30 April 2010

Muhammad Hamidullah, Penyebar Benih Dakwah Islam di Prancis



Nama Muhammad Hamidullah dikenal lewat karya-karyanya berupa buku-buku Islam yang ditulisnya. Tapi bagi generasi muda Muslim di Prancis, sosok Hamidullah merupakan sosok intelektual Muslim yang menjadi misteri.

Ketika Hamidullah tiba di Paris tahun 1946, isu-isu tentang Islam sudah menjadi bahan pembicaraan kalangan intelektual yang disegani di Paris, seperti Louis Massignon, Jacques Berque, Henri Laoust dan Régis Blancher. Pada tahun 1947, Blancher bahkan sudah menerjemahkan terjemahan Al-Quran ke dalam bahasa Prancis.

Tapi, seperti pakar-pakar Islam di Barat, Blancher bukan seorang muslim. Dan seperti di negara-negara sekuler pada umumnya, pandangan para akademisi non-Muslim tentang isu-isu Islam selalu menarik tapi tidak lengkap karena mereka tidak bisa merasakan pengalaman spiritual dalam melaksanakan ajaran-ajaran Islam yang paling mendasar.

Latar belakang Hamidullah yang berasal dari keluarga muslim tradisional dengan budaya akademis yang kuat sebagai lulusan Universitas Osmania di Hyderabad, India, membuat kehadirannya memperkaya khasanah pemikiran kalangan intelektual di Prancis tentang isu-isu Islam.

Selama 23 tahun Hamidullah bekerja sebagai peneliti profesional di French National Scientific Research Centre (CNRS). Di lembaga itu ia menjadi direktur riset, setaraf dengan posisi seorang profesor di universitas.

Tahun 1959, ia membuat terjemahan Al-Quran dalam bahasa Prancis dan menjadi terjemahan Al-Quran pertama yang ditulis seorang muslim di Prancis. Hamidullah juga melakukan riset tentang kehidupan Rasulullah Muhammad Saw (Sirah) dan mengumpulkan hasil risetnya dalam buku berjudul “Le Prophète de l’islam" (Nabi Islam).

Buku itu merupakan buku terlengkap tentang kehidupan Rasulullah yang ditulis dalam bahasa Prancis. Dalam pengantar buku tersebut, Hamidullah menulis bahwa buku itu adalah hadiah untuk Prancis yang telah menerimanya sebagai tamu.

Profesor Hamidullah juga aktif dalam dialog-dialog tentang Muslim-Kristiani dengan Louis Massignon, yang menulis pengantar di terjemahan Al-Quran yang disusun Hamidullah. Selain aktif dalam dialog, Hamidullah juga mendirikan Islamic Cultural Centre (CCI) di Paris.

Selama 50 tahun tinggal di Paris, Hamidullah mengabdikan dirinya dalam bidang pengajaran agama Islam lewat riset-riset yang dilakukannya. Ia selalu menghindari ikut terlibat dalam polemik tentang kehadiran komunitas Muslim di tengah masyarakat Barat yang kerap muncul.

Pada mereka yang menyerang pandangan-pandangannya, Hamidullah punya jawaban khas "Saya tahu Anda pasti tidak sepakat dengan saya" dan polemik pun berakhir. Tapi ketika ia tidak bisa menghindar dari sebuah kontroversi, Hamidullah lebih senang menuliskan pandangan-pandangannya dalam bentuk buku dimana ia merahasiakan namanya.

"Saya punya alasan yang islami untuk tidak mencantumkan nama saya pada buku-buku itu. Saya menulis buku dalam bahasa Inggris dan Prancis. Ide bagus jika buku-buku itu diterjemahkan dalam bahasa Jerman, Arab, Indonesia bahwa Italia agar bisa disebarluaskan di Vatikan ..." jawab Hamidullah seperti dikutip dari buku “Muhammed Hamidullah, Hocam’dan Mektuplar" karya Ihsan Sürreya Sırma, ketika ditanya mengapa ia menulis buku dan tidak mencantumkan namanya sebagai penulis.

Hamidullah lahir pada 9 Februari 1908 dan wafat pada 17 Desember 2002 di Jacksonville, Florida, AS. Selama hidupnya, ia menulis lebih dari 130 judul buku yang diterjemahkan dalam berbagai bahasa antara lain bahasa Inggris, Jerman, Arab, Turki dan Urdu.

Tapi hari ini, cuma dua bukunya yang bisa ditemui di toko-toko buku di Prancis. Sementara di Turki, lebih dari 20 buku karya Hamidullah bisa dengan mudah dibeli di toko-toko buku.

Pribadi yang Misterius

Meski banyak menghasilkan karya yang menjadi bahan diskusi kalangan terpelajar dan berperan besar dalam dakwah Islam di Prancis, sampai tujuh tahun setelah wafatnya, sosok Hamidullah tetap menjadi pribadi yang misterius di kalangan intelektual Prancis.

Hanya sedikit orang yang bisa bicara secara personal dengan Hamidullah. Ia selalu menolak publikasi media dan menolak difoto. Setiap melakukan konferensi pers, Hamidullah selalu melarang penggunaan kamera.

Satu-satunya peristiwa dimana ia mengijinkan para wartawan dan juru kamera mengambil gambarnya adalah ketika ia hadir dalam aksi unjuk rasa atas penangkapan Imam Masjid Adda'wa, masjid kedua terbesar di Paris dan sering dikunjungi Hamidullah jika ada undangan pernikahan atau jika ada yang akan masuk Islam.

Peristiwa itu terjadi tahun 1994 dan aksi protes bukan hanya dilakukan oleh pemuka muslim di Prancis tapi juga para pemuka agama lain seperti pendeta dan rabbi.

Panitia aksi protes sempat panik ketika Hamidullah yang hadir dalam aksi tersebut naik ke atas panggung. Pihak pengamanan dibuat sibuk meminta para fotografer dan juru kamera yang meliput acara itu untuk tidak mengambil gambar.

Tapi Hamidullah menenangkan panitia dan membiarkan para juru foto dan juru kamera televisi mengambil gambarnya saat ia berorasi.

Saking misterius dan jauhnya sosok Hamidullah dari publikasi media. Banyak spekulasi bermunculan tentang darimana sebenarnya asal-usulnya. Masyarakat Prancis menganggap Hamidullah adalah keturunan Arab atau Afrika Utara.

Komunitas Pakistan mengklaim Hamidullah asli Pakistan dan menolak klaim orang-orang India bahwa Hamidullah kelahiran India. Uniknya, di Turki, sebagian Muslim Turki meyakini bahwa Hamidullah orang Turki.

Hamidullah sendiri punya jawaban khas tiap kali ditanya apa kebangsaannya. "Saya datang dari surga. Ibu saya Hawa dan ayah saya Adam," begitulah jawaban Hamidullah. Tapi di buku "Abraham", Hamidullah memperkenal dirinya sebagai orang India yang lahir di Hyderabad tahun 1948 dan menuntut ilmu di Universitas La Sorbonne, Prancis. "Saya seorang intelektual muslim Sunni yang berminat pada masalah-masalah sains," tulisnya.

Seorang filsuf Prancis René Guénon yang masuk Islam memberikan komentar tentang Hamidullah. Ia mengatakan, Hamidullah tidak membanding-bandingkan antara Timur dan Barat. "Dia melihat Islam sebagai karunia bagi seluruh umat manusia.

Dengan mengabdikan dirinya pada riset-riset ilmiah tentang Islam dan menuliskan hasilnya dalam berbagai bahasa asing, Profesor Hamidullah telah menyemai benih-benih intelektualitas di Prancis, meski pribadinya sangat misterius hingga kini," kata René Guénon yang sejak menjadi seorang muslim menetap di Mesir. (ln/zaman/isc)

Julius: Mualaf Menjadi Cendikiawan Muslim Disegani di Eropa



Nama Abdul-Karim Germanus mungkin sangat asing di telinga kita, padahal ia ada salah satu tokoh cendikiawan Muslim Eropa yang menghabiskan hampir separuh hidupnya untuk membela Islam lewat buku-buku dan karya-karya tulisnya tentang Islam. Sebelum memeluk Islam, Germanus yang bernama asli Julius Germanus adalah seorang Kristiani. Ia menyebut perpindahan agamanya dari Kristen ke Islam sebagai "momen pencerahan" dalam hidupnya.

Germanus lahir di Budapest, ibukota Hungaria pada tahun 1884 dari keluarga Kristen. Ia menjalani masa anak-anak dan remajanya dengan sulit karena selalu dililit berbagai persoalan dan mengalami penindasan. Namun ia bisa melewati masa-masa kelam itu dan berhasil menyelesaikanya kuliahnya di Universitas Budapest. Setelah lulus kuliah, Germanus memutuskan untuk menekuni bidang bahasa Turki. Untuk itu, pada tahun 1903, ia berangkat ke Turki dan kuliah lagi di jurusan bahasa Turki di Universitas Istanbul. Dalam dua tahun, Germanus meraih gelar master di bidang bahasa Turki, ia bisa berbicara, membaca dan menulis bahasa Turki dengan sempurna.

Saat kuliah di Istanbul itulah awal ketertarikan Germanus pada Islam. Karena kuliah di jurusan bahasa, ia mempelajari al-Quran dengan terjemahan bahasa Turki yang memudahkannya memahami ajaran Islam. Germanus terus menggali informasi tentang Islam dan melakukan perbandingan dengan ajaran Kristen, agama yang dianutnya sejak lahir. Ia membandingkan apa yang ditulis Kristen tentang Islam dan apa yang ditulis Quran dan Sunnah tentang Islam. Tentu saja, Germanus mau tidak mau juga harus mempelajari hadist-hadist Rasulullah Muhammad Saw yang diterjemahkan dalam bahasa Turki.

Ketika kembali ke Hungaria, Germanus melihat banyak mantan profesornya yang dikenal orientalis, salah dalam memahami Islam. Tak jarang Germanus harus adu argumentasi dengan para profesor itu soal karakter Rasulullah Muhammad Saw dan hadist-hadistnya. Karena seringnya beradu pendapat soal Islam dengan profesornya, Germanus memutuskan belajar bahasa Arab bahkan Persia. Dan dengan mudah, Germanus berhasil menguasai kedua bahasa tersebut dengan baik sehingga pada tahun 1912 ia ditunjuk sebagai profesor bidang bahasa Turki, Arab, Persia dan sejarah Islam di Hungarian Royal Academy di Budapest. Ia kemudian ditunjuk untuk mengepalai Departemen Studi Oriental di Universitas Ilmu Ekonomi Budapest. Germanus juga sempat mengabid di Universitas Budapest, tapi tidak lama.

Tahun 1928, setelah keluar dari Universitas Budapest, Germanus diundang Gurudev Rabindranath Tagore dari India untuk mengepalai departemen studi Islam di Universitas Visva-Bharati di Shantiniketan, Bengal. Germanus menetap di India selama beberapa tahun dan di India pula, tepatnya di Mesjid Raya Delhi, Germanus memutuskan menjadi seorang Muslim dengan mengucapkan dua kalimat syahadat. Germanus mengubah namanya Julius dengan nama Islam, Abdul Karim dan ia diberi hak istimewa untuk memberikan khutbah Jumat di masjid itu.

Perhatian Germanus yang sangat besar pada Islam dan Muslim, membuka jalan baginya untuk berkenalan dengan penyair Muslim terkenal pada masa itu, Muhammad Iqbal, asal Pakistan. Germanus dan Iqbal sering terlibat pembicaraan serius tentang Islam dan isu-isu penting yang menjadi tantangan umat Islam seperti pandangan-pandangan dari para orientaslis dan aktivitas para misionaris Kristen.

Dalam hal misionaris Kristen, Germanus dan Iqbal beda pendapat. Menurut Germanus, propaganda yang disebarkan kalangan misionaris Kristen dari Eropa adalah persoalan serius yang mengancam umat Islam. Tapi Iqbal meyakini bahwa persoalan itu timbul karena kesalahan umat Islam sendiri yang kurang mengutamakan persatuan untuk melawan agenda pada misionari.

Selain dengan Iqbal, Germanus juga menjalin hubungan erat dengan penulis asal Mesir, Mahmoud Timour. Dalam sebuah bukunya, Timour menulis tentang perjalanan hidup Germanus menjadi seorang mualaf. Dalam buku itu, Timour mengutip pernyataan Germanus ketika ditanya soal awal mulanya ia memeluk Islam

"Saat itu adalah masa pencerahan bagi saya, karena Islam adalah agama yang benar. Satu hal yang membuat saya tertarik pada Islam karena Islam adalah esensi dari seluruh aspek kehidupan," kata Germanus.

Setelah mempelajari bahasa Arab klasik di Kairo, Mesir. Germanus kembali mengajar di Universitas Budapest dan ia mengabdi di universitas itu selama lebih dari 40 tahun sebagai profesor bidang sejarah dan peradaban. Dalam tulisan hasil risetnya, Germanus menyerukan dunia Arab agar menjaga kelestarian bahasa Arab klasik yang hampir punah. Germanus ingin suatu hari nanti seluruh negara-negara Arab menggunakan bahasa Arab yang sama yang akan menjadi pengikat persatuan negara-negara Arab yang kaya akan warisan budaya dan sejarahnya.

Melawan Pemikiran Orientalis

Selama karir akademisnya, Germanus selalu berseberangan dengan para pemikir orientalis Eropa yang mendukung kolonialisme. Karena seringnya terlibat pertikaian dengan kaum orientalis, Germanus dipecat dari universitas dengan alasan sebagai profesor sikapnya dia sudah bersikap tidak pantas. Di tengah banyaknya tekanan terhadap Germanus, sejumlah mahasiswanya tetap memberikan dukungan dan memuji ide-ide Germanus yang telah banyak mempengaruhi pemikiran kalangan akademisi baik di Barat dan dunia Islam. Berkat dukungan itu, Germanus bisa kembali bekerja di universitas meski diprotes koleganya yang berpikiran orientalis.

Tahun 1962, Organisasi Cendikiawan Muslim Irak memilih Germanus sebagai anggota kehormatan dari luar Irak. Pada tahun yang sama, ia juga dipilih sebagai anggota akademisi bidang bahasa Arab di Kairo dan Damaskus. Di Hungaria, Germanus berusaha menyatukan seluruh Muslim di negaranya yang ketika itu berjumlah antara 1.000-2.000 orang ke dalam satu wadah organisasi dan berhasil meyakinkan pemerintah Hungaria untuk menerima Islam sebagai salah satu agama resmi negara itu.

Tahun 1935, Germanus menunaikan ibadah haji ke tanah suci dan menjadi salah satu dari sedikit Muslim Eropa yang bisa pergi haji pada masa itu. Ia menuliskan pengalaman hajinya ke dalam memoarnya berjudul "Allahu Akbar" yang kemudian diterjemahkan dalam berbagai bahasa.

Dalam berbagai artikel yang diterbitkan di beberapa media Eropa, Germanus menulis,"Saya seorang lelaki Eropa yang tidak menemukan rumah sendiri di negara saya yang sudah diperbudak oleh emas, kekuasaan dan dominasi. Kesederhaan Islam dan penghormatan kaum Muslimin terhadap Islam telah mempengaruhi hidup saya ... Dunia Islam akan tetap menjaga esensi kebenarannya lewat spiritualitas dan teladan yang baik. Dan Islam akan tetap bertahan dengan dasar-dasar ajarannya tentan kebebasan, persaudaraan dan persamaan derajat seluruh umat manusia."

Dalam artikel lain Germanus menulis, "Islam memiliki kelebihan yang mampu mengangkat derajat manusia dari sikap kebinatangan ke peradaban yang sangat mulia. Saya berharap, Islam sekali lagi bisa mencapai mukjizat itu di saat kegelapan menyelubungi kita."

Beberapa buku yang ditulis Germanus antara lain, The Greek, Arabic Literature in Hungarian, Lights of the East, Uncovering the Arabian Peninsula, Between Intellectuals, The History of Arabic Literature, The History of the Arabs, Modern Movements in Islam, Studies in the Grammatical Structure of the Arabic Language, Journeys of Arabs, Pre-Islamic Poetry, Great Arabic Literature, Guidance From the Light of the Crescent (a personal memoir), An Adventure in the Desert, Arab Nationalism, Allahu Akbar, Mahmoud Timour and Modern Arabic Literature, The Great Arab Poets dan The Rise of Arab Culture.

Germanus wafat pada 7 November 1979 setelah hampir selama 50 tahun mengabdikan diri untuk kemajuan Islam dan Muslim di Eropa lewat pemikiran dan karya-karya tulisnya. (ln/readislam)

19 April 2010

Hedley Churchward, Orang Inggris Pertama yang Naik Haji

Tahukah anda? Pada tahun 1910 telah ada Muslim asli Inggris yang telah menunaikan ibadah haji, yaitu Hedley Churchward yang sejak masuk Islam berganti nama menjadi Mahmoud Mobarek, telah menjadi orang Inggris pertama yang tercatat dalam sejarah yang menunaikan rukun Islam yang kelima yaitu naik Haji.
Abdulhakim Murad, seorang dosen dari Universitas Cambridge departemen Studi Islam, menceritakan kisah menarik peristiwa masuk Islamnya Hedley Churchward yang tercatat sebagai muslim pertama kelahiran Inggris yang melakukan ibadah haji dengan menempuh perjalanan selama lima bulan ke Ka'bah.
Hedley Churchward (Mahmoud Mobarek) lahir menjadi salah satu dari keluarga yang paling terkenal di Inggris, keluarganya memiliki rumah paling tua kedua (berusia lebih dari 700 tahun) di Inggris. Hedley Churchward juga memiliki bakat seni yang diakui orang sejak dirinya berusia dini. Bidang spesialisasi nya adalah melukis pemandangan untuk pentas teater dan di tahun 1880-an, ia menjadi terkenal dengan lukisannya.
Pada perjalanannya yang penuh inspirasi dengan melewati Spanyol, Churchward sangat terkagum-kagum untuk pertama kalinya melihat keindahan arsitektur Islam sisa-sisa peninggalan kebesaran Islam Andalusia dan dari Spanyol ia kemudian melanjutkan perjalanan menyeberang ke Maroko di mana disana ia terkesan dengan kemurnian dan kelembutan gaya hidup Islam masyarakat Maroko. Setelah beberapa saat perjalanannya di Maroko, Hedley Churchward membuat kepetusan yang sangat mengejutkan bagi keluarganya: Ia memutuskan untuk bersyahadat dan menyatakan diri masuk Islam.
Bagi seorang mualaf - Churchward memiliki prestasi besar dalam bidang studi Islam. Dirinya belajar di universitas Al-Azhar selama bertahun-tahun dan menjadi seorang pendakwah dan dosen terkemuka dalam mata kuliah Sirah di Qadi Akademi.
Sewaktu di Kairo, Mahmoud Churchward yang mempunyai bakat seni melukis - ditugaskan untuk menghiasi salah satu masjid di kota itu. Atas banyak jasanya, Presiden Afrika Selatan pada waktu itu - Paul Kruger - sebagai tanda terima kasih kepada Churchward - dirinya memberikan izin untuk pembangunan masjid pertama di Witwatersrand, Afrika Selatan. Churchward menikah dengan seorang wanita Mesir, yang merupakan putri dari salah satu ahli hukum Syariah terkemuka Al-Azhar.
Sejak dirinya masuk Islam, ia telah berpikir dan merasa bahwa ia belum sepenuhnya terintegrasi dengan Islam. Hingga akhirnya Churchward memutuskan untuk pergi ke Mekkah untuk melaksanakan ibadah Haji dalam upaya untuk melengkapi Rukun Islam.
Abdulhakim Murad menceritakan pikiran dan perasaan yang mendalam Churhward atas perjalanannya ke Mekkah melalui pernyataan Churchward sendiri: "Suatu malam, ketika aku berjalan di sepanjang Piramida yang menjulang di waktu matahari terbenam,dan melihat kaki langit di belakang kota Kairo yang menerawangi senja wilayah Afrika, aku memutuskan untuk melaksanakan niatku yang seharusnya aku lakukan sejak aku menjadi seorang Muslim - aku akan pergi ke Ka'bah di Mekah. "
Pada tahun 1910 dalam situasi sosial politik yang kurang menguntungkan, niat tulusnya untuk melaksanakan ibadah haji harus melalui pembuktikan, karena secara syariah non-muslim dilarang untuk masuk ke perbatasan Mekkah. Churchward harus menjalani ujian soal pengetahuan Islam selama tiga jam yang dilakukan oleh seorang Qadhi Mesir untuk mengetahui pemahaman keIslamannya. Setelah berhasil ujian, ia mendapatkan 'paspor keagamaan' yang didukung oleh Qadhi seorang pimpinan ulama dari kekhalifahan Utsmaniyah waktu itu dan banyak ulama terkemuka dan para imam yang membantu dirinya untuk mengatasi kemungkinan hambatan birokrasi selama perjalanannya menuju Baitullah. Churchward berangkat dari Afrika Selatan (Johannesburg) menuju Mekkah pada tahun 1910. Dia menjalani perjalanan yang sangat melelahkan dengan menaiki kapal uap melalui Bombay.
Di pelabuhan Sudan Suakin, ia berkunjung ke kedutaan Inggris dan diberitahu bahwa ia tidak akan diizinkan untuk turun di Jeddah. Namun, ia mampu menyelesaikan persoalan itu, di mana ia menghubungi pejabat Utsmani dan tidak mengalami masalah sedikitpun. Di sana ia juga berkomunikasi dengan biro panduan haji dan mereka berangkat ke Kota Suci dengan dua keledai di malam berikutnya.
Abdulhakim Murad juga menceritakan banyak rintangan yang dilalui oleh Churchward dalam melakukan perjalanan menuju Mekkah. Dalam perjalanannya melintasi gurun pasir, ia sempat diserang oleh sekelompok Arab baduy yang ingin merampok kafilahnya, namun Churcward mampu melewati situasi yang berbahaya tersebut di tengah panas terik gurun pasir dan perjalanan yang melelahkan dengan sukses.
Meyakini bahwa Allah akan mengatur segalanya  yang terbaik untuknya, akhirnya ia dan rombongannya tiba di Tanah Suci. Perjalanan selama lima bulan Churchward menuju ke Tanah Suci selesai sewaktui Churchward dan rombongannya menginjakkan kaki di Ka'bah, Rumah Allah.
Dan Mahmoud (Churchward) Mobarek adalah Muslim Inggris pertama yang naik haji dan melihat Ka'bah pada tahun 1910 dan sangat dihormati karena menjadi orang Inggris pertama yang menjadi tamu Allah.

KH Turaichan Adjhuri Asy-Syarofi, Guru Para Ahli Falak di Indonesia


Ia pernah di sidang, karena berbeda pendapat dengan pemerintah dalam masalah gerhana matahari total dan penentuan awal bulan Syawal.

Menyebut ilmu falak, mungkin bagi sebagian umat Islam masih terasa asing di telinga. Ilmu falak adalah suatu ilmu yang mempelajari lintasan benda-benda langit, khususnya bumi, bulan, dan matahari pada orbitnya masing-masing dengan tujuan agar dapat diketahui posisi benda-benda langit antara yang satu dan lainnya, sehingga dapat diketahui pula peredaran waktu di permukaan bumi.

Ilmu ini disebut pula dengan ilmu perbintangan atau astronomi, karena menghitung atau mengukur lintasan bintang-bintang. Ia biasa juga disebut dengan ilmu hisab, karena dipergunakan perhitungan. Kata lainnya adalah ilmu  rashd, karena memerlukan pengamatan, atau ilmu  miqat yang mempelajari tentang batas-batas waktu.Di dunia Islam, istilah ini sudah sangat familiar. Bahkan, banyak ilmuan Muslim yang mampu melakukan perhitungan secara cermat dan teliti sehingga dapat diketahui ukuran waktu di suatu tempat.

Dalam Islam, ilmu ini sangat berkaitan erat dengan penanggalan (kalender), waktu shalat, arah kiblat, dan gerhana. Untuk penanggalan (kalender) ini, Islam mengenal berbagai istilah penanggalan, di antaranya kalender Masehi dan Hijriah. Umumnya, penanggalan Hijriah menggunakan masa edar bulan atau disebut pula dengan penanggalan Qomariyah (bulan). Sedangkan penanggalan Masehi biasanya menggunakan penanggalan Syamsiyah (menghitung waktu berdasarkan masa edar matahari).

Bagi sebagian orang, ilmu ini dikenal sangat rumit. Sebab, dibutuhkan perhitungan-perhitungan dan pengamatan yang cermat dan teliti, sehingga menghasilkan perhitungan yang sesuai (tepat). Karena itu, acapkali terdapat perbedaan di kalangan ulama dalam menentukan waktu yang sesuai dengan yang sebenarnya. Dan hanya orang-orang yang telaten, rajin, dan giat yang mampu dan mau berkecimpung dalam bidang ini.

Di Indonesia, terdapat sejumlah tokoh yang sangat mumpuni dalam bidang ilmu falak ini. Salah satunya adalah KH Turaichan Adjhuri Asy-Syarofi, seorang ulama asal Kudus, Jawa Tengah. Ulama kelahiran Kudus, 10 Maret 1915, ini dikenal sebagai 'gurunya para ahli ilmu falak Indonesia'. Kepakarannya dalam bidang ini sudah tak diragukan lagi, mengingat keilmuan dan kapasitasnya yang dalam menekuni ilmu falak. Karena kepakarannya itu, Kiai Turaichan biasa disapa dengan Mbah Turaichan diberikan jabatan sebagai Ketua Markas Penanggalan Provinsi Jawa Tengah.

Mbah Turaichan adalah putra Kiai Adjhuri dan Nyai Sukainah. Sejak masa kanak-kanak, ia dibekali dengan pendidikan agama yang sangat matang. Ia belajar melaui sistem tradisional masyarakat yang telah turun-temurun dijalani keluarga dan teman-teman di sekitarnya. Ia mengaji pada para Kiai dan ulama di sekitar tempat tinggalnya secara nonformal dan  sempat mengenyam pendidikan formal di daerahnya selama dua tahun.

Unik
Mbah Turaichan terbilang seorang ulama yang unik. Namun, ia juga sangat luar biasa. Bila seorang 'calon ulama' dan anak seorang kiai diharuskan belajar pendidikan agama di pondok pesantren (pendidikan informal), sepanjang hidupnya Mbah Turaichan tak pernah mengecam pendidikan pesantren, dalam arti 'mondok' (menetap) sebagai seorang santri yang diasramakan di lingkungan pesantren.

Kebiasaan ini terbilang tidak lazim, kendati di pesantren dikenal dengan istilah santri kalong, yaitu santri yang belajar di pesantren, namun setelah belajar pada hari itu mereka kembali lagi ke rumahnya.

Mbah Turaichan hanya mengenyam pendidikan formal selama dua tahun, yakni ketika berusia 13 hingga 15 tahun. Tepatnya di Madrasah Tasywiquth Thullab Salafiyyah (TBS), Kudus, sekitar tahun 1928, yakni sejak madrasah tersebut didirikan. Namun, karena kemampuannya yang dianggap melebihi rata-rata, maka ia diminta untuk membantu pelaksanaan belajar-mengajar di madrasah tersebut. Namun demikian, ia juga masih sempat belajar pada ulama lainnya secara nonformal.

Sejak mengajar di Madrasah TBS Kudus inilah, Kiai Turaichan giat belajar ilmu falak dan kemudian secara terus-menerus menekuninya, sehingga sangat mahir dalam bidang ini. Berbagai hal berkaitan dengan bidang ini, perhitungan dan pengamatannya terbukti tepat, kendati hanya dengan mengandalkan pengamatan pada peredaran benda-benda langit  (ru'yah al-hilal).

Tak heran, bila kemampuannya ini kemudian ia tularkan pada para anak didiknya. Namun demikian, sebagaimana sulitnya dalam mempelajari ini, tak banyak anak didiknya yang 'benar-benar' mumpuni sebagaimana kemampuan Mbah Turaichan. Karena kepakarannya itu, maka ia dijuluki oleh para santrinya sebagai 'gurunya para ilmu falak Indonesia'.

Kemampuan yang dimiliki Kiai Turaichan, digunakannya sebagai media dakwah sekaligus membantu umat dalam memecahkan persoalan-persoalan yang rumit berkaitan dengan ilmu falak ini.

Tercatat, tokoh ini pernah menjabat dan terlibat dalam Lajnah Falakiyah PBNU. Bahkan, ia seringkali terlibat dalam diskusi-diskusi yang intens berkaitan dengan bidang yang satu ini, baik tingkat lokal maupun nasional. Dalam berbagai forum muktamar Nahdlatul Ulama, Kiai Turaichan acap kali terlibat dalam diskusi yang serius dengan tokoh lainnya. Dengan argumentasi yang tepat dan mumpuni, kalangan ulama senior sangat mengandalkan keahliannya. Ia seringkali dilibatkan dalam forum yang lebih tinggi saat membahas bidang ilmu falak.

Dan karena keahliannya ini, tak jarang pendapatnya berbeda dengan kebanyakan pandangan ulama, termasuk di PBNU. Namun demikian, ia tetap kukuh pada pandangan dan pendapatnya itu. Sebab, ia yakin, pendapatnya itu benar, berdasarkan ilmu, pengamatan, dan kondisi alam yang ada. Dan terbukti, pendapat-pendapatnya lebih banyak yang sesuai dengan kenyataan.

Di sidang
Kendati berbeda pandangan, Kiai Turaichan tetap menjalin hubungan yang baik dengan pihak-pihak yang sering menolak keputusannya. Bahkan, ia juga selalu bersikap akomodatif pada pemerintah, walaupun pemerintah pernah beberapa kali mencekalnya. Pencekalan dilakukan karena Kiai Turaichan mengeluarkan pernyataan berbeda dengan pemerintah perihal penentuan awal bulan Syawal.

Ia pernah sidang ke pengadilan pada 1984, ketika menentang perintah pemerintah untuk berdiam diri di rumah saat terjadi gerhana Matahari total pada tahun tersebut. Alih-alih menaati perintah itu, ia justru mengajak umat untuk melihat peristiwa tersebut secara langsung dengan mata kepala telanjang.

Pada waktu terjadi peristiwa gerhana Matahari total tersebut, ia memberi pengumuman kepada umat Muslim di Kudus, bahwa gerhana Matahari total adalah fenomena alam yang tidak akan menimbulkan dampak (penyakit) apa pun bagi manusia jika ingin melihatnya, bahkan Allahlah yang memerintahkan untuk melihatnya secara langsung.

Hal ini dikarenakan redaksi kabar mengenai fenomena alam itu menunjukkan keagungan Allah ini difirmankan oleh Allah menggunakan kata  abshara , yang berarti melihat secara langsung dengan mata, bukan makna denotatif seperti mengamati, meneliti, dan lain-lain, meskipun memang ia dapat berarti demikian secara lebih luas.

Pada hari terjadinya gerhana Matahari total di tahun tersebut, Kiai Turaichan tengah berpidato di Masjid al-Aqsha, menara Kudus. Di tengah-tengah pidato, ia mengajak jamaah untuk menyaksikan langsung gerhana tersebut.

''Wahai Saudara-saudara, jika kalian tidak percaya, maka buktikan. Sekarang peristiwa yang dikatakan menakutkan, sedang berlangsung. Silakan keluar dan buktikan, bahwa Allah tidak menciptakan bala atau musibah darinya. Silakan keluar dan saksikan secara langsung!''

Maka, para jamaah pun lantas berhamburan keluar, menengadah ke langit dan menyaksikan secara langsung dengan mata kepala telanjang terjadinya gerhana Matahari total. Setelah beberapa saat, para jamaah kembali ke tempatnya semula, dan Kiai Turaichan melanjutkan pidatonya. Dan faktanya, memang tidak terjadi apa-apa, termasuk musibah yang didengungkan oleh pemerintah.

Namun karena keberaniannya ini, Kiai Turaichan harus menghadap dan mempertanggungjawabkan tindakannya di depan aparat negara yang sedemikian represif waktu itu. Meski demikian, sama sekali ia tidak menunjukkan tabiat mendendam terhadap pemerintah.

Bahkan, hingga menjelang akhir hayatnya pada 20 Agustus 1999, ia termasuk ulama yang sangat antusias mendukung undang-undang pencatatan nikah oleh negara yang telah berlaku sejak 1946. Kiai Turaichan sangat getol menentang praktik-praktik  nikah siri atau di bawah tangan.

Menurutnya, selama hukum pemerintah berpijak pada kemaslahatan umat dan tidak bertentangan dengan syariat Islam, maka wajib bagi seluruh umat Muslim yang menjadi warga negara Indonesia untuk menaatinya. Artinya, pelanggaran atas suatu peraturan (undang-undang) tersebut adalah juga dihukumi sebagai kemaksiatan terhadap Allah. Demikian pun menaatinya, berarti adalah menaati peraturan Allah.Hal inilah yang membuat kharisma dan kealiman Kiai Turaichan semakin diperhitungkan. Tak heran, bila namanya sangat masyhur sangat ahli ilmu falak yang sangat disegani.

'Lokalitas NU'

KH Turaichan Adjhuri Asy-Syarofi dikenal sebagai ulama ilmu falak yang sangat karismatik. Ia pernah ditunjuk menjabat sebagai Ketua Lajnah Falakiyah PBNU. Di tingkat cabang Kabupaten Kudus, Ia pernah menjabat sebagai Rais Syuriah NU.

Kiai Turaichan juga pernah terlibat dalam dunia politik di tingat pusat. Beberapa kali ia ditunjuk menjadi panitia Ad Hoc oleh pimpinan pusat Partai NU. Selain itu, ia juga dipercaya menjadi  qadli (hakim) pemerintah pusat pada tahun 1955-1977.

Di organisasi Nahdlatul Ulama, Kiai Turaichan seringkali terlibat dalam forum-forum diskusi dan  bahtsul masail (membahas permasalahan umat), terutama bidang yang menjadi spesialisasinya. Namun, pada saat terjadi perubahan asas dasar NU dari asas Ahlussunnah wal Jamaah menjadi asas Pancasila, dia menyatakan memisahkan diri dari keorganisasian NU.

Meski telah menyatakan memisahkan diri secara keorganisasian, namun ia tetap dipercaya sebagai Rais Suriyah di tingkat cabang. Sedangkan untuk tingkat pusat, ia tidak lagi aktif seperti sebelumnya. Karenanya, Kiai Turaichan kemudian mempopulerkan istilah 'Lokalitas NU' yang berarti tetap setia untuk memperjuangkan organisasi NU dalam skala lokal, yakni di NU cabang Kudus saja.

Banyak Sastra Jawa yang Bernapaskan Islam

Karya-karya sastra Jawa yang dilahirkan pada masa kerajaan Mataram banyak yang bernapaskan Islam, kata pengamat budaya Jawa dari Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) Prof Dr Endang Nurhayati.

"Hal itu bisa terjadi karena pemerintah Jawa selepas kerajaan Demak telah banyak menjadi pusat budaya Islam-Jawa," kata Endang dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Budaya Jawa Fakultas Bahasa dan Seni UNY di Yogyakarta, Kamis (10/12).

Ia mengatakan, munculnya karya-karya tersebut tidak terlepas dari campur tangan penguasa yang memiliki kekuasaan "khalifatullah sayidin panata gama" (manusia yang menjadi tangan kanan Allah untuk memgembangkan Islam di bumi dan menegakkan kehidupan beragama).

"Salah satu khalifatullah yang menyebarluaskan nilai-nilai agama Islam di Jawa lewat karya tulis adalah Ingkang Sinuhun Paku Buwana IV dengan karyanya serat wulang reh. Karya itu secara jelas menuntun manusia ke jalan Allah lewat membaca Alquran," katanya.

Menurut dia, peradaban Islam telah memengaruhi pandangan hidup orang Jawa sejak Kesultanan Demak mengambil alih kekuasaan Majapahit. Runtuhnya Majapahit merupakan awal perubahan peradaban Jawa dari Hinduisme ke Islam.

"Pada awalnya peradaban Islam masuk lewat 'wong cilik' karena para wali sulit menembus kerajaan Majapahit yang menolak keras ajaran Islam. Melihat peluang itu Kesultanan Demak memanfaatkan secara politik untuk mengambil alih kekuasaan," katanya.

Ia mengatakan, dengan bantuan masyarakat bawah dan para wali, Majapahit berhasil diruntuhkan dan kekuasaan beralih ke Demak. "Pada saat itu pula priyayi mulai menjalankan syariat Islam. Meskipun sebagian santri masih memandang mereka melaksanakan syariah tersebut atas dasar politik," katanya.

Sejumlah Temuan Para Tabib Muslim

Perkembangan ilmu pengetahuan terus melaju di masa Islam. Beragam temuan di berbagai bidang terungkap pula. Demikian pula yang terjadi di bidang kedokteran atau pengobatan. Pada masa Turki Ottoman, tabib Muslim menemukan sejumlah penyakit mental dan syaraf (neurologis).

Ada banyak naskah berserak mengenai penemuan jenis penyakit tersebut. Ada pula naskah yang hilang akibat penghancuran saat wilayah Islam diinvasi. Di sisi lain, terdapat naskah yang hancur karena ditelan masa. Namun, ada sejumlah naskah yang bisa terselamatkan.

Naskah yang mengungkap temuan-temuan itu dibuat antara abad ke-15 dan ke-18. Sejumlah penyakit mental dan syaraf yang dijelaskan dalam naskah itu, di antaranya ihtinak rahm (histeris) dan hafakan atau  yurek oynamasi (kegelisahan ).

Di samping itu, ada pula beberapa penyakit suciye muptela olanlar (kecanduan alkohol), afyonkesler ve berse muptel olanlar (kecanduan opium), dan kecanduan tembakau yang sekarang orang yang mengalaminya sering disebut sebagai perokok akut.

Dalam naskah medis itu, terungkap pula penyakit yang disebut teza'zu-i dimag (cedera kepala traumatis). Hal ini bisa terjadi jika seseorang jatuh dari tempat yang tinggi, mendapat pukulan keras di kepala, dan jika kepala dipukul dengan keras berkali-kali saat berkelahi.

Penyakit mental yang disebutkan dalam naskah medis ini, termasuk dalam pembahasan penyakit kepala yang disebut dengan sersam. Secara etimologi  ser itu berarti kepala dan sam berarti bengkak. Gejala utama penyakit sersam adalah kebingungan pikiran.

Gejala lainnya, mereka yang menderita penyakit itu, selalu berbicara melantur dan tak jelas, merasakan demam, dan tubuh gemetar. Ada jenis  sersam lainnya yaitu feranitis. Penyakit ini merupakan pembengkakan pada selaput otak. Di dunia kedokteran modern disebut meningitis.

Tipe lain dari sersam adalah demevi verem (flegmoni) yang merupakan penyakit berupa peradangan pada otak. Penyakit itu, sering disebut ensefalitis. Beberapa gejalanya, antara lain, wajah dan mata pasien berubah menjadi merah, mata lebih menonjol, dan sakit kepala hebat.

Selain itu, pasien terus merasa terganggu, kejang-kejang, mudah mengantuk, dan muntah-muntah. Jenis terburuk dari  sersam adalah subari yang dalam bahasa Turki disebut ifratla olan sersam-i tiz. Gejala utama subari adalah divanelik (kegilaan) dan asuftelik (kegelisahan).

Gejala lainnya, penderita tak dapat tidur dengan baik, mengalami mimpi buruk, lalu terbangun dalam keadaan ketakutan yang luar biasa, matanya kadang berubah menjadi merah darah, kadang-kadang bagian putih dari matanya menjadi kuning, gerakan matanya lambat, dan melantur.

Pada awalnya penderita subari merasa sangat gelisah, tetapi rasa gelisah itu kemudian menurun hingga dia hampir tidak dapat membuka matanya, mengalami demam tinggi, lidah bengkak, mulut kering, denyut nadi semula cepat dan kuat tetapi kemudian menjadi lemah dan lambat.

Napas penderita penyakit ini, semula kuat tetapi kemudian melemah, merasa seperti sakit di leher sehingga tampak pembuluh darahnya sedang tegang. Jenis terakhir sersam adalah soguk sersam (sersam dingin). Ini merupakan jenis  sersam tanpa demam.

Dalam bahasa Arab-Turki, penyakit ini sering disebut  nisyan dan unutsaguluk yang berarti kelupaan. Gejala utama dari  sersam dingin adalah pelupa. Beberapa gejala khusus dari sersam dingin, antara lain, sakit kepala ringan tanpa disertai demam.

Selain itu, gejala lain yang menyerang penderita adalah perasaan mengantuk yang sangat kuat, mengalami lupa pada tingkat yang ekstrem, lambat dalam bergerak, denyut nadi perlahan-lahan dan ringan, sesak napas, sering menguap, dan memiliki air liur berlebihan.

Penderita penyakit ini, mengalami pula kebingungan dan tak mampu membedakan antara baik dan buruk. Penyakit ini seperti gejala penyakit demensia. Naskah medis tersebut, juga menjelaskan mengenai penyakit  humre dan demregu, yang masuk kategori penyakit yang menyerang otak.

Tak ada penjelasan yang lengkap dan perinci apakah humre dan demregu termasuk dalam jenis sersam atau tidak. Namun, dalam kamus disebutkan bahwa humre adalah erysipelas (api luka) yang dalam bahasa Turki disebut yilancik, alazlama.

Sedangkan demregu merupakan penyakit yang disebut dengan tarama sozlugu atau penyakit lumut. Penyakit tersebut memiliki tiga gejala yang berbeda di antaranya, sakit kepala, merasakan kepanasan, merasakan kedinginan pada kulit wajah, dan warna mata kekuning-kuningan.

Lalu, dari waktu ke waktu wajah penderita memanas dan matanya menjadi merah. Penderita akan merasa demam dan gemetar. Bahkan, demam dan gemetar itu Jauh lebih hebat daripada penderita penyakit flegmoni. Sebagian besar dari mereka akhirnya meninggal dalam kurun tiga hari.

Jika mereka mampu menghadapi masa kritis dan sanggup bertahan selama tiga hari, mereka memiliki banyak harapan hidup. Penyakit tersebut kemungkinan menyebabkan komplikasi ketika dibiarkan tanpa pengobatan yang baik, efektif, dan teratur.

Melatih Para Calon Tabib

Perkembangan di bidang medis, tak terjadi begitu saja. Demikian pula dengan sejumlah penyakit yang berhasil diidentifikasi dan ditemukan para tabib Muslim di masa Turki Ottoman. Ada konsep dan metode yang memang diterapkan untuk melakukan pelatihan bagi mereka yang bergelut di bidang medis.

Selain para tabib, yang sering pula disebut sebagai ahli penyakit dalam, ada pula spesialis lainnya misalnya di bidang bedah, orthopedist, herbalis, dan mereka yang memiliki spesialisasi lainnya yang terkait dengan layanan kesehatan publik. Mereka mendapatkan pelatihan dan pendidikan dengan cara yang berbeda-beda.

Dokter atau tabib, memiliki posisi tertinggi dalam kelas pelatihan. Mereka biasanya mendapatkan pengajaran di sebuah madrasah dan dar al-shifa atau rumah sakit. Di rumah sakit Ottoman, seperti di Rumah Sakit Seljuk Kayseri (1205-6), mereka mendapatkan pelatihan baik dalam bentuk teori maupun praktik.

Seseorang yang ingin menjadi tabib disebut  talib dan mereka yang menjadi siswa madrasah yang kelak menjadi tabib disebut  shaqirdi tabib. Mereka mempelajari sejumlah kasus klinis di rumah sakit dan belajar tentang teori pengobatan di madrasah, juga membaca manuksrip medis di perpustakaan.

Untuk memberikan pelatihan yang baik, Pemerintah Ottoman melakukan sejumlah langkah. Di antaranya adalah membangun sejumlah rumah sakit baru. Salah satu rumah sakit yang dibangun untuk keperluan itu adalah RS Bursa (1399), yang merupakan bagian dari kompleks Sultan Yildirim, di mana para siswa kedokteran mendapat pelatihan di sana.

Sejumlah kalangan menyebutnya sebagai dar al-tib atau sekolah kedokteran. Ada pula Rumah Sakit Fatih (1470) yang terletak di Istanbul. Mereka yang mengajar kedokteran disebut  darsiam dan para siswa kedokteran disebut dengan  tabib shaqirdi.

Sebuah sekolah kedokteran yang terpisah didirikan di Kompleks Suleymaniye (1556-7), di mana kedokteran menjadi sebuah disiplin ilmu yang independen. Para siswa kedokteran yang belajar di sekolah tersebut melakukan praktik kedokteran di rumah sakit yang ada di dekat sekolah tersebut.

Mereka tak hanya mendalami ilmu kedokteran tetapi juga mempelajari hukum Islam, filsafat, literatur, dan bahasa Arab. Bahkan, mereka juga mesti mampu menguasai beragam ilmu pengetahuan. Biasanya, selama pendidikan di madrasah mereka dibekali berbagai ilmu itu sebelum melakukan praktik di rumah sakit.

Abu Al Zahrawi, Sang Penemu Gips Era Islam

Abu Al Zahrawi merupakan seorang dokter, ahli bedah, maupun ilmuan yang berasal dari Andalusia. Dia merupakan penemu asli dari teknik pengobatan patah tulang dengan menggunakan gips sebagaimana yang dilakukan pada era modern ini. Sebagai seorang dokter era kekalifahan, dia sangat berjasa dalam mewariskan ilmu kedokteran yang penting bagi era modern ini.

Al Zahrawi lahir pada tahun 936 di kota Al Zahra yaitu sebuah kota yang terletak di dekat Kordoba di Andalusia yang sekarang dikenal dengan negara modern Spanyol di Eropa. Kota Al Zahra sendiri dibangun pada tahun 936 Masehi oleh Khalifah Abd Al rahman Al Nasir III yang berkuasa antara tahun 912 hingga 961 Masehi. Ayah Al Zahrawi merupakan seorang penguasa kedelapan dari Bani Umayyah di Andalusia yang bernama Abbas. Menurut catatan sejarah keluarga ayah Al Zahrawi aslinya dari Madinah yang pindah ke Andalusia.

Al Zahrawi selain termasyhur sebagai dokter yang hebat juga termasyhur karena sebagai seorang Muslim yang taat. Dalam buku Historigrafi Islam Kontemporer, seorang penulis dari perpustakaan Viliyuddin Istanbul Turki menyatakan Al Zahrawi hidup bagaikan seorang sufi. Kebanyakan dia melakukan pengobatan kepada para pasiennya secara cuma-cuma. Dia sering kali tidak meminta bayaran kepada para pasiennya. Sebab dia menganggap melakukan pengobatan kepada para pasiennya merupakan bagian dari amal atau sedekah. Dia merupakan orang yang begitu pemurah serta baik budi pekertinya.

Selain membuka praktek pribadi, Al Zahrawi juga bekerja sebagai dokter pribadi Khalifah Al Hakam II yang memerintah Kordoba di Andalusia yang merupakan putra dari Kalifah Abdurrahman III (An-Nasir). Khalifah Al Hakam II sendiri berkuasa dari tahun 961 sampai tahun 976. Dia melakukan perjanjian damai dengan kerajaan Kristen di Iberia utara dan menggunakan kondisi yang stabil untuk mengembangkan agrikultur melalui pembangunan irigasi. Selain itu dia juga meningkatkan perkembangan ekonomi dengan memperluas jalan dan pembangunan pasar.

Kehebatan Al Zahrawi sebagai seorang dokter tak dapat diragukan lagi. Salah satu sumbangan pemikiran Al Zahrawi yang begitu besar bagi kemajuan perkembangan ilmu kedokteran modern adalah penggunaan gips bagi penderita patah tulang maupun geser tulang agar tulang yang patah bisa tersambung kembali. Sedangkan tulang yang geser bisa kembali ke tempatnya semula. Tulang yang patah tersebut digips atau dibalut semacam semen. Dalam sebuah risalahnya, dia menuliskan, jika terdapat tulang yang bergeser maka tulang tersebut harus ditarik supaya kembali tempatnya semula. Sedangkan untuk kasus masalah tulang yang lebih gawat, seperti patah maka harus digips.

Untuk menarik tulang lengan yang bergeser, Al Zahrawi menganjurkan seorang dokter meminta bantuan dari dua orang asisten. Kedua asisten tersebut bertugas memegangi pasien dari tarikan. Kemudian lengan harus diputar ke segala arah setelah lengan yang koyak dibalut dengan balutan kain panjang atau pembalut yang lebih besar. Sebelum dokter memutar tulang sendi sang pasian, dokter tersebut harus mengoleskan salep berminyak ke tangannya. Hal ini juga harus dilakukan oleh para asisten yang ikut membantunya dalam proses penarikan. Setelah itu dokter menggerakan tulang sendi pasien dan mendorong tulang tersebut hingga tulang tersebut kembali ke tempatnya semula.

Setelah tulang lengan yang bergeser tersebut kembali ke tempat semula, dokter harus melekatkan gips pada bagian tubuh yang tulangnya tadi sudah dikembalikan. Gips tersebut mengandung obat penahan darah dan memiliki kemampuan menyerap. Kemudian gips tersebut diolesi dengan putih telur dan dibalut dengan perban secara ketat. Setelah itu, dengan menggunakan perban yang diikatkan ke lengan, lengan pasien digantungkan ke leher selama beberapa hari. Sebab jika lengan tidak digantungkan, maka lengan terasa sakit karena masih lemah kondisinya.

Sesudah kondisi lengan semakin kuat dan membaik, maka gantungan lengan ke leher dilepaskan. Jika tulang yang bergeser itu sudah benar-benar kembali dalam posisi semula dengan baik dan sudah tidak terasa begitu sakit lagi maka buka semua balutan termasuk gips yang membalut tangan pasien. Tetapi jika tulang yang bergeser tersebut belum sepenuhnya pulih atau kembali ke tempat semula secara tepat, maka perban maupun gips yang membalut lengan pasien harus dibuka. Lalu lengan pasien dibalut lagi dengan gips dan perban yang baru setelah itu dibiarkan selama beberapa hari hingga lengan pasien benar-benar sembuh total.

Salah satu karya fenomenal Al Zahrawi merupakan Kitab Al-Tasrif. Kitab tersebut berisi penyiapan aneka obat-obatan yang diperlukan untuk penyembuhan setelah dilakukannya proses operasi. Dalam penyiapan obat-obatan itu, dia mengenalkan tehnik sublimasi. Kitab Al Tasrif sendiri begitu populer dan telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa oleh para penulis. Terjemahan Kitab Al Tasrif pernah diterbitkan pada tahun 1519 dengan judul Liber Theoricae nec non Practicae Alsaharavii. Salah satu risalah buku tersebut juga diterjemahkan dalam bahasa Ibrani dan Latin oleh Simone di Genova dan Abraham Indaeus pada abad ke-13. Salinan Kitab Al Tasrif juga juga diterbitkan di Venice pada tahun 1471 dengan judul Liber Servitoris. Risalah lain dalam Kitab Al Tasrif juga diterjemahkan dalam bahasa Latin oleh Gerardo van Cremona di Toledo pada abad ke-12 dengan judul Liber Alsaharavi di Cirurgia. Dengan demikian kitab karya Al Zahrawi semakin termasyhur di seluruh Eropa. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya karya Al Zahrawi tersebut bagi dunia. Kitabnya yang mengandung sejumlah diagram dan ilustrasi alat bedah yang digunakan Al Zahrawi ini menjadi buku wajib mahasiswa kedokteran di berbagai kampus-kampus.

Al Zahrawi menjadi pakar kedokteran yang termasyhur pada zamannya. Bahkan hingga lima abad setelah dia meninggal, bukunya tetap menjadi buku wajib bagi para dokter di berbagai belahan dunia. Prinsip-prinsip ilmu pengetahuan kedokterannya masuk dalam kurikulum jurusan kedokteran di seluruh Eropa. 

Ruang Bagi Wanita dalam Haji

MEKAH--Salah satu ritual utama ibadah Haji bersumber dari keberanian dan ketangguhan seorang wanita. Dalam Islam dikisahkan, Hajar, istri nabi Ibrahim, berlari antara dua bukit demi mencari air untuk bayi lelakinya yang kehasuan setelah mereka ditinggal di padang pasir. Kemudian Allah memberi sebuah mata air yang terus mengalir hingga kini.

Setiap tahun, jamaah haji mengulang kembali peran Hajar dalam pencarian tersebut, berlari tujuh kali antara dua titik di Mekah yang menandai lokasi dua bukit tersebut.

Itu sebuah cerita yang menyentuh hati Shaidah Sharif, seorang Muslim Amerika yang tahun ini melaksanakan haji. Namun ada sesuatu dalam ibadah haji yang mengusiknya.

Ketika jamaah pria dianjurkan untuk berlari cepat antara dua tempat, para wanita justru disarankan banyak ulama untuk melakukan dengan perlahan. Alasannya, kerena wanita "lebih lemah" dan akan lelah, atau karena berlari dianggap tidak sopan.

"Kita memperingati tindakan seorang perempuan, seseorang yang melakukan pengorbanan tidak hanya untuk anaknya namun juga bangunan di seluruh kota yang kini ada," ujar Sharif, mengacu pada pada fakta bahwa Ka'bah, dibangun di dekat situs perjuangan Hajar.

"Dan ketika dia melakukan usaha luar biasa keras demi anaknya, ia tak berpikir tentang gender. dan kini, di sini pula, (mereka) membuat larangan bagi wanita untuk berlari," ujar jamaah berusia 32 tahun dari Atlanta, Georgia, AS itu.

Haji tahun ini mendatangkan sekitar 2,4 juta jamaah dari penjuru dunia. Mereka satu persatu, dimulai hari Senin (30/11) kembali pulang setelah ritual berakhir.

Setiap tipe pemeluk Islam dapat ditemukan di tanah suci. Mulai dari ultrakonservatif berani mati yang bersikeras untuk melakukan pemisahan penuh antara wanita dan pria hingga mereka yang moderat dan mengakomodasi budaya Barat dan mengakui hak-hak wanita di kampung halamannya.

Para wanita, seperti halnya jamaah pria, mengaku menemukan kenikmatan dari ibadah haji, sebuah pengalaman spiritual yang mendekatkan kepada Tuhan, menghapuskan dosa dan mengalami kesamaan hak di antara Muslim.

Namun, ada beberapa kejadian, yang oleh para jamaah wanita dianggap sebagai pelabelan status kelas dua dibanding jamaah lelaki. Kualitas fasilitas rendah, minim akses ke sejumlah situs adalah beberapa contoh.

Salah satu kisah muncul dari penuturan Kameelah Wilkerson. Saat itu sebuah insiden di toilet umum yang begitu menggangunnya. Ketika antrian orang semakin bertambah. Para lelaki berpindah ke toilet wanita dan menyuruh wanita yang ada keluar. Yang mengejutkan Kameelah, Muslim lahir dan besar di Los Angeles, para wanita tak berkata apa-apa.

"Saya berkata, Ladies, mengapa kalian duduk di sini, ke sana dan ambil tempat kalian," ujar Kameelah. "Saya rasanya ingin mendatangi mereka dan berkata (kepada para lelaki), 'Pindah kembali ke toilet lelaki,".

Tak dipungkiri, lokasi ibadah haji, Saudi Arabia adalah salah satu tempat paling konservatif ketimbang belahan lain dunia Islam. Negara itu melarang wanita dan pria bercampur di satu tempat dan tak mengizinkan wanita mengemudi kendaraan.

Namun, seorang jamaah asal Malaysia, Nori Abdullah, yang mengaku dirinya feminis, merasakan pengalaman berbeda. Ketika melaksanakan haji, ia dibuat kagum oleh Masjidil Haram yang membolehkan wanita dan pria tak terpisah sekat saat beribadah.

"Setiap orang dapat sholat di mana pun, dan di sana (sangat mungkin) seorang pria di samping anda," ujarnya. "Inilah suasana sesungguhnya sebuah tempat ibadah,".

Kembali ke kemah jamaah haji asal Amerika, Sharif baru saja menidurkan anak lelakinya berusia 14 bulan. Tahun ini ia harus berjuang antara beribadah, menjadi ibu dan peran unik lain.

Sharif adalah salah satu pemandu jamaah haji, sebuah hal langka. Sebagian besar jamaah datang berserta rombongan asal negara mereka. Dan, sebagian besar dipandu oleh lelaki.

Sharif rupanya--bersama sang suami--pemilik HajjPros, perusahaan berbasis Atlanta yang mengorganisir jamaah. Selain membantu suaminya menjalankan bisnis, ia membantu para kliennya menjalani ritual haji yang rumit dan, menurutnya, itu mempermudah geger budaya yang dialami wanita Barat.

Di dalam Islam, Sharif meyakini, para wanita sungguh-sungguh berperan penting dan menghormati baik wanita maupun pria. Ia juga mendidik kliennya tentang para wanita yang memainkan peran nyata di awal-awal Islam. "Dan bagaimana kami menyusul jejak mereka," ujarnya.

Salah satu wanita dalam rombongannya, Medinah Muhammad, 33 tahun, dokter asal Atlanta, mengatakan haji membuat ia merasa beruntung menjadi warga Amerika.

"Anda merasa terberkahi hidup di negara yang membolehkan wanita memperoleh pendidikan dan mengejar kesempatan karir," ungkapnya. "Diperlukan untuk mendatangi sisi lain planet untuk benar-benar mensyukurinya," aku Medinah.

Ia juga menyatakan, datang ke Mekah benar-benar menguatkan kembali pandangannya tentang peran wanita.

"Ketika saya melihat para wanita keseluruhan, saya pikir kami (para wanita) sangat mengagumkan. Bahkan dengan semua situasi budaya berbeda, para wanita masih dapat bekerja dan mengurus keluarga dengan cara apa pun yang mereka mampu," ujar Medinah.

"Haji benar-benar mengungkapkan itu pada saya,".

14 April 2010

Menyingkap Jam Air Ridhwan al-Sa'ati


Jam air Ridhwan al-Sa'ati merupakan warisan perangkat mekanik Muslim yang di dalamnya dibenamkan teknologi maju.

Berbagai upaya telah diupayakan untuk menemukan jawaban memuaskan. Ini tentang sebuah jam air yang ada di Masjid Ummayah, Damaskus, Suriah. Setiap jam, bunyi berdentang terdengar dari jam itu. Ternyata, jam ini sudah ada enam abad sebelum pembuatan Big Ben di London, Inggris, pada 1859.

Pada akhirnya, sejumlah manuskrip terkumpul. Selubung misteri jam tersebut pun ikut tersingkap. Manuskrip-manuskrip yang ada mengisahkan, jam itu diletakkan di pintu masuk sebelah timur Masjid Ummayah atau di sebelah kanan pintu keluar masjid yang berdekatan dengan istana pemerintah, Qasr al-Khadhra.

Pintu masuk sebelah timur itu dinamakan Bab al-Sa'at yang disebut pula sebagai Gerbang Jam. Ada pula nama lain yang disematkan pada pintu masuk itu, di antaranya Bab Jayrun dan Bab El-Labbadin. Keberadaan dan kerja jam air itu digambarkan oleh operator awal jam tersebut, Ridhwan.

Ini terungkap dalam sebuah manuskrip tahun 600 Hijriyah atau 1202 Masehi. Jam itu dinamai dengan nama sang operator tersebut, yaitu Ridhwan al-Sa'ati. Keberadaan jam itu merupakan salah satu warisan perangkat mekanik Muslim yang membenamkan teknologi maju di dalamnya.

Memang, pada jam ini, terdapat sejumlah keunikan dan kecanggihan teknologi. Jam ini menunjukkan pentingnya perkiraan waktu dan ditempatkan di lokasi yang strategis, antara istana pemerintah dan masjid. Jadi, jam ini berada di dekat pusat pemerintahan dan pusat kegiatan umat.

Keunikan lain yang melekat pada jam ini adalah kemampuannya menghubungkan kalender Hijriyah terkait perubahan musim dengan kondisi udara, menetapkan sudut sinar matahari, serta membagi waktu siang dan malam masing-masing selama 12 jam yang tak terpengaruh apakah lebih panjang atau pendek dalam sebuah tahun.

Tak hanya itu, jam ini juga memberitahukan khalayak mengenai pergantian waktu setiap jam dengan dentangan suaranya. Dengan keberadaan semua kemampuan pada jam tersebut, Ridhwan sebagai operator jam dianugerahi status tinggi sebagai seorang menteri dalam pemerintahan.

Di sisi lain, pemerintah juga mengalokasikan anggaran khusus untuk pemeliharaan dan keberlangsungan alat itu. Sejumlah pakar mengatakan, jam Ridhwan termasuk dalam kelompok perangkat waktu hidrolik yang terkenal pada masa lalu, seperti Clepsydra dan Ghati. Ini juga menunjukkan perkembangan konstruksi pembuatan jam dari waktu ke waktu.

Terutama, saat Khalifah Harun al-Rasyid pada 786 Masehi menghadiahkan jam air yang terbuat dari kayu kepada Charlemagne I yang merupakan raja kaum Frank di Barat. Diyakini pula, bentuk berbeda dari perangkat sejenis itu ada di wilayah lain di dunia Islam. Jadi, jam itu menyebar luas di wilayah Islam.

Menurut manuskrip Ridhwan al-Sa'ati; ayah Ridhwan, yaitu Abu 'Abdullah Muhammad bin Naser bin Saghir bin  Khalid al-Kaysarani, merupakan orang pertama yang mengoperasikan jam tersebut. Ini terjadi sebelum Sultan  Nur Ed-Din Mahmud bin Zanki mengambil alih Damaskus pada 1154 Masehi.

Kaysarani sendiri merupakan seorang terpelajar yang ahli dalam puisi, astronomi, teknik, dan matematika. Setelah dia, ada Muhammad bin Ali al-Khurasani yang merekonstruksi jam itu setelah terbakar pada 1166. Ridhwan al-Sa'ati menyebutkan pula tiga orang yang mengoperasikan jam itu setelah kematian ayahnya.

Mereka adalah al-Muhadhab bin al-Naqqash, al-Muhadhab bin al-Hajib, dan Abu al-Fadhl al-Najjar. Kemudian, Ridhwan yang akhirnya mengoperasikan jam itu. Ridhwan dikenal sebagai Fakhr al-Din Ridhwan al-Sa'ati al-Khurasani al-Dimashqi. Dia menjabat sebagai menteri pada masa Raja Isa bin al-Malik.

Isa menugaskan pula pemberian anggaran khusus untuk pemeliharaan dan pengoperasian jam itu. Di sisi lain, keberadaan jam itu juga sangat terkenal. Sejumlah pelancong menggambarkannya. Ada Rabbi Benjamin dari Tuleda yang mengunjungi Damaskus antara 1159 dan 1174. Menurut dia, Damaskus memiliki sebuah sinagog pengikut Muhammad.

Benjamin menyatakan, itu pasti istana Ibnu Haddad. Salah satu dindingnya dibangun dengan kekuatan ajaib. Pada dinding bangunan itu terdapat sebuah perangkat yang disinari matahari dan tertera jumlah hari dari tahun matahari. Perangkat itu terbagi dalam dua belas tingkat untuk menyesuaikan waktu dalam sehari.

Ini merupakan gambaran jam matahari, yang dianggap terletak di dekat masjid tersebut, tak sesuai dengan gambaran jam yang dilakukan oleh Ridhwan dan dua pelancong lainnya, yaitu Ibnu Jubayr dan Ibnu Battuta. Menurut laman Muslimheritage, gambaran Rabbi Benjamin itu secara salah dikutip Donald R Hill dalam bukunya Arabic Water Clocks.

Ibnu Jubayr menceritakan pula jam air ini saat ia melakukan perjalanan dan tinggal di Damaskus pada 1184. Gambaran dia tentang jam itu sangat mendekati apa yang diungkapkan dalam manuskrip Ridhwan al-Sa'ati. Gambaran yang dibuat Ibnu Battuta pada 1326 mendekati gambaran Ibnu Jubayr, namun lebih ringkas.

Berdasarkan survei dan analisis terhadap semua literatur tentang jam Ridhwan, terungkap bahwa seorang insinyur dari Mesir bernama Abdullah Baylak al-Qabagaqi merupakan orang yang paling mengerti jam air itu. Sebab, dia bersentuhan langsung dengan perangkat bersangkutan. Selain itu, catatannya dimasukkan dalam salinan naskah asli Ridhwan.

Sebab, dia langsung bersentuhan dengan perangkat waktu tersebut dan juga karena catatannya dimasukkan dalam salinan naskah asli Ridhwan. Pada awal abad kedua puluh, seorang ahli fisika dan sejarah Jerman, yaitu Eilard Wiedemann dan Fritz Hauser, mempelajari perangkat jam air itu.

Mereka bahkan mencapai tingkat pemahaman yang tinggi atas cara kerja jam tersebut. Lalu, mereka menerbitkan hasil penelitiannya pada 1915 dalam beberapa artikel. Meski karya mereka dianggap sebagai karya perintis, mereka melahirkan konsepsi tidak lengkap soal jam air itu. Sejumlah kesalahan pun muncul dari penjelasan mereka.

Seorang penulis, Syekh Muhammad Ahmad Dahman, pernah mengedit naskah Ridhwan dan menggunakan teks tersebut untuk memahami jam air. Ia menganggap teks asli Ridhwan cukup jelas untuk membantu dalam merekonstruksi jam air tersebut. Namun, dia tidak menambahkan komentar untuk menjelaskan operasi dan konstruksi dari jam air tersebut.

Paling tidak, ada tiga manuskrip yang mengungkap keberadaan jam itu. Pertama, manuskrip asli yang didiktekan oleh Ridhwan sendiri dan sekarang ada di perpustakaan Forschungsbibliothek di Gotha, Jerman. Kedua adalah salinan yang ditulis Baylak Abdullah al-Qabagaqi. Naskah ini ada 5-6 tahun setelah keberadaan manuskrip asli.

Manuskrip itu disimpan di Istanbul, Turki. Sedangkan, manuskrip ketiga merupakan salinan naskah al-Qabagaqi. Kini, naskah itu ada di Kairo, Mesir.


Merujuk pada Al-Jazari

Jam air dikenal sejak sebelum masehi. Di dunia Islam, Al-Jazari, dikenal sebagai perintis jam air. Namun, ia bukan satu-satunya ilmuwan Muslim yang menciptakan jam air. Asa ilmuwan lainnya yang bernama Ibnu al-Haytam yang membuat jam sejenis pada 1000 Masehi.

Muncul pula nama Al-Zarqali. Ia menciptakan dua jam air besar yang berada di tepi Sungai Tagus di Toledo. Meski demikian, jam air yang paling monumental diciptakan oleh seorang insinyur besar Muslim, Al-Jazari.

Kehebatan Al-Jazari di bidang teknik, sangat dikenal di dunia Islam. Ia bahkan membuat beberapa jenis jam air. Salah satunya, sebuah jam bertenaga air yang tingginya satu meter dan lebarnya satu setengah meter. Jam tersebut berhasil direkonstruksi ulang pada 1976.

Jam air karya Al-Jazari yang sangat terkenal adalah jam berbentuk gajah. Jam itu bisa menghasilkan suara. Dalam sebuah naskah karya Al-Jazari, jam itu merupakan jam paling awal yang memakai flow regulator, sebuah sistem tutup-lubang.

Para ilmuwan modern banyak yang mengakui kehebatan Al-jazari dalam membuat jam air, yang pada masa itu jam merupakan barang istimewa. Rancangan jam air buatan Al-Jazari penuh dengan ide-ide dan teknik-teknik yang penting bagi sejarah desain mesin jam.

Al-Jazari dikenal sebagai ilmuwan yang lebih tertarik pada pengembangan perangkat yang memiliki nilai pakai. Tak heran jika ia melakukan serangkaian percobaan untuk membuat perangkat-perangkat teknik.

Sementara itu, deskripsi paling awal mengenai jam air dalam bahasa Arab terdapat dalam risalah mesin karya Al-Muradi, yang bekerja di Spanyol pada abad ke-11.

Ahmad Ibnu Yusuf, Ilmuwan Besar dari Mesir

Buku Ahmad Ibnu Yusuf diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan memberikan pengaruh pemikiran matematika di Eropa.

Ahmad Ibnu Yusuf, mengikuti jejak ayahnya, Yusuf Ibnu Ibrahim, menekuni matematika. Melalui bidang ini, ia kemudian dikenal luas. Nama besarnya sebagai ilmuwan tak hanya didengar di seluruh Mesir, tetapi juga sampai ke Eropa.

Menurut laman  Muslimheritage , Ahmad Ibnu Yusuf merupakan ilmuwan Mesir pertama yang dikenal di dunia internasional dan salah satu ilmuwan Muslim terbesar yang pernah ada. Namun, ilmuwan yang hidup di Mesir pada paruh kedua abad kesembilan ini hampir tak dikenal.

Ahmad dianggap telah mampu merancang dasar-dasar bagi perkembangan matematika modern dan Eropa di abad pertengahan. Ia dikenal pula sebagai Ametus Filius Joseph. Karyanyanya yang terkenal adalah tentang busur yang sama atau  De similibus arcubus .

Buku ini merupakan komentar atas karya Ptolemius, yaitu  Centiloquium . Melalui buku ini, Ahmad membuktikan bahwa busur lingkaran yang serupa bisa sama juga bisa tidak. Buku ini diterjemahkan oleh Plato Tiburtinus.

Terjemahan ini pertama kali dicetak di Venice pada 1493, dengan judul  Incipit liber centum verborum ptholemei cum commento haly. Ahmad menulis buku lainnya, tentang rasio dan proporsi dengan judul  Kitab Al-nisba wal tanasub atau  De proportione et roportionalitate .
 
Buku ini kemudian membawa pengaruh pemikiran matematika di Eropa di zaman pertengahan melalui Leonardo da Pisa dan Jordanus Nemorarius. Dua buku karya Ahmad ini kemudian diterjemahkan oleh penerjemah terkenal pada abad ke-12, Gerard of Cremona.

Sebagian besar isi dalam buku ini merupakan komentar dan pengembangan  Book Five of Euclid's Elements karya Euclid, ahli matematika dari Yunani. Pemikiran Euclid memang banyak memberikan pengaruh terhadap pemikiran Ahmad.

Buku karya Euclid ini dianggap sebagai buku yang memiliki pengaruh besar dalam sejarah matematika dalam bidang geometri. Karya Euclid ini terdiri atas 13 jilid yang ditulis saat berada di Alexandria, yang berisi definisi, postulat, dalil, dan konstruksi dari proposisi.

Karya Euclid ini, pertama kali dicetak di Venesia pada 1482. Buku ini juga merupakan salah satu karya matematika yang paling awal dicetak setelah ditemukannya mesin cetak. Karya ini juga digunakan sebagai dasar-dasar teks geometri di Barat.

Selain dua buku terkenalnya itu, Ahmad membuat metode untuk menyelesaikan masalah perpajakan. Bahasan yang dilakukannya itu muncul dalam buku Liber Abaci yang membahas aritmatika karya Fibonacci atau Leonardo Pisano, seorang ilmuwan ahli matematika yang berasal dari Italia.

Dalam karya tersebut, Fibonacci memperkenalkan angka-angka Arab dan elemen utama sistem desimal kepada orang-orang Eropa. Dia mempelajari angka-angka Arab tersebut ketika dia tinggal di Afrika Utara dengan ayahnya, Guglielmo Bonaccio.

Karya Ahmad yang berupa metode untuk menyelesaikan masalah perpajakan juga banyak dikutip oleh para ilmuwan lain di bidang matematika, antara lain Bradwardine, Jordanus, dan Pacioli. Ia memiliki pula keahlian dalam bidang astronomi. Tak heran, jika kemudian Ahmad pun memiliki karya dalam bidang astronomi. Ia memberikan gambaran tentang astrolabe. Ini merupakan instrumen yang dimiliki para astronom untuk memperkirakan letak matahari dan planet lainnya serta memperkirakan waktu.

Ada beberapa karya yang dikaitkan dengan dirinya, tak jelas siapa yang menulisnya. Sejumlah catatan menyatakan beberapa karya tersebut merupakan tulisan Ahmad. Namun, ada pula yang menyanggahnya dan menyatakan itu karya bersama Ahmad dan ayahnya.

Ahmad lahir di Baghdad, Irak. Namun, ia bersama ayahnya kemudian pindah ke Damaskus, Suriah, pada 839. Beberapa lama kemudian, keluarganya pindah ke Kairo, Mesir. Tak diketahui secara pasti kapan ia meninggalkan Damaskus dan kemudian menetap di Mesir.

Tak heran jika kemudian di belakang namanya disematkan sebutan al-Misri. Meski tak tahu secara pasti Ahmad pindah ke Mesir, namun sejumlah sejarawan menyatakan kemungkinan ia pindah ke Mesir bersama keluarganya saat ia masih kanak-kanak.

Saat di Kairo, Mesir, Ahmad tumbuh dalam sebuah lingkungan yang menjunjung tinggi ilmu pengetahuan. Apalagi, ayahnya merupakan ahli matematika, astronomi, dan juga seorang dokter. Ayahnya, dikenal pula sebagai anggota tim yang membuat dan merancang tabel astronomi.

Di sisi lain, ayah Ahmad merupakan bagian dari kelompok ilmuwan terpelajar. Tak heran jika kemudian ia selalu berada dalam lingkungan yang sarat pengetahuan. Ia pun memiliki ketertarikan yang kuat terhadap ilmu pengetahuan.
 
Ahmad lalu tumbuh menjadi sosok yang selalu haus akan ilmu. Dengan ketekunan dan kerja kerasnya, ia mampu menguasai sejumlah bidang yang juga dikuasai ayahnya. Ia menguasai matematika dan juga astronomi dan menuangkan pemikirannya dalam sejumlah karya.

Selain dikenal sebagai ilmuwan, Ahmad juga memiliki jabatan di pemerintahan, yaitu pada saat Dinasti Tulunid berkuasa di Mesir. Ia menjabat sebagai sekretaris. Ia meninggal dunia pada 912, namun namanya tetap dikenang sebagai ilmuwan besar.

Islam di Kamerun, Mengurai Kebersamaan dalam Persatuan

Aspek pendidikan merupakan salah satu solusi dalam upaya mengentaskan kemiskinan.

Dunia pernah dibuat kagum oleh para pesepak bola asal Kamerun. Salah satunya adalah aksi brilian striker Kamerun, Roger Milla, kala menumbangkan tim kuat Argentina pada laga pembuka Piala Dunia 1990 di Italia. Itulah momen ketika nama Kamerun segera menjadi topik pembicaraan hangat di seantero jagat.

Hingga kini, negara yang terletak di sub-Sahara Afrika itu tetap mampu mempertahankan tradisi sepak bola andalnya. Pemain-pemain Kamerun telah berkiprah di liga-liga terbaik dunia sekaligus mengharumkan nama Kamerun. Selain Roger Milla, pemain asal Kamerun lainnya yang kini sangat populer adalah Samuel Eto'o, mantan pemain Barcelona yang kini bermain di klub Inter Milan, Italia. Eto'o pernah menjadi top skor La Liga (Spanyol) saat memperkuat Barcelona.

Sesungguhnya, bukan hanya dari kancah sepak bola saja yang membuat Kamerun dikenal dunia. Sejak lama, negara tersebut diakui sebagai contoh terbaik perwujudan toleransi dan kerukunan antarumat beragama di benua Afrika.

Ya, berbeda dengan negara-negara tetangga mereka, sejauh ini Kamerun sangat jarang terdengar munculnya konflik komunal yang diakibatkan perbedaan keyakinan agama. Masyarakat Kamerun justru dapat memelihara sikap saling menghargai satu sama lain.

Pujian pun datang dari mana-mana. Salah satunya dari Paus Benediktus XVI. Pemimpin umat Nasrani ini bahkan menjadikan Kamerun sebagai awal lawatannya ke benua Afrika, medio Maret 2009.

Dalam kesempatan itu, Paus menyempatkan diri untuk bertemu dengan sejumlah tokoh Islam di sana. Ketika itu, secara khusus Paus memberikan apresiasi dan penghargaan pada peran umat Islam dalam menjaga kerukunan beragama.

Paus lantas mengatakan, Islam adalah salah satu agama yang menjadi dasar peradaban manusia. Oleh sebab itu, dia meminta umat Islam dan Nasrani di Kamerun dapat meneruskan contoh kerukunan tadi kepada negara-negara Afrika lainnya.

''Saya berharap, umat Islam dan Nasrani di Kamerun untuk dapat selalu bekerja sama dalam upaya membangun peradaban cinta,'' ujar Paus dalam pertemuan di Ounde, Kamerun. Berdasarkan data, jumlah umat Muslim di Kamerun saat ini sekitar 22 persen dari populasi sebanyak 17,2 juta jiwa. Adapun penganut Katolik dan Animisme masing-masing berjumlah 27 persen dan 18 persen lagi merupakan penganut Protestan.

Lebih jauh, Paus mengharapkan umat beragama di Kamerun dapat terus mempertahankan situasi rukun dan damai, sekaligus menghindari konflik antaragama. ''Kita ingin melihat kehidupan umat beragama di negara ini bisa menjadi panutan bagi negara-negara lain di kawasan dalam rangka mewujudkan komitmen terhadap keadilan, perdamaian, dan kebaikan bersama,'' tegasnya.

Seperti disebutkan David Grim, peneliti senior bidang agama dan kerja sama internasional di Pew Forum in Religion and Public Life, kedua agama (Islam dan Nasrani) sedang mengalami pertumbuhan pesat di Afrika.

Dulu, hanya satu dari 10 orang di sub-Sahara Afrika adalah penganut Nasrani. Kini, jumlahnya hampir enam dari 10 orang. ''Begitu pula umat Islam, jika pada awal abad 20 jumlahnya baru sekitar 14 persen dari populasi, saat ini sudah mencakup 20-30 persen,'' tegasnya.

Maka itu, sangatlah penting agar setiap pemeluk agama dapat memelihara toleransi di antara mereka. ''Sejauh ini, Kamerun telah berhasil memenuhi harapan itu,'' paparnya bangga.

Hal ini dipertegas oleh Krisztof Zielenda, direktur Institut Saint Joseph Mukasa Institute, Yoaunde. Dia melihat, selama ini umat beragama di Kamerun dapat hidup berdampingan secara damai dan penuh harmoni.

Menurutnya, selain sikap toleransi yang memang telah tertanam sejak lama, situasi kondusif itu juga ditopang oleh kebijakan pemerintah yang dirasakan sangat akomodatif, termasuk telah tercantum dalam undang-undang negara. ''Kerja sama antaragama terpelihara dengan baik. Ini antara lain karena pemerintah amat memberikan perhatian,'' papar Zielanda.

Dia lantas mencontohkan, pada tahun 2004, pernah hampir terjadi gesekan antara pemuda Islam dan Nasrani di wilayah utara. Akan tetapi, segera seluruh pejabat pemerintah turun tangan meredam gejolak tersebut yang pada akhirnya mampu mendamaikan kedua pihak.

''Saat itu, para tokoh agama, baik Islam, Katolik, maupun Protestan, dipertemukan dan difasilitasi pemerintah. Di situ, kita sepakat untuk turun ke masyarakat dan menyosialisasikan pesan-pesan damai dalam agama,'' terangnya.


Meningkatkan taraf hidup
Kondisi damai memang tercipta. Meski demikian, bukan berarti kewajiban umat Islam telah selesai. Masih ada tugas lain yang lebih berat, yakni bagaimana meningkatkan taraf kehidupan agar menjadi lebih baik, khususnya dalam distribusi kesejahteraan.

Bukan rahasia lagi, negara berpenduduk sekitar 16 juta jiwa itu masih menghadapi tantangan untuk dapat keluar dari masalah kemiskinan yang menimpa sebagian warganya. Hal itu telah berlangsung lama, dimulai oleh praktik eksploitasi sumber daya manusia dan alam oleh kaum kolonial di masa lalu.

Bahkan, hingga kemerdekaan penuh diraih tahun 1973, negara di kawasan barat Afrika itu masih harus berjuang keras mengatasi problem itu. Dibanding negara lainnya di kawasan tersebut, Kamerun tergolong negara dengan sumber daya alam melimpah.

Tak terkecuali dengan umat Muslim. Mereka kebanyakan tinggal di kawasan utara dan sebagian hidup kekurangan. Akan tetapi, umat senantiasa berupaya untuk mengatasi masalah kemiskinan dan kebodohan tersebut.

Selain aspek ekonomi, salah satu yang kini terus dikembangkan adalah meningkatkan kualitas dan kuantitas bidang pendidikan. Ini mengingat telah muncul kesadaran bahwa di antara penyebab maraknya kemiskinan adalah kurangnya tingkat pendidikan, baik umum maupun agama, di kalangan umat selama ini.

Lembaga keislaman
Oleh karena itu, di beberapa wilayah mayoritas Muslim, mulai dibangun sejumlah masjid dan sekolah. Program ini telah dimulai sejak tahun lalu dan mendapat sambutan luas segenap umat Muslim.

Adalah sebuah lembaga bernama Humanitarian Relief Foundation yang mensponsori program itu. Belum lama ini, sebuah masjid berlantai tiga telah diresmikan di distrik Pakakatorz, Kota Duala. Pembangunan masjid ini juga didanai oleh Osman Gazi Municipality.

Selain untuk tempat ibadah, masjid ini juga dapat difungsikan untuk beragam kegiatan, misalnya pendidikan, sosial, ekonomi, dan sebagainya. ''Ini adalah salah satu upaya meningkatkan kualitas kehidupan umat. Semoga lebih banyak masjid dan sekolah lagi yang dapat dibangun,'' tegas Durmus Aydin, direktur Relief Foundation, saat acara peresmian. berbagai sumber ed : sya



Syiar Islam Sejak Abad X

Agama Islam pertama kali masuk ke kawasan utara Kamerun pada abad ke-10 yang dibawa oleh para pedagang dari jazirah Arab melalui Sahara. Mereka berdagang berbagai barang keperluang harian, emas, perunggu, garam, tembaga, dan lain sebagainya.

Di samping berniaga, para pedagang ini sekaligus mendakwahkan Islam pada penduduk pribumi dan dalam waktu singkat telah mendapatkan sambutan luas. Islam pun tumbuh pesat dan akhirnya menguasai wilayah bagian utara dan tengah.

Islam mulai meraih kejayaan ketika Kerajaan Kanem Bornu di dekat Danau Chad yang dipimpin oleh Dinasti Saifawa (Sefuwa), yaitu Raja Dunama Dibbalemi, masuk Islam tahun 1221. Dinasti ini memerintah sampai dengan tahun 1251. Islam di Afrika Tengah mulai menyebar, mulai dari Chad, Nigeria, Niger, hingga Kamerun.

Pengaruh Kanem Bornu di Kamerun berlanjut hingga abad ke-15. Namun, agama Islam baru menjadi kekuatan penuh di bagian utara saat suku Fulani (Fulbe) berkuasa pada abad ke-18. Mereka lantas mendirikan Kerajaan Adamawa (Adamawa Emirate) yang meliputi Kamerun dan Nigeria.

Suku Fulani dikenal sebagai salah satu suku unggulan di Afrika dan gigih menyebarkan agama Islam di kawasan itu. Sebelumnya, suku ini melakukan ekspansi ke Kerajaan Bamoun di abad ke-17 yang didirikan oleh Nshare Yen dan Kerajaan Bamoun menerima Islam secara utuh pada tahun 1833 ketika Sultan Njoya Ibrahima berkuasa.

Agama Nasrani baru berkembang pada abad ke-19. Dimulai oleh kedatangan orang Barat pertama, yakni Fenando Po dari Portugis, pada tahun 1472. Dinamakan Kamerun karena orang Portugis ini melihat banyak udang di perairan di sana sehingga mereka menamakan Rio des Cameroes (The Prawn River)

Di bawah kekuasaan bangsa Barat inilah, agama Nasrani disebarluaskan ke seluruh negeri. Dengan dukungan kebijakan kaum kolonial dan dana yang memadai, agama ini kian berkembang dan menjangkau penduduk lebih luas.

Faktor inilah yang menyebabkan agama Nasrani tumbuh menjadi mayoritas, kendati secara awal kedatangan, Islam-lah yang lebih dahulu tiba. Sedangkan, agama Islam tetap 'menguasai' kawasan utara dan tengah hingga saat ini.

Presiden Muslim
Peran umat Islam dalam percaturan perpolitikan dan sosial tidak bisa dikesampingkan begitu saja. Ini misalnya ditunjukkan dengan tampilnya El Haji Ahmadou Babatoura Ahijo sebagai presiden pertama setelah negara itu memperoleh kemerdekaan pada 1 Januari 1960. Ahmadou Ahijo bahkan dinobatkan sebagai Bapak Kemerdekaan Kamerun.

Dia adalah pejuang Muslim sejati yang berasal dari suku Fulani. Pria kelahiran 1924 ini membawa negara seluas 475 ribu km persegi itu pada gerbang kemerdekaan ketika partainya, l'Union Camerounaise, berhasil menguasai parlemen pada tahun 1958.

Ada dua hal penting yang patut dicatat selama pemerintahan Ahijo ini. Pertama, mampu mempersatukan dua daerah yang bersengketa, daerah utara berbasis koloni Inggris dan daerah selatan berbasis koloni Prancis.  Kedua adalah pemerintahan ini berhasil memajukan sektor pertanian dan industri.

Presiden Ahijo mengundurkan diri dari jabatannya pada 6 November 1982 karena alasan kesehatan. Selanjutnya, ia digantikan Paul Biya. Pemimpin karismatik ini wafat di Dakar, Senegal, pada 30 November 1989. yusuf/taq


Biodata

Nama: Kamerun
Ibu Kota: Yaounde
Bahasa: Prancis dan Inggris
Penduduk: 17,2 juta jiwa
Agama: Islam (22 persen), Katolik (27 persen), Protestan (18 persen)

Yaqut al-Hamawi, Ahli Geografi Muslim

Yaqut berujar, jika ilmuwan tak memikirkan sebuah karya dan manfaat bagi orang lain, ini menjadi awal bagi manipulasi ilmu pengetahuan.

Misteri sebuah tempat, memikat hati Yaqut ibn-‘Abdullah al-Rumi al-Hamawi. Ilmuwan yang lahir di Asia Kecil ini, kemudian menelusuri dan menyingkap beragam tempat yang ia kun jungi dan dikisahkan oleh orang-orang yang ia jumpai setelah melakukan sebuah perjalanan.

Ketertarikan Yaqut, demikian ia sering dipanggil, membuahkan sejumlah karya dalam bidang yang kemudian akrab disebut geografi. Paling tidak ada dua karya yang melambungkan namanya, yaitu Mu’jam al-Udaba atau Kamus Orang-orang Terpelajar.

Sedangkan buku lainnya yang secara khusus membicarakan tentang bidang yang ia kuasai, geografi, berjudul Mu’ajam al-Buldan atau Kamus Negara-negara. Dua karya tersebut memiliki ketebalan hingga 33.180 halaman.

Mu’jam al-Buldan, merupakan sebuah ensiklopedia geografi yang lengkap, yang memuat hampir seluruh wilayah yang ada di abad pertengahan dan kejayaan Islam. Dalam menjelaskan sebuah tempat, Yaqut memasukkan hampir seluruh aspek yang terkait tempat tersebut.

Yaqut menguraikan mengenai aspek arkeologi, etnografi, antropologi, ilmu alam, geografi, dan koordinat dari setiap tempat yang ia jelaskan dalam ensiklopedianya itu. Bahkan, ia juga memberikan nama untuk setiap kota, menginformasikan monumen dan bangunan megah di kota itu.

Tak lupa pula, Yaqut mengisahkan tentang sejarah sebuah tempat, populasi, hingga figur atau sosok ternama dari tempat atau kota yang ia jelaskan. Untuk mendapatkan informasi perinci yang ia gunakan dalam ensiklopedianya itu, ia melangkahkan kakinya ke sejumlah wilayah.

Yaqut bepergian ke Persia, Arabia, Irak, dan Mesir. Ia sendiri saat itu menetap di Allepo, Suriah. Ia membangun relasi dan pertemanan dengan para ahli geografi dan sejarawan. Ia mengorek kumpulan fakta dari mereka dan juga para pelancong.

Namun, hal yang paling penting dan ini menjadi ruh dalam ensiklopedianya itu, ia menuliskan fakta-fakta yang dikumpulkan dari perjalananperjalanan yang ia lakukan sendiri dan dari orang yang ia temui saat ia melakukan sebuah perjalanan.

Selain itu, Yaqut juga sepenuhnya memahami dengan beragam konsep para ahli geografi Muslim sebelumnya bahwa mereka tak hanya menguasai geografi, tetapi juga mengaitkannya dengan sejumlah bidang ilmu lainnya. Seperti, matematika dan fisika.

Semua itu, Yaqut tuangkan pula dalam karyanya. Bahkan, dalam bab pendahuluan di dalam ensiklopedianya itu, ia terlebih dahulu membahas mengenai istilah yang ia gunakan dalam karyanya itu dan istilah-istilah geografi yang tersebar di dalamnya.

Untuk melengkapi dan memperkaya data, Yaqut memanfaatkan hasil kerja dari ilmuwan-ilmuwan sebelumnya. Namun, ia bersikap kritis terhadap data-data yang ia gunakan. Ia melakukan koreksi atas data yang ingin ia gunakan jika memang diperlukan.

Bahkan, Yaqut dikenal sebagai ilmuwan yang sangat ketat dengan data dan fakta yang ingin ia gunakan dalam karyanya. Hasil kerjanya, merupakan akhir dari sebuah proses ketat yang ia lakukan. Semua data dan fakta ia teliti. Fakta yang dinilai tak valid, ia buang.

Yaqut sangat berpegang pada akurasi dan ketelitian informasi. Tak heran jika dalam laman Muslimheritage, disebutkan bahwa Mu’jam al-Buldan hingga sekarang dianggap sebagai sumber referensi yang sangat bagus.

Dalam karyanya itu, Yaqut juga melihat adanya hubungan erat antara geografi dan sejarah. Ia menekankan pula peran ortografi atau sistem penulisan dari tempat-tempat yang ia gambarkan dalam karya ensiklopedianya itu.

Selain itu, pengaturan alfabet dalam karyanya, merupakan upaya untuk memberikan ejaan yang tepat mengenai nama-nama tempat, posisi geografisnya, batas, pegunungan, padang pasir, laut, dan pulau-pulau yang ada di suatu tempat.

Yaqut juga menyematkan nama pada setiap tempat, nama aslinya, termasuk anekdot, dan fakta-fakta penting lainnya yang terkait tempat yang ia jelaskan itu. Ia memberikan catatan pula, para penulis terdahulu tak memiliki perhatian memadai soal ketepatan ejaan sebuah tempat.

Tak hanya itu, Yaqut juga menilai mereka menyebutkan lokasi yang tepat mengenai sejumlah tempat. Ini membuat banyak ilmuwan salah mendapatkan informasi dari catatan-catatan yang dihasilkan oleh sejumlah ilmuwan terdahulu.

Yaqut juga menegaskan, karya ensiklopedianya itu tak hanya bermanfaat bagi Muslim dalam bepergian. Apa yang ia tulis juga terinsipirasi ajaran Alquran. Ia yakin bahwa karyanya bukan hanya berguna bagi para pelancong, tapi juga bagi para hakim, teolog, sejarawan, dan dokter.

Dalam karya lainnya, yang dalam bahasa Inggris berjudul Dictionary of Men of Letters, Yaqut menuliskan pandangannya. Ia membedakan antara orang terpelajar dengan ilmuwan. Ia mengatakan, orang terpelajar memilih dari segala bahan kemudian menyusunnya.

Sedangkan ilmuwan, ungkap Yaqut, adalah seseorang yang memilih cabang ilmu pengetahuan tertentu kemudian mengembangkannya. Ia juga menekankan pada kegunaan atau manfaat. Dalam konteks ini, ia mengutip seorang ilmuwan bernama Ali Ibnu al-Hasan.

Jika ilmuwan tak berpikir tentang kegunaan dan hasil kerja, ujar Yaqut, itu akan menjadi awal bagi terwujudnya manipulasi terhadap ilmu pengetahuan. Dengan persepsinya itu, ia kemudian menuntaskan Mu'jam al-Udaba.

Di sisi lain, Yaqut juga berpandangan bahwa ilmu di atas kekuasaan. Ia menuliskan pandangannya itu dalam Mu'jam al-Udaba, melalui sebuah kisah Khalifah Al-Mutamid. Suatu pagi, khalifah berjalan di taman dan mengangkat Thabit Ibnu Qurra dengan tangganya.

Lalu, Khalifah Al-Mutamid, menjatuhkan Thabit secara perlahan. Dan ini membuat Thabit bertanya. Ada apa tuan? tanya Thabit. Khalifah pun kemudian menjawab, tanganku ada di atasmu, namun ilmu pengetahuan lebih tinggi lagi, katanya.

Dalam karyanya tersebut, Yaqut ingin menjelaskan bahwa dalam persepsi Muslim, tingkatan ilmu pengetahuan lebih tinggi dibandingkan kekuatan politik.

Kisah Yaqut
Yaqut lahir dari keluarga berdarah Yunani. Meski ia lahir di wilayah Asia Kecil, ia lebih dikenal sebagai ilmuwan yang berasal dari Suriah. Sebab, ia lebih banyak menghabiskan masa hidupnya di wilayah tersebut. Ia hidup antara 1179 hingga 1229 M.

Yaqut pernah menja lani kehidupan sebagai seorang budak. Saat itu, berkecamuk perebutan kekuasaan antara Kerajaan Seljuk dan Byzantium. Banyak orang yang kemudian ditangkap dan dijual kepada orang kaya sebagai budak.

Saat itu, Yaqut jatuh ke tangan seorang pedagang buku dari Baghdad. Namun, pedagang tersebut akhirnya membebaskan Yaqut dan memberinya pendidikan yang memadai. Namun, ia juga masih terus ikut bersama pedagang tersebut, ia menjadi sekretaris mantan tuannya.

Bahkan, Yaqut juga ikut berkeliling ke sejumlah wilayah bersama pedagang buku tersebut. Ia pun kemudian menjadi penulis. Bahkan, ia menguasai bahasa Arab. Ia tertarik pula dengan geografi. Pengalamannya dalam mengunjungi sejumlah tempat membuatnya tertarik menuliskannya.

Yaqut akhirnya sampai ke Kota Merv, Turkmenistan, sebuah kota yang dikenal sebagai gudangnya ilmu pengetahuan dan ilmuwan. Ia sangat menyukai kota tersebut dan tinggal di sana selama dua tahun. Ia senang mengunjungi perpustakaan yang ada di masjid dan madrasah.

Menurut Yaqut, di satu perpustakaan yang ada di masjid agung di Merv, terdapat 12 ribu judul buku. Ia betah berkutat di perpustakaan itu. Ia bahkan diizinkan petugas perpustakaan membawa 200 buku dalam satu waktu ke dalam sebuah ruangan di perpustakaan itu.

Pada 1218, Yaqut pindah ke Khiva dan Balkh. Namun, ini merupakan saat yang salah baginya untuk pindah. Sebab, pada awal 1220-an, tentara Mongol bergerak ke wilayah barat. Seluruh wilayah timur Islam dihancurkan.

Hanya dalam kurun waktu satu tahun, Mongol berhasil menguasai bagian-bagian wilayah Islam yang subur dan makmur. Kemudian, mereka menghancurkan semua yang berharga. Anak lelaki Jengiz Khan, Jagtai, menguasai dan menghancurkan Otrar.

Sedangkan, tentara Jengiz Khan menyerang Bukhara, Samarkand, dan Balkh. Mereka juga bergerak menuju Khurasan. Merv dan Nishapur akhirnya takluk juga. Dalam penyerangan itu, Yaqut hampir tertangkap. Namun, akhirnya, ia berhasil lolos dengan pakaian yang melekat di tubuhnya.

Beruntung, Yaqut juga berhasil membawa manuskrip-manuskrip yang dimilikinya. Ia bergerak menyeberangi Persia ke Mosul. Dari Mosul, ia ke Aleppo, Suriah, di mana ia tinggal di sana. Selama tinggal di sana, ia sempat melancong ke beberapa tempat, seperti Irak.

Teori Gempa di Masa Islam

Arsitek-arsitek di masa Islam, juga telah membuat bangunan-bangunan tahan gempa.

Fenomena alam berupa gempa bumi, sejak awal menjadi kajian ilmuwan Muslim. Al-Kindi, misalnya, yang merupakan ahli matematika, fisika, dan astronomi, membuat tulisan berjudul The Science of Winds in the Bowels of the Earth, which Produce Many Earthquakes and Cave-in.

Ibnu Sina, yang dikenal sebagai seorang ilmuwan dan dokter, juga menyampaikan pandangannya mengenai gempa bumi. Ia mengutip sejumlah ilmuwan Yunani yang mengaitkan gempa bumi dengan tekanan gas yang tersimpan di dalam bumi dan kemudian berusaha keluar dari bumi.

Namun, Ibnu Sina tak sepenuhnya sependapat dengan pandangan para ilmuwan Yunani tersebut. Jadi, ia menentang teori mereka dengan memberikan penjelasan dari pemikirannya sendiri dan mengembangkan teorinya sendiri.

Ibnu Sina mengungkapkan, gempa terkait dengan tekanan besar yang terperangkap dalam rongga udara yang ada di dalam bumi. Tekanan ini, bisa datang dari air yang masuk ke dalam rongga bumi dan menghacurkan sejumlah bagian bumi.

Dalam esai panjangnya, Ibnu Sina memberikan sebuah metode untuk mengatasi dampak gempa bumi. Ia menyarankan masyarakat untuk menggali dan membuat sumur di tanah, supaya tekanan gas menurun. Sehingga, getaran akibat gempa bumi berkurang.

Beberapa sejarawan mengatakan, setelah abad ke-10 dan ke-11 teori para ilmuwan Muslim tentang penyebab gempa lebih menekankan pada sisi religius. Mereka berpikir bahwa gempa merupakan fenomena alam yang telah ditetapkan Tuhan.

Namun, pendapat lain mengemuka, para ilmuwan Muslim mengadopsi filsafat logika dan fisik, untuk menjelaskan penyebab terjadinya gempa bumi sejak abad ke-10. Pendekatan itu, agak dihindari menjelang periode berakhirnya kekuasaan Mamluk.

Sejumlah ilmuwan lain dalam periode klasik Islam yang menulis tentang gempa bumi, antara lain, Al-Biruni, Ibnu Rusyd, Jabir bin Hayyan. Mereka membahas gempa bumi dalam buku yang mereka tulis dalam bidang meteorologi, geografi, dan geologi.

Pada masa-masa berikutnya, kajian ilmiah tentang gempa bumi terus dilakukan oleh ilmuwan Muslim. Abu Yahya Zakariya' ibn Muhammad al-Qazwini, ahli geografi, astrnomi, fisika, abad ke-12 asal Persia, menyampaikan teorinya mengenai gempa.

Menurut Al-Qazwini, gempa bumi disebabkan oleh adanya gas bertekanan tinggi sampai menjadi cairan, kemudian berusaha keluar dari dalam bumi sehingga proses ini, selain menyebabkan gempa juga gunung berapi.

Ilmuwan yang sezaman dengan Al-Qazwini, yaitu Al-Tifashi, menambahkan, penumpukan gas menyebabkan tekanan terhadap bumi dan akhirnya menimbulkan gempa. Ia berpendapat, tekanan gas yang sangat kuat menggerakkan kerak bumi.

Ada pula ilmuwan lain, Al-Nuwayri yang hidup sekitar tahun 1373, mengadopsi teori pseudo-fisik yang mengatakan setiap wilayah di bumi memiliki kaitan dengan pegunungan Qaf, yang mengelilingi bumi. Saat Tuhan ingin menghukum manusia, Dia menggerakkan kaitan itu.

Sementara, studi awal mengenai bagaimana bertahan dari gempa bumi, ditulis seorang ilmuwan Mesir, Jalaluddin Al-Suyuti, yang hidup sekitar tahun 1505. Ia tak mengikuti teori fisik tentang gempa bumi yang diadopsi Al-Kindi, Ibnu Sina, Al-Qazwini, maupun Al-Tifashi.

Sebaliknya, Al-Suyuti malah menerima teori pseudo-fisik gunung Qaf dan menceritakan bahwa gempa bumi dan bencana alam lainnya adalah hukuman dari Tuhan terhadap orang-orang berdosa. Dia kemudian membuat catatan 130 gempa bumi yang terjadi di berbagai wilayah Muslim.

Rupanya karya Al-Suyuti menginspirasi karya-karya orang lain untuk menuliskan gempa bumi. Muridnya, Al-Dawudi, menambahkan informasi tentang delapan gempa bumi yang terjadi di Kairo, Mesir. Murid lainnya, Abdulqadir Al-Syadzili, hidup pada 1528, melakukan hal sama.

Al-Syadzili menuliskan pengalamannya saat mengalami dua gempa bumi.
Lalu, ada Badr Al-Din Al-Ghazzi, yang pada 1576 memberikan informasi tentang tiga gempa bumi yang terjadi di Damaskus, Suriah. Najm Al-Din Al-Ghazzi menuliskan 12 gempa bumi di sejumlah tempat.

Menurut laman Muslimheritage, dari tinjauan catatan seismik di Arab, menujukkan adanya fenomena langit dan fenomena di permukaan bumi yang menyertai gempa bumi. Pada waktu itu terjadi gempa bumi yang disebabkan oleh sebuah komet atau meteor.

Pada tahun 1500 terjadi gempa bumi ringan di Kairo. Kala itu orang-orang melihat bintang-bintang di langit tercerai-berai. Pada tahun 1504 terlihat bintang jatuh di Yaman yang disertai dengan serpihan-serpihan materi bintang, lalu diikuti dengan terjadinya gempa bumi.

Pada tahun 1511 terdapat meteor yang terbang dari timur menuju ke utara dan itu diikuti oleh gempa bumi yang berlangsung selama tiga bulan di Kota Moza, Yaman. Sejumlah catatan pada masa itu juga menuliskan bahwa gerhana dan badai pun menyertai terjadinya gempa bumi.

Tak heran jika kemudian mereka menganggap indikasi akan datangnya gempa bumi jika ada meteor, gerhana, atau fenomena alam lainnya yang terjadi. Bahkan, astrologi juga terkadang ikut digunakan untuk memprediksi terjadinya gempa bumi.

Merespons gempa

Selain mengurai kajian tentang gempa bumi, ilmuwan Muslim juga menyampaikan pandangannya mengenai apa yang bisa dilakukan masyarakat dalam menghadapi gempa. Termasuk bagaimana mendirikan bangunan agar bisa tahan gempa.

Di daerah-daerah yang rawan gempa, arsitek-arsitek Muslim menyampaikan serangkaian teori. Mereka menegaskan, agar bagunan memiliki fondasi yang kuat dan dalam. Dinding juga harus memiliki dimensi besar untuk menyangga kubah ketika terjadi gempa.

Dengan demikian, bangunan tidak runtuh saat digoyang gempa. Ini terbukti dengan masih tegak berdirinya monumen-monumen Islam yang ada di Kairo. Bangunan-bangunan itu mampu bertahan dari gempa besar pada 1992 dan masa-masa sebelumnya.

Pada masa kekuasaan Islam, masyarakat bereaksi secara berbeda-beda saat menghadapi gempa. Sejumlah orang segera menuju masjid dan gereja untuk berdoa. Namun, sebagian orang lainnya bergegas menuju area terbuka, kemudian membangun tenda pengungsian.

Ini terjadi pada 1431, saat gempa melanda Granada dan juga sejumlah gempa yang terjadi di Levant. Pada 1504, saat Kota Zayla, Yaman, diguncang gempa, warganya pergi ke area terbuka, yaitu pantai. Di sejumlah wilayah rawan gempa, mereka membangun gubuk kayu.

Gubuk tersebut dibangun di disamping rumah mereka, yang biasanya digunakan untuk bermalam saat terjadi gempa. Sebagian lain menghabiskan malam di area terbuka atau perahu.

Saat Bencana Memantik Penyakit

Bencana alam, seperti gempa bumi, seringkali disertai dengan merebaknya wabah penyakit atau epidemik. Biasanya, kondisi ini dipicu oleh mayat yang tak segera dikuburkan atau kamp-kamp pengungsian di lokasi yang tak dapat dikatakan higienis.

Sejumlah ilmuwan Muslim juga menorehkan buah pemikirannya dalam karya-karya mereka, terkait dengan merebaknya epidemik ini. Sebut saja, Qusta Ibnu Luqa, hidup pada abad ke-9, yang menuliskan buku yang disebut Contagion atau infeksi.

Dalam karyanya itu, ia menggambarkan bagaimana penyakit menular
dari seseorang yang sakit ke orang yang sehat. Ibnu Luqa menyatakan bahwa proses tersebut dipengaruhi oleh udara sekitar dan infeksi. Ia menjelaskan pula tentang penyakit yang disebabkan oleh angin.

Biasanya, para pengungsi akibat bencana alam, juga diterpa angin kencang hingga membuat mereka menderita penyakit. Pada abad ke-10, ada ilmuwan lain yang menulis mengenai epidemik, yaitu Al-Tamimi. Ia memberikan sejumlah penjelasan.

Di antaranya adalah prosedur higienis untuk menghindari infeksi saat terjadi epidemik. Ia juga memberikan penjelasan bagaimana cara mengatasi penyakit yang dibawa oleh udara. Abu Sahl Al-Masihi juga memberikan kontribusi besar.

Al-Masihi hidup di masa yang sama dengan Al-Tamimi. Sejumlah kalangan menilai, buku karya Al-Masihi lebih perinci dibandingkan karya Al-Tamimi. Dalam manuskripnya sebanyak 19 halaman, ia mengelompokkan penyakit epidemik, penyebabnya, dan cara pengobatannya.

Karyanya, dibagi menjadi empat bagian di antaranya adalah bagaimana epidemik mengganggu tubuh manusia dan pencegahan serta pengobatan terhadap setiap jenis epidemik. Ia juga memberikan penjelasan mengenai perbedaan antara epidemik (al-Waba) dan endemik.

Menurut Al-Masihi, ada tiga penyebab terjadinya epidemik, yaitu kelembaban dan kehangatan udara yang berlebihan, udara kering yang berlebihan, dan udara sedang berubah ke dalam sebuah kondisi yang abnormal.

11 April 2010

Sinagog Israel Kuno Ternyata Istana Dinasti Umayyah

Sebuah reruntuhan bangunan kuno yang selama ini Didufa Sinagog atau tempat suci umat Yahudi di Israel, ternyata merupakan sisa bangunan istana khalifah Arab yang dibangun 1.300 tahun lalu.

Bangunan yang terletak di pinggir Sungai Galilee, sebelumnya diklaim sebagai sebuah Sinagog kuno oleh arkeolog Israel pada 1950 lalu. Saat itu para arkeolog menemukan lukisan Menorah atau tempat lilin bercabang tujuh, yang dikenal sebagai simbol Yahudi pada reruntuhan bangunan.

Tetapi dalam laporan yang diterbitkan pekan ini teridentifikasi jika klaim tersebut salah besar. Setelah diselidiki ternyata runtuhan bangunan tersebut merupakan istana musim dingin yang digunakan oleh keluarga Dinasti Umayyah. Dinasti Arab yang paling terkenal ini, merupakan penguasa Yerusalem yang membangun kubah emas atau Masjid Al Aqsa.

Sebelumnya kalangan sejarawan Arab memang menyebutkan keberadaan dari istana musim dinging Dinasti Umayyah tersebut. Namun sejarawan Arab tidak mengetahui lokasi pasti dari istana yang biasa disebut Al Sinnabra itu. Demikian diberitakan Associated Press, Kamis (18/3/2010).

Hasil penemuan terbaru yang dilakukan oleh arkeolog dari Universitas Tel Aviv dan Universitas Hebrew ini, diraih setelah mereka meneliti kembali sisa-sisa bangunan yang dibuat pada zaman perunggu tersebut.

Tim arkeolog ini juga melihat keanehan dari hasil penelitian yang diraih para arkeolog pada tahun 1950 lalu. Arkeolog yang saat itu menemukan bangunan ini pertama kali, juga mengeluarkan klaim keliru, yang menyebutkan jika kekhalifahan Arab pada masa awal tidak banyak membuat bangunan dengan skala besar.

Para peneliti awal sempat ragu mengenai dari zaman bagunan bersejarah ini berasal. Namun hal tersebut berubah saat arkeolog Universitas Chicago Donald Whitcomb memperkirakan, jika runtuhan tersebut berasal dari zaman Dinasti Umayyah. Identifikasi Whitcomb tersebut akhirnya terbukti pada temuan pekan ini.

Sementara terkaan awal yang menyebutkan runtuhan tersebut sebagai sebuah sinagog kuno, diduga didasarkan atas lukisan Menorah tadi. Namun kalangan peneliti meyakini jika lukisan Menorah tadi bukan bagian asli dari bangunan bersejarah ini.

Arkeolog mengatakan kemungkinan besar jika istana Dinasti Umayyah tersebut digunakan sebagai sinagog usai keruntuhan Kerajaan Arab tersebut. Bahkan mereka juga memperkirakan jika lukisan tersebut tidak lebih dari lukisan grafiti kuno.

Menurut Profesor Arkeologi dari Universitas Tel Aviv Rafi Greenberg, identifikasi yang benar dari istana ini akan membantu kaitan arsitektural antara zaman Kekaisaran Romawi dan Kerajaan Arab.

Dinasti Umayyah sendiri merupakan kerajaan Islam yang berkuasa di Yerusalem pada tahun 661 hingga 750 sebelum masehi. Wilayah kerajaan ini amat luas mencakup wilayah Spanyol dan Pakistan.