09 September 2009

Aya Sofia Akulturasi Budaya Islam-Kristen


Pada masa dinasti Turki Utsmani, dibangun empat buah menara sebagai simbol Islam.

Kini namanya Museum Aya Sofia. Sebelum menjadi museum, bangunan ini dulunya adalah masjid. Dan sebelum menjadi masjid, ia adalah gereja yang bernama Haghia Sopia.

Usia bangunan ini sudah sangat tua, sekitar lima abad. Bangunan ini merupakan kebanggaan masyarakat Muslim di Istanbul, Turki. Keindahan arsitekturnya begitu mengagumkan para pengunjung. Karenanya, jika berkunjung ke Istanbul, belum lengkap tanpa melihat kemegahan Aya Sofia.

Tampak dari luar, pengunjung disuguhkan ukuran kubah yang begitu besar dan tinggi. Ukuran tengahnya 30 meter, tinggi dan fundamennya 54 meter. Ketika memasuki area bangunan, pengunjung dibuai oleh keindahan interior yang dihiasi mosaik dan fresko. Tiang-tiangnya terbuat dari pualam warna-warni. Sementara dindingnya dihiasi beraneka ragam ukiran.

Selain keindahan interior, daya tarik bangunan ini juga didapat dari nilai sejarahnya. Di sinilah simbol pertarungan antara Islam dan non-Islam, termasuk di dalamnya nilai-nilai sekuler pascaruntuhnya Kekhalifahan Turki Usmani.

Gereja
Sebelum diubah menjadi masjid, Aya Sofia adalah sebuah gereja bernama Hagia Sophia yang dibangun pada masa Kaisar Justinianus (penguasa Bizantium), tahun 558 M. Arsitek Gereja Hagia Sophia ini adalah Anthemios dari Tralles dan Isidorus dari Miletus.

Berkat tangan Anthemios dan Isidorus, bangunan Hagia Sophia muncul sebagai simbol puncak ketinggian arsitektur Bizantium. Kedua arsitek ini membangun Gereja Hagia Sophia dengan konsep baru. Hal ini dilakukan setelah orang-orang Bizantium mengenal bentuk kubah dalam arsitektur Islam, terutama dari kawasan Suriah dan Persia. Keuntungan praktis bentuk kubah yang dikembangkan dalam arsitektur Islam ini, terbuat dari batu bata yang lebih ringan daripada langit-langit kubah orang-orang Nasrani di Roma, yang terbuat dari beton tebal dan berat, serta mahal biayanya.

Oleh keduanya, konsep kubah dalam arsitektur Islam ini dikombinasikan dengan bentuk bangunan gereja yang memanjang. Dari situ kemudian muncullah bentuk kubah yang berbeda secara struktur, antara kubah Romawi dan kubah Bizantium. Pada arsitektur Romawi, kubah dibangun di atas denah yang sudah harus berbentuk lingkaran, dan struktur kubahnya ada di dalam tembok menjulang tinggi, sehingga kubah itu sendiri hampir tidak kelihatan. Sedangkan kubah dalam arsitektur Bizantium dibangun di atas pendentive--struktur berbentuk segitiga melengkung yang menahan kubah dari keempat sisi denah persegi--yang memungkinkan bangunan kubah tersebut terlihat secara jelas.

Bangunan gereja ini sempat hancur beberapa kali karena gempa, kemudian dibangun lagi. Pada 7 Mei 558 M, di masa Kaisar Justinianus, kubah sebelah timur runtuh terkena gempa. Pada 26 Oktober 986 M, pada masa pemerintahan Kaisar Basil II (958-1025), kembali terkena gempa. Akhirnya, renovasi besar-besaran dilakukan agar tak terkena gempa di awal abad ke-14.

Pengembangan Turki Usmani
Pada 27 Mei 1453, Konstantinopel takluk oleh tentara Islam di bawah pimpinan Muhammad II bin Murad II atau yang terkenal dengan nama Al-Fatih yang artinya sang penakluk. Saat berhasil menaklukkan kota besar Nasrani itu, Al-Fatih turun dari kudanya dan melakukan sujud syukur.

Ia pergi menuju Gereja Hagia Sophia. Saat itu juga, bangunan gereja Hagia Sophia diubah fungsinya menjadi masjid yang diberi nama Aya Sofia. Pada hari Jumatnya, atau tiga hari setelah penaklukan, Aya Sofia langsung digunakan untuk shalat Jumat berjamaah.

Sepanjang kekhalifahan Turki Usmani, beberapa renovasi dan perubahan dilakukan terhadap bangunan bekas gereja Hagia Sophia tersebut agar sesuai dengan corak dan gaya bangunan masjid.

Dalam sejarah arsitektur Islam, orang-orang Turki dikenal sebagai bangsa yang banyak memiliki andil dalam pengembangan arsitektur Islam ke negara-negara lainnya. Sementara dalam masalah keagamaan, orang-orang Turki terkenal sangat bijak, sebab mereka tidak memaksakan penduduk daerah taklukannya untuk masuk Islam, meskipun mereka berani berperang untuk membela Islam.

Karena orang-orang Turki yang beragama Islam cukup arif, maka ketika Gereja Hagia Sophia dialihfungsikan menjadi masjid pada 1453, bentuk arsitekturnya tidak dibongkar. Kubah Hagia Sophia yang menjulang ke atas dari masa Bizantium ini tetap dibiarkan, tetapi penampilan bentuk luar bangunannya kemudian dilengkapi dengan empat buah menara. Empat menara ini, antara lain, dibangun pada masa Al-Fatih, yakni sebuah menara di bagian selatan. Pada masa Sultan Salim II, dibangun lagi sebuah menara di bagian timur laut. Dan pada masa Sultan Murad III, dibangun dua buah menara.

Pada masa Sultan Murad III, pembagian ruangnya disempurnakan dengan mengubah bagian-bagian masjid yang masih bercirikan gereja. Termasuk, mengganti tanda salib yang terpampang pada puncak kubah dengan hiasan bulan sabit dan menutupi hiasan-hiasan asli yang semula ada di dalam Gereja Hagia Sophia dengan tulisan kaligrafi Arab. Altar dan perabotan-perabotan lain yang dianggap tidak perlu, juga dihilangkan.
Begitu pula patung-patung yang ada dan lukisan-lukisannya sudah dicopot atau ditutupi cat. Lantas selama hampir 500 tahun bangunan bekas Gereja Hagia Sophia berfungsi sebagai masjid.

Akibat adanya kontak budaya antara orang-orang Turki yang beragama Islam dengan budaya Nasrani Eropa, akhirnya arsitektur masjid yang semula mengenal atap rata dan bentuk kubah, kemudian mulai mengenal atap meruncing. Setelah mengenal bentuk atap meruncing inilah merupakan titik awal dari pengembangan bangunan masjid yang bersifat megah, berkesan perkasa dan vertikal. Hal ini pula yang menyebabkan timbulnya gaya baru dalam penampilan masjid, yaitu pengembangan lengkungan-lengkungan pada pintu-pintu masuk, untuk memperoleh kesan ruang yang lebih luas dan tinggi.

Museum
Perubahan drastis terjadi di masa pemerintahan Mustafa Kemal Ataturk di tahun 1937. Penguasa Turki dari kelompok Muslim nasionalis ini melarang penggunaan bangunan Masjid Aya Sofia untuk shalat, dan mengganti fungsi masjid menjadi museum. Mulailah proyek pembongkaran Masjid Aya Sofia. Beberapa desain dan corak bangunan yang bercirikan Islam diubah lagi menjadi gereja.

Sejak difungsikan sebagai museum, para pengunjung bisa menyaksikan budaya Kristen dan Islam bercampur menghiasi dinding dan pilar pada bangunan Aya Sofia. Bagian di langit-langit ruangan di lantai dua yang bercat kaligrafi dikelupas hingga mozaik berupa lukisan-lukisan sakral Kristen peninggalan masa Gereja Hagia Sophia kembali terlihat.

Sementara peninggalan Masjid Aya Sofia yang menghiasi dinding dan pilar di ruangan lainnya tetap dipertahankan.

Sejak saat itu, Masjid Aya Sofia dijadikan salah satu objek wisata terkenal di Istanbul oleh pemerintah Turki. Nilai sejarahnya tertutupi gaya arsitektur Bizantium yang indah memesona.


Menjadi Inspirasi dalam Perkembangan Arsitektur Islam


Arsitektur Islam dapat dikatakan identik dengan arsitektur masjid. Sebab, ciri-ciri arsitektur Islam dapat terlihat jelas dalam perkembangan arsitektur masjid. Salah satu masjid yang gaya arsitekturnya banyak ditiru oleh para arsitek Muslim dalam membangun masjid di berbagai wilayah kekuasaan Islam adalah Masjid Aya Sofia di Istanbul, Turki.

Desain dan corak bangunan Aya Sofia sangat kuat mengilhami arsitek terkenal Turki Sinan (1489-1588) dalam membangun masjid. Sinan merupakan arsitek resmi kekhalifahan Turki Usmani dan posisinya sejajar dengan menteri.

Kubah besar Masjid Aya Sofia diadopsi oleh Sinan--yang kemudian diikuti oleh arsitek muslim lainnya--untuk diterapkan dalam pembangunan masjid.

Salah satu karya terbesar Sinan yang mengadopsi gaya arsitektur Aya Sofia adalah Masjid Agung Sulaiman di Istanbul yang dibangun selama 7 tahun (1550-1557). Seperti halnya Aya Sofia, masjid yang kini menjadi salah satu objek wisata dunia itu memiliki interior yang megah, ratusan jendela yang menawan, marmer mewah, serta dekorasi indah.

Dalam sejarah arsitektur Islam, orang-orang Turki dikenal sebagai bangsa yang banyak memiliki andil dalam pengembangan arsitektur Islam hingga ke negara lainnya. Misalnya Dinasti Seljuk yang menampilkan tiga ciri arsitektur Islam, khususnya arsitektur masjid.

Pertama, Dinasti Seljuk tetap mengembangkan konsep mesjid asli Arab, dengan lapangan terbuka di bagian tengahnya. Kedua, konsep masjid madrasah dan berkubah juga dikembangkan. Ketiga, mengembangkan konsep baru setelah berkenalan dengan kebudayaan Barat, terutama pada masa Dinasti Umayyah.

Ketika orang-orang Turki memperluas kekuasaannya atas dasar kepentingan ekonomi dan militer pada abad ke-11, mereka akhirnya bisa menguasai Bizantium.

Saat kebudayaan Islam bersentuhan dengan kebudayaan Eropa di Kerajaan Romawi Timur (Bizantium/Konstantinopel) pada abad ke-11, arsitektur Islam juga menimba teknik dan bentuk arsitektur Eropa, yang tumbuh dari arsitektur Yunani dan Romawi. Sebaliknya, teknik dan bentuk arsitektur Islam yang dibawa oleh bangsa Turki juga disadap oleh bangsa Romawi untuk dikembangkan di Kerajaan Romawi Timur.

Akibat adanya kontak budaya antara orang-orang Muslim Turki dan budaya Nasrani di Eropa Timur inilah, arsitektur Islam yang semula hanya mengenal atap bangunan rata dan bentuk kubah, kemudian mulai mengenal atap meruncing ke atas. Selain itu, sejak bersentuhan dengan kebudayaan Kerajaan Romawi Timur ini juga, arsitektur Islam mulai mengenal arsitektur yang bersifat megah, berkesan perkasa, dan vertikalisme.

Rasyid Ridha, Tokoh Reformis Dunia Islam



Ide-ide brilian Abduh dan Al Afghani membuatnya mengikuti jejak kedua tokoh tersebut.

Sosok intelektual satu ini bernama lengkap Muhammad Rasyid bin Ali Ridha bin Syamsuddin bin Baha'uddin Al-Qalmuni Al-Husaini. Namun, dunia Islam lebih mengenalnya dengan nama Muhammad Rasyid Ridha. Ia lahir di daerah Qalamun (sebuah desa yang tidak jauh dari Kota Tripoli, Lebanon) pada  27 Jumadil Awal 1282 H bertepatan dengan tahun 1865 M.

Muhammad Rasyid Ridha dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga terhormat dan taat beragama. Dalam sebuah sumber dikatakan bahwa Rasyid Ridha masih memiliki pertalian darah dengan Husin bin Ali bin Abi Thalib, cucu Nabi Muhammad SAW.

Semasa kecilnya, Rasyid Ridha dimasukkan oleh orang tuanya ke madrasah tradisional di desanya, Qalamun, untuk belajar membaca Alquran, belajar menulis, dan berhitung. Berbeda dengan anak-anak seusianya, Rasyid kecil lebih sering menghabiskan waktunya untuk belajar dan membaca buku daripada bermain, dan sejak kecil memang ia telah memiliki kecerdasan yang tinggi dan kecintaan terhadap ilmu pengetahuan.

Setelah menyelesaikan belajar baca tulisnya, dalam usia sekitar 17 tahun, Rasyid Ridha melanjutkan studinya ke Madrasah Al-Wathaniyyah Al-Islamiyyah, yaitu sekolah milik pemerintah di Kota Tripoli. Sekolah ini merupakan sekolah yang tergolong modern yang didirikan oleh Syaikh Al-Jisr, seorang alim ulama yang gagasan dan pemikiran keagamaannya telah dipengaruhi oleh ide-ide modernisme.

Di sini, Rasyid Ridha belajar pengetahuan agama dan bahasa Arab secara lebih mendalam. Selain itu, ia juga belajar ilmu bumi, ilmu berhitung, dan pengetahuan modern lain, seperti bahasa Prancis dan Turki.

Namun, Rasyid Ridha tidak dapat lama belajar di sekolah ini karena sekolah tersebut terpaksa ditutup setelah mendapat hambatan politik dari pemerintah Kerajaan Usmani. Untuk tetap melanjutkan studinya, dia pun pindah ke salah satu sekolah agama yang ada di Tripoli. Meskipun sudah pindah sekolah, tetapi hubungan Ridha dengan guru utamanya saat di Madrasah Al-Wathaniyyah Al-Islamiyyah terus berlanjut.

Sang gurulah yang telah banyak berjasa dalam menumbuhkan semangat ilmiah dan ide pembaruan dalam diri Rasyid Ridha di kemudian hari. Di antara pikiran gurunya yang sangat berpengaruh adalah pernyataan bahwa satu-satunya jalan yang harus ditempuh umat Islam untuk mencapai kemajuan adalah memadukan pendidikan agama dan pendidikan umum dengan metode modern. Hal tersebut didasari kenyataan sekolah-sekolah yang didirikan bangsa Eropa saat ini banyak diminati oleh para pelajar dari seluruh penjuru dunia, padahal tidak disajikan pelajaran agama di dalamnya.

Selain menekuni pelajaran di sekolah tempat ia menimba ilmu, Rasyid Ridha juga rajin mengikuti beberapa perkembangan dunia Islam melalui surat kabar Al-'Urwah Al-Wusqo (sebuah surat kabar berbahasa Arab yang dikelola oleh Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh, dan diterbitkan selama masa pengasingan mereka di Paris).

