28 January 2009

SEBELUM COLUMBUS MENEMBUS ATLANTIK

(tulisan ketiga dan terakhir


JEJAK YANG MASIH TERLIHAT

Hari ini, cobalah buka peta Amerika paling mutakhir buatan Rand McNally dan cermatilah nama-nama tempat. Hampir di semua bagian benua ini akan ditemukan jejak-jejak umat Islam jauh sebelum Columbus. Di tengah kota Los Angeles misalnya, terdapat kawasan Alhambra, teluk El Morro dan Al-Amitos serta nama-nama kawasan seperti Andalusia, Attilla, Alla, Aladdin, Albany, al-Cazar, alameda, Alomar, al-Mansor, Almar, Alva, Amber, Azure, dan La Habra.
Di bagian tengah Amerika, dari Selatan hingga Illinois terdapat nama-nama kota Albany, Andalusia, Attalla, Lebanon, dan Tullahoma. Di negara bagian Washington ada kota Salem. Di Karibia (jelas bahasa Arab) dan Amerika Tengah terdapat kawasan bernama Jamaika, Pulau Cuba (dari kata Quba) dengan ibukotanya La-Habana (Havana). Masih di Amerika Tengah, terdapat Pulau Grenada, Barbados, Bahama, dan Nassau.
Di Amerika Selatan terdapat nama kota seperti Cordoba (di Argentina), al-Cantara (Brazil), Bahia (di Brazil dan Argentina. Selanjutnya, ada juga nama-nama pegunungan seperti Appalachian (Apala-che) di pantai timur dan pegunungan Absarooka di pantai barat. Kota besar di negara bagian Ohio yang terletak di Muara sungai Wabash yang panjang dan meliuk-liuk bernama Toledo, nama Universitas Islam ternama pada masa kejayaan Islam di Andalusia.
Menurut Dr Youssef Mroueh, hari ini di Amerika Utara terdapat 565 nama tempat, baik negara bagian, kota, sungai, gunung, danau, dan desa yang diambil dari nama Islam atau nama akar kata dari bahasa Arab. Selebihnya, sebanyak 484 nama terdaapt di Amerika Serikat dai 81 di Kanada. Nama-nama ini diberikan oleh penduduk asli yang telah ada sebelum Columbus menginjakkan kakinya ke Amerika.
Dr A Zahoor juga menulis bahwa nama negara bagian seperti Alabama beraasal dari kata ALLAH BAMYA. Nama negara bagian Arkansas berasal dari kata Arkan-Sah dan Tennessee dari Tanasuh. Demikian juga nama kota seperti Tallahassee di Florida berasal dari bahasa arab, yang artinya “Allah akan menganugerahkan sesuatu di kemudian hari”.
Dr Mroueh juga menuliskan, beberapa nama yang dicatatnya merupakan nama kota suci, seperti Mecca di Indiana, Medina di Idaho, Medina New York, Medina dan Hazen di North Dakota, Medina di Ohio, Medina di Tennessee, Medina di Texas dengan penduduk 26 ribu jiwa, Medina di Ontario Canada, kota Mahomet di Illinois, Mona di Utah, dan Arva di Ontario Canada.
Ketika Columbus mendarat di kepulauan Bahama, 12 Oktober 1492, pulau ini sudah diberi nama Guanahani oleh penduduknya. “Guanahani” berasal dari bahasa Mandika, turunan bahasa Arab yang berarti tempat keluarga Hani bersaudara. Columbus mengatakan, penduduk asli di sini bersahabat dan suka menolong. Tapi ia seenaknya menamakan tempat ini “San Salvador” dan merampas kepemilikannya dari penduduk setempat. Meski begitu, hingga hari ini kata Guana yang berasal dari kata Ikhwana (saudara) ini, masih banyak dipakai sebagai nama kawasan di Amerika Tengh, Selatan dan Utara.
Jadi jelas, penemu benua Amerika sama sekali bukan Columbus, tapi para pionir pelayaran dunia yakni para pelaut dan penjelajah Islam yang ulung.

Permintaan Sponsor
Pertanyaannya, kenapa Columbus yang kemudian dikenal sebagai penemu benua Amerika? Ke mana jejak-jejak penjelajah Islam? Sedikit jawaban, bisa diperoleh daritulisan Henry Ford dalam bukunya The Complete International Jew, “the story of the Jews in America begins with Christopher Columbus. On August 2, 1492, more than 300,000 Jews were expelled from Spain, with which even Spain’s prestige began its long decline, and on August ,3the next day….”
Perjalanan Columbus dimulai 3 Agustus 1492, sehari setelah terjadinya pertarungan politik di Spanyol, atau tepatnya sehari setelah jatuhnya Granada, benteng terakhir umat Islam di Andalusia. Dalam pertarungan politik itu, 300.000 orang Yahudi diusir dari Spanyol oleh Raja Ferdinand yang Kristen. Selanjutnya, dikisahkan bagaimana para juragan dan pedagang Yahudi mengumpulkan uang untuk membiayai rombongan ekspedisi Columbus, yang dibantu oleh dan berpenumpang orang-orang Yahudi.
Tapi tak banyak orang yang tahu bahwa ekspedisi Columbus dengan dua kapal yakni Pinta dan Nina ini dibantu oleh dua orang nakhoda Muslim. Mereka adalah dua bersaudara Martin Alonso Pinzon yang menakhodai kapal Pinta dan Vicente Yanex Pinzon menakhodai kapal Nina. Keduanya adalah hartawan yang mahir dalam perkapalan, pelayaran, mengorganisir ekspedisi, dan mempersiapkan perlengkapan kapal berbendera Santa Maria ini.
Kedua pelaut Muslim itu merupakan keluarga sultan Maroko Abu Zayan Muhammad III (1362-1366) yang menguasai Kekhalifahan Marinid (1196-1465). (Thacher, John Boyd: Christopher Columbus, New York, 1950). Selain itu, Columbus dan para penjelajah setelahnya, khususnya dari Spanyol dan Portugis mampu melayari Samudera Atlantik sejauh 2.400 km karena bantuan navigasi dari peta yang dibuat oleh para penjelajah Muslimin. Termasuk informasi dari buku karya Abul Hassan al-Masudi yang berjudul Akhbar az-Zaman.
Pada pertengahan abad 16, pasca runtuhnya Kekhalifahan Islam di Andalusia, terjadi pemaksaan besar-besaran terhadap orang-orang Yahudi dan Islam untuk mengaut Katolik, disebut Spanish Inquisition. Ada tiga sikap orang-orang Yahudi dan Islam dalam menghadappi inkuisisi ini. Pertama, yang tidak mau pindah agama, disiksa dan dieksekusi dengan dibakar atau dipancang di kayu salib.
Kedua, beralih agama menjadi Katolik Roma. Orang Islam yang beralih agama disebut Morisko, sedangkan orang Yahudi disebut marrano. Mereka hidup dalam pengawasan ketat, apakah berganti agama secara serius atau tidak. Ketiga, melarikan dirimenyeberang Lautan Atlantik. Inilah gelombang imigran kedua yang mencapai benua Amerika. Dalam gelombang kedua inilah termasuk rombongan ekspedisi yang dipimpin Columbus.
Pembantaian terhadap umat Islam dan Yahudi mencapai puncaknya pada masa Paus Sixtus V (1585-1590). Sekurangnya ada dua dokumen yang menerangkan tentang ini. Pertama, tahun 1539, Raja Spanyol, Carlos V, mengeluarkan dekrit yang melarang penduduk keturunan muslim bermigrasi ke Amerika Latin. Kedua, setelah diratifikasi pada 1543, dekrit ini memerintahkan pengusiran besar-besaran pada komunitas Muslimnin yang bermukim di Amerika. Pada saat itu, benua itu merupakan jajahan Spanyol. Inilah sebabnya, komunitas Muslim di Amerika tidak berkembang, bahkan punah, karena mereka tetap diburu meski sudah bermigrasi beberapa abad sebelum jatuhnya Andalusia.
Nah, berita “penemuan benua Amerika” dikirim pertama kali oleh Columbus pada kawan-kawannya orang Yahudi di Spanyol. Selanjutnya, komunitas Yahudi memanfaatkan momen ini dengan cara memublikasikan pelayaran Columbus pada dunia untuk menciptakan legenda di dunia pelayaran. Selanjutnya, karena sejak jatuhnya kekhalifahan Islam di Andalusia, meida massa dan publikasi dikuasai oleh orang-orang Yahudi, maka ketidak jujuran dalam menulis fakta sejarah dilakukan secara sistematis oleh mereka.
Kini fakta telah terkuak, maka tugas generasi Muslim selanjutnya untuk meneruskan jejak pengembaraan ini.

25 January 2009

SEBELUM COLUMBUS MENEMBUS ATLANTIK

(tulisan kedua)

Bukti Sejarah dan Arkeologis

Selain penjelajahan yang dilakukan kaum Muslimin, bukti sejarah dan arkeologis yang menerangkan kehadiran orang-orang Islam di Amerika jauh sebelum Columbus juga cukup banyak, antara lain:
Pertama, dalam bukunya Saga America (New York, 1980), Dr Barry Fell, arkeolog dan ahli bahasa kebangsaan Selandia Baru dari Harvard University menunjukkan bukti-bukti detail bahawa berabad-abad sebelum Columbus, telah bermukim kaum Muslimin dari Afrika Utara dan Barat di benua Amerika. Tak heran jika bahasa masyarakat Indian Pima dan Algonquain memiliki beberapa kosakata yang berasal dari bahasa Arab.
Di negara bagian Inyo dan California, Dr Barry menemukan beberapa kaligrafi Islam yang ditulis dalam bahasa Arab. Salah satunya bertuliskan “Yesus bin Maria” yang artinya “Isa anak Maria”. Kaligrafi ini tentu berasal dari ajaran Islam yang hanya mengakui Nabi Isa sebagai anak manusia, bukan anak Tuhan. Dr Barry juga percaya bahwa usia kaligrafi ini beberapa abad lebih tua dari usia Negara Amerika Serikat.
Bahkan Dr Fell menemukan reruntuhan, sisa-sisa peralatan, tulisan, diagram, dan beberapa ilustrasi pada bebatuan untuk keperluan pendidikan di sekolah Islam. Tulisan, diagram, dan ilustrasi itu merupakan mata pelajaran matematika, sejarah, geografi, astronomi, dan navigasi laut. Semua ditulis dalam bahasa Arab Kufik, Afrika Utara.
Penemuan sisa-sisa sekolah Islam ini berada di barat Amerika, seperti di Valley of Fire, Allan Springs, Logomarsino, Keyhole, Canyon, Washoe, Hickison, Summit Pass (Nevada), Mesa Verde (Colorado), Mimbres Valley (New Mexico), dan Tipper Canoe (Indiana). Sekolah-sekolah Islam ini diperkirakan berfungsi pada tahun 700-800 M. Keterangan yang sama juga ditulis oleh Donald Gyr dalam bukunya yang berjudul Exploring Rock Art (Santa Barbara, 1989).
Kedua, dalam bukunya Africa and the Discovery of America (1920), pakar sejarah dari Harvard university, Leo Weiner, menulis bahwa Columbus sendiri sebenarnya juga mengetahui kehadiran orang-orang Islam yang tersebar di Karibia, Amerika Tengah, Utara, dan Selatan, termasuk Canada. Tapi tak seperti Columbus yang ingin menguasai dan memperbudak penduduk asli Amerika, umat Islam dating untuk berdagang, berasimilasi, dan melakukan perkawinan dengan orang-orang Indian dari suku Iroquois dan Algonquin. Columbus juga mengakui, dalam pelayaran antara Gibara dan Pantai Kuba, 21 Oktober 1492, ia melihat masjid berdiri di atas bukit dengan indahnya. Saat ini, reruntuhan masjid-masjid itu telah ditemukan di Kuba, Mexico, Texas, dan Nevada.
Ketiga, John Boyd Thacher dalam bukunya Christopher Columbus yang terbit di New York, 1950, menunjukkan bahwa Columbus telah menulis pada hari senin 21 Oktober 1492, ketika sedang berlayar di dekat Gibara, bagian tenggara pantai Kuba, ia menyaksikan masjid di atas puncak bukit yang indah. Sementara itu, dalam rangkaian penelitian antropologis, para antropolog dan arkeolog juga menemukan reruntuhan beberapa masjid dan menaranya serta ayat-ayat al-Qur’an di Cuba, Mexico, Texas, dan Nevada.
Keempat, Clyde Ahmad Winters dalam bukunya Islam in Early North and South America yang diterbitkan Al-Ittihad, Juli 1977, hal 60 menyebutkan, para antropolog yang melakukan penelitian telah menemukan prasasti dalam bahasa Arab di lembah Mississippi dan Arizona. Prasasti itu menerangkan bahwa imigran Muslim ini juga membawa gajah dari Afrika. Sedangkan Ivan Van Sertima, yang dikenal dengan karyanya They came before Columbus, menemukan kemiripan arsitektur bangunan penduduk asli Amerika dengan kaum Muslim Afrika.
Kelima, ahli Sejarah Jerman, Alexander Von Wuthenan juga memberikan bukti bahwa orang-orang Islam sudah berada di Amerika tahun 300-900 M, artinya umat Islam sudah ada di Amerika paling tidak setengah abad sebelum Columbus lahir. Bukti berupa ukiran kayu berbentuk kepala manusia yang mirip dengan orang Arab diperkirakan dipahat pada tahun 300 dan 900 M. Beberapa ukiran kayu lainnya diambil gambarnya dan diteliti, ternyata memiliki kemiripan dengan orang Mesir.
Keenam, salah satu buku yang telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia karya Gavin Menzies, seorang bekas pelaut yang menerbitkan hasil penelusurannya, menemukan peta empat pulau di Karibia yang dibuat pada tahun 1424 dan ditandatangani oleh Zuane Pissigano, kartografer dari Venesia. Peta ini berarti dibuat 68 tahun sebelum Columbus mendarat di Amerika. Dua pulau pada peta ini kemudian diidentifikasi sebagai Puerto Rico dan Guadalupe.

21 January 2009

SEBELUM COLUMBUS MENEMBUS ATLANTIK

(tulisan pertama)


Sejarah memang milik penguasa. Ketika peradaban dan kekuasaan Islam mulai redup, seiring jatuhnya Granada di Spanyol, benteng terakhir umat Islam di Eropa, tahun 1492, pencapaian emas para ilmuwan dan penjelajah muslim pun ikut dikubur dalam-dalam. Salah satunya adalah sejarah penemuan benua Amerika dan cikal bakal komunitas Muslim di daratan yang dihuni orang-orang Indian ini.

Akibatnya, selama ribuan tahun, sejarah dunia yang diajarkan di sekolah hingga perguruan tinggi diputar balikkan. Benua Amerika ditemukan oleh Christopher Columbus, 12 Oktober 1492. Bahkan, ketika pertama kali menginjakkan kakinya didaratan yang ia sangka Semenanjung Hindia itu, Columbus menyebutnya sebagai The New World.

Tapi bagi umat Islam, Amerika bukanlah ‘Dunia baru’, sebab 603 tahun sebelum Columbus menjejakkan kakinya di Amerika, penjelajah Muslim dari Andalusia dan Afrika Barat telah membangun peradaban di benua itu. Mereka berasimilasi secara damai, berdagang, dan menikah dengan penduduk lokal.

Menzies menulis, Zheng He (Ceng Ho), Laksamana Muslim dari Cina, juga telah mendarat di Amerika pada 1421, 71 tahun sebelum Columbus. Karenanya, klaim yang menyatakan Columbus sebagai penemu Amerika akhