.

Rancang bangunnya menjadi acuan bagi rumah sakit lainnya yang baru didirikan di wilayah Islam. Gambaran mengenai rumah sakit di Baghdad disampaikan oleh sejarawan Muslim terkemuka al-Jubair. Ia mengunjungi Baghdad pada 1184 Masehi. Menurutnya, perlengkapan rumah sakit sangat memadai.

Bahkan ia mengungkapkan, kemegahannya tak kalah dengan istana khalifah. Kebutuhan air bersih di rumah sakit disalurkan langsung dari Sungai Tigris. Pada masa selanjutnya, umat Islam membangun sejumlah rumah sakit besar dan terintegrasi. Maksudnya, rumah sakit itu mampu memberi pelayanan pengobatan beragam jenis penyakit.

Selain itu, terdapat fasilitas rawat inap, ruang penyimpanan dan pelayanan obatobatan, tempat pendidikan bagi dokter dan tenaga medis, perpustakaan, bahkan menjadi pusat pengembangan ilmu serta praktik kedokteran. Sebagian besar rumah sakit Islam berkonsep modern sudah memiliki standar semacam ini.

Oleh karena itu, rancang bangun dan tata letak ruangan rumah sakit menjadi penting untuk dapat mengakomodasi seluruh fungsi tadi. Beberapa ruangan khusus melengkapi sarana yang ada. Hal itu diungkapkan dalam buku History of the Arabs. Si penulis buku, Philip K Hitti, menyebut rumah sakit Islam mempunyai ruangan khusus perempuan.

Berdiri pula gudang obat yang menyatu dengan bangunan rumah sakit. "Beberapa di antaranya dilengkapi perpustakaan kedokteran. Rumah sakit juga menawarkan kursus pengobatan," urai Hitti. Gambaran yang hampir sama tercantum dalam artikel berjudul "Islamic Culture and the Medical Arts" pada laman National Library of Medicine.

Artikel tersebut menggambarkan, rumah sakit yang didirikan umat Islam di Suriah maupun Mesir sepanjang abad ke-12 dan ke-13 juga memiliki setidaknya empat bangsal besar. Ruangan lain berukuran tidak terlampau luas, seperti ruang untuk dapur, gudang, apotek, tempat istirahat staf, dan perpustakaan.

Tiap bangsal biasanya dilengkapi pancuran air bersih untuk minum atau mandi. Rumah sakit menerapkan pemisahan bangsal pasien perempuan dan laki-laki. Juga bangsal untuk pasien berpenyakit menular dirawat di ruangan terpisah dari pasien lain. Selain itu, ada pula ruang khusus bagi pasien penyakit mata dan disentri.

Di sisi lain, ada area khusus yang digunakan sebagai ruangan operasi dan ruang perawatan pasien gangguan jiwa. Kamar mandi dengan pasokan air memadai tersedia pada beberapa bagian rumah sakit. Para pengelola rumah sakit sangat memerhatikan unsur kebersihan sehingga tidak membiarkan kamar mandi dalam keadaan kotor.

Sejumlah rumah sakit milik pemerintah memiliki laboratorium guna meracik beragam obat. Tak jarang, pusat farmasi ini sanggup memproduksi obat-obatan dalam skala besar. Sebagian besar obat diberikan untuk pasien rumah sakit dan sebagian lagi disalurkan kepada masyarakat yang membutuhkan.

Prestasi mengagumkan ketika rumah sakit menjadi tempat pendidikan, tempat menempa mahasiswa kedokteran dan perawat, serta pengembangan kajian medis. Ada pula ruangan yang digunakan sebagai tempat belajar-mengajar. Tradisi itu mulai berlangsung pada masa Khalifah al-Ma'mun serta al-Mu'tashim, dan masih ada di era Seljuk dan Usmani.

Di Rumah Sakit Bursa yang berdiri di dekat istana Sultan Yildirim, dibuka sekolah kedokteran. Di rumah sakit itu, di samping ada ruang belajar, ada pula ruangan pengajar yang juga para dokter senior. Perpustakaan besar yang menyimpan bermacam naskah ilmiah medis turut melengkapi sarana pendidikan.

Rumah sakit lain yang membuka fasilitas pelatihan kedokteran yakni RS al-Nuri di Damaskus, Suriah dan RS Marakesh di Maroko. Ruangan yang sangat penting dan selalu ada di rumah sakit Islam adalah masjid atau tempat ibadah. Fasilitas tersebut memudahkan pasien dan pengunjung dalam menunaikan ibadah.

Tak heran, ruangannya cukup besar dan bisa menampung banyak jamaah. Selain itu, dalam artikel berjudul "The Beginning of the Islamic Hospitals" pada laman muslimheritage menuturkan, di sana dibangun pula gereja bagi pengunjung, pasien, maupun tenaga kesehatan yang beragama Nasrani.

Manajemen rumah sakit menyediakan ruang tunggu bagi pengunjung. Sarana penunjang lainnya adalah aula, klinik pasien rawat jalan dan penyakit ringan, juga dapur. Dan yang membanggakan, seluruh pelayanan dan sarana itu dapat dinikmati oleh pasien tanpa dipungut biaya sepeser pun. Ilmuwan Hossam Arafa dalam tulisan berjudul "Hospital in Islamic History" mengatakan, karakteristik rumah sakit Islam adalah melayani pasien tanpa memandang asal usul, etnis, suku, maupun agama. Semua berhak menerima perawatan medis tanpa perlu membayar biaya layanan rumah sakit.

Dana yang dibutuhkan untuk memberikan layanan pengobatan, perawatan, hingga biaya operasional rumah sakit sepenuhnya berasal dari dana wakaf. Umat Muslim dan penguasa mewakafkan sebagian harta mereka untuk kepentingan sosial dan agama. Pada masa itu, dana wakaf yang terkumpul cukup besar.

Dana wakaf tersebut lebih dari cukup untuk membiayai pembangunan serta operasional rumah sakit. Sebagian anggaran negara juga didistribusikan ke rumah sakit, terutama untuk pemeliharaan peralatan dan penyediaan obat-obatan. Karena itulah, rumah sakit bisa beroperasi secara maksimal dan mampu memberikan pelayanan terbaik bagi pasien. Konsep dan rancang bangun rumah sakit modern milik umat Muslim ini dijadikan model bagi rumah sakit-rumah sakit yang didirikan di Eropa beberapa abad kemudian.

01 June 2011

Ini Dia Tokoh Islam yang Berperan Besar dalam Matematika

Rekayasa mekanika melambungkan nama Banu Musa di khazanah sains Islam. Melalui kemampuannya, Banu Musa menciptakan berbagai peralatan mesin yang terbilang pada masanya. Namun, sebenarnya bukan itu saja prestasinya. Banu Musa menoreh kan prestasi gemilang di ranah matematika.

Kepakaran Banu Musa dalam matematika bahkan layak disejajarkan dengan sejumlah tokoh besar lainnya, seperti al-Khawarizmi (780-846 Masehi), al-Kindi (801-873), atau Umar Khayam (1048-1131). Matematika dijadikan pijakan bagi Banu Musa untuk menopang kemampuanya di bidang teknik.

Perlu diketahui, Banu Musa, atau keluarga Mu sa, terdiri dari tiga bersaudara: Jafar Mu hammad bin Musa bin Shakir, Ahmad bin Musa bin Shakir, dan al-Hasan bin Musa bin Shakir. Ketiganya merupakan putra dari seorang cendekiawan terkemuka abad ke-8, yakni Musa bin Shakir.

Banu Musa ikut andil dalam mendorong kemajuan ilmu pengetahuan di dunia Islam. Bahkan, Banu Musa termasuk saintis Muslim pertama yang mengembangkan bidang ilmu hitung di dunia Islam melalui transfer pengetahuan dari peradaban Yunani. Lalu, Banu Musa membangun konsep dan teori baru, khususnya pada lingkup geometri. Dari tiga saudara tadi, adalah si sulung Jafar Muhammad yang berada di baris depan dalam kajian geometri. Selanjutnya diikuti oleh al-Hasan.

Sementara itu, Ahmad bin Musa membawa konsep matematika kepada aspek mekanika. Mereka terus bekerja bersama-sama hingga mencapai hasil yang sempurna. Banu Musa sangat tertarik dengan manuskrip ilmiah dari Yunani. Salah satunya berjudul Conics. Keseluruhan karya Appollonius ini terdiri dari delapan jilid. Diungkapkan Jere L Bacharach dalam Medieval Islamic Civilization, topik utama dari naskah tersebut membahas tentang geometri.

Banu Musa meminta bantuan dua sarjana terkemuka, yaitu Hilal bin Abi Halal al-Himsi dan Thabit bin Qurra, untuk menerjemahkan karya itu ke dalam bahasa Arab. Dalam buku MacTutor History of Mathematics, sejarawan sains John O’Connor dan Edmund F Robertson menyebut Banu Musa sebagai salah satu peletak dasar bidang geometri.

Banu Musa berhasil menghubungkan konsep geometri dari matematika Yunani ke dalam khazanah keilmuan Islam sepanjang abad pertengah an. Di kemudian hari, Banu Musa menyusun risalah penting tentang geometri, yakni Kitab Marifat Masakhat al-Ashkal. Kitab tersebut sangat terkenal di Barat. Menyusul penerjemahannya ke dalam bahasa Latin pada abad ke-12 oleh Gerard of Cremona dengan judul Libertrium Fratum de Geometria.

Menurut O’Connor dan Robertson, terdapat beberapa kesamaan metodologi dan konsep geometri dari Banu Musa dengan yang diusung Apollonius. Namun, keduanya menegaskan pula bahwa banyak pula perbedaan yang muncul. Sebab, Banu Musa melakukan perbaikan dan membangun rumusrumus baru yang terbukti sangat efektif. Lebih jauh, Banu Musa menyempurnakan metode persamaan yang dirintis Eudoxus dan Archimedes.

Pakar matematika Muslim itu menambahkan rumus poligon dengan dua bidang sama luas. Sebelum diteruskan oleh Banu Musa, metode ini tidak banyak mendapat perhatian dan nyaris hilang dimakan zaman. Di sisi lain, Banu Musa membangun pola lebih maju terkait penghitung an luas serta volume yang mampu dijabarkan lewat angka-angka.

O’Connor dan Robertson mengungkapkan, penggunaan sistem angka merupakan keunggulan dari metode geo metri awal warisan peradaban Islam. Hal lain diungkapkan oleh Shirali Kadyrov melalui tulisannya Muslim Contributions to Mathematics.

Menurut dia, Banu Musa juga menje laskan mengenai angka konstan phi. Ini adalah besaran dari hasil pembagian diameter lingkaran. Banu Musa mengatakan, konsep ini pernah dipakai Archimedes. Namun, pada saat itu pemikiran Archimedes dinilai masih kurang sempurna. Sezgin, seorang ahli matematika Barat, menganggap bukti temuan Banu Musa merupakan fondasi kajian geometri pada masa berikutnya.

Hal serupa disampaikan Roshidi Rashed dalam History of a Great Number. Di samping itu, mereka menciptakan pemecahan geometri dasar untuk menghitung luas volume. Laman isesco.org menyatakan, sumbangan Banu Musa yang lain yakni ketika menemukan metode dan praktik geometri yang ringkas serta mudah diaplikasikan.

Dalam membentuk lingkaran, misalnya, bisa dikerjakan dengan memakai besi siku atau jangka. Masing-masing ujung besi siku itu diletakkan di titik berbeda. Kemudian diambil sudut tertentu. Ambil salah satu ujung sebagai tumpuan dan ujung lainnya diputar melingkar. Maka dihasilkan sebuah lingkaran sempurna.

Berdasarkan pengamatan Victor J Katz dan Annete Imhausen pada The Mathematics of Egypt, Mesopotamia, China, India and Islam, kajian geometri mencapai tahap tertinggi melalui pemikiran dan karya Banu Musa. Inti gagasan mencakup sejumlah operasi penghitungan kubus, lingkaran, volume, kerucut, dan sudut.

Selain Kitab Marifat, Muhammad bin Musa menulis beberapa karya geometri yang penting. Salah satunya menguraikan tentang ukuran ruang, pembagian sudut, serta perhitungan proporsional. Hal ini terutama digunakan untuk menghitung pembagian tunggal antara dua nilai tertentu. Sedangkan, al-Hasan mengerjakan penelitian untuk menjabarkan sifat-sifat geometris dari elips.

Sepotong Daging, Sepotong Surga

Anak itu tidak mati digorok ayahnya. Ia justru jadi seorang mulia sebagaimana sang ayah. Begitu mulia hingga nama keduanya terus disebut-sebut. Bahkan, hingga 4.000 tahun kemudian setelah lewat masa hidupnya. Mereka adalah Ismail dan Ibrahim, rasul kekasih Allah SWT. Mereka menjadi sarana Tuhan untuk mengajar manusia: sepotong daging bisa menjadi jalan ke surga.

Gambaran surga dari sepotong daging terlihat di pelataran Masjid Istiqlal, kemarin. Juga, di pelataran masjid-masjid lain di seluruh dunia. Lihatlah wajah orang-orang yang antre di sana. Harga daging jelas tidak seberapa. Di pasar, hanya sekitar Rp 55 ribu sekilo. Daging bercampur tulang pasti lebih murah.

Daging tak seberapa itu telah membuat berjuta wajah manusia berseri. Daging itu begitu berharga buat mereka. Apa imbalan terpantas bagi yang membuat berseri wajah kaum miskin, selain surga? Berkurban seperti bukan hal istimewa. Sekadar menyisihkan uang untuk membeli sapi atau kambing untuk dipotong. Dagingnya dibagikan kepada fakir miskin.
Saban tahun, setiap Idul Adha, umat Islam melakukannya. Semua tahu itu. Tak ada yang baru. Tapi, perhatikan betul fenomena pembagian daging kurban. Cermati wajah-wajah mereka--penerima daging kurban. Ada pelajaran luar biasa yang dapat dipetik dari fenomena kurban.

Setidaknya, itu yang saya rasakan pada Idul Adha kali ini. Saya tahu, di sekitar kita banyak warga miskin. Sehari-hari, saya juga selalu berinteraksi dengan orang miskin, baik itu di lingkungan rumah maupun tempat kerja. Data statistik juga menunjukkan jumlah absolut warga miskin Indonesia masih besar. Berlipat kali total penduduk Brunei tentu. Tapi, saya tak menduga, warga miskin benar-benar sangat banyak.

Besar kerumunan warga yang menerima daging kurban di Istiqlal, misalnya, sangat mencengangkan. "Di Jakarta, yang pusat kekuasaan saja, masih begitu banyak orang miskin. Apalagi di daerah," kata seorang teman. Negeri ini negeri makmur. Kekayaan alamnya berlimpah ruah. Semestinya seluruh rakyatnya relatif sejahtera. Apalagi, kita sudah 65 tahun merdeka.

Jika ternyata masih terdapat begitu banyak warga miskin--yang sepotong daging pun buat mereka sedemikian berharga--tentu ada yang keliru dalam mengelola negeri ini. Kekeliruan itu bukan salah satu-dua orang. Kekeliruan itu tentu salah banyak orang. Maka, seluruh bangsa ini perlu turun tangan untuk lebih peduli memperbaiki keadaan. Setidaknya, itulah salah satu pelajaran dari ibadah kurban.

Berkurban bukan sekadar menyembelih sapi atau kambing. Berkurban juga mencakup kerelaan sepenuh hati memberi perhatian dan membantu sesama. Ibadah kurban setahun sekali dengan menyembelih hewan merupakan sarana pengingat agar kita--setiap saat dan setiap keadaan--selalu siap berkurban untuk kebaikan bersama. Hanya orang-orang yang siap berkurban bisa menjadi benar-benar mulia. Itu yang ditunjukkan Nabi Ibrahim dan Ismail. Hanya bangsa-bangsa siap berkurban yang dapat menjadi bangsa mulia sejati.

Kerelaan berkurban pada era materialistis sekarang terasa menipis. Dalam melangkah, kita cenderung makin mengabaikan pertimbangan `apa yang terbaik bagi semua'. Kita cenderung mengedepankan `apa untung saya' walaupun kadang dengan merugikan orang lain, termasuk merugikan masyarakat luas. Sikap seperti itu sangat meluas. Bahkan, di kalangan para pejabat dan tokoh sekalipun. Wajar bila kemiskinan bukan teratasi, melainkan malah menahun.

Berkurban mengingatkan kita semua atas hal itu. Berkurban mengingatkan begitu banyak orang tak mampu. Semestinyalah kita terdorong berbuat membantu mereka sesuai kapasitas masing-masing. Apalagi bila kita berkuasa serta mampu mengarahkan kebijakan publik. Dengan semangat berkurban, semestinya seluruh bangsa bahumembahu mengatasi kemiskinan. Sebuah langkah, yang bila kita jalankan secara sungguh-sungguh, akan berhadiahkan sepotong surga. Tidakkah kita mengharap surga sebagai ujung perjalanan di dunia ini?

Kisah Tenggelamnya Firaun di Laut Merah

Laut Merah boleh dikatakan laut yang istimewa. Mengapa? Bukan hanya karena warnanya yang pada waktu-waktu tertentu terlihat merah jika dipandang dari atas, tapi juga karena lautan yang memisahkan benua Asia dan Afrika ini menyimpan kisah tentang kebesaran Allah SWT. Saat Nabi Musa AS dan Bani Israil diburu penguasa Mesir, laut tersebut membelah dan menenggelamkan Firaun berikut pasukannya.

Jamaah haji asal Indonesia yang datang ke Tanah Suci bisa menyaksikan Laut Merah melalui jendela pesawat sesaat sebelum pesawat yang ditumpanginya mendarat di Bandara King Abdul Aziz, Jeddah. Hal ini karena Kota Jeddah memang berada di tepi Laut Merah sisi timur.

Secara geografis, Laut Merah merupakan perairan teluk yang berhubungan langsung dengan Laut Arab di sisi selatan. Negara-negara yang memiliki wilayah perairan di sepanjang Laut Merah, antara lain Arab Saudi, Mesir, Sudan, Eritrea, dan Etiopia, atau yang biasa disebut negara-negara Maghribi. Sedangkan, di sisi utara terdapat kanal bernama Suez yang menghubungkan Laut Merah dan Laut Mediterania.

Lebar lautan yang menjadi pembatas wilayah benua Asia dan Afrika ini di lokasi terjauh mencapai jarak 300 km. Sedangkan, panjang satu sisi pesisir Laut Merah mencapai sekitar 1.900 km. Sementara kedalaman lautnya di tempat yang terdalam mencapai 2.500 meter.

Kisah Nabi Musa membelah Laut Merah tersebut diperkirakan terjadi sekitar 3.500 tahun silam. Dalam Alquran surat Al-Baqarah ayat 50 disebutkan, "Dan (ingatlah), ketika Kami belah laut untukmu, lalu Kami selamatkan kamu dan Kami tenggelamkan (Fir'aun) dan pengikut-pengikutnya sedang kamu sendiri menyaksikan." Sejarah ini diperkuat dengan ditemukannya bangkai kereta kuda dan tulang-belulang manusia di Laut Merah yang diduga merupakan pasukan dan pengawal Firaun.

Berdasarkan penelitian ilmiah, lokasi penyeberangan Nabi Musa AS diperkirakan berada di wilayah Nuwaiba, Semenanjung Sinai, Mesir. Kedalaman maksimum perairan di kawasan ini sekitar 800 meter ke arah Mesir dan 900 meter ke arah Arab. Sedangkan, jarak Nuwaiba di sisi timur Laut Merah hingga Semenanjung Arab di sisi barat sekitar 1800 meter. Lebar lintasan saat Nabi Musa menyeberangi Laut Merah diperkirakan mencapai 900 meter.

Berdasarkan data tersebut, bisa dibayangkan berapa besar energi yang dibutuhkan untuk menyibakkan air laut hingga memiliki lebar lintasan 900 meter dengan jarak 1800 meter. Apalagi waktu tersibaknya Laut Merah cukup lama karena Bani Israil yang menyertai Nabi Musa AS menyeberangi Laut Merah mencapai 600.000 orang.

Menurut perhitungan fisika, jika penyibakan Laut Merah tersebut berlangsung empat jam saja, maka dibutuhkan tekanan (gaya per satuan luas) sebesar 2,8 juta newton per meter persegi. Jika dikaitkan dengan kecepatan angin, akan melebihi kecepatan angin pada saat terjadi badai angin kencang. Mengacu pada perhitungan yang dilakukan seorang pakar dari Rusia bernama Volzinger, diperlukan embusan angin dengan kecepatan konstan 30 meter/detik atau 108 km/jam sepanjang malam untuk menyibakkan air sedalam 800 meter.

Terkait dengan fenomena ini, peneliti Amerika Serikat mengakui bahwa fenomena Laut Merah terbelah ini memang sangat mungkin terjadi. Dari hasil simulasi komputer yang mempelajari bagaimana angin mempengaruhi air, diperlihatkan bahwa angin mampu mendorong air sehingga menyibakan daratan dasar laut.

Pusat Riset Atmosfir Nasional (NCAR) dan Universitas Colorado AS menyebutkan, terbelahnya air (laut) dapat dipahami melalui teori mekanika fluida. Angin menggerakkan air dengan cara yang sesuai dengan hukum-hukum fisika, yakni menciptakan lorong bagi perjalanan yang aman dengan air pada kedua sisinya. Dan, itu memungkinan air untuk tiba-tiba menutup kembali.

Untuk itu, para peneliti tersebut juga mempelajari bagaimana badai topan di Samudera Pasifik dapat menggerakkan dan mempengaruhi air samudra yang dalam. Mereka menunjuk satu situs di selatan Laut Mediterania sebagai tempat penyeberangan dengan model tanah yang memungkinkan terjadinya air laut membelah.

Model ini memerlukan formasi berbentuk huruf U dari Sungai Nil dan laguna dangkal di sepanjang garis pantai. Hal ini menunjukkan bahwa angin dengan kecepatan 63 mil per jam yang berembus selama 12 jam bisa mendorong air hingga kedalaman 6 kaki (2 meter). Ini menjadi jembatan tanah sepanjang 3-4 kilometer (2 sampai 2,5 mil) dan luas 5 kilometer (3 mil) hingga tetap terbuka selama 4 jam.

Berdasarkan hasil riset tersebut, maka bisa disimpulkan bahwa laut memang bisa saja membelah memperlihatkan dasar lautnya. Namun soal kebenaran bahwa laut membelah dengan bantuan angin, jawabnya adalah Wallahu Alam.

Kini, di pantai Laut Merah wilayah Jeddah, Arab Saudi, setiap Kamis dan Jumat malam sering dipenuhi wisatawan untuk berpiknik sambil pesta barbeque atau sekadar duduk-duduk bercengkerama. Tidak mengherankan bila di sepanjang pantai juga berderet restoran yang menyajikan aneka masakan dan taman bermain untuk anak-anak.

Kota Madinah Al-Zahra Ditemukan di Spanyol

Kota Madinah Az-Zahra Spanyol


Ditemukan kota Madinah Al-Zahra yang dikaitkan dengan pusat pemerintah khalifah Bani Umayah yang bernama Abdurrahman Ketiga. Kota itu ditemukan di dekat Cordoba, Spanyol.

Kini, sisa-sisa kota itu tengah diperbaiki dan direnovasi. Barang-barang yang ditemukan di kota ini akan dipindahkan museum dekat kota ini supaya dapat disaksikan oleh masyarakat. Museum itu menyimpan barang-barang yang ditemukan di kota Madinah Al-Zahra seperti batu, gading, marmer dan barang-barang pecah.

Dengan jatuhnya pemerintah 90 tahun Bani Umayah pada tahun 132 hijriyah, Abdurrahman bin Muawiyah yang juga dikenal dengan Abdurrahman Al-Dakhel, melarikan diri dari cengkeraman Bani Abbas ke Maroko, utara Afrika. Setelah itu, ia memanfaatkan konflik di Spanyol dan perselisihan antarkabilah Arab.

Dengan bantauan para pendukung Bani Umayah dan kabilah-kabilah Yaman, Abdurrahman Al-Dakhel berhasil memasuki kota Andalusia (Spanyol saat ini) pada tahun 755 hijriah. Dengan menguasai kota Qurtuba, Abdurrahman mampu membentuk pemerintah tangguh dengan nama pemerintah Bani Umayah Andalus.

Setelah itu, Abdurrahman Ketiga menyebut dirinya sebagai khalifah. Ia kemudian memerintahkan pembangunan kota Madinah Al-Zahra dalam koridor program ideologi dan politiknya. Dengan langkah ini, Abdurrahman memberikan pesan penting kepada rival-rival pemerintahnya seperti Fathimiyun dan Bani Abbas.

Pembangunan kota itu pada dasarnya ingin menunjukkan kekuatan Bani Umayah di bawah kendali Abdurrahman Ketiga, di hadapan kekuatan-kekuatan di masa itu. Hingga kini, kota peninggalan Bani Umayah di Spanyol itu baru berhasil digali 11 persen. Banyak barang dan peninggalan kota itu yang disimpan di museum dekat kota Cordoba.

Ide-ide Pengentasan Kemiskinan dalam Peradaban Islam

Kemiskinan menjadi permasalahan sosial. Pada masa pemerintahan Islam, persoalan kemiskinan juga mengemuka. Tak hanya pemerintahan yang bertanggung jawab menyele saikan masalah ini, baik melalui berbagai program maupun lembaga sosial, kaum cendekia juga meresponsnya dengan ide-ide pemecahan masalah kemiskinan.

Pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz, misalnya, kedudukan lembaga sosial diperkuat. Dengan itu, kemiskinan berhasil ditekan sekaligus menghadirkan kesejahteraan di tengah masyarakat Muslim. Asas keadilan di bidang ekonomi benar-benar ditegakkan. Masalah ini tidak luput dari perhatian para sarjana ekonomi Muslim abad pertengahan.

Kontribusi pemikiran mereka sangat berpengaruh. Diskusi dan kajian ilmiah mengenai kemiskinan dan bagaimana mengatasinya berlangsung intens. Para sarjana, ilmuwan, cendekiawan, dan juga ulama mengaitkan persoalan ini dengan aspek sosial, politik, budaya, hingga keagamaan.

Pada akhirnya, langkah itu membangkitkan motivasi serta kesadaran umat Islam terhadap tanggung jawab sosialnya. Abu Hamid al Ghazali (1058-1111), misalnya, memaparkan persoalan kemiskinan itu dalam bukunya yang berjudul al-Tabr al-Masbuk fi Nashihat al-Mulk. Ia memetakan pula wilayah-wilayah miskin.

Ia menawarkan solusi kemiskinan dalam bukunya itu. Filsuf dan ilmuwan legendaris ini mengajukan teori distribusi pendapatan. Selain itu, al-Ghazali menekankan perlunya optimalisasi kesejahteraan sosial. Menurutnya, segala kebijakan ataupun program pembangunan harus diarahkan bagi tercapainya kemakmuran bersama.

Cendekiawan lainnya yang menghasilkan karya bertema sama adalah Ibnu Taghribirdi. Ia muncul dengan risalahnya al-Nujum al-Zahira fi Muluk Mishr wa ala Qahira dan al-Maqrizi dalam buku al-Mawa'iz wa al I'tibar fi Dzikr al-Khitat wa al-Athar. Menurut dia, kemiskinan merupakan fenomena sosial yang harus ditangani bersama.

Dari pandangan ilmuwan Barat, yaitu Mine Ener dan Michael Bonner, tradisi berbagi telah dipraktikkan sejak awal Islam. "Namun, semakin menemukan pijakan dan lebih terlembaga pada era kejayaan," papar keduanya dalam buku Poverty and Charity in Middle Eastern Context.

Ener dan Bonner menambahkan, umat Islam melakukan berbagai terobosan dan membuat pengembangan program pengentasan kemiskinan makin variatif. Badan zakat, amal, atau takaful bermunculan bak jamur pada musim hujan di wilayah-wilayah Islam. Dana yang terkumpul dari masyarakat kemudian digunakan untuk kepentingan sosial keagamaan. Salah satunya adalah membangun berbagai sarana, seperti rumah sakit, pendidikan, panti asuhan, masjid, rumah penampungan, dan lainnya. Semua fasilitas itu ditujukan untuk memberikan pelayanan sebaikbaiknya kepada masyarakat tidak berpunya. Lembaga filantropis dan wakaf juga berkembang pesat. Ini telah diawali sejak Dinasti Umayyah.

Tamim Ansyari menceritakan melalui bukunya, Dari Puncak Baghdad, Sejarah Dunia Versi Islam, lembaga wakaf yang difasilitasi negara secara aktif menyalurkan bantuan kepada orang-orang miskin. "Badan wakaf bisa dikatakan sebagai perusahaan nirlaba versi Muslim yang didirikan untuk tujuan amal," katanya.

Ketika Dinasti Abbasiyah berkuasa, umat Islam mencapai peradaban gemi lang. Perdagangan, pertanian, hingga ilmu pengetahuan tumbuh pesat. Kondisi itu mendorong terwujudnya kesejahteraan dan kemakmuran. Namun, ada kenyataan pula bahwa masih terdapat warga yang hidup dalam kondisi serbasulit.

Khalifah Abbasiyah keempat, Harun alRasyid, dikenal sebagai sosok yang memiliki kepedulian sosial tinggi. Sifat kedermawanan nya telah melegenda. Dengan menyamarkan diri sebagai pengemis atau rakyat jelata, Harun al Rasyid berjalan di pasar-pasar atau perkampung an untuk men dengar lang sung masalah rakyatnya.

Setelah itu, ia mengambil kebi jakan untuk membantu mereka. Di sisi lain, peran pemerintah sangat dibu tuhkan agar pengentasan kemis kinan efektif. Ini pun berlangsung selama periode pemerintahan Dinasti Mamluk (1250-1517).
Adam Sabra mengisahkannya dalam buku Poverty and Charity in Medieval Islam: Mamluk Egypt. Sabra menuturkan, karena dilengkapi dengan perangkat-perangkat kekuasaan, program tersebut berjalan di seluruh negeri. Saat itu, pegawai pemerintah tak hanya bertugas mengumpulkan pajak, tetapi juga zakat, wakaf, dan amal serta mendistribusikannya.

Mereka menggandeng lembaga amil ataupun para tokoh agama dan masyarakat lokal. Dengan jalinan kerja sama seperti itu, penyalur an bantuan bagi rakyat miskin menjadi lebih tepat sasaran. Sabra menggam barkan pemerintahan Mamluk terli bat langsung untuk membantu kaum miskin.

Para pengemis dan tunawisma dilindungi di panti-panti sosial yang biasa disebut mawdi al hukm. Mereka tak lagi terlunta-lunta di jalanan Kairo. Sedangkan, mereka yang mengalami kesulitan membayar utang-utangnya diberi bantuan melunasinya. Peran negara dalam pengentasan kemiskinan juga diungkapkan oleh Mine Ener.

Melalui buku berjudul Religious Prerogatives and Policy of the Poor, Mine Ener mengatakan, pemerintahan Islam meneruskan inisiatif pengembangan proyek-proyek pengentasan kemiskinan serta pembinaan dan pemberdayaan rakyat. Sebagian hasil pajak diarahkan untuk bidang sosial, termasuk membuka dapur-dapur umum.

Keberadaan sarana ini amat dibutuhkan kaum miskin saat mereka mengalami gagal panen atau stok bahan makanan menipis. Adam Sabra mencatat, kondisi tersebut pernah terjadi antara abad ke-13 dan ke-16. Negara secara aktif turun tangan mengatur distribusi bahan makanan dan juga mengendalikan harga. Langkah tersebut efektif untuk melindungi warga miskin dari bahaya kelaparan.

Ini Dia Warisan Islam dalam Ilmu Anatomi

Pict: Ilustrasi

Ilmuwan ternama al-Ghazali pernah berujar, pelajari anatomi secara mendalam, manusia akaN mengetahui fungsi seluruh organ tubuh dan struktur tubuh. Ujaran al-Ghazali ini seakan menjadi langkah awal ilmuwan Muslim mendalami anatomi tubuh, atau banyak kalangan menyebutnya pula sebagai ilmu urai tubuh.

Minat akan bidang ini tumbuh pesat hingga menjelma sebagai sebuah spesialisasi dalam kedokteran Muslim. Lewat The Revival of the Religious Science, alGhazali tak hanya mengurai seluk-beluk aspek pengobatan. Ia memaparkan pula bahwa telah berabad-abad lamanya para dokter Muslim menguasai pengetahuan tentang anatomi dan fisiologi.

Termasuk kaitan kedua ilmu tersebut dengan ilmu bedah. Al-Ghazali menjelaskan, tanpa mengetahui struktur anatomi, sulit melakukan operasi pembedahan. Selama ini, ia dikenal sebagai sosok yang menguasai berbagai disiplin ilmu. Di bidang bedah dan anatomi, keahliannya sangat disegani.

Ia merumuskan filosofinya sendiri mengenai hal itu. Bagi dia, operasi bedah harus mampu mengembalikan fungsi anatomi atau organ tubuh yang rusak. Pemikirannya ini selanjutnya menginsipirasi para praktisi medis setelah masanya. Anatomi memikat hati para dokter Muslim. Terbukti banyak yang ikut bergabung untuk mendalami anatomi.

Mereka menuliskan literatur ilmiah yang begitu berharga, serta menandai era itu dengan torehan emas pada lintasan sejarah kedokteran di dunia Islam. Setelah itu, muncul ke permukaan nama alZahrawi. Kemampuannya boleh disejajarkan dengan al-Ghazali. Sebab, alZahrawi juga diakui banyak orang sebagai seorang pakar.

Dokter dari Andalusia pada abad kesepuluh yang bernama lengkap Abu Qasim al-Zahrawi ini mempunyai banyak pemikiran brilian. Misalnya, ia merupakan penggagas ilmu diagnosa sampai penyembuhan penyakit telinga. Ia merintis operasi pembedahan telinga guna mengembalikan pendengaran pasiennya.

Pengetahuan anatomi ia andalkan dalam operasi tersebut. Al-Zahrawi memerhatikan anatomi syaraf halus, pembuluh darah, dan otot. Segala pengetahuan yang ia kuasai itu kemudian ia rangkum dalam bukunya, At Tashrif li Man Arjaza at Ta'lif (Buku Pedoman Kedokteran).

Anatomi tubuh merupakan salah satu bahasan yang termuat dalam bukunya itu. Juga pada bidang yang membuat namanya terkenal di dunia kedokteran, yaitu pembedahan, serta alat-alat bedah. Bahkan, banyak model alat bedah yang ia buat masih digunakan dalam kedokteran modern.

Buku Al-Kafi fi al-Kuhl fi at-Thibb yang ditulis Abi Mahasin juga berpengaruh pada kajian anatomi, khususnya pada anatomi mata. Buku dari abad ke-13 itu menyajikan deskripsi tentang operasi mata, termasuk beberapa bagian dari organ mata yang perlu mendapat perhatian.

Ilmuwan penting yang turut mencurahkan perhatiannya pada anatomi adalah Ibnu Nafis (1210-1288). Pada bab pendahuluan dari bukunya yang terkenal, Syarhu Tasyrih Ibnu Sina (Komentar atas Anatomi Ibnu Sina), ia menjelaskan bahwa buku ini adalah panduan agar para dokter bisa menguasai pengetahuan dasar anatomi.

Ia pun berkomentar terhadap Canon of Medicine karya Ibnu Sina, terutama mengenai kerja jantung. Ia mengatakan, jantung memiliki dua kamar. Darah dari kamar jantung kanan harus mengalir ke bagian kiri, namun tidak ada yang menghubungkan kedua bagian ini.
Menurut dia, tak ada pori-pori tersembunyi dalam jantung, seperti kata Galen.

Secara keseluruhan, ia menilai fungsi organ ini sangat penting dalam mengatur sirkulasi darah ke seluruh bagian tubuh. Sejarah mencatatnya sebagai orang pertama yang mendeskripsikan peredaran darah, khususnya pembuluh darah kapiler. Pada bagian lain, Ibnu Nafis menyingkap anatomi dan sirkulasi paru-paru.

Menurut Edward Coppola dalam William Osler Medal Essay, Ibnu Nafis berpandangan bahwa terdapat sejumlah bagian di dalam paru-paru, antara lain bronkus, arteria venosa, dan vena arteriosa. Ketiga bagian tersebut terhubung dengan jaringan daging berongga. Ibnu Nafis berhasil memperjelas perbedaan masing-masing dari organ tubuh.

Pengetahuan semacam ini diperlukan sebelum melakukan operasi pembedahan. Berabad-abad kemudian, warisan intelektual Ibnu Nafis dalam investigasi anatomi banyak memberikan pengaruh pada ilmuwan Barat, yakni Valverde dan Realdo Colombo. Abd al-Latif al-Baghdadi pun tercatat memberi sumbangan penting.

Ia mengoreksi susunan anatomi tulang rahang yang dibuat seorang dokter dari Yunani, Galen. Tulisannya terkait hal itu membuka jalan bagi studi tentang tulang di Mesir. Harus diakui, prestasi paling mengagumkan terjadi setelah hadirnya karya Mansyur bin Muhammad bin Ahmad bin Yusuf bin Ilyas.

Tokoh asal Persia ini adalah dokter Muslim pertama yang membuat gambar anatomi tubuh manusia dengan akurat. Warisan luar biasanya itu pada masa berikutnya dinamakan "Anatomi Mansyur". Karyanya itu ia persembahkan untuk penguasa dari Mongol, Timur Lenk, yang menguasai Fars selama kurun waktu 797-811.

Bahasan lengkap tentang lima organ tubuh, yakni tulang, syaraf, otot, pembuluh darah, dan arteri, ada dalam karya yang ia tulis. Tiap-tiap bagian diilustrasikan melalui diagram bergambar. Termasuk bagaimana terhubung dengan dua organ utama: jantung dan otak.

Ada pula bab tentang formasi fetus yang dideskripsikan lewat ilustrasi gambar perempuan hamil. Risalahnya yang berjudul Tashrih i badan i Insan itu ditulis dalam bahasa Persia dan telah diterjemahkan ke beberapa bahasa sejak abad ke-15. Keseluruhan ilustrasi anatomi dari al-Mansyur mencakup sekitar 70 bagian.

Sementara itu, Ibnu Zuhr atau Avenzoar, setelah menguasai bidang anatomi, merintis pekerjaan bedah mayat postmortem di dunia Islam. Secara berurutan, dalam buku Taysier fi al-Mudawat wa atTabdis (Practical Manual of Treatment and Diets), ia menguraikan anatomi kepala hingga kaki.

Ilmuwan Mesir: Kemajuan Iptek Ungkap Berbagai Keajaiban Alquran

Al-Qur'an, kitab suci umat Islam yang mengandung ilmu pengetahuan

Ilmuwan Mesir, Prof Dr Zagloul Mohamed El-Naggar, mengatakan semakin maju ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek), semakin terungkap pula keajaiban kitab suci Alquran. "Alquran bukan buku ilmu pengetahuan. Tapi ayat-ayatnya mengenai alam semesta (kauniyah) kini terbukti dalam penemuan-penemuan ilmiah di abad modern ini," kata Prof Naggar dalam ceramahkanya di Aula Harun Nasution, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, Kamis.
Pakar ilmu bumi (geologi) tersebut mengupas beragam penemuan ilmiah mengenai alam semesta yang mengamini hakekat kebenaran Alquran. Sebagai contoh, ayat 6 Surat Al Thur, "Al Bahrul Masjur" (Demi laut yang --di dalam tanah bawah laut itu-- ada api). "Terbukti secara ilmiah oleh para ahli geologi dan ilmu kelautan bahwa dasar semua samudera dipanasi oleh jutaan ton magma yang keluar dari perut bumi," katanya.

Menurut peraih doktor geologi lulusan Universitas Wales, Inggris pada 1963 itu, magma tersebut keluar melalui jaringan rengkahan raksasa yang secara total merobek lapisan litosfir dan sampai ke lapisan astenosfir. "Para ilmuwan yang jujur akan kagum melihat kepeloporan Al Quran dan hadis-hadis Nabi terkait petunjuk tentang fakta-fakta ilmiah bumi, yang baru dapat dibuktikan pada akhir abad ke-20 seiring dengan kemajuan iptek," kata ilmuwan yang telah menghafal semua 30 juz Alquran saat ia berusia sepuluh tahun itu.

Fakta ilmiah lain, katanya, yaitu ayat 15 dan 16 Surat At Takwir: "Fala Uqsimu bil khunnas. Al Jawaril Kunnas" (Aku bersumpah dengan bintang-bintang yang tak tampak. Yang bergerak sangat cepat). Prof Naggar menjelaskan, para ulama dahulu menafsirkan ayat tersebut secara metaforis, namun para ahli astronomi pada akhir abad 20 menemukan fakta ilmiah, yaitu apa yang disebut Black Hole (Lubang Hitam).

Black hole adalah planet yang ditandai dengan densitas yang tinggi dan gravitasi yang kuat, tempat zat dan semua bentuk energi termasuk cahaya tidak mungkin lepas dari perangkapnya. Disebut lubang hitam karena ia sangat gelap tak terlihat, dengan kecepatan geraknya diperkirakan mencapai 300 ribu km per detik.


Black holes dianggap sebagai fase tua kehidupan bintang, yang didahului ledakan dan zatnya kembali menjadi nebula. "Fakta ini baru terungkap pada akhir abad 20, yakni 14 abad setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW," kata Prof Naggar.

Ummu Ma'bad, Muslimah yang Mengenalkan Sifat Rasulullah SAW

September 622 M. Secara diam-diam, Rasulullah SAW bersama Abu Bakar RA, Amir bin Fahira dan seorang penunjuk jalan bernama Abdullah bin Uraiqith bergegas meninggalkan Makkah menuju Madinah. Duabelas tahun sudah Rasulullah menyebarkan agama Allah di kota Makkah, namun tekanan dari kafir Quraisy kian gencar.

Bahkan, kaum kafir Quraisy berniat untuk membunuh Rasulullah beserta sahabatnya yang telah masuk Islam. Guna menghindari kekejaman kafir Quraisy, Rasulullah pun kemudian hijrah ke kota Madinah. Tanpa perbekalan yang memadai, Rasulullah berangkat menuju Madinah. Sebuah perjalanan yang tak mudah dan tak juga ringan.

Seperti diuraikan dalam buku Perempuanperempuan Mulia di Sekitar Rasulullah yang ditulis Muhammad Ibrahim Salim, di tengah perjalanan menuju kota Madinah, rombongan Rasulullah lewati sebuah kemah milik seorang wanita tua bernama Ummu Ma'bad di wilayah Qudaid -antara Makkah dan Madinah. Saat itu, Ummu Ma'bad sedang duduk di dekat kemahnya. Lantaran perbekalan yang minim, rombongan Rasulullah pun singgah ke kemah Ummu Ma'bad.

Rasulullah dan sahabatnya ingin membeli daging dan kurma dari Ummu Ma'bad. Namun, mereka tidak mendapatkan apa-apa. Saat itu, wilayah Qudaid sedang didera musim paceklik. Lalu Rasulullah melihat seekor kambing yang ada di dekat kemah Ummu Ma'bad.

Rasulullah pun bertanya, "Kambing betina apa ini wahai Ummu Ma'bad?", Ummu Ma'bad menjawab, "kambing betina tua yang sudah ditinggalkan oleh kambing jantan." Rasulullah kembali bertanya, "Apakah ia masih mengeluarkan air susu?" Ummu Ma'bad menjawab, "Bahkan ia tak mengandung air susu sama sekali.'' Lalu Rasulullah meminta izin, "Bolehkah aku memerah air susunya?" Ummu Ma'bad menjawab, "Jika engkau merasa bisa memerahnya, maka silahkan lakukan.'' Nabi Muhammad SAW pun mengambil kambing tersebut dan tangannya mengusap kantong susunya dengan menyebut nama Allah dan mendo'akan Ummu Ma'bad pada kambingnya tersebut.

Tiba-tiba kambing itu membuka kedua kakinya dan keluarlah air susu dengan derasnya.
Kemudian Rasulullah meminta sebuah wadah yang besar lalu beliau memerasnya sehingga penuh. Beliau memberi minum kepada Ummu Ma'bad hingga ia puas, lalu beliau memberi minum rombongannya hingga mereka pun puas.

Setelah itu beliau pun minum. Beliau kemudian memerah susu untuk kedua kalinya hingga wadah tersebut kembali penuh, lalu susu itu ditinggalkan di tempat Ummu Ma'bad dan beliau pun membai'atnya. Setelah itu rombongan pun berlalu.

Tak lama, datanglah suami Ummu Ma'bad dengan menggiring kambing yang kurus kering, berjalan sempoyongan karena lemahnya. Setelah melihat susu, ia bertanya keheranan, "Darimana air susu ini wahai Ummu Ma'bad? padahal kambing ini sudah lama tidak hamil dan kita pun tidak memiliki persediaan susu di rumah?" Ummu Ma'bad menjawab, "Demi Allah, bukan karena itu semua.

Sesungguhnya seseorang yang penuh berkah telah melewati (rumah kita), sifatnya begini dan begitu." Abu Ma'bad berkata, "Ceritakanlah kepadaku tentangnya wahai Ummu Ma'bad."

Ummu Ma'bad bertutur: "Aku melihat seorang yang tawadhu (rendah hati). Wajahnya bersinar berkilauan, baik budi pekertinya, dengan badannya yang tegap, indah dengan bentuk kepala yang pas sesuai bentuk tubuhnya.'' Ia adalah seorang yang berwajah sangat tam pan. Matanya elok, hitam dan lebar, dengan alis dan bulu mata lebat nan halus. Suaranya bergema indah berwibawa, panjang lehernya idea, jenggot nya tumbuh tebal dan sangat kontras lagi sesuai warna rambutnya; rapi, rata pinggir-pinggirnya a (dengan jambangnya) dan antara rambut dan jenggotnya bersambung rapi.

Jika ia diam, nampaklah kewibawaannya. Jika ia berbicara nampaklah kehebatannya. Jika dilihat dari kejauhan, ia adalah orang yang paling bagus dan berwibawa. Jika dilihat dari dekat, ia adalah orang yang paling tampan, bicaranya gamblang, jelas, tidak banyak dan tidak pula sedikit. Nada bicaranya seperti untaian mutiara yang bergu guran.

Beliau berperawakan sedang, tidak tinggi dan tidak pula pendek. Ia bagaikan sebuah dahan di antara dua dahan. Diantara ketiga orang itu, penampilannya paling bagus dan kedudukannya paling tinggi. Ia memiliki banyak teman yang me ngelilinginya. Jika ia berbicara, maka yang lain pun mendengarkannya. Jika ia memerintah, maka mereka segera melaksanakannya. Ia adalah orang yang ditaati, tidak cemberut dan bicaranya tidak sembarangan.

Abu Ma'bad berkata, "Demi Allah, ia adalah seorang dari Quraisy yang sedang diperbin cangkan di kalangan kami di kota Makkah. Aku ingin menjadi sahabatnya. Sungguh aku akan melakukannya jika aku bisa menemukan jalan untuk mendapatkannya." Sungguh terperinci sifat sifat Rasulullah yang dituturkan Ummu Ma'bad. Kisah Ummu Ma'bad sangat masyhur, diriwayatkan dari banyak jalan yang saling menguatkan satu dengan lainnya.

Ketika 'Suku Arya' Memahami Alquran

Sebagai sebuah teks, Alquran dapat dipahami dari sejarah bermulanya teks itu dibentuk dan difungsikan. Salah satu kajian yang mendalami konsep tersebut adalah kritis historister. Dari kajian itu, serta dengan dorongan pengetahuan rasional, dapat ditelusuri teks Alquran dan sejarahnya.

Konsep seperti itulah yang mendominasi model penelitian para sarjana Barat sejak abad ke-19. Abraham Geiger (1810-1874), misalnya dianggap sebagai sarjana pertama yang menerapkan pendekatan kritik-historis terhadap Alquran. Bahkan, pada 1883, ia menerbitkan sebuah buku yang berjudul 'Was hat Mohammed aus dem Judentum aufgenommen?' (Dirk Hatwig 2009:241).

Dalam bukunya itu, ia memaparkan bahwa Nabi Muhammad, dalam memproduksi Alquran, banyak menyisipkan tradisi-tradisi Yahudi. Sontak, pemikiran ini pun beranak pinak seperti yang dikembangkan Günther Luling dan Christoph Luxemberg. Buku 'Der Koran und sein religiöses und kulturelles Umfeld' (2010) editan Tilman Nagel, dianggap sebagai karya terbaru yang menghimpun beberapa hasil kajian historiskritis ala Geiger.

Alquran, dipahami mereka, sebagai sebuah teks `epigonik'. Dalam pengertian bahwa Alquran merupakan imitasi dari teks-teks pra-Islam. Pandangan itu pun melahirkan kontroversial di kalangan sarjana Muslim. Namun, tidak semua sarjana Barat yang berada dalam 'gerbong' pemikiran tersebut.

Sebut saja, Anglika Neuwirth, Nicolai Sinai, Michael Marx, dan Dirk Hartwig. Umumnya mereka memberikan perlawanan atas pemikiran tersebut, yang menolak bahwa Alquran hanyalah copy-paste atas `teks-teks praIslam'. Hal itu terlihat dari wawancara pada 2 Juli 2010 dan penelusuran beberapa artikel mereka. Salah satunya adalah proyek yang dikenal dengan Corpus Coranicum, yang sedang dilakukan di Berlin-Brandenburgische Akademie der Wissenschaften di Jerman.

Konsep Ala Geiger dengan para 'penentang' ini sebenarnya tidak jauh berbeda. Paradigma lah yang membedakan kedua pemikiran tersebut. Dalam konsep 'para penentang', Alquran diposisikan sebagai `teks polifonik' dan bukan mimesis (tiruan) dari teks-teks sebelumnya, seperti yang didengungkan Geiger.

Balasan Atas Teori Memesis Alquran Geiger
Abraham Geiger (1810-1874), dianggap sebagai sarjana pertama yang menerapkan pendekatan kritik-historis terhadap Alquran. Belakangan, konsep tersebut mendapatkan balasan, yang dimana Alquran diposisikan sebagai `teks polifonik' dan bukan mimesis (tiruan) dari teks-teks sebelumnya, seperti yang didengungkan Geiger.
Kecenderungan penelitian seperti itu boleh dikatakan sebagai `tren baru studi historis-kritis terhadap Alquran'. Namun, proyek tersebut memiliki tiga penyangga utama. Pertama, dokumentasi atas manuskrip-manuskrip Quran awal berikut variasi qira'at-nya terlebih dahulu diperhatikan. Tapi, pendokumentasian itu tidak ditujukan untuk membuat teks edisi kritis Alquran. Jika ditilik dari manuskrip Alquran, mereka hanya membuat data bank, seperti lokasi, penanggalan, dan aspek-aspek paleografis dari setiap manuskrip.

Saat ini, bank data terdiri atas 250 entri dan setiap entri memiliki sejumlah foto manuskrip. Jumlah foto yang telah digitalisasi dalam beberapa komputer mencapai 3.500. Sementara bank data tentang variasi bacaan Alquran, seseorang dapat menemukan semua cara baca (qira'at) Alquran, baik qira'at yang dianggap sebagai qira'at mutawatirah (diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi), qira'at masyhurah (diriwayatkan oleh relatif banyak perawi), maupun qira'at syadzdzah (yang tidak termasuk kedua macam qira'at tersebut).

Penyangga kedua, para sarjana yang terlibat dalam proyek tersebut juga dituntut melakukan penelitian dan kajian serta membuat bank data terkait dengan apa yang mereka sebut dengan Texte aus der Welt des Quran (teks-teks di sekitar Alquran). Target dari kajian tersebut adalah menemukan kesamaan teks Alquran dengan teks-teks lain pada masa turunnya wahyu Quran.

Kajian seperti ini dikenal dengan istilah `intertekstualitas' antara ayat-ayat Aquran dan teks-teks dari tradisi pra-Islam, seperti Alkitab, teks Yahudi pasca-biblikal, dan puisi Arab klasik. Mereka menafsirkan Intertekstualitas ini, sebagai landasan agar menguatkan rekonstruksi teks-teks yang ada di sekitar Alquran (Marx 2008:51).

Jika, para orientalis abad ke-19 memahami Alquran hanya merupakan sekumpulan imitasi/tiruan dari teks-teks pra-Islam, mereka kebalikannya. Bahkan mereka dapat melakukan penelitian seobjektif mungkin, yang sampai pada kesimpulan bahwa Alquran bukanlah `teks epigonik', yang merupakan hasil imitasi beberapa teks lain dari tradisi praIslam. (Neuwirth 2008:16; Wawancara 1 Juli 2010).

Meski Serupa, Alquran Tak Sama Dengan Teks Agama Lain
Jika, para orientalis abad ke-19 memahami Alquran sebagai kumpulan imitasi/tiruan dari teks-teks pra-Islam, Anglika Neuwirth, Nicolai Sinai, Michael Marx, dan Dirk Hartwig kebalikannya. Mereka memosisikan Alquran dalam penelitian seobjektif mungkin. Kesimpulannya Alquran bukanlah `teks epigonik', yang merupakan hasil imitasi beberapa teks lain dari tradisi praIslam.
Alquran, ditegaskan mereka, walaupun dalam beberapa kasus memiliki paralelitas dan kemiripan dengan teks-teks lain, namun 'independensinya' tetap terjaga. Hal itu terlihat dari karakteristik dari Alquran dan dinamikanya, baik dari segi bahasa maupun isi.

Neuwirth pun membandingkan salah satu surat di Alquran yakni al-Rahman dengan di kitab Zabur. Menurut dia, walaupun kedua teks tersebut memiliki paralelitas/interseksi, namun tetap Alquran memiliki gaya sendiri dalam struktur sastra dan spirit, bahkan lebih spesifik dalam hal isi dan pesan (Neuwirth 2008:157-189).

Pemikiran yang tidak jauh berbeda juga diperlihatkan Nicolai Sinai ketika meneliti QS. An-Najm. Dirk Hartwig, ketika diwawancarai tanggal 2 Juli, tak bisa menahan kritikkannya terhadap Christoph Luxemberg yang mengatakan bahwa Alquran adalah salinan teks dari tradisi Kristen yang berbahasa Syro-Aramaik.

Dan, penyangga terakhir, mereka telah dan sedang memproduksi apa yang mereka sebut sebagai 'der historischkritische literaturwissenschaftliche Kommentar des Quran' (interpretasi historis-kritis dan sastrawi terhadap Alquran). Konstruksi atas interpretasi ini dibangun melalui empat pondasi.

Teks Alquran dan terjemahannya dalam bahasa Jerman, adalah pondasi pertama. Teks Arab didasarkan pada qiara'at Hafsh dari `Asim. Terjemahan Alquran sebagian besar berasal dari terjemahan Rudi Paret dengan beberapa penyesuaian tertentu. Pondasi kedua adalah studi tentang urutan kronologis wahyu.

Dalam posisi ini, mereka ingin merekonstruksi dinamika teks Alquran sehubungan dengan aspek linguistik/sastranya. Juga, apa yang mereka sebut "kritik sastra" dalam arti mereka memberikan penjelasan struktur sastra Alquran dalam menyampaikan pesan tertentu.

16 April 2011

KEHIDUPAN NABI IBRAHIM

Ibrahim bukanlah seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani akan tetapi dia adalah seorang yang lurus lagi menyerahkan diri (kepada Allah) dan sekali-kali bukanlah dia dari golongan orang yang musyrik.Sesungguhnya orang yang paling dekat kepaa Ibrahim adalah orang-orang yang mengikutinya dan Nabi ini (Muhammad) serta orang-orang yan beriman (kepada Muhammad), dan Allah adalah pelindung semua orangh-orang yang beriman.
(QS Ali Imran 67-68).
Nabi Ibrahim (Abraham) sering disebutkan di dalam Al Qur'an dan mendapatkan tempat yang istimewa di sisi Allah sebagai contoh bagi manusia. Dia menyampaikan kebenaran dari Allah kepada umatnya yang menyembah berhala, dan dia mengingatkan mereka agar takut kepada Allah. Umat nabi Ibrahim tidak mematuhi perintah itu, bahkan sebaliknya mereka menentangnya. Ketika
penindasan yang semakin meningkat dari kaumnya, nabi Ibrahim pindah ke mana saja bersama istrinya, bersama dengan nabi Lut dan mungkin dengan bebeapa orang lain yang menyertai mereka.
Nabi Ibrahim adalah keturunan dari nabi Nuh. Al qur'an juga mengemukakan bahwa dia juga mengikuti jalan hidup (diin) yang diikuti Nabi Nuh.
"Kesejahteraan dilimpahkan atas Nuh di seluruh alam". Sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya dia termasuk di antara hamba-hamba Kami yang beriman. Kemudian Kami tengelamkan orang-orang yang lain. Dan sesungguhnya Ibrahim benar-benar termasuk golongannya (Nuh).(QS Ash- Shafaat: 79-83).
Pada masa Nabi Ibrahim, banyak orang yang menghuni dataran Mesopotamia dan di bagian Tengah dan Timur dari Anatolia tinggal orang-orang yang menyembah surga-surga dan bintang-bintang. Tuhan yang mereka anggap paling penting adalah "Sin" yaitu Dewa Rembulan. Tuhan mereka ini dipersonifikasikan sebagai seorng manusia yang berjenggot panjang, memakai pakaian panjang membawa rembulan berbetuk bulan sabit diatasnya. Lagian, orang -orang tersebut membuat hiasan gambar-gambar timbul dan pahatan-pahatan (patung) dari tuhan mereka itu dan itulah yang mereka sembah. Hal ini merupakan system kepercayaan yang tersebar luas ketika itu, yang mendapatkan tempat persemaiannya di Timur Dekat (Near East), dimana keberadaannya terpelihara dalam jangka waktu yang lama. Orang-orang yang tinggal di wilayah tersebut terus saja menyembah tuhan-tuhan tersebut hingga sekitar tahun 600 M. Sebagai akibat dari kepercayaan itu, banyak bangunan yang dikenal dengan nama "ziggurat" yang dulu dipakai sebagai observatorium (tempat penelitian bintang-bintang) sekaligus sebagai kuil tempat peribadatan yang dibangun di daerah yang membentang sejak dri Mesopotamia hingga ke kedalaman Anatolia, disinilah beberapa tuhan,terutama dewa(i) Rembulan yang bernama "Sin" disembah oleh orang-orang ini. 1
Kepercayaan yang hanya bisa ditemukan dalam penggalian arkeologis yang dilakuan saat ini, telah disebutkan dalam Al Qur'an. Sebagaimana disebutkan dalam Al Qur'an, Ibrahim menolak penyembahan tuhan-tuhan tersebut dan berpegang teguh kepada Allah saja, satu-satunya Tuhan yang sebenarnya. Dalam Al Qur'an, perjalanan hidup Ibrahim digambarkan sebagai berikut :
Dan (ingatlah) di waktu Ibrahim berkata kepada bapaknya Aazar: "Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan?. Sesungguhnya aku melihat kamu dan kaummu dalam kesesatan yang nyata. Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdpat) di langit dan di bumi, dan (Kami memperlihatkannya) agar dia termasuk orang-orang yang yakin. Ketika malah telah menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: "Inilah Tuhanku". Tetpi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: "Saya tidak suka kepada yang tenggelam". Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: "Inilah Tuhanku". Tetapi setelah bulan itu terbenam dia berkata : "Sesungguhnya jika Tuhnaku tidak memberikan petunjuk kepadakum pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat". Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata: "Inilah tuhanku, ini lebih besar", maka tatkala matahari itu telah terbenam, dia berkata : "Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan b umi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.(QS. Al-An'an: 74-79)
Dalam al Qur'an, tempat kelahiran Ibrahim dan tempat di mana dia tinggal tidak dikemukakan dengan terperinci. Tetapi diindikasikan bahwa Ibrahim dan Lut tinggal di tempat yang saling berdekatan satu sama lain dan malaikat yang diutus kepada umat nabi Lut juga mendatangi Ibrahim dan memberitahukan pada istrinya suatu berita gembira tentang bayi laki-laki (yang dikandungnya), sebelum para malaikat itu pergi melanjutkan perjalanan mereka menuju nabi Lut.
Cerita penting tentang Nabi Ibrahim dalam al Qur'an yang tidak disebutkan dalam Perjanjian Lama adalah tentang pembangunan Ka'bah. Dalam Al Qur'an, kita diberitahu bahwa Ka'bah dibangun oleh Ibrahim dan putranya Ismail. Sekarang ini, satu-satunya hal yang diketahui oleh ahli sejarah tentang Ka'bah adalah bahwa Ka'bah merupakan tempat yang suci sejak masa yang sangat tua. Adapun penempatan berhala-berhala pada Ka'bah selama masa jahiliyah berlangsung sampai diutusnya Nabi Muhammmad, dan itu merupakan penyimpangan dan kemunduran atas agama suci Ilahi yang pernah diwahyukan kepada Nabi Ibrahim.
Ket.Gambar hal 36. (Atas : Pada masa Nabi Ibrahim, agama politheisme menyebar ke seluruh wilayah Mesopotamia. Sang Dewa rembulan "Sin" salah satu berhala yang paling penting. Orang-orang membuat patung-patung dari tuhan-tuhan mereka dan menyembahnya. Disebelah tampak patung sin. Simbul bulan sabit dapat terlihat dengan jelas pada dada patung tersebut).
(Bawah: Ziggurat yang digunakan baik sebagai kuil dan observatory perbintangan yang dibangun dengan teknik yang paling maju ada masa itu. Bintang, rembulan dan matahari menjadi objek utama dari penyembahan dan langi memiliki hal yang sangat penting. Di sebelah kiri dan bawah adalah ziggurat utama dari bangsa Mesopotamia.
Ibrahim Dalam Perjanjian Lama
Perjanjian Lama kemungkinan besar merupakan sumber paling detail dalam hal-hal yang berkenaan dengan Ibrahim, meskipun banyak diantaranya yang mungkin tidak bisa dipercaya. Menurut pembahasan dalam perjanjian lama, Ibrahim lahir sekitar 1900 SM di kota Ur, yang merupakan salah satu kota terpenting saat itu yang berlokasi di Timur Tengah dataran Mesopotamia. Pada saat lahir, Ibrahim tidak (belum) bernama "Ibrahim", tetapi "Abram". Namanya kemudian kemudian dirubah oleh Allah (YHWH).
Pada suatu hari, menurut Perjanjian Lama, Tuhan meminta Ibrahim untuk mengadakan perjalanan meninggalkan negeri dan masyarakatnya, menuju ke suatu negeri yang tidak pasti dan memulai sebuah masyarakat baru di sana. Abram pada usia 75 tahun mendengarkan seruan/pangilan itu dan melakukan perjalanan bersama istrinya yang mandul yang bernama Sarai - yang kemudian dikenal dengan nama "Sarah" yang berarti puteri raja - dan anak dari saudaranya yang bernama Lut. Dalam perjalanan menuju ke "Tanah yang Terpilih (Chosen Land)" mereka singgah/tingal di Harran untuk sementara waktu dan kemudian melanjutkan perjalanan mereka. Ketika mereka sampai di tanah Kanaan yang djanjikan oleh Allah kepada mereka, mereka diberikan wahyu oleh Allah berupa berupa pemberiahuan bahwa tempat tersebut secara khusus dipilihkan oleh Allah buat mereka dan dianugerhkan buat mereka. Ketika Abram mencapai usia 99 tahun, dia membuat perjanjian dengan Allah dan namanya kemudian dirubah menjadi Ibrahim (Abraham). Dia meninggal pada usia 175 tahun dan dikubur di gua Macpelah yang berdekatan dengan kota Hebron (e l-Kalil) di West Bank (tepi barat)yang hari ini wilayah tersebut di bawah penguasan Israel. Tanah tersebut sebenarnya dibeli oleh Ibrahim dengan sejumlah uang dan itu merupakan kekayaannya dan keluarganya yang pertama di Tanah Yang Dijanjikan itu (Promise Land).
Tempat Kelahiran Ibrahim Menurut Perjanjian Lama
Dimanakah tempat dilahirkannya Ibrahim, tetaplah merupakan sebuah isu yang diperdebatkan. Orang Kristen dan Yahudi menyatakan bahwa Ibrahim dilahirkan di sebelah Selatan Mesopotamia, pemikiran yang lazim dalam dunia Islam adalah bahwa tempat kelahiran nya adalah di sekitar Urfa-Harran. Beberapa penemuan baru menunjukkan bahwa thesis dari kaum Yahudi dan Kristen tidaklah menyiratkan kebenaran yang seutuhnya.
Orang Yahudi dan Kristen menyandarkan pendapat mereka pada Perjanjian Lama, karena dalam Perjanjian lama tersebut, Ibrahim dikatakan telah dilahirkan di kota Ur sebelah Selatan Mesopotamia setelah Ibrahim lahir dan dibesarkan di kota ini, dia dcieritakan telah menempuh sebuah perjalanan menuju Mesir, dan dalam perjalanan tersebut mereka melewati suatu tempat yang dikenal dengan nama Harran di wiayah Turki.
Meskipun demkian, sebuah manuskrip Perjanjian Lama yang ditemukan baru-baru ini, telah memunculkan keraguan yang serius tentang kesahihan/validitas dari informasi di atas. Dalam manuskrip yang ditulis dalam bahasa Yunani yang dibuat sekitar sekitar abad ketiga SM, dimana manuskrip tersebut diperhitungkan sebagai salinan yang tertua dari Perjanjian Lama, juga nama tempat "Ur" tidak pernah disebutkan. Hari ini banyak peneliti Perjanjian Lama yang menyatakan bahwa kata-kata "Ur" tidak akurat atau bahwa Ibahim tidak dilahirkan di kota Ur dan mungkin juga tidak pernah mengunjungi daerah/wilayah Mesopotamia selama hidupnya.
Disamping itu, nama-nama beberapa lokasi serta daerah yang disebutkan itu, telah berubah karena perkembangan jaman. Pada saat ini dataran Mesopotamia biasanya merujuk kepada tepi sungai sebelah selatan dari daratan Irak, diantara sungai Efrat dan Tigris. Lagipula, dua milinium (2000 tahun) sebelum kita, daerah Mesopotamia digambarkan sebagai sebuah daerah yang letaknya lebih ke Utara, bahkan lebih jauh ke autara sejauh Harran, dan membentang sampai ke daerah yang saat ini merupakan daratan Turki. Karena itulah, bila sekalipun kita menerima pendapat bahwa "Dataran Mesopotamia" yang disebutkan dalam Perjanjian Lama, tetap saja akan terjadi misleading (keliru) untuk berpikir bahwa Mesopotamia dua millennium yang lebih awal dan Mesopotamia hari ini adalah sebuah tempat yang persis sama.
Banhkan seandainya juga ada keraguan serius dan ketidaksepakatan tentang kota Ur sebagai tempat kelahiran Ibrahim, tetapi ada sebuah pandangan umum yang disetujui yaitu tentang fakta bahwa Harran dan daerah yang melingkupinya adalah tempat dimana Nabi Ibrahim hidup. Lebih dari itu, peneliltian singkat yang dilakukan terhadap isi Perjanjian Lama tersebut memunculkan beberapa informasi yang mendukung pandangan bahwa tempat kelahiran Nabi Ibrahim adalah Harran. Sebagai contoh di dalam Perjanjian Lama, daerah Harran ditunjuk sebagai "daerah Artam" (Genesis, 11:31 dan 28:10). Disebutkan bahwa orang yang datrang dari keluarga Ibrahim adalah "anak-anak dari seorang Arami" (Deutoronomi, 26:5). Identifikasi penyebutan Ibrahim dengan sebutan "seorang Arami" menunjukkan bahwa beliau (Ibrahim) melangsungkan kehidupannya di daerah ini.
Dalam berbagai sumber agama Islam, terdapat bukti yang kuat bahwa tempat kelahiran Ibrahim adalah Harran dan Urfa. Di Urfa yang disebut dengan "kota para Nabi" ada banyak cerita dan legenda tentang Ibrahim.
Mengapa Perjanjian Lama Dirubah?.
Perjanjian Lama dan Al Qur'an dalam mengungkapkan kisah tentang Ibrahim, tampaknya hampir-hampir menggambarkan dua orang sosok Nabi yang berbeda, yang bernama Abraham dan Ibrahim. Dalam Al Qur'an, Ibrahim diutus sebagai rasul bagi sebuah kaum penyembah berhala. Kaum Ibrahim tersebut menyembah surga-surga, bintang-bintang dan rembulan serta berbagai sembahan lain. Dia berjuang melawan kaumnya dan selalu berusaha untuk mencoba agar mereka meninggalkan kepercayaan-kepercayaan tahayul dan secara tidak terhindarkan, hal; itu juga telah membangkitkan nyala api permusuhan dari seluruh masyarakatnya bahkan termasuk ayahnya sendiri.
Sebenarnya, tidak ada satupun dari hal yang disebutkan diatas diceritakan dalam Perjanjian Lama. Dilemparkannya Ibrahim ke dalam api, bagaimana Ibrahim menghancurkan berhala-berhala yang disembah oleh masyarakatnya, tidaklah disebutkan dalam Perjanjian Lama. Secara umum Ibrahim digambarkan sebagai nenek moyang bangsa Yahudi dalam Perjanjian Lama. Hal ini menjadi bukti bahwa pandangan di dalam Perjanjian Lama ini dibuat oleh para pemimpin masyarakat Yahudi yang mencoba memberikan pijakan di masa mendatang konsep "ras/suku bangsa". Bangsa Yahudi percaya bahwamereka adalah kaum yang selalu dipilih oleh Tuhan dan merasa lebih unggul dari yang lainya. Mereka dengan sengaja dan penuh keinginan untuk mengubah kitab Suci mereka dan membuat penambahan-penambahan serta berbagai pengurangan berdasarkan keyakinan seperti di atas. Inilah sebabnya mengapa Ibrahim digambarkan sebagai nenek moyang bangsa Yahudi belaka dalam Perjanjian Lama.
Penganut Kristen yang percaya terhadap Perjanjian Lama, berpikir bahwa Ibrahim adalah nenek moyang bangsa Yahudi, namun hanya terdapat satu perbedaan; menurut penganut Kristen, Ibrahim bukanlah seorang Yahudi namun ia adalah seorang Kristen. Penganut Kristen yang tidak begitu memperhatikan konsep mengenai ras/suku bangsa sebagaimana dilakukan Yahudi, mengambil pendirian ini dan hal ini menjadi salah satu penyebab perbedaan dan pertentangan diantara kedua agama ini. Allah memberikan keterangan sebagaimana yang disebutkan dalam Al Qur'an sebagai berikut :
Hai ahli kitab, mengapa kamu bantah-membantah tentang hal Ibrahim, padahal Taurat dan Injil tidak diturunkan melainkan sesudah Ibrahim. Apakah kamu tidak berpikir?. Beginilah kamu, kamu ini (sewajarnya) bantah-membantah tentang hal yang kamu ketahui, maka kenapa kamu bantah membantah dalam hal yang tidak kamu ketahui; Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui.
Ibrahim bukanlah seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani akan tetapi dia adalah seorang yang lurus lagi menyerahkan diri (kepada Allah) dan sekali-kali bukanlah dia dari golongan orang yang musyrik".
Sesungguhnya orang yang paling dekat kepaa Ibrahim adalah orang-orang yang mengikutinya dan Nabi ini (Muhammad) serta orang-orang yan beriman (kepada Muhammad), dan Allah adalah pelindung semua orangh-orang yang beriman.(QS Ali Imran 65-68).

Di dalam Al Qur'an sangatlah berbeda dengan apa yang ditulis dalam Perjanjian Lama, Ibrahim adalah seseorang yang memperingatkan kaumnya agar mereka takut kepada Allah, serta bahwa dia adalah seseorang yang berperang/berjuang melawan kaumnya itu pada akhirnya. Dimulai sejak masa mudanya, ia memperingatkan kaumnya yang m,enyembah berhala-berhala untuk menghentikan perbuatan mereka itu. Sebagai reaksi, kaumnya bertindak dengan mencoba untuk membunuh Ibrahim. Untuk menghindar dari kejahatan yang dilakukan oleh kaumnya, maka Ibrahimpun akhirnya berpindah tempat.