Melalui surat kabar ini, Rasyid Ridha mengenal gagasan dua tokoh pembaru yang sangat dikaguminya, yaitu Jamaluddin Al-Afghani, seorang pemimpin pembaru dari Afghanistan, dan Muhammad Abduh, seorang pembaru dari Mesir. Ide-ide brilian yang dipublikasikan itu begitu berkesan dalam dirinya dan menimbulkan keinginan kuat untuk bergabung dan berguru pada kedua tokoh itu.

Keinginan untuk bertemu dengan Al-Afghani ternyata belum tercapai, karena tokoh ini lebih dahulu meninggal dunia. Namun, ketika Muhammad Abduh dibuang ke Beirut pada akhir 1882, Rasyid Ridha berkesempatan berdialog serta saling bertukar ide dengan Abduh. Pertemuan dan dialog dengan Muhammad Abduh semakin menumbuhkan semangat juang dalam dirinya untuk melepaskan umat Islam dari belenggu keterbelakangan dan kebodohannya.

Di Lebanon, Rasyid Ridha mencoba menerapkan ide-ide pembaruan yang diperolehnya. Namun, upayanya ini mendapat tentangan dan tekanan politik dari Kerajaan Turki Usmani yang tidak menerima ide-ide pembaharuan yang dilontarkannya. Akibat semakin besarnya tentangan itu, akhirnya pada  1898, Rasyid Ridha pindah ke Mesir mengikuti gurunya, Muhammad Abduh, yang telah lama tinggal di sana.

Di kota ini, Rasyid Ridha langsung menemui Muhammad Abduh dan menyatakan keinginannya untuk menjadi murid dan pengikut setia Abduh. Sejak saat itu, Rasyid Ridha merupakan sosok murid yang paling dekat dan setia kepada Abduh.

Al-Manar
Di samping banyak memperdalam pengetahuan dan ide pembaharuan, Rasyid Ridha pun mengusulkan kepada sang guru agar menerbitkan sebuah majalah yang akan menyiarkan ide-ide dan pemikiran mereka. Kemudian, sang guru dan muridnya ini menerbitkan sebuah majalah yang begitu terkenal, yaitu majalah Al-Manar. Penerbitan majalah ini bertujuan melanjutkan misi majalah yang sebelumnya, Al-Urwah Al-Wusqa.

Antara lain, menyebarkan ide-ide pembaharuan dalam bidang agama, sosial, dan ekonomi; memajukan umat Islam dan menjernihkan ajaran Islam dari segala paham yang menyimpang; serta membangkitkan semangat persatuan umat Islam dalam menghadapi berbagai intervensi dari luar. Dalam perjalanannya majalah ini banyak mendapat sambutan, karena ide-ide pembaharuan yang dilontarkan dalam setiap tulisannya.

Setelah menerbitkan majalah Al-Manar, Rasyid Ridha juga masih sangat aktif menulis dan mengarang berbagai buku dan kitab. Dia sempat mengajukan saran kepada gurunya agar menafsirkan kitab suci Alquran dengan penafsiran yang relevan dengan perkembangan zaman.

Melalui kuliah tafsir yang rutin dilakukan di Universitas Al-Azhar, Rasyid Ridha selalu mencatat ide-ide pembaharuan yang muncul dalam kuliah yang diberikan Muhammad Abduh. Selanjutnya, catatan-catatan itu disusun secara sistematis dan diserahkan kepada sang guru untuk diperiksa kembali. Selesai diperiksa dan mendapat pengesahan, barulah tulisan itu diterbitkan dalam majalah Al-Manar. Kumpulan tulisan mengenai tafsir yang termuat dalam majalah Al-Manar inilah yang kemudian dibukukan menjadi Tafsir Al-Manar.

Pengajaran tafsir yang dilakukan Muhammad Abduh ini hanya sampai pada surah An-Nisa ayat 125, dan merupakan jilid ketiga dari seluruh Tafsir Al-Manar. Hal ini dikarenakan Muhammad Abduh telah dipanggil kehadirat Allah SWT pada 1905, sebelum menyelesaikan penafsiran seluruh isi Alquran. Maka, untuk melengkapi tafsir tersebut, Rasyid Ridha melanjutkan kajian tafsir sang guru hingga selesai.

Karya-karya yang dihasilkan semasa hidup Rasyid Ridha pun cukup banyak. Antara lain, Tarikh Al-Ustadz Al-Imama Asy-Syaikh 'Abduh (Sejarah Hidup Imam Syaikh Muhammad Abduh), Nida' Li Al-Jins Al-Latif (Panggilan terhadap Kaum Wanita), Al-Wahyu Muhammad (Wahyu Allah yang diturunkan kepada Muhammad SAW), Yusr Al-Islam wa Usul At-Tasyri' Al-'Am (Kemudahan Agama Islam dan dasar-dasar umum penetapan hukum Islam), Al-Khilafah wa Al-Imamah Al-Uzma (Kekhalifahan dan Imam-imam besar), Muhawarah Al-Muslih wa Al-Muqallid (dialog antara kaum pembaharu dan konservatif), Zikra Al-Maulid An-Nabawiy (Peringatan Kelahiran Nabi Muhammad SAW), dan Haquq Al-Mar'ah As-Salihah (hak-hak wanita Muslim).

Pembaruan Bidang Pendidikan dan Politik

Selain dalam hal pemikiran modern, arah pembaharuan pemikiran Rasyid Ridha tidak jauh berbeda dengan sang guru, Muhammad Abduh. Ide-ide pembaharuan penting yang dikumandangkan Rasyid Ridha, antara lain, dalam bidang agama, pendidikan, dan politik.

Di bidang agama, Rasyid Ridha mengatakan bahwa umat Islam lemah karena mereka tidak lagi mengamalkan ajaran-ajaran Islam yang murni seperti yang dipraktekkan pada masa Rasulullah SAW dan para sahabat. Melainkan ajaran-ajaran yang menyimpang dan lebih banyak bercampur dengan bid'ah dan khurafat. Ia menegaskan jika umat Islam ingin maju, mereka harus kembali berpegang kepada Alquran dan Sunah.

Ia membedakan antara masalah peribadatan (yang berhubungan dengan Allah SWT) dan masalah muamalah (yang berhubungan dengan manusia). Menurutnya, masalah yang pertama, Alquran dan hadis harus dilaksanakan serta tidak berubah meskipun situasi masyarakat terus berubah dan berkembang. Sedangkan untuk hal kedua, dasar dan prinsipnya telah diberikan, seperti keadilan, persamaan, dan hal lain, namun pelaksanaan dasar-dasar itu diserahkan kepada manusia untuk menentukan dengan potensi akal pikiran dan melihat situasi dan kondisi yang dihadapi, sepanjang tidak menyimpang dari prinsip-prinsip dasar ajaran Islam.

Di bidang pendidikan, Rasyid Ridha berpendapat bahwa umat Islam akan maju jika menguasai bidang ini. Oleh karenanya, dia banyak mengimbau dan mendorong umat Islam untuk menggunakan kekayaannya bagi pembangunan lembaga-lembaga pendidikan. Dalam bidang ini, Ridha pun berupaya memajukan ide pengembangan kurikulum dengan muatan ilmu agama dan umum. Dan sebagai bentuk kepeduliannya, ia mendirikan sekolah di Kairo pada  1912 yang diberi nama Madrasah Ad-Da'wah wa Al-Irsyad.

Dalam bidang politik, Rasyid Ridha tertarik dengan ide Ukhuwah Islamiyah (persaudaraan Islam). Sebab, ia banyak melihat penyebab kemunduran Islam, antara lain, karena perpecahan yang terjadi di kalangan mereka sendiri. Untuk itu, dia menyeru umat Islam agar bersatu kembali di bawah satu keyakinan, satu sistem moral, satu sistem pendidikan, dan tunduk dalam satu sistem hukum dalam satu kekuasaan yang berbentuk negara. Namun, negara yang diinginkannya bukan seperti konsep Barat, melainkan negara dalam bentuk khilafah (kekhalifahan) seperti pada masa Al-khulafa ar-Rasyidin. Dia menganjurkan pembentukan organisasi Al-jami'ah al-Islamiyah (Persatuan Umat Islam) di bawah naungan khalifah.

Khalifah ideal, menurutnya, adalah sosok yang dapat memenuhi beberapa persyaratan, antara lain, dari segi keadilan, kemampuan, sifat mengutamakan kepentingan masyarakat di atas kepentingan pribadi. Lebih lanjut, Rasyid Ridha menyebutkan dalam bukunya Al-khilafah, bahwa fungsi khalifah adalah menyebarkan kebenaran, menegakkan keadilan, memelihara agama, dan bermusyawarah mengenai masalah yang tidak dijelaskan nash. Kedudukan khalifah bertanggung jawab atas segala tindakannya di bawah pengawasan sebuah dewan pengawas yang anggotanya terdiri atas para ulama dan pemuka masyarakat. Tugas dewan pengawas selain mengawasi roda pemerintahan, juga mencegah terjadinya penyelewengan oleh khalifah, dan lembaga ini berhak menindak khalifah yang berbuat zalim dan sewenang-wenang.

Khalifah harus ditaati sepanjang pemerintahannya dijalankan sesuai dengan ajaran agama. Ia merupakan kepala atau pemimpin umat Islam sedunia, meskipun tidak memerintah secara langsung setiap negara anggota. Dan menurut Rasyid Ridha, seorang khalifah hendaknya juga seorang mujtahid besar yang dihormati. Di bawah khalifah seperti inilah kesatuan dan kemajuan umat Islam dapat terwujud.

Kiprah Rasyid Ridha dalam dunia politik secara nyata dapat dilihat dalam aktivitasnya. Ia pernah menjadi Presiden Kongres Suriah pada 1920, menjadi delegasi Palestina-Suriah di Jenewa tahun 1921. Ia juga pernah menjadi anggota Komite Politik di Kairo tahun 1925, dan menghadiri Konferensi Islam di Mekah tahun 1926 dan di Yerusalem tahun 1931.

Pengaruh pemikiran Rasyid Ridha dan juga para pemikir lainnya berkembang ke berbagai penjuru dunia Islam, termasuk Indonesia. Ide-ide pembaharu yang dikumandangkan banyak mengilhami semangat pembaharuan di berbagai wilayah dunia Islam. Banyak kalangan ulama yang tertarik untuk membaca majalah Al-Manar dan mengembangkan ide yang diusungnya. Nama besarnya terus dikenang hingga beliau wafat pada Agustus 1935. 

Ekologi dan Kesehatan dalam Pandangan Ilmuwan Muslim

Para ilmuwan Muslim di era Kekhalifahan sudah menaruh perhatian yang begitu mendalam terhadap ekologi dan kesehatan. Cendekiawan Islam pada zaman itu berpikir bahwa perubahan ekologi bisa berdampak terhadap kesehatan manusia.  Para dokter Muslim di masa kejayaan peradaban Islam telah melakukan kajian mengenai polusi lingkungan yang menyebabkan berbagai penyakit.

Beberapa ilmuwan Muslim di zaman keemasan Islam yang telah mengkaji hubungan antara ekologi dan kesehatan itu antara lain:

Al- Kindi
Pada abad ke-9 M, ilmuwan Muslim bernama Ya'qub ibnu Ishaq al-Kindi telah berhasil menulis risalah tentang cara-cara mengatasi polusi udara agar tak berbahaya bagi kesehatan manusia. Al-Kindi menulis risalah tentang bahaya polusi udara terhadap kesehatan itu   bersumber dari buku Sabian atau pengetahuan sekte Mandaean yang merupakan keturunan dari para pemuja bintang di Babilonia. Selain itu, sumber risalah Al-Kindi juga berasal dari buku-buku India.

Qusta ibnu Luqa

Qusta ibnu Luqa dikenal sebagai salah seorang penerjemah dan penulis buku terkemuka  di abad ke-10 M. Salah satu karyanya yang terkait dengan isu lingkungan adalah risalah tentang penyakit menular. Ibnu Luqa mengungkapkan,  penyakit menular berpindah dari tubuh yang sakit ke tubuh yang sehat. Sedangkan penularannya melalui berbagai macam cara antara lain, melalui udara di sekitar penderita dan melalui infeksi.

Dalam risalahnya, dia juga menerangkan hubungan antara penyakit menular dengan polusi lingkungan. Polusi yang berasal dari bumi antara lain;  uap dari hutan dan rawa-rawa, asap dari gunung berapi, dan asap dari jenazah yang dibakar. Lingkungan yang banyak polusinya membuat penyakit menular bisa menular dengan lebih cepat.

Ia juga mengungkapkan,  faktor ekstrem dari langit juga bisa membuat orang-orang menjadi mudah sakit,  antara lain; panas yang sangat ekstriem pada musim panas dan dingin yang sangat ekstrim pada musim dingin. Dalam cuaca yang sangat ekstrem, papar Ibnu Luqa, kekebalan tubuh manusia cenderung menurun.

Salah satu karya besar yang ditulis  Ibnu Luqa adalah buku pedoman kesehatan bagi para jamaah haji yang berjudul Medical Regime for the Pilgrims to Mecca. Buku tersebut berisi petunjuk kesehatan bagi para jamaah haji yang akan menghadapi lingkungan ekstrem di kota Makkah.

Beberapa bab dalam buku tersebut juga berisi tentang kaitan antara lingkungan dengan penyakit diantaranya: Pada bab empat, Ibnu Luqa membahas tentang berbagai macam penyakit yang disebabkan oleh hembusan angin yang berbeda-beda. Selain itu, pada bab enam, ia juga memaparkan tentang  batuk dan pilek yang disebabkan oleh perubahan cuaca dan bagaimana cara menyembuhkannya.

Pada bab ketujuh, Ibnu Luqa juga mengkaji tentang penyakit mata yang disebabkan oleh debu dan angin serta  cara menanganinya. Dalam bab kedelapan, sang ilmuwan membahas tentang  pengujian tentang berbagai macam air untuk mencari tahu jenis air yang terbaik. Pada bab selanjutnya, Ibnu Luqa  memaparkan cara memperbaiki air yang telah terkontaminasi.

Al-Razi
Ilmuwan Muslim lainnya yang mengkaji hubungan antara ekologi dengan kesehatan adalah al-Razi. Sang ilmuwan dikenal  sangat peduli dengan berbagai macam kejadian alam. Dalam karyanya yang berjudul Types of Water, al-Kindi mengkaji masalah air dari berbagai macam sudut pandang baik secara medis maupun geologis. Dalam karya itu,  dia mengutip beberapa tulisan dari Ibnu Masawaih, Ali ibnu Raban at-Tabari dan Hunain ibnu Ishaq.

Sedangkan dalam risalahnya yang berjudul Epistle on Chronic Coryza at the Bloom of the Roses, al-Razi enggambarkan bagaimana efek debu serbuk sari pada bunga dapat menyebabkan gangguan terhadap saluran pernafasan manusia. Al-Razi juga dikenal sebagai seorang ilmuwan Muslim yang berpikir bebas dan terbebas dari segala macam dogmatisme.

Al-Tamimi

Buku al-Tamimi mengenai hubungan antara ekologi dengan lingkungan bisa dibilang cukup lengkap pada abad ke-10 M. Al-Tamimi membuat buku secara berseri, buku tersebut diklasifikasikan sebagai berikut: Pertama, berbagai macam tipe polusi udara di negara-negara Islam dan hubungannya dengan kondisi geografi.

Kedua, tentang berbagai macam penyakit akibat polusi udara dan berbagai macam infeksi alami. Ketiga, tentang  prosedur hieginisasi lingkungan ketika epidemi penyakit terjadi. Keempat tentang cara mengatasi polusi air. Kelima, cara merawat air di kolam dan berbagai macam polusinya.

Keenam, obat untuk menguatkan ketahanan tubuh. Ketujuh, tentang penggunaan wewangian, musik dan terapi psikologi guna meningkatkan kekebalan tubuh dari infeksi. Kedelapan,  al-Tamimi juga membahas  ciri-ciri cacar dan campak serta cara mengobatinya. Kesembilan, sang dokter juga membahas tentang obat-obatan bagi penderita masuk angin.

Selain buku tersebut, dia juga menulis buku tentang jus asam dan acar untuk mencegah penyakit , buku berisi metode untuk memperbaiki tingkat kualitas udara, dan meningkatkan ketahan tubuh dari penyakit.

Abu Sahl al-Masihi
Al-Masihi merupakan seorang ilmuwan yang terkenal karena keteraturan dan kejelasannya dalam menyusun sebuah karya. Dia mengklasifikasikan penyakit berdasarkan penyebabnya dan menentukan cara penyembuhannya berdasarkan tipe penyakitnya termasuk, jadwal pemberiaan obatnya dan alasannya.

Risalah al-Masihi dibagi menjadi empat seksi antara lain:  Pentingnya udara untuk kehidupan, perubahan komposisi isi udara dan dampaknya terhadap kesehatan tubuh, cara epidemi menjangkiti tubuh dan  pencegahan dan penyembuhan menurut tipe-tipe epidemi penyakit.

Dalam seksi kedua risalah tersebut, al-Masihi menjelaskan perbedaan antara penyakit endemik (al-amrad al-biladiyyah), penyakit epidemik (al-waba‘), juga penyakit akibat bencana (al-muwatan). Beberapa sebab epidemik antara lain tingkat kelembaban dan kepanasan suhu di udara yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan kondisi normal selama setahun, udara kering yang berlebihan, udara tidak normal, juga bencana alam.

Ibnu Sina


Beberapa karya Ibnu Sina yang terkait antara ekologi dan kesehatan antara lain, proses pelapukan, tipe udara termasuk kualitasnya dan cara perawatannya, penyakit-penyakit yang disebabkan udara yang tidak murni, serta cara mendesain rumah dan pemilihan lokasi rumah berdasarkan kesehatan.

Selain itu, sang dokter agung itu juga membahas tentang kualitas makanan dan dampaknya terhadap kesehatan, binatang-binatang yang menimbulkan polusi dan penyakit.Ia juga menyebutkan tanda-tanda alam yang menunjukkan bakal munculnya wabah atau bencana antara lain, tikus dan binatang-binatang di dalam tanah keluar  ke permukaanan. Ini merupakan fenomena alam yang disebutkan oleh Ibn sina untuk pertama kalinya.


Konservasi Lingkungan dalam Pandangan Islam

Seorang Enviromentalis modern bernama  Mawil Y Izzi Deen menegaskan, melestarikan lingkungan sebagai bagian dari ekologi  hukumnya wajib menurut ajaran Islam.

Asisten profesor Universitas King Abdul Aziz University, Jeddah, Saudi Arabia dalam esainya yang berjudul Islamic Environmental Ethics, Law, and Society, menuturkan, konservasi terhadap lingkungan  harus dilakukan,  sebab lingkungan merupakan ciptaan Allah SWT dan semua makhluk yang hidup di dalam lingkungan juga merupakan ciptaan-Nya.

Ajaran Islam mengajarkan  bahwa alam semesta setiap waktu beribadah dan mengagungkan Allah SWT, termasuk dedaunan yang berdzikir. Bahkan di dalam Alquran sendiri tidak ada firman tertentu yang menyebutkan bahwa alam harus mengabdi kepada manusia. Karena alam sebenarnya mengabdi kepada Allah SWT, maka alam tidak boleh dirusak demi kepentingan manusia yang serakah.

Salah seorang limuwan Muslim pada abad pertengahan Ibn Taymiyah pernah menyatakan, "Dalam ayat-ayat Al Qur'an mengingatkan bahwa Allah SWT menciptakan alam untuk alasan yang lebih baik dari pada hanya melayani manusia. Ayat-ayat Al Qur'an juga hanya menerangkan keuntungan yang bisa diperoleh dari alam untuk kepentingan manusia.”

Dalam ekologi Islam, semua ciptaan di semesta alam ini milik Allah SWT dan bukan milik manusia. Sehingga jika ada yang berpikiran bahwa binatang dan tumbuhan diciptakan untuk dimiliki manusia itu tidak benar. Pemikiran bahwa binatang dan tumbuhan itu diciptakan hanya untuk keuntungan manusia semata mendorong terjadinya perusakan alam dan penggunaan hasil-hasil alam tidak sebagai mana mestinya.

Bahkan Islam juga mengajarkan umatnya untuk berbuat baik kepada alam baik kepada lingkungan, binatang, dan tumbuhan. Nabi Muhammad saw pernah bersabda siapapun yang berbuat baik kepada alam dengan hati yang tulus akan mendapatkan imbalan berupa pahala.

Sejak zaman Nabi Muhammad, Islam telah mengenalkan konsep hima yaitu sebuah zona tertentu untuk konservasi alam. Di dalam zona proteksi tersebut tidak boleh didirikan bangunan atau untuk membuat ladang. Hima digunakan untuk melindungi tumbuh-tumbuhan dan satwa liar. Konsep hima hingga saat ini masih digunakan di negara-negara Islam.

Jika lingkungan tidak dijaga bahkan dirusak, maka akan menimbulkan berbagai macam bencana dan penyakit. Saat ini terjadi banjir di mana-mana akibat penebangan liar yang dilakukan para manusia serakah demi kepentingannya sendiri.

Imam an-Nasa'i, Figur Ulama Hadis Sejati

Ia sangat cermat dan teliti dalam meriwayatkan hadis yang bersumber dari Rasulullah SAW.

Imam an-Nasa'i yang memiliki nama lengkap Abu Abdirrahman Ahmad bin Syuaib bin Ali bin Bahar bin Sinan bin Dinar an-Nasa'i adalah seorang ulama hadis terkenal. Kitabnya termasuk kitab hadis yang enam, yaitu Bukhari, Muslim, Abu Daud, Ibnu Majah, Tirmidzi dan Nasa'i. Keenam kitab hadis ini dikenal karena ketinggian sumber periwayatannya (sanad) maupun kandungan beritanya (matan).

Dilahirkan di satu desa yang bernama Nasa' di daerah Khurasan pada tahun 215 H, an-Nasa'i tumbuh dan berkembang di desa kelahirannya. Ia menghafal Alquran di Madrasah yang ada di Nasa'. Imam an-Nasa'i juga banyak menyerap berbagai disiplin ilmu keagamaan dari para ulama di daerahnya.

Saat remaja, seiring dengan peningkatan kapasitas intelektualnya, anm-Nasa'i mulai gemar melakukan lawatan ilmiah ke berbagai penjuru dunia guna memburu ilmu-ilmu keagamaan, terutama disiplin ilmu hadis.
Belum genap usia 15 tahun, an-Nasa'i sudah mengembara ke berbagai wilayah Islam, seperti Mesir, Hijaz, Iraq, Syam, Khurasan, dan wilayah Jazirah Arab lainnya. Kemampuan intelektual Imam an-Nasai menjadi kian matang dalam masa pengembaraannya.

Dalam masa pengembaraannya ini, ia banyak mempelajari ilmu hadis dari kalangan ulama ahli hadis ternama. Para gurunya tercatat antara lain Qutaibah bin Sa`id, Ishaq bin Ibrahim, Ishaq bin Rahawaih, al-Harits bin Miskin, Ali bin Kasyram, Imam Abu Dawud (penyusun Sunan Abi Dawud), serta Imam Abu Isa al-Tirmidzi (penyusun al-Jami`/Sunan al-Tirmidzi).

Seperti para pendahulunya Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Daud, dan Imam Tirmidzi, Imam an-Nasa'i juga tercatat mempunyai banyak murid. Diantara murid-murid yang setia mendengarkan fatwa-fatwa dan ceramah-ceramahnya adalah Abu al-Qasim al-Thabarani (pengarang tiga buku kitab Mu'jam), Abu Ja'far al-Thahawi, al-Hasan bin al-Khadir al-Suyuti, Muhammad bin Muawiyah bin al-Ahmar al-Andalusi, Abu Nashr al-Dalaby, dan Abu Bakr bin Ahmad al-Sunni. Nama yang disebut terakhir, disamping sebagai murid juga tercatat sebagai penyambung lidah Imam an-Nasa'i dalam meriwayatkan kitab Sunan an-Nasa'i.

Cermat dan teliti
Sudah menjadi rahasia umum di kalangan peminat kajian hadis dan ilmu hadis, para imam hadis merupakan sosok yang memiliki ketekunan dan keuletan yang patut diteladani. Dalam masa ketekunannya inilah, para imam hadis kerap kali menghasilkan karya tulis yang berkualitas tinggi.

Demikian juga dengan Imam an-Nasa'i. Sejumlah karyanya sangat populer. Seperti al-Sunan al-Kubra, al-Sunan al-Sughra (kitab ini merupakan bentuk perampingan dari kitab al-Sunan al-Kubra),  al-Khashais, Fadhail al-Shahabah, dan  al-Manasik. Menurut sebuah keterangan yang diberikan oleh Imam Ibn al-Atsir al-Jazairi dalam kitabnya  Jami' al-Ushul, kitab ini disusun berdasarkan pandangan-pandangan fikih mazhab Syafii.

Sebagai seorang ulama hadis, Imam an-Nasa'i merupakan figur yang cermat dan teliti dalam meneliti dan menyeleksi para periwayat hadis. Ia menetapkan syarat-syarat tertentu dalam proses penyeleksian hadis-hadis yang diterimanya. bahkan, para ulama yang hidup pada masanya, banyak memberikan sanjungan pada an-Nasa'i. Menurut mereka, Imam an-Nasa'i adalah figur ulama hadis yang tangguh, kuat, kaya hafalanya, rujukan para ulama, dan memilki karya-karya monumental.

Abu Ali an-Naisapuri, salah satu diantara ulama tersebut, pernah mengatakan, ''Orang yang meriwayatkan hadis kepada kami adalah seorang imam hadis yang telah diakui oleh para ulama, ia bernama Abu Abd al-Rahman an-Nasa'i.''Lebih jauh lagi Imam an-Naisapuri mengatakan, ''Syarat-syarat yang ditetapkan an-Nasai dalam menilai para periwayat hadis lebih ketat dan keras ketimbang syarat-syarat yang digunakan Muslim bin al-Hajjaj.''

Kecermatan dan ketelitian Imam an-Nasa'i dalam menyeleksi hadis-hadis tampak dalam karyanya. Salah satunya adalah kitab  al-Sunan al-Sughra. Banyak ulama berkomentar bahwa kedudukan kitab  al-Sunan al-Sughra di bawah derajat  Shahih al-Bukhari dan  Shahih Muslim.

Karena hadis-hadis yang termuat di dalam kitab  al-Sunan al-Sughra merupakan hadis-hadis pilihan yang telah diseleksi dengan super ketat, maka kitab ini juga dinamakan  al-Mujtaba. Pengertian  al-Mujtaba bersinonim dengan  al-Mukhtar (yang terpilih), karena memang kitab ini berisi hadis-hadis pilihan, hadis-hadis hasil seleksi dari kitab sebelumnya,  al-Sunan al-Kubra.

Disamping  al-Mujtaba, dalam salah satu riwayat, kitab ini juga dinamakan dengan  al-Mujtana. Pada masanya, kitab ini terkenal dengan sebutan  al-Mujtaba, sehingga nama  al-Sunan al-Sughra seperti tenggelam ditelan keharuman nama  al-Mujtaba. Dari  al-Mujtaba inilah kemudian kitab ini kondang dengan sebutan Sunan an-Nasa'i, hingga sekarang.

Namun sebelum disebut dengan Sunan an-Nasa'i, kitab ini dikenal dengan  al-Sunan al-Kubra. Setelah tuntas menulis kitab ini, ia menghadiahkan kitab ini kepada Walikota Ramlah sebagai tanda penghormatan.Sang Walikota kemudian bertanya kepada an-Nasa'i, ''Apakah kitab ini seluruhnya berisi hadis sahih?'' Beliau menjawab dengan kejujuran, ''Ada yang sahih, hasan, dan adapula yang hampir serupa dengannya''.

Kemudian sang Walikota berkata kembali, ''Kalau demikian halnya, maka pisahkanlah hadis yang sahih-sahih saja''. Atas permintaan Walikota ini, Nasa'i lalu menyeleksi dengan ketat semua hadis yang telah tertuang dalam kitab  al-Sunan al-Kubra. Dan akhirnya, Nasa'i berhasil melakukan perampingan terhadap  al-Sunan al-Kubra, sehingga menjadi  al-Sunan al-Sughra.

Juga Pakar dalam Ilmu Fikih

Imam an-Nasa'i tidak hanya ahli dalam bidang hadis dan ilmu hadis, namun juga mumpuni dalam bidang fikih. Ad-Daruquthni pernah mengatakan, An-nasa'i adalah salah seorang Syaikh di Mesir yang paling ahli dalam bidang fikih pada masanya dan paling mengetahui tentang hadis dan para rawinya.

Al-Hakim Abu Abdullah berkata, ''Pendapat-pendapat Abu Abd al-Rahman mengenai fikih yang diambil dari hadis terlampau banyak untuk dapat kita kemukakan seluruhnya. Siapa yang menelaah dan mengkaji kitab Sunan an-Nasa'i, ia akan terpesona dengan keindahan dan kebagusan kata-katanya.''

Inilah kesaksian dan pengakuan yang disampaikan oleh dua imam besar yang telah mengakui keutamaan dan kepemimpinan Imam an-Nasa'i dalam bidang fikih. Hal ini semakin meyakinkan orang akan kedudukannya sebagai hakim.

Khusus dalam bidang fikih ini, menurut Ibn al-Atsir, an-Nasa'i tidak bisa diidentifikasi dalam hal mazhabnya jika dilihat dalam struktur mazhab yang empat. Akan tetapi, pengikut Imam Syafii mengklaim bahwa an-Nasa'i menganut mazhab Syafii. Hal ini mungkin disebabkan oleh domisili tetapnya di Mesir yang mayoritas penduduknya menganut mazhab Syafii, dan menerima pelajaran dari imam-imam bermazhab Syafii serta mendengarkan pelajaran dari mereka.

Karena Imam an-Nasa'i cukup lama tinggal di Mesir, sementara Imam Syafii juga lama menyebarkan pandangan-pandangan fikihnya di Mesir (setelah kepindahannya dari Baghdad). Walaupun antara keduanya tidak pernah bertemu, menurut Ibn al-Atsir, karena an-Nasa'i baru lahir 11 tahun setelah Imam Syafii wafat. Namun demikian, hal itu tak menutup kemungkinan banyak pandangan-pandangan fikih mazhab Syafii yang diserapnya melalui murid-murid Imam Syafii yang tinggal di Mesir.

Pandangan fikih Imam Syafii lebih tersebar di Mesir ketimbang di Baghdad. Hal ini lebih membuka peluang bagi Imam an-Nasa'i untuk bersinggungan dengan pandangan fikih Syafii.Pandangan fikih Imam Syafii di Mesir ini kemudian dikenal dengan  qaul jadid (pandangan baru). Karenanya, menurut Ibn al-Atsir, pandangan fikih Imam an-Nasa'i lebih didominasi pandangan baru  (qaul jadid) yang berkembang di Mesir ketimbang pandangan klasik  (qaul qadim) yang berkembang di Baghdad.

Imam an-Nasa'i baru berhijrah dari Mesir ke Damsyik setahun menjelang kewafatannya pada tahun 303 H/915M. Mengenai tempat wafatnya beliau, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Ad-Daruqutni mengatakan, an-Nasa'i wafat di Makkah dan dikebumikan diantara Shafa dan Marwah. Pendapat yang senada dikemukakan oleh Abdullah bin Mandah dari Hamzah al-`Uqbi al-Mishri.

Sementara ulama yang lain, seperti Imam al-Dzahabi, menolak pendapat tersebut. Ia mengatakan, Imam an-Nasa`i meninggal di Ramlah, suatu daerah di Palestina. Pendapat ini didukung oleh Ibn Yunus, Abu Ja`far al-Thahawi (murid an-Nasa`i) dan Abu Bakar al-Naqatah.Menurut pandangan terakhir ini jasad Imam an-Nasa'i dikebumikan di Bait al-Maqdis, Palestina.

Evliya Celebi


Petualang Muslim di Era Turki Usmani



April 1640, Evliya mulai melakukan perjalanan pertamanya keluar dari kota Istanbul. Dia pergi menuju Bursa atau Pursa, sebuah kota di Barat Laut Turki bersama sahabatnya.

Hampir seluruh belahan dunia telah dijelajahinya. Selama 40 tahun, Evliya Celebi melanglang buana ke berbagai penjuru dunia. Tak heran, jika Evliya ditabalkan sebagai petualang hebat dari Kekhalifahan Turki Usmani. Hasil petualangannya ke berbagai negara itu dituliskannya dalam sebuah buku perjalanan berjudul Seyahatname.

Evliya terlahir pada 25 Maret 1611 di Istanbul, Turki. Ayahnya adalah tukang emas yang mengabdikan diri untuk seorang penguasa Turki Usmani bernama Dervis Mehmed Zilli. Meski Evliya terlahir di Istanbul, kedua orangtuanya berasal dari Kutahya.

Dedikasi sang ayah untuk Kekhalifahan Turki Usmani membuat Evliya bisa mengenyam pendidikan yang sangat baik, dari kecil hingga remaja. Setamat sekolah dasar, di Kekhalifahan Turki Usmani, Evliya lalu melanjutkan studinya ke madrasah, yaitu sekolah yang berbasis pendidikan Islam selama tujuh tahun.

Di sela-sela masa studinya di madrasah, Evliya biasa membantu ayahnya bekerja di bengkel kerajinannya. Di tempat tersebut, sang ayah mengajarkannya berbagai macam keterampilan dan kesenian Turki, seperti, tezhip ( cara mendekorasi sampul buku dengan lukisan dan sepuhan emas), khat (cara menulis indah serta nakis (seni mendekorasi tembok dan langit-langit ruangan).

Evliya memiliki semangat belajar yang sangat tinggi. Ia mau belajar dari siapapun. Evliya belajar bahasa Yunani dari pekerja yang magang di bengkel kerajinan ayahnya. Empat tahun kemudian, Evliya belajar di Enderun, yakni, tempat belajar dan training bagi orang-orang yang akan bekerja di Kekhalifahan Turki Usmani.

Begitu lulus dari Enderun, Evliya menjadi pengawal Kaisar Murad IV pada 1636 dengan bantuan pamannya Melek Ahmed Pasa. Sejak kecil, Evliya terobsesi untuk berpetualang dan melakukan perjalanan jauh. Pasalnya ayahnya selalu bercerita tentang petualangannya yang menakjubkan selama melakukan perjalanan dan melayani para sultan, termasuk Sulaiman yang Agung.

Suatu ketika, Evliya bermimpi bertemu dengan Nabi SAW, dalam sebuah kumpulan jamaah yang sangat banyak di Masjid Ahi Celebidi Istambul. Ia sangat senang bisa bertemu dengan Nabi. Mimpi itu juga yang semakin membuatnya bersemangat untuk segera melakukan petualangan.

Bahkan, dia memilih hidup dengan berbagai macam petualangan. Evliya berobsesi juga menulis dan menceritakan berbagai macam hal yang akan dilihat dan ditemuinya dalam perjalanan panjangnya. Setelah bermimpi bertemu Nabi SAW, Evliya meminta nasihat kepada seorang Syeikh yang terkenal tentang keinginannya yang menggebu-gebu untuk segera melakukan perjalanan.

Syeikh tersebut menyarankannya untuk memulai perjalanan di sekitar kota Istanbul terlebih dulu. Setelah mendapatkan petuah yang cu kup, Evliya memulai perjalanannya yang pertama kali di sekitar Istanbul. Dia menulis dan menceritakan berbagai macam objek yang dia lihat dan datangi seperti berbagai macam bangunan, pasar, tokotoko, musik, literatur, festival, aga ma, serta adat-istiadat, serta kebudayaan.

Baru pada April 1640, dia mulai melakukan perjalanan pertamanya keluar dari kota Istanbul. Dia pergi menuju Bursa atau Pursa, sebuah kota di Barat Laut Turki bersama sahabatnya. Setelah melakukan petualangan ke kota itu, semangatnya untuk melakukan perjalanan panjang di seluruh kekuasaan Turki Usmani dan luar negeri kian menggebu.

Evliya terkadang menemani para petinggi kekaisaran menuju daerah-daerah pedesaan yang terpencil, kadang melakukan perjalanan dengan misi yang ditugaskan dari Sultan, dan kadang juga ikut melakukan peperangan. Setelah melakukan perjalanan ke Izmit, Evliya pergi ke Trabzon di sebuah pantai di Laut Hitam menemani Ketenci Omer Pasa yang akan bertemu dengan Gubernur Izmit. Selama tinggal di Izmit, dia menyaksikan kegagalan tentara Turki Usmani menaklukan Kastil Azov.

Setelah itu, dia pindah ke Crimea dan menghabiskan musim dingin di tempat tersebut. Evliya baru kembali ke Istanbul, setelah Turki Usmani berhasil menaklukan Kastil Azov. Pada 1645, dia bersama tentara Turki Usmani menaklukan Pulau Kreta dan kembali ke Istanbul untuk beristirahat selama empat tahun.

Lalu dia mulai melakukan perjalanan lagi menuju Anatolia, mengunjungi Azerbaijan dan Georgia, bersama tentara Turki Usmani menaklukan para pemimpin lokal wilayah tersebut. Dia juga melakukan perjalanan ke Gumushane, sebuah provinsi di timur laut Turki.

Setelah menghabiskan musim dingin di Erzurum, Evliya ditugasi mengantarkan pesan kepada pemberontak Vardar Ali Pasa oleh penguasa Turki Usmani untuk membuat perjanjian damai. Ketika mengantarkan pesan tersebut, Evliya tersesat akibat badai salju yang hebat. Untunglah dia, bisa menemui sejumlah pemimpin pemberontak lainnya.

Pengalaman itu dikisahkannya dalam sebuah catatan tentang pemberontakan Vardar Ali Pasa secara komprehensif. Antara 1648-1650, Evliya melakukan perjalanan ke Damaskus. Dari perjalanan ini, dia melakukan eksplorasi lebih dalam mengenai negara Suriah dan Palestina. Lalu dia kembali ke Istanbul. Ia lalu menemani pamannya, Melek Ahmed Pasa untuk bertemu dengan perdana menteri.

Evliya paham betul berbabai intrik politik yang tengah terjadi di Kekhalifahan Turki Usmani. Selama menemani perdana menteri, Evliya memiliki kesempatan mengunjungi Balkan antara 1651-1653. Sekembalinya dari Balkan, dia mengunjungi Anatolia bagian timur dan Iran. Dia menghabiskan waktu dengan Sekte Yezidis yang percaya bahwa Ali adalah Tuhan dalam bentuk manusia. Dia mengetahui banyak informasi mengenai sekte sesat tersebut.

Setelah itu, dia melakukan perjalanan lagi dengan pamannya Melek Ahmed Pasa menuju Bosnia. Lalu, pada1660, dia mengikuti ekspedisi yang dipimpin oleh Kose Ali Pasa. Selama ekspedisi tersebut, dia melakukan eksplorasi ke Albania, Bohemia dan wilayah sekitarnya.

Setelah menghabiskan musim dingin di Belgrade, dia kembali ke Istanbul. Lalu dia bergabung dengan pasukan Fazil Ahmed Pasa menyerang Austria. Selama masa ekspedisi, Evliya juga mengunjungi Swedia dan Belanda. Kemudian dia kembali lagi ke Balkan untuk mengunjungi Edirne, Komotini dan Salonika.

Ia lalu melanjutkan perjalanannya ke Pulau Kreta di Yunani. Ia menyaksikan kehebatan tentara Turki Usmani. Setelah itu, ia mengunjungi pantai Adriatik melalui Albania dan kembali ke Istanbul pada 1670.

Merasa berdosa karena belum pernah menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci, Makkah, Evliya kembali ke Istanbul untuk mempersiapkan perjalanannya yang terakhir. Dia menuju Makkah melalui bagian barat Anatolia, kemudian melewati Scio dan Rhodes, melewati selatan Anatolia dan bergabung dengan jamaah haji di Suriah. Ia pun berhasil menunaikan rukun Islam ke lima itu.

Seusai menunaikan ibadah haji di Makkah, dia menuju Mesir melalui terusan Suez bersama jamaah haji Mesir. Kemudian menuju Sudan dan Ethiopia, ia tinggal di sana cukup lama. Namun tidak ada catatan sejarah di mana sang petualang menghembuskan nafas terakhirnya.

Ada dua perkiraan, yakni di Mesir atau di Istanbul. Meski begitu, kiprah dan dedikasinya sebagai seorang petualang Muslim di zaman kejayaan Turki Usmani hingga kini masih tetap dikenang.


SEYAHATNAME Kisah Perjalanan Sang Petualang

Seyahatname berarti sebuah buku perjalanan. Ini merupakan karya besar Evliya Celebi. Dalam buku tersebut, dia menuliskan dan menceritakan berbagai macam pengalamannya. Seyahatname terdiri dari 10 volume yang menggambarkan secara detail beragam pengalaman yang dialami Evliya diwilayahwilayah yang dikunjunginya.

Dia menuliskan tentang komunitas , gaya hidup, bahasa, maupun budaya orang-orang di wilayah tersebut. Buku tersebut merupakan catatan yang komprehensif untuk menggambarkan kehidupan pada abad ke-17 M. Evliya mampu menggambarkan objek-objek yang dilihatnya secara mendetail dan menarik.

Selain itu, Evliya menuliskan bukunya dengan cara sederhana, sehingga mudah dipahami orang awam. Dia tidak khawatir dengan kesalahan tata bahasa, asalkan yang membacanya paham.

Seyahatnamesangat baik dalam menggambarkan hubungan Kekhalifahan Turki Usmani dengan negara-negara lain. Buku tersebut, merupakan sumber informasi yang berharga pasalnya buku tersebut mencakup pengetahuan tentang budaya, sejarah, geografi, cerita rakyat, bahasa, sosiologi, arsitektur, dan ekonomi.

Evliya tidak hanya menuliskan apa yang dia lihat dan dengar saja. Tetapi, dia juga berusaha menggambarkan kemajuan umat manusia di setiap bidang pada masa itu. Dia menuliskan tentang berbagai macam bangunan-bangunan penting seperti kerajaan, kastil, benteng, maupun masjid.

Dia juga menuliskan biografi orang-orang yang penting dan terkenal, karakter bangsa di setiap wilayah yang dikunjungi, juga kepercayaankepercayaan mereka. Buku Seyahatnamevolume I hingga VIII diterbitkan pada 1896-1928 dalam bahasa Arab.

Sedangkan volume IX dan X Seyahatnamedipublikasikann pada 1935-1938 dalam bahasa Latin. Seyahatnamejuga dialihbahasakan ke bahasa Inggris, Jerman, Prancis, Rusia, Hungaria, Romania, Bulgaria, Serbia, Yunani, Armenia dan bahasa-bahasa asing lainnya. Ada sebuah rumor bahwa Evliya juga membuat buku keduanya yang berjudul Sakaname.

Namun buku tersebut hingga saat ini belum ditemukan keberadaannya. Evliya juga menuliskan sejumlah kata-kata asli dari setiap wilayah yang dia kunjungi selama melakukan perjalanan. Dia juga menuliskan 30 dialek bahasa Turki dan 30 katalog bahasa asing lainnya di buku Seyahatname.

Dia sempat menuliskan persamaan antara bahasa Persia dengan bahasa Jerman. Dalam buku tersebut dia mendeskripsikan berbagai macam bahasa Kaukasia, Tsakonian, Kudish, dan Ubykh.

02 September 2009

Fath Al-Rahman, Kitab Pencari Surah dan Nomor Ayat dalam Alquran

Kitab ini tidak begitu populer di dunia pesantren karena tidak berkaitan dengan masalah kehidupan umat Islam.

Ada seorang santri bertanya kepada seorang ustaz di salah satu pesantren. Dia bertanya tentang ayat yang membahas puasa. Kendati secara rutin bergelut dengan bidang agama dan banyaknya pelajaran yang harus dihafal, ia pun lupa akan ayat yang membahas puasa.''Ustaz, ayat yang membahas puasa itu surah apa dan ayat berapa, ya?'' tanya santri.

Sang ustaz, bukannya menjawab nama surah dan ayatnya, malah ikut-ikut lupa nomor ayat dan surahnya. ''Ayat yang membahas puasa itu berbunyi, ''Ya Ayyuhalladzina Amanu kutiba 'alaikumush shiyamu kama kutiba 'alal ladzina min qablikum la'allakum tattaqun ,'' jelas ustaz.

Karena tak sesuai dengan yang ditanyakan, sang santri bertanya lagi. ''Bukan bunyinya, ustaz, yang saya inginkan. Kira-kira, ayat tersebut terdapat dalam surah apa dan ayat berapa?'' tanya santri. Karena benar-benar lupa, sang ustaz pun tidak bisa memberikan jawaban yang spesifik.
Gambaran di atas merupakan contoh nyata yang sering kali dialami umat Islam ketika diminta untuk menunjukkan nama surah dan nomor ayat yang membahas satu topik permasalahan.

Bukan hanya yang berkaitan dengan puasa, banyak santri yang juga tidak hafal nomor ayat atau surah yang membahas waris ( faraidl ), zakat, shalat, larangan minum  khamar , zina, poligami, dan lain sebagainya. Sebagian di antara mereka hafal bunyi ayatnya, namun tidak ingat nama surah atau nomor ayat yang membahas hal tersebut.

Tak hanya santri; para dai, ulama, mubaligh, dan umat Islam secara keseluruhan sering kali lupa ketika menghafal satu ayat dalam Alquran tentang surah dan nomor ayatnya. Memang, sebagian mereka menganggap tidak terlalu penting surah dan nomor ayat, yang terpenting bagi mereka adalah hafal bunyi ayatnya. Karena itu, tak heran bila banyak ulama, dai, atau penceramah yang pandai mengucapkan bunyi ayat Alquran, namun tidak disertai dengan penyebutan nama surah dan nomor ayatnya.

Hal yang sama juga sering terjadi ketika banyak ulama, dai, dan mubaligh menyampaikan sebuah hadis. Mereka hanya menyebutkan bunyi hadis secara lengkap yang disertai pula dengan terjemahannya. Namun, sang dai, mubaligh, atau ulama tidak menyampaikan hadis itu riwayat siapa, terdapat dalam kitab apa, juz berapa, dan berapa nomor hadis tersebut. Bagaimana kualitasnya, sahih atau tidak, sering kali terabaikan. Akibatnya, para pendengar dan sebagian besar umat Islam pun hanya mendapatkan bunyi dan tidak tahu sumbernya dari mana.

Berkenaan dengan hal ini, kitab  Fath al-Rahman layak dijadikan pegangan bagi para santri, dai, mubaligh, ulama, kiai, dan tokoh agama untuk mencari sumber ayat dan surah yang berkaitan dengan topik yang dibahas.

Harus diakui, kitab  Fath al-Rahman ini memang tidak terlalu populer di kalangan umat, termasuk santri yang sehari-harinya berkutat dengan ilmu keagamaan. Jangankan santri; pengasuh pondok pesantren, dai, ataupun mubaligh tidak banyak yang menguasai kitab ini. Sebab, isinya memang tidak membahas topik tertentu dari ilmu-ilmu Islam, seperti tauhid (akidah), akhlak, tafsir, hadis, tasawuf, dan lainnya. Kitab ini justru mengulas kata-kata tertentu, nomor ayat, dan surah dalam Alquran. Kitab yang berjudul  Fath al-Rahman Li thalib Ayat al-Qur`an ini secara khusus membahas cara mencari ayat Alquran.

Tidak populer
Di dunia pesantren pun, kitab ini tak banyak dibahas. Hanya beberapa santri yang menaruh perhatian pada kitab ini. Karena itu pula, kitab ini tidak diajarkan kepada seluruh santri. Sebab, tak ada aturan khusus atau kewajiban bagi santri untuk belajar kitab ini.

Santri yang tidak paham atau menguasai kitab ini tidak akan diberi sanksi apalagi sampai tidak diluluskan. Kitab ini hanyalah sebagai materi tambahan ilmu bagi santri. Namun demikian, tidak ada salahnya bila sebagian santri menguasai atau memahami isinya. Sebab, mereka yang memahami isi kitab ini akan mudah melacak atau mencari nama surah dan nomor ayat yang membahas topik tertentu.

Berkaitan dengan kondisi ini; banyak santri, dai, kiai, ulama, mubaligh, dan ustaz yang berceramah hanya menyampaikan bunyi ayat atau hadis dan tidak menyertakan sumbernya (dalam arti tidak menyampaikan nama surah dan nomor ayat). Karena itu, demi meningkatkan kualitas umat, ada baiknya para penyeru dakwah Islam ini juga menyampaikan dalil-dalil yang disertai dengan penyebutan nama surah dan nomor ayat atau kualitas hadis berdasarkan riwayat perawinya. Sehingga, umat akan terbiasa dan mudah mencari atau melacak kembali bila sewaktu-waktu dibutuhkan.

Semestinya, masalah ini menjadi perhatian serius dari Departemen Agama (Depag), Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), atau pengelola sekolah Islam untuk memasukkan materi ini dalam kurikulum resmi di sekolah. Sehingga, ayat dan surah yang disampaikan para pengajar dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Dan, santri atau umat Islam pun akan berusaha untuk membuktikan ucapan atau materi yang disampaikan itu dengan mencari dari sumber aslinya.  Wa Allahu A'lam .

Melacak Surah dan Nomor Ayat

Kitab  Fath al-Rahman adalah kitab yang membahas cara mencari surah dan ayat secara lengkap dalam Alquran. Dengan memahami kitab ini, seseorang akan mudah melacak surah dan nomor ayat Alquran kendati yang bersangkutan hanya hafal sebagian dari bunyi ayat tersebut. Kitab  Fath al-Rahman ini bagaikan indeks Alquran atau kamus Alquran. Bedanya, bila kamus disertai dengan penjelasan makna ayat, kitab ini hanya kata dasarnya, lalu dilanjutkan dengan bunyi ayatnya.

Namun demikian, tidaklah mudah melakukan pencarian ayat Alquran dengan kitab ini. Sebab, mereka yang tidak menguasai ilmu  sharaf (khususnya) akan kesulitan dalam mencari ayat yang diinginkan. Apalagi, kitab ini ditulis dengan bahasa Arab 'gundul' (tanpa harakat).

Kata dasar
Selain itu, mereka yang belum terbiasa atau belum pernah belajar kitab ini mungkin akan terasa sulit memahaminya. Sebab, di dalamnya hanya terdapat tulisan kata per kata dan beberapa singkatan nama surah. Kesulitan yang pasti didapatkan adalah bila seseorang tidak paham kata dasar dalam bahasa Arab. Misalnya, kata  al-shiyam (puasa), seorang pelajar harus memahami terlebih dahulu kata dasar dari  al-shiyam . Apa kata dasarnya, baru kemudian kalimat yang diinginkan.

Kata  al-shiyam dalam Alquran disebutkan sebanyak dua kali, masing-masing dalam surah Albaqarah ayat 183 dan 185. Sedangkan, kata  shiyam atau  shiyaman disebutkan sebanyak empat kali. Masing-masing dalam surah Albaqarah ayat 196, Annisa ayat 91, serta Almaidah ayat 92 dan 96. Sedangkan, kata  shiyam adalah bentuk jamak dari mashdar  shawmun (shawm/shaum ).

Karena itu, untuk mencari kata  al-shiyam , seseorang harus paham terlebih dahulu kata dasar  al-Shiyam . Setelah tahu kata dasarnya, akan mudah pula melacak kalimat atau kata  al-shiyam .Demikian pula dengan kata  raaji'uun (dimulai dari huruf ra, alif, jim, ain, wawu, dan nun), asal katanya adalah  raja'a (huruf ra, jim, dan ain). Kata  raaji'uun ditulis sebanyak empat kali dalam Alquran. Masing-masing pada surah Albaqarah ayat 46 dan 156, Al-Anbiya ayat 93, dan surah Almu'minun ayat 61.

Misalnya, ketika ingin mencari kata yang berkaitan dengan menikahi wanita lebih dari satu orang (poligami), seorang pelajar atau pembaca kitab ini minimal mengetahui terlebih dahulu kata dasar yang diinginkan. Karena, ayat ini berkaitan dengan kata 'nikah', maka yang bersangkutan harus mencarinya pada kata  nakaha .

Selanjutnya, harus dilacak kata  ankihuu (alif, nun, kaf, ha, wawu, dan alif). Karena ayat yang berkaitan dengan kata 'menikah' lebih dari seorang ini dimulai dengan awalan huruf fa, kalimat yang dicari adalah kata  fankihuu (maka menikahilah kamu sekalian). Bila tepat, kata tersebut akan dapat ditemukan pada surah Annisa ayat 3.

Adapun bunyinya adalah  wa in khiftun alla tuqsithuu fi al-yatama fankihuu maa thaaba lakum min an-Nisa`i matsna wa tsulatsa wa ruba`. Fa inkhiftum alla ta'diluu fawaahidatan aw maa malakat aymanukum. Dzaalika adna alla ta'uuluu .Selain dari kata dasar  nakaha tadi, ayat tersebut juga bisa dilacak dengan menggunakan kata dasar lainnya. Misalnya, kata  qasatha (qaf, sin, dan tha`). Dari kata dasar tersebut, bunyi yang sama dengan ayat dimaksud adalah  tuqsithuu .

Pada kitab  Fath al-Rahman ini, kata  tuqsithuu terdapat dalam tiga ayat pada tiga surah yang berbeda. Masing-masing pada surah Annisa ayat 3, surah Almumtahanah ayat 8, dan Alhujurat ayat 9. Secara khusus, yang berkaitan dengan masalah menikah lebih dari seorang itu hanya terdapat pada surah Annisa ayat 3. Demikianlah cari-mencari ayat atau surah dalam Alquran berdasarkan kitab  Fath al-Rahman .

Singkatan
Satu hal lagi yang perlu diperhatikan pula dalam menggunakan kitab ini adalah mengetahui daftar singkatan surah. Dalam kitab ini, sudah ditulis daftar singkatan surah. Namun, bagi yang tidak hafal dapat mencarinya pada cara atau petunjuk penggunaan daftar singkatan surah pada halaman awal kitab  Fath al-Rahman .

Misalnya, surah Albaqarah disingkat dengan huruf ba dan qaf; surah Al-Anbiya ditulis dengan singkat huruf alif dan nun; Annas disingkat dengan huruf nun, alif, dan sin; serta Alhujurat disingkat dengan huruf ra, alif, dan ta. Demikianlah cara mempelajarinya.

Walaupun kitab ini tidak dianggap penting bagi sebagian orang karena tidak membahas materi-materi tauhid, fikih, tasawuf, atau lainnya; kitab ini sangat penting untuk dimiliki setiap dai, mubalig, kiai, ustaz, atau pengajar di perguruan tinggi Islam.

Sebab, kitab ini akan membantu umat Islam untuk melacak atau mencari kata, kalimat, surah, atau nomor ayat yang dibahas dalam Alquran. Apalagi, ketika seseorang hafal satu ayat atau sebagian dari ayat Alquran, namun untuk mencari nama surah dan nomor ayatnya, tidaklah mudah. Insya Allah, dengan tuntunan dari kitab  Fath al-Rahman ini, ayat yang dicari akan terlacak dengan mudah.  Wa Allahu A'lam.

Keseimbangan Matematika dalam Alquran

Penyebutan angka atau bilangan dalam Alquran, tujuannya agar menjadi ujian bagi orang kafir dan bertambahnya keimanan bagi orang yang beriman.

''Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.'' (QS Ali Imran: 190).''Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu).'' (QS Yunus: 5).

''Dan tiada Kami jadikan penjaga neraka itu melainkan dari malaikat: dan tidaklah Kami menjadikan bilangan mereka itu melainkan untuk jadi cobaan bagi orang-orang kafir, supaya orang-orang yang diberi Al-Kitab menjadi yakin dan supaya orang yang beriman bertambah imannya dan supaya orang-orang yang diberi Al-Kitab dan orang-orang Mukmin itu tidak ragu-ragu dan supaya orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan orang-orang kafir (mengatakan): 'Apakah yang dikehendaki Allah dengan bilangan ini sebagai suatu perumpamaan?

' Demikianlah Allah membiarkan sesat orang-orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan tidak ada yang mengetahui tentara Tuhanmu melainkan Dia sendiri. Dan Saqar itu tiada lain hanyalah peringatan bagi manusia.'' (QS Muddatstsir: 31). ''Katakanlah: 'Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Alquran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain'." (QS Al-Israa: 88).

Ayat-ayat di atas merupakan beberapa contoh yang disebutkan Allah dalam Alquran mengenai keberadaan angka-angka (bilangan). Tujuannya agar manusia itu menggunakan akalnya untuk berpikir dan meyakini apa yang telah diturunkan, yakni Alquran. Allah menciptakan alam semesta ini dengan perhitungan yang matang dan teliti. Ketelitian Allah itu pasti benar. Dan, Dia tidak menciptakan alam ini dengan main-main. Semuanya dibuat secara terencana dan perhitungan.

Abah Salma Alif Sampayya, penulis buku Keseimbangan Matematika dalam Alquran , menyatakan, bilangan adalah roh dari matematika dan matematika merupakan bahasa murni ilmu pengetahuan ( lingua pura ). Setiap bilangan memiliki nilai yang disebut dengan angka. Peranan matematika dalam kehidupan pernah dilontarkan oleh seorang filsuf, ahli matematika, dan pemimpin spiritual Yunani, Phitagoras (569-500 SM), 10 abad sebelum kelahiran Rasulullah SAW. Phitagoras mengatakan, angka-angka mengatur segalanya.

Kemudian, 10 abad setelah kelahiran Rasulullah SAW, Galileo Galilea (1564-1642 M), mengatakan:  Mathematics is the language in which God wrote the universe (Matematika adalah bahasa yang digunakan Tuhan dalam menulis alam semesta).Hal ini menunjukkan bahwa mereka mempercayai kekuatan angka-angka (bilangan) di dalam kehidupan. Senada dengan pendapat Galileo, Carl Sagan, seorang fisikawan dan penulis novel fiksi ilmiah, mengatakan,  matematika sebagai bahasa yang universal.

Dalam Alquran disebutkan sejumlah angka-angka. Di antaranya, angka 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 19, 20, 30, 40, 80, 100, 200, 1000, 2000, 10 ribu, hingga 100 ribu. Penyebutan angka-angka ini, bukan asal disebutkan, tetapi memiliki makna yang sangat dalam, jelas, dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Misalnya, ketika ada yang bertanya mengenai jumlah penjaga neraka Saqar, dalam surah al-Muddatstsir ayat 31 disebutkan sebanyak 19 orang. Allah menciptakan langit dan bumi selama enam masa. Tuhan adalah satu (Esa),  bumi dan langit diciptakan sebanyak tujuh lapis, dan lain sebagainya.

Penyebutan angka-angka ini, menunjukkan perhatian Alquran terhadap bidang ilmu pengetahuan, khususnya matematika. Yang sangat menakjubkan, beberapa angka-angka yang disebutkan itu memiliki keterkaitan antara yang satu dan lainnya. Bahkan, di antaranya tak terpisahkan. Begitu juga, ketika banyak ulama dan ahli tafsir berdebat mengenai jumlah ayat yang ada didalam Alquran. Sebagian di antaranya menyebutkan sebanyak 6.666 ayat, 6.234 ayat, 6.000 ayat, dan lain sebagainya. Perbedaan ini disebabkan adanya metode dalam perumusan menentukan sebuah ayat.

Bismillahirrahmanirrahim yang diletakkan sebagai kalimat pembuka dari keseluruhan ayat dan surah di dalam Alquran, memiliki susunan angka yang sangat menakjubkan. Kalimat  basmalah itu bila dihitung hurufnya mulai dari ba hingga mim, berjumlah 19 huruf. Angka 19 ini, ternyata menjadi 'kunci utama' dalam bilangan jumlah surah, jumlah ayat, dan lainnya di dalam Alquran.

Begitu juga dengan angka tujuh, bukanlah sekadar menyebutkan angkanya, tetapi memiliki perhitungan dan komposisi yang sangat tepat. Misalnya, jumlah ayat dalam surah Al-Fatihah sebanyak tujuh ayat dan jumlah surah-surah terpanjang dalam Alquran (lebih dari 100 ayat) berjumlah tujuh surah.

Penyebutan angka-angka itu bukanlah secara kebetulan atau asal bunyi (asbun). Semuanya sudah ditetapkan oleh Allah dengan komposisi yang jelas dan akurat. Tidak ada kesalahan sedikit pun. ''Kitab (Alquran) ini tak ada keraguan di dalamnya dan ia menjadi petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa.'' (QS Al-Baqarah: 2).

''Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Alquran yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Alquran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.'' (QS Al-Baqarah: 23). ''(Alquran) ini adalah penjelasan yang sempurna bagi manusia, dan supaya mereka diberi peringatan dengan-Nya, dan supaya mereka mengetahui bahwasanya Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa dan agar orang-orang yang berakal mengambil pelajaran.'' (QS Ibrahim: 52).

Karena itulah, Stephen Hawking, seorang ilmuwan dan ahli matematika terkenal, yang pada awalnya tidak membutuhkan hipotesis Tuhan dalam mempelajari alam semesta, meyakini adanya unsur matematika yang mengagumkan yang melekat di dalam struktur kosmos (alam semesta). Hawking mengatakan, ''Tuhanlah yang berbicara dengan bahasa itu.''

Hal yang sama juga diungkapkan Albert Einstein, fisikawan terkenal dan penemu bom atom. ''Tuhan tidak sedang bermain dadu,'' ungkap Einstein. Semua berdasarkan perhitungan, ukuran, dan perencanaan yang matang, bahkan ketika dentuman besar ( big bang ) pertama, di mana Allah dengan kata  Kun Fayakun -nya, menciptakan alam semesta dalam hitungan t=0 hingga detik 10 pangkat minus 43 detik.

Stephen Hawking mengatakan, ''Seandainya pada saat dentuman besar terjadi kurang atau lebih cepat seperjuta-juta detik saja, alam semesta tidak akan seperti (sekarang) ini.''Itulah rahasia Allah. Semua yang disebutkan-Nya di dalam Alquran, menjadi tanda dan petunjuk bagi umat manusia, agar mereka beriman dan meyakini kebenaran pada kitab yang diturunkan-Nya kepada Nabi Muhammad SAW.  Wa Allahu A'lam.

Sejarah Angka di Dunia

Hampir tak ada negara di dunia yang tak mengenal angka (bilangan). Semuanya mengenal angka 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, dan 0. Angka-angka itu menjadi roh dalam ilmu matematika. Sulit dibayangkan, andai tak ditemukan angka-angka tersebut.

Dalam berbagai literatur yang ada, tak disebutkan siapa orang yang pertama kali menemukan angka-angka atau bilangan tersebut. Yang pasti, menurut Abah Salma Alif Sampayya, dalam bukunya  Keseimbangan Matematika dalam Alquran , catatan angka pertama kali ditemukan pada selembar tanah liat yang dibuat suku Sumeria yang tinggal di daerah Mesopotamia sekitar tahun 3.000 SM.

Bangsa Mesir kuno menulis angka pada daun lontar dengan tulisan hieroglif yang dilambangkan dengan garis lurus untuk satuan, lengkungan ke atas untuk puluhan, lengkungan setengah lingkaran menyamping (seperti obat nyamuk) untuk ratusan, dan untuk jutaan dilambangkan dengan simbol seorang laki-laki yang menaikkan tangan. Sistem ini kemudian dikembangkan oleh bangsa Mesir menjadi sistem hieratik.

Bangsa Roma menggunakan tujuh tanda untuk mewakili angka, yaitu I, V, X, L, C, D, dan M, yang dikenal dengan angka Romawi. Angka ini digunakan di seluruh Eropa hingga abad pertengahan.Sementara itu, angka modern saat ini, berasal dari simbol yang digunakan oleh para ahli matematika Hindu India sekitar tahun 200 SM, yang kemudian dikembangkan oleh orang Arab. Sehingga, angka tersebut disebut dengan angka Arab.

Dibandingkan dari seluruh angka yang ada (1-9), angka 0 (nol) merupakan angka yang paling terakhir kemunculannya. Bahkan, angka nol pernah ditolak keberadaannya oleh kalangan gereja Kristen. Orang yang paling berjasa memperkenalkan angka nol di dunia ini adalah al-Khawarizmi, seorang ilmuwan Muslim terkenal. Dia memperkenalkan angka nol melalui karyanya yang monumental  Al-Jabr wa al-Muqbala atau yang lebih dikenal dengan nama  Aljabar . Angka nol ini kemudian dibawa ke Eropa oleh Leonardo Fibonacci dalam karyanya  Liber Abaci , dan semakin dikenal luas pada zaman Renaisance dengan tokoh-tokohnya, antara lain, Leonardo da Vinci dan Rene Descartes.

Pada mulanya, angka nol digambarkan sebagai ruang kosong tanpa bentuk yang di India disebut dengan  sunya (kosong, hampa).Hingga kini, angka nol memiliki makna yang sangat khas dan memudahkan seseorang dalam berhitung. Namun, ada kalanya keberadaan angka nol ini dapat menimbulkan kekacauan logika.

''Jika suatu bilangan dibagi dengan nol, hasilnya tidak dapat didefinisikan. Bahkan, komputer sekalipun akan mati mendadak jika tiba-tiba bertemu dengan pembagi angka nol,'' jelas Sampayya.Komputer diperintahkan berhenti berpikir bila bertemu dengan sang divisor nol. Hasil yang tertera pada komputer angka menunjukkan #DIV/0!.

Meyakini Kebenaran Alquran

Keistimewaan dan keajaiban angka-angka yang ada dalam Alquran, sebagaimana dijelaskan di atas, merupakan bukti keteraturan dan keseimbangan yang dilakukan oleh Sang Pencipta dalam menyusun dan membuat Alquran serta alam semesta. Tak mungkin manusia mampu melakukan keseimbangan dan keteraturan yang demikian sempurna itu dalam sebuah hasil karyanya, selain Allah SWT.

Dalam surah Al-Baqarah ayat 2-3, Allah menjelaskan tujuan dari diturunkannya Alquran, yakni menjadi petunjuk bagi umat manusia untuk membedakan antara yang hak (benar) dan yang batil (salah). Sebab, tidak ada yang perlu diragukan lagi semua keterangan Alquran. Karena itulah, seluruh umat Islam di dunia ini, wajib untuk meyakini dan mempercayai kebenaran Alquran.

Penyebutan angka-angka dan keteraturan yang terdapat di dalamnya, merupakan bukti keistimewaan dan kemukjizatan Alquran. Keseimbangan dan keteraturan sistem numerik (bilangan) dalam Alquran dengan penciptaan alam semesta, menggambarkan hanya Allah SWT sebagai Tuhan yang satu.

''Dan tidaklah Kami menjadikan bilangan mereka itu melainkan untuk jadi cobaan bagi orang kafir, supaya orang-orang yang diberi Al-Kitab menjadi yakin dan supaya orang yang beriman bertambah imannya, dan supaya orang-orang yang diberi Al-Kitab dan orang Mukmin itu tidak ragu-ragu.'' (QS Al-Muddatstsir: 31). Wa Allahu A'lam.

Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, Ulama Besar dari Kalimantan Selatan

Nama Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari hingga kini masih melekat di hati masyarakat Martapura, Kalimantan Selatan, meski putra Banjar kelahiran Desa Lok Gabang, 19 Maret 1710 M, itu telah meninggal sejak 1812 M silam. Ia meninggalkan banyak jejak dalam bentuk karya tulis di bidang keagamaan. Karya-karyanya bak sumur yang tak pernah kering untuk digali hingga generasi kini. Tak mengherankan bila seorang pengkaji naskah ulama Melayu berkebangsaan Malaysia menjulukinya sebagai ‘Matahari Islam Nusantara’. ‘Matahari’ itu terus memberikan pencahayaan bagi kehidupan umat Islam.

Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari, tulis situs wikipedia, adalah pelopor pengajaran Hukum Islam di Kalimantan Selatan. Ia sempat menuntut ilmu-ilmu agama Islam di Mekkah. Sekembalinya ke kampung halaman, hal pertama yang dikerjakannya adalah membuka tempat pengajian (semacam pesantren) bernama Dalam Pagar.

Kisah tempat pengajian ini diuraikan dalam buku seri pertama Intelektual Pesantren: Potret Tokoh dan Cakrawala Pemikiran di Era Pertumbuhan Pesantren, terbitan Diva Pustaka, Jakarta. Mulanya, tulis buku itu, lokasi ini berupa sebidang tanak kosong yang masih berupa hutan belukar pemberian Sultan Tahmid Allah, penguasa Kesultanan Banjar saat itu. Syekh Arsyad menyulap tanah tersebut menjadi sebuah perkampungan yang di dalamnya terdapat rumah, tempat pengajian, perpustakaan, dan asrama para santri.

Sejak itu, kampung yang baru dibuka tersebut didatangi oleh para santri dari berbagai pelosok daerah. Kampung baru ini kemudian dikenal dengan nama kampung Dalam Pagar. Di situlah diselenggarakan sebuah model pendidikan yang mengintegrasikan sarana dan prasarana belajar dalam satu tempat yang mirip dengan model pesantren. Gagasan Syekh Muhammad Arsyad ini merupakan model baru yang belum ada sebelumnya dalam sejarah Islam di Kalimatan masa itu.

Pesantren yang dibangun di luar kota Martapura ini bertujuan untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi proses belajar mengajar para santri. Selain berfungsi sebagai pusat keagamaan, di tempat ini juga dijadikan pusat pertanian. Syekh Muhammad Arsyad bersama beberapa guru dan muridnya mengolah tanah di lingkungan itu menjadi sawah yang produktif dan kebun sayur, serta membangun sistem irigasi untuk mengairi lahan pertanian.

Tidak sebatas membangun sistem pendidikan model pesantren, Syekh Muhammad Arsyad juga aktif berdakwah kepada masyarakat umum, dari perkotaan hingga daerah terpencil. Kegiatan itu pada akhirnya membentuk perilaku religi masyarakat. Kondisi ini menumbuhkan kesadaran untuk menambah pengetahuan agama dalam masyarakat.

Dalam menyampaikan ilmunya, Syekh Muhammad Arsyad sedikitnya punya tiga metode. Ketiga metode itu satu sama lain saling menunjang. Selain dengan cara bil hal, yakni keteladanan yang direfleksikan dalam tingkah laku, gerak gerik, dan tutur kata sehari-hari yang disaksikan langsung oleh murid-muridnya, Syekh Muhammad Arsyad juga memberikan pengajaran dengan cara bil lisan dan bil kitabah. Metode bil lisan dengan mengadakan pengajaran dan pengajian yang bisa disaksikan diikuti siapa saja, baik keluarga, kerabat, sahabat, maupun handai taulan, sedangkan metode bil kithabah menggunakan bakatnya di bidang tulis menulis.

Dari bakat tulis menulisnya, lahir kitab-kitab yang menjadi pegangan umat. Kitab-kitab itulah yang ia tinggal setelah Syekh Muhammad Arsyad utup usia pada 1812 M, di usia 105 tahun. Karya-karyanya antara lain, Sabilal Muhtadin, Tuhfatur Raghibiin, Al Qaulul Mukhtashar, di samping kitab Ushuluddin, kitab Tasauf, kitab Nikah, kitab Faraidh, dan kitab Hasyiyah Fathul Jawad. Karyanya paling monumental adalah kitab Sabilal Muhtadin yang kemasyhurannya tidak sebatas di daerah Kalimantan dan Nusantara, tapi juga sampai ke Malaysia, Brunei, dan Pattani (Thailand Selatan).

Anak Cerdas dari Lok Gabang
Sekali waktu, Sultan Kerajaan Banjar, Sultan Tahmidullah, berkunjung ke kampung-kampung yang ada di wilayahnya. Tiba kampung Lok Gabang, ia terkesima melihat lukisan yang indah. Setelah bertanya, dia mengetahui pelukisnya bernama Muhammad Arsyad, seorang anak berusia tujuh tahun. Tertarik dengan kecerdasan dan bakat anak kecil itu, Sultan berniat mengasuhnya di istana.

Mulanya, Abdullah dan Siti Aminah, kedua orangtua Arsyad, enggan melepas anak sulungnya itu. Tapi atas pertimbangan masa depan si buah hati, keduanya pun menganggukkan kepala. Di istana, Arsyad kecil bisa membawa diri, selalu menunjukkan keluhuran budi pekertinya. Sifat-sifat terpuji itu membuat ia disayangi warga istana. Bahkan, Sultan memperlakukannya seperti anak kandung.

Beranjak dewasa, Arsyad dikawinkan dengan Bajut, seorang perempuan yang solehah. Ketika Bajut tengah mengandung anak pertama, terlintas di benak Arsyad untuk menuntut ilmu di Tanah Suci Mekkah. Sang istri tidak keberatan demi niat suci suami, meski dengan perasaan berat. Setelah mendapat restu Sultan, Arsyad berangkat untuk mewujudkan cita-citanya.

Begitulah sepenggal kisah perjalanan hidup Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari, ulama besar kelahiran Lok Gabang, Martapura, 19 Maret 1710 M. Ia adalah pengarang Kitab Sabilal Muhtadin yang banyak menjadi rujukan Hukum Fiqih di Asia Tenggara.

Perdalam Ilmu Agama
Di Tanah Suci, Arsyad memperdalam ilmu agama. Guru-gurunya, antara lain Syekh Athoillah bin Ahmad al Mishry, al Faqih Syekh Muhammad bin Sulaiman al Kurdi, dan al 'Arif Billah Syekh Muhammad bin Abd Karim al Samman al Hasani al Madani. Namanya terkenal di Mekkah karena keluasan ilmu yang dimiliki, terutama ilmu Qiraat. Ia bahkan mengarang kitab Qiraat 14 yang bersumber dari Imam Syatibi. Uniknya, setiap juz kitab tersebut dilengkapi dengan kaligarafi khas Banjar.

Menurut riwayat, selama belajar di Mekkah dan Madinah, Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari belajar bersama tiga orang Indonesia lainnya: Syekh Abdul Shomad al Palembani (Palembang), Syekh Abdul Wahab Bugis, dan Syekh Abdul Rahman Mesri (Betawi). Mereka berempat dikenal dengan ‘Empat Serangkai dari Tanah Jawi’ yang sama-sama menuntut ilmu di al Haramain al Syarifain. Belakangan, Syekh Abdul Wahab Bugis kemudian menjadi menantunya karena kawin dengan anak pertama Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari.

Setelah lebih dari 30 tahun menuntut ilmu, timbul hasratnya untuk kembali ke kampung halaman. Sebelum sampai di tanah kelahirannya, Syekh Arsyad singgah di Jakarta. Ia menginap di rumah salah seorang temannya waktu belajar di Mekkah. Bahkan, menurut kisahnya, Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari sempat memberikan petunjuk arah kiblat Masjid Jembatan Lima di Jakarta sebelum kembali ke Kalimantan.

Ramadhan 1186 H bertepatan dengan 1772 M, Syekh Arsyad tiba di kampung halamannya di Martapura, pusat Kerajaan Banjar masa itu. Raja Banjar, Sultan Tamjidillah, menyambut kedatangannya dengan upacara adat kebesaran. Segenap rakyat mengelu-elukannya sebagai seorang ulama ‘Matahari Agama’ yang cahayanya diharapkan menyinari seluruh Kerajaan Banjar.

Syekh Arsyad aktif melakukan penyebaran agama Islam di Kalimantan. Tak hanya dalam bidang pendidikan dengan mendirikan pesantren lengkap sarana dan prasarananya, termasuk sistem pertanian untuk menopang kehidupan para santrinya, tapi juga berdakwah dengan mengadakan pengajian, baik di kalangan istana maupun masyarakat kelas bawah.

Lebih 40 tahun Syekh Arsyad melakukan penyebaran Islam di daerah kelahirannya, sebelum maut menjemputnya. Dia meninggal pada 1812 M di usia 105 tahun. Sebelum wafat, dia sempat berwasiat agar jasadnya dikebumikan di Kalampayan bila sungai dapat dilayari atau di Karang Tengah, tempat istrinya, Bujat, dimakamkan bila sungai tidak bisa dilayari. Namun karena saat meninggal air sedang surut, maka ia dikebumikan Kalampayan, Astambul, Banjar, Kalimantan Selatan. Di daerah yang terletak sekitar 56 km dari kota Banjarmasin itulah jasad Datuk Kalampayan – panggilan lain anak cerdas kelahiran Lok Gabang – ini dikebumikan.
Sabil Al-Muhtadin
Alasan utama penulisan kitab ini oleh Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, karena adanya kesulitan umat Islam Banjar dalam memahami kitab-kitab fikih yang ditulis dalam bahasa Arab.

Buku-buku yang membahas masalah fikih (ibadah shalat, zakat, puasa, dan haji) di Indonesia cukup banyak. Jumlahnya bisa mencapai ribuan, baik yang ditulis ulama asal Timur Tengah, ulama Nusantara, maupun para ilmuwan kontemporer yang memiliki spesifikasi tentang keilmuan dalam bidang fikih atau hukum Islam.

Dari berbagai buku-buku fikih yang ada, salah satunya adalah kitab Sabil al-Muhtadin li al-Tafaqquh fi Amr Al-Din (Jalan bagi orang-orang yang mendapat petunjuk agar menjadi faqih (alim) dalam urusan agama.

Kitab ini ditulis dalam bahasa Arab-Melayu dan merupakan salah satu karya utama dalam bidang fikih bagi masyarakat Melayu. Kitab ini ditulis setelah Syekh Muhammad Arsyad mempelajari berbagai kitab-kitab fikih yang ditulis para ulama terdahulu, seperti kitab Nihayah al-Muhtaj yang ditulis oleh Syekh al-Jamal al-Ramly, kitab Syarh Minhaj oleh Syekh al-Islam Zakaria al-Anshary, kitab Mughni oleh Syekh Khatib Syarbini, kitab Tuhfah al-Muhtaj karya Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, kitab Mir’atu al-Thullab oleh Syekh Abdurrauf al-Sinkili, dan kitab Shirat al-Mustaqim karya Nurruddin al-Raniri.

Selain itu, ada alasan utama yang dilakukan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari saat menulis kitab ini. Sebuah sumber menyebutkan, pada awalnya, keterbatasan (kesulitan) umat Islam di Banjar (Melayu) dalam mempelajari kitab-kitab fikih yang berbahasa Arab. Maka itu, masyarakat Islam di Banjar berusaha mempelajari fikih melalui kitab-kitab berbahasa Melayu. Salah satunya adalah kitab Shirat al-Mustaqim yang ditulis Syekh Nurruddin al-Raniri.

Kitab Shirat al-Mustaqim-nya al-Raniri ini juga ditulis dalam bahasa Arab-Melayu yang lebih bernuansa bahasa Aceh. Namun, hal itu juga menimbulkan kesulitan bagi masyarakat Islam Banjar untuk mempelajarinya. Oleh karena itu, atas permintaan Sultan Banjar (Tahmidullah), Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari kemudian menuliskan sebuah kitab fikih dalam bahasa Arab-Melayu yang lebih mudah dipahami masyarakat Islam Banjar.

Dalam mukadimah kitab Sabil al-Muhtadin, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari menyatakan bahwa karya ini ditulis pada 1193/1779 M atas permintaan Sultan Tahmidullah dan diselesaikan pada 1195/1781 M.

Secara umum, kitab ini menguraikan masalah-masalah fikih berdasarkan mazhab Syafi’i dan telah diterbitkan oleh Darul Ihya al-Kutub al-Arabiyah. Kitab Sabil al-Muhtadin ini terdiri atas dua jilid.

Seperti kitab fikih pada umumnya, kitab Sabil al-Muhtadin ini juga membahas masalah-masalah fikih, antara lain, ibadah shalat, zakat, puasa, dan haji.

Kitab ini lebih banyak menguraikan masalah ibadah, sedangkan muamalah belum sempat dibahas. Walaupun begitu, kitab ini sangat besar andilnya dalam usaha Syekh Arsyad menerapkan hukum Islam di wilayah Kerajaan Banjar sesuai anjuran Sultan Tahmidullah yang memerintah saat itu.

Kontekstual
Menurut Najib Kailani, koordinator Bidang Media dan Budaya, Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS) Yogyakarta, dalam artikelnya yang berjudul "Ijtihad Zakat dalam kitab Sabil al-Muhtadin," menyatakan, ”Meskipun ditulis pada abad ke-18, terdapat banyak sekali pemikiran cemerlang Syekh Arsyad dalam kitab ini yang sangat kontekstual di era sekarang. Satu di antara gagasan brilian di dalam kitab Sabil al-Muhtadin adalah pandangan beliau tentang zakat.”

Dicontohkan Kailani, pada pasal tentang orang-orang yang berhak menerima zakat (mustahik), terdapat pandangan dan pemikiran Syekh Muhammad Arsyad yang sangat progresif dan melampaui pemikiran ilmuwan pada zaman itu.

Syekh Arsyad al-Banjari menyatakan, ”Fakir dan miskin yang belum mampu bekerja baik sebagai pengrajin maupun pedagang, dapat diberikan zakat sekira cukup untuk perbelanjaannya dalam masa kebiasaan orang hidup. Misalnya, umur yang biasa ialah 60 tahun. Kalau umur fakir atau miskin itu sudah mencapai 40 tahun dan tinggal umur biasa (harapan hidup) 20 tahun. Maka, diberikan zakat kepadanya, sekira cukup untuk biaya hidup dia selama 20 tahun.”

Dan, yang dimaksud dengan diberi itu bukan dengan emas maupun perak yang cukup untuk masa itu, tetapi yang bisa dipergunakan untuk membeli makan dalam masa yang disebutkan di atas. Maka, hendaklah dibelikan dengan zakat tadi dengan izin Imam, seperti kebun yang sewanya memadai atau harga buahnya untuk belanjanya di masa sisa umur manusia secara umum agar ia menjadi mampu dengan perantaraan zakat. Lalu, kebun itu dimiliki dan diwariskannya kepada keluarganya karena kemaslahatannya kembali kepadanya dan kepada mustahik yang lain. Inilah tentang fakir dan miskin yang tidak mempunyai kepandaian dan tidak bisa berdagang.

Menurut Kailani, pandangan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari ini, tampak telah melampaui zamannya. ”Sangat jelas bahwa pijakan gagasan ini adalah konsep kemaslahatan umum (maslahah al-ammah), di mana zakat tidak sekadar dimaknai sebagai pemberian karitatif, lebih jauh ia merupakan satu mekanisme keadilan sosial, yaitu supaya harta tidak hanya terputar di kalangan orang kaya semata,” ujar Kailani.

”Beliau memberi contoh dengan pengelolaan kebun yang manfaatnya bisa menghidupi keluarga sang penerima zakat dan seterusnya, sampai anak cucunya dan penerima zakat lainnya. Pandangan ini tampak sejalan dengan konsep negara kesejahteraan (welfare-state) di Eropa, di mana negara menjamin kesejahteraan warga negaranya yang belum memperoleh pekerjaan layak,” tambahnya.

Beberapa ijtihad zakat sudah digulirkan para pemikir Muslim kontemporer, seperti Yusuf al-Qaradhawi tentang zakat profesi atau Masdar Farid Mas’udi mengenai zakat yang ditransformasikan menjadi pajak dan lain sebagainya. Mengangkat kembali gagasan Syekh Arsyad dalam konteks kini, paling tidak mendorong kembali upaya-upaya reinterpretasi kontekstual makna zakat dalam kehidupan Muslim kontemporer.

Berdasarkan contoh di atas, kata Kailani, tentunya sangat penting bagi umat Islam di Indonesia untuk menelisik ulang khazanah tradisi Islam Nusantara yang ditulis oleh ulama-ulama besar sejak abad ke-13 hingga ke-20, saat banyak gagasan cemerlang yang terlontar melampaui zamannya.

Seperti diketahui, kitab Sabil al-Muhtadin ini tak hanya menjadi referensi ilmu fikih bagi umat Islam di Banjar (Kalimantan Selatan), tetapi juga bagi masyarakat Melayu lainnya, seperti Brunei Darussalam, Malaysia, hingga Thailand.

”Sudah saatnya kita membuang sikap apriori terhadap tradisi klasik, terutama karya-karya ulama Nusantara sebagai ketinggalan zaman dan tidak sesuai dengan problem kekinian. Dari contoh gagasan Syekh Arsyad di atas, menyadarkan kita betapa banyak kekayaan gagasan Islam Nusantara yang bisa dikembangkan kembali untuk konteks keindonesiaan sekarang,” kata Kailani.

Hal ini sejalan dengan gagasan dan pemikiran yang dilakukan oleh Departemen Agama yang kini tengah mentahkik karya-karya ulama Nusantara. Tujuannya, agar umat Islam Indonesia mengenal dengan baik ulama-ulama Nusantara dan karya-karyanya.

Sarung Busana Identitas Muslim

''Tekstil merupakan industri pelopor di era Islam,'' ungkap Ahmad Y al-Hassan dan Donald R Hill dalam bukunya bertajuk Islamic Technology: An Illustrated History. Pada era itu, standar tekstil masyarakat Muslim di Semenajung Arab sangat tinggi. Tak heran, jika industri tekstil di era Islam memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap Barat.

Salah satu produk tekstil yang berkembang di era Islam dan masih bertahan hingga saat ini adalah sarung -- kain lebar yang dijahit pada kedua ujungnya sehingga berbentuk seperti tabung. Menurut catatan sejarah,  sarung berasal dari Yaman.  Di negeri itu sarung biasa disebut  futah.

Sarung juga dikenal dengan nama  izaar, wazaar atau ma'awis.   Masyarakat di negara Oman menyebut sarung dengan nama  wizaar. Orang Arab Saudi mengenalnya dengan nama  izaar. Penggunaan sarung telah meluas, tak hanya di Semenanjung Arab, namun juga mencapai Asia Selatan, Asia Tenggara, Afrika, hingga Amerika dan Eropa.

Dalam  Ensiklopedia Britanica, disebutkan, sarung telah menjadi pakaian tradisomal masyarakat Yaman. Sarung diyakini telah diproduksi dan digunakan masyarakat tradisional Yaman sejak zaman dulu. Hingga kini, tradisi itu masih tetap melekat kuat. Bahkan,  hingga saat ini,  futah atau sarung Yaman menjadi salah satu oleh-oleh khas tradisional dari Yaman.

Orang-orang yang berkunung ke Yaman biasanya tidak lupa membeli sarung  sebagai buah tangan bagi para kerabatnya. Sarung awalnya digunakan suku badui yang tinggal di Yaman. Sarung dari Yaman itu berasal dari kain putih yang dicelupkan ke dalam neel yaitu bahan pewarna yang berwarna hitam. Sarung Yaman terdiri dari  beberapa variasi, diantaranya model  assafi, al-kada, dan annaqshah.

Hingga kini,  para pekerja modern di Yaman masih banyak yang menggunakan sarung. Para petugas keamanan di Yaman pun boleh mengenakan sarung sebagai pakaian dinasnya. Orang-orang Yaman tidak menggunakan sarung hingga mata kaki seperti masyarakat Indonesia.

Sarung juga telah menjadi salah satu pakaian penting dalam tradisi Islam di Indonesia. Tradisi menggunakan sarung di Tanah Air tersebar di berabagi wilayah. Pria Muslim di Indonesia biasa menggunakan sarung untuk keperluan ibadah, upacara perkawinan maupun acara adat.

Kain sarung terbuat dari bermacam-macam bahan,  baik berupa katun maupun polister. Sedangkan motifnya bermacam-macam baik garis vertikal, horisontal, maupun kotak-kotak dengan warna yang beraneka ragam seperti merah, biru, hijau, putih, maupun hitam.

Tradisi menggunakan sarung di Indonesia boleh jadi mulai berkembang setelah masuknya ajar Islam yang dibawa para saudagar dari Arab, khususnya Yaman. Sarung juga merupakan pakaian tradisional para nelayan Arab yang berasal dari Teluk persia, Samudera Hindia, maupun Laut Merah sejak dulu. Sarung juga digunakan olah orang-orang Turki sebagai baju tidur pada abad pertengahan.

Sebenarnya di dunia Arab, sarung bukanlah pakaian yang diidentikkan untuk melakukan ibadah seperti sholat. Bahkan di Mesir sarung dianggap tidak pantas  dipakai ke masjid maupun untuk keperluan menghadiri acara-acara formal dan penting lainnya. Di Mesir, sarung berfungsi sebagai   baju tidur yang hanya dipakai saat di kamar tidur.

Di Indonesia, sarung menjadi salah satu pakaian kehormatan dan menunjukkan nilai kesopanan yang tinggi. Tak heran jika  sebagian masyarakat Indonesia  sering mengenakan sarung untuk sholat di masjid. Laki-laki mengenakan atasan baju koko dan bawahan sarung untuk sholat, begitu pula wanita mengenakan atasan mukena dan bawahan sarung untuk sholat.

Sarung dipakai berbagai kalangan baik anak-anak, remaja, maupun orang tua tidak mengenal ras maupun golongan, baik kaya maupun miskin. Yang jelas, sarung telah menjadi pakaian ciri khas umat Islam Tanah Air. Sarung tak hanya dikenakan kalangan santri pondok pesantren saja, tapi seluruh lapisan masyarakat juga  sudah familiar dan akrab dengan sarung.

Secara teologis, sarung sudah diklaim menjadi salah satu pakaian tradisi Muslim di Indonesia semacam pakaian untuk sholat, pergi ke masjid, pergi tahlilan ke tempat saudara maupun teman yang meninggal, dan memperingati hari raya baik Idul Fitri maupun Idul Adha.

Barang kali ada beberapa faktor yang membuat sarung begitu melekat dalam tradisi Islam di Indonesia, antara lain; sarung sangat mudah dipakai dan simpel. Selain itu ukurannya yang panjang mudah untuk menutupi aurat dengan baik. Sarung juga longgar dan tebal sehingga tidak menunjukkan lekuk tubuh pemakainya.

Jika merujuk pada salah satu hadis, penggunaan sarung kemungkinan besar juga sudah dikenal pada  zaman Nabi Muhammad SAW. Hal ini terlihat dalam sebuah Hadis Riwayat Bukhari- Muslim. Dari Sahal bin Sa’ad dikisahkan bahwa Nabi SAW pernah didatangi seorang wanita yang berkata, ”Ya Rasulullah kuserahkan diriku untukmu”.  Wanita itu berdiri lama lalu berdirilah seorang laki-laki yang berkata,” Ya Rasulullah kawinkan dengan aku saja jika kamu tidak ingin menikahinya.”

Rasulullah berkata,” Punyakah kamu sesuatu untuk dijadikan mahar? Dia berkata, “Tidak kecuali hanya sarungku ini”. Lalu Rasulullah menjawab, “Bila kau berikan sarungmu itu maka kau tidak akan punya sarung lagi, carilah sesuatu.” Dia berkata, ”Aku tidak mendapatkan sesuatu pun.”

Rasulullah berkata, ”Carilah walau cincin dari besi.”  Pria itu mencarinya lagi dan tidak juga mendapatkan apa-apa. Lalu Rasulullah berkata lagi, ”Apakah kamu menghafal Alquran?”  Dia menjawab, ”Ya surat ini dan itu” sambil menyebutkan surat yang dihafalnya. Berkatalah Rasulullah, ”Aku menikahkan kalian berdua dengan mahar hafalan Alquranmu.” Dari riwayat tersebut, sarung sepertinya telah digunakan sejak zaman Nabi sebagai pakaian untuk menutupi aurat.

Sarung, Simbol Perlawanan Terhadap Koloniaisme


Sarung tampaknya sudah menjadi bagian dari identitas Muslim di Indonesia. Bahkan, sarung juga identik dengan santri yang mondok di pesantren. Mereka  sering disebut sebagai 'kaum sarungan'. Hampir di semua pesantren tradisional, para santri menggunakan sarung untuk kegiatan belajar mengajar maupun aktivitas sehari-hari.

Sarung juga  telah menjadi simbol perlawanan. Sebagai sebuah wilayah yang mayoritas beragama Islam,  sarung sudah menjadi sebuah simbol perlawanan terhadap negara penjajah Belanda yang terbiasa  menggunakan baju modern seperti jas.

Para santri di zaman kolonial Belanda menggunakan sarung sebagai simbol perlawanan terhadap budaya Barat yang dibawa kaum penjajah. Kaum santri merupakan masyarakat yang paling konsisten menggunakan sarung di mana kaum nasionalis abangan telah hampir
meninggalkan sarung.

Itulah yang membuat sarung identik dengan budaya Islam di Nusantara. Sejumlah bukti sejarah juga menunjukkan para aktivis kemerdekaan awal yang berasal dari kalangan santri menggunakan sarung untuk melakukan berbagai macam aktivitas, baik aktivitas kenegaraan maupun ibadah.

Sikap konsisten penggunaan sarung juga dijalankan oleh salah seorang pejuang Muslim Nusantara yakni KH Abdul Wahab Chasbullah, seorang tokoh sentral di Nahdhatul Ulama (NU). Abdul Wahab merupakan kiai merdeka , sebab dalam sepanjang sejarah perjuangannya, kiai asal Jombang itu memang cenderung berjiwa bebas, berpendirian merdeka, tidak mudah terpengaruh lingkungan sekeliling.

Suatu ketika, Abdul Wahab pernah diundang Presiden Soekarno. Protokol kepresidenan memintanya untuk berpakaian lengkap dengan jas dan dasi. Namun, saat menghadiri upacara kenegaraan, ia datang menggunakan jas tetapi bawahannya sarung. Padahal biasanya orang mengenakan jas dilengkapi dengan celana panjang.

Sebagai seorang pejuang yang sudah berkali-kali terjun langsung bertempur melawan penjajah Belanda dan Jepang, Abdul Wahab tetap konsisten menggunakan sarung sebagai simbol perlawanannya terhadap budaya Barat. Ia ingin menunjukkan harkat dan martabat bangsanya  di hadapan para penjajah.

Abdul Wahab menunjukkan pentingnya menggunakan sarung sebagai warisan budaya dan identitas nasonalisme. Rupanya perjuangan berat kaum pesantren untuk menegakkan identitas sarung sebagai simbol perlawanan terhadap budaya kaum kolonialis Belanda membuah hasil. Saat ini, sarung menjadi simbol kehormatan dan kesopanan yang sering digunakan untuk berbagai macam upacara sakral di tanah air. 

Benteng-benteng Peninggalan Islam





Peradaban Islam di era kejayaan dikenal memiliki teknologi militer yang sangat tangguh. Salah satu peninggalan militer Muslim di masa kekhalifahan adalah benteng-benteng pertahanan. Kemegahan benteng-benteng peninggalan peradaban Islam di abad pertengahan itu ada yang masih berdiri kokoh serta ada pula yang telah musnah.

Berikut ini beberapa benteng peninggalan militer Muslim di zaman keemasan:

*  Benteng Salahudin

Orang  Barat biasa menyebutnya, The Citadel of Saladin.   Menurut catatan sejarah, The Citadel dibangun oleh panglima perang Muslim terkemuka bernama Salahudin Al-Ayubi dari Dinasti Ayubiyah pada 1170 M.  Benteng Salahudin dibangun di atas bukit Muqatam yang terletak di antara kota Kairo dan Fustat, Mesir.

Karena letaknya di atas bukit, setiap orang yang datang ke Citadel bisa menikmati keindahan pemandangan seluruh penjuru kota Kairo. Bahkan,  Piramida dan Giza peninggalan raja-raja Mesir pun bisa terlihat dari Benteng Salahudin.

Salahudin membangun Citadel sebagai tempat latihan militer serta melindungi Mesir dari serangan Pasukan Salib. Kala itu, memang tengah berkobar Perang Salib. Salahudin pun berinisiatif untuk membangun benteng pertahanan untuk membendung serangan tentara Perang Salib yang berusaha menguasai kembali Yerusalem  Tanah yang dijanjikan Tuhan dari kekuasaan orang-orang Muslim.

Perang Salib juga dipicu ambisi Kekaisaran Bizantium untuk melawan ekspansi Dinasti Seljuk yang beragama Islam ke Anatolia. Pada masa kekuasaan Kekhalifahan Turki Usmani, Citadel juga sempat menjadi tempat bermukim dan berlindung Raja Muda Turki. Dia juga membawa pasukannya untuk bertahan di benteng tersebut selama masa Perang Salib.

Benteng peninggalan Sang Panglima Perang Agung  Salahudin al- Ayubi  itu sempat dilupakan dan tidak terurus hingga pada masa kekuasaan Dinasti Mamluk. Namun pada abad ke-14 M, Citadel yang telah berjasa melindungi Mesir dari Pasukan Salib mulai diperhatikan dan dirawat.

Bahkan Sultan El-Nasser Mohamed mulai membangun sejumlah bangunan-bangunan lain di sekitar benteng tersebut seperti Masjid. Saat ini,  Citadel juga menjadi tempat latihan militer Mesir .

* Benteng Ajyad

Benteng Ajyad merupakan benteng yang dibangun penguasa Turki Usmani di kota Mekkah pada  1775 M. Benteng tersebut dibangun untuk melindungi Ka'bah dan kota Mekkah  dari serangan para pendatang.

Benteng tersebut meliputi 23 ribu meter persegi pegunungan Bulbul. Namun benteng tersebut sudah dimusnahkan pada tahun 2002 yang lalu untuk sebuah proyek pembangunan  Abraj Al Bait Towers yang terdiri dari apartemen, hotel bintang lima, maupun pusat perbelanjaan.

Pemusnahan Benteng Ajyad yang memiliki nilai sejarah tinggi bagi umat Muslim diprotes keras oleh pemerintah Turki. Namun pemerintah Saudi Arabia tetap memperbolehkan kelanjutan proyek itu. Selain itu, meskipun benteng Ajyad memiliki nilai historis tetapi benteng tersebut tidak termasuk bangunan-bangunan bersejarah yang dilindungi oleh UNESCO.

* Benteng al-Ukhaider

Benteng al-Ukhaider terletak di padang pasir berjarak 48 km dari kota Karbala dan 150 km di selatan kota Baghdad, Irak. Benteng al-Ukhaider I merupakan salah satu benteng yang paling indah dari jejak-jejak peninggalan kekuasaan Muslim. Tembok luar dari benteng tersebut masih lengkap dan terawat dengan baik.

Benteng ini dibangun oleh salah seorang pemimpin dari Dinasti Abbasiyah yang pernah berkuasa di Irak yakni Isa ibn Musa pada 774 hingga 775 M. Di dalam benteng tersebut juga dibangun masjid dan tempat tinggal semacam aparteman. Arsitektur dari benteng tersebut sangat indah dan sangat menggambarkan arsitektur Islam.

Pada saat terjadinya perang Teluk yang terjadi antara Irak dan Kuwait pada 1991, benteng tersebut pernah diserang oleh dua pesawat terbang. Namun benteng peninggalan Dinasti Abbasiyah tersebut tetap berdiri dengan kokohnya tanpa ada kerusakan yang cukup berarti. Hal ini merupakan bukti kemampuan teknik bangunan yang tinggi dari arsiteknya.

Pada zaman dulu, benteng Al Ukhaider sering menghubungkan antara Irak dengan dunia luar. Selain itu, banyak para kafilah, pedagang dan orang-orang nomaden seperti Atshan dan Mujdah yang sering singgah di benteng tersebut. Selain untuk singgah, benteng tersebut juga berfungsi melindungi wilayah-wilayah di sekitarnya dari serangan orang asing.

* Benteng Alamut

Benteng Alamut dibangun pada 840 M di atas Gunung Alborz pada ketinggian 2.100 meter dari permukaan laut yang terletak di selatan Laut Kaspia dekat Provinsi Qazyin. Benteng tersebut terletak 100 km dari kota Teheran, Iran.

Alamut sendiri merupakan bahasa Persia yang artinya sarang burung Rajawali. Kemungkinan nama tersebut diberikan untuk menggambarkan betapa kokohnya benteng tersebut. Benteng Alamut memang dirancang didirikan di atas gunung untuk menyulitkan para penyerang datang menghancurkan benteng tersebut.

Untuk memasuki benteng tersebut, para penyerang harus melewati lereng-lereng yang terjal dan licin yang sangat berbahaya. Benteng yang panjangnya 400 meter tersebut juga memiliki sistem suplai air yang berbeda dari benteng-benteng lainnya. Sebenarnya, benteng Alamut memang didirikan untuk menahan serangan dari bangsa Seljuk.

Pada 1090 M, Hassan-i Sabbah seorang komandan dari Persia menguasai Benteng Alamut, bahkan dia juga membangun sejumlah taman dan perpustakaan di dalam benteng tersebut. Namun pada Desember 1256 M, pasukan Mongol di bawah kepemimpinan  Hulagu Khan datang dan berusaha menghancurkan benteng tersebut. Tetapi benteng tersebut tetap tidak terkalahkan.

Benteng Alamut rusak parah akibat terjadinya gempa bumi di Iran pada 2004.. Dinding-dinding benteng tersebut runtuh. Untuk memperbaiki benteng yang menjadi salah satu peninggalan peradaban Islam tersebut membutuhkan waktu yang panjang, sekitar 10 tahun.

Hikayat Berdirinya Benteng di Tanah Arab


Sebelum datangnya Islam, peradaban Arb tak mengenal tradisi pembangunan benteng pertahanan. Menurut Ahmad Y al-Hassan dan Donald R Hill dalam bukunya bertajuk  Islamic Technology: An Illustrated History, mengungkapkan,  kota yang memiliki tembok-tembok penting pra-Islam hanyalah Thaif dan Hijaz.

Seiring berkembangnya agama Islam di Semenajung Arab, benteng pertahanan mulai dibangun di mana-mana. Hal ini terjadi karena adanya perkembangan militer di dunia Islam pada masa-masa penaklukan oleh para Kalifah. Selain itu, pada masa kekalifahan, banyaknya perang di berbagai wilayah mendorong terjadinya pertukaran gagasan antara dunia Islam dengan dunia Barat seperti Byzantium dalam strategi militer.

Ide-ide militer yang melintas antara dunia Islam dan Barat membuat para arsitektur militer dan para ahli strategi membuat berbagai macam teknik pertahanan, salah satunya dengan membangun benteng pertahanan.

Benteng memang perlu dibuat untuk mempertahankan diri dari serangan musuh guna mempertahankan wilayah kekuasaan. Selain itu, benteng juga dibentuk untuk mengawasi rumah-rumah pemimpin yang ada di sekitar lingkungan benteng dari berbagai macam ancaman.

Allah SWT  berfirman dalam Alquran Surat Hasyr ayat 14, Mereka tidak akan memerangi kamu dalam keadaan bersatu padu, kecuali dalam kampung-kampung yang berbenteng atau di balik tembok. Permusuhan antara sesama mereka adalah sangat hebat. Kamu kira mereka itu bersatu, sedang hati mereka berpecah belah. Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang tidak mengerti.

Menurut Tafsir Ibnu Katsir, orang-orang kafir tidak mungkin berani memerangi tentara Islam kecuali mereka berlindung di balik benteng-benteng. Kemudian mereka akan bertempur guna mempertahankan diri dalam keadaan terpaksa. Dari ayat tersebut, maka Allaah juga menggambarkan arti penting benteng guna perlindungan diri dari serangan lawan.

Pada masa itu, sebagian besar kota-kota di negara Islam memiliki benteng yang di luarnya memiliki parit. Parit tersebut memiliki fungsi sebagai pertahanan guna mencegah musuh menggali fondasi benteng untuk merontokkan benteng. Di kota-kota Islam yang lebih besar, benteng tidak hanya satu saja, namun terdiri dari beberapa lapis seperti di kota Hisn, Quhandiz, dan Qal'a.

Benteng memiliki bentuk yang bermacam-macam, bisa berupa menara sederhana yang disebut dengan  burj, tetapi ada juga yang berbentuk kastil yang terbuat dari batu-batuan yang memiliki dinding sangat sangat besar dan tebal. Bangunan kastil ini biasanya mempunyai persediaan air dan gudang makanan yang melimpah ruah. Pasalnya kastil memang dibangun untuk melakukan pertahanan diri selama berbulan-bulan pada masa peperangan.

Tipe benteng pertahanan Muslim pada masa kekhalifahan adalah ribat yakni sebuah kastil yang ditinggali oleh para serdadu atau pasukan pilihan yang memiliki kemampuan militer luar biasa. Biasanya, ribat dibangun di sepanjang jalur perbatasan, jalan-jalan utama bahkan di garis pantai di wilayah kekuasaan.

Salah satu contohnya adalah Kastil Allepo di Suuriah yang dibangun pada abad ke-13. Sedangkan komunikasi militer antara Khalifah dengan panglima perangnya di medan perang biasanya disampaikan oleh kurir yang menunggani unta di sebuah barid berupa pelayanan pos reguler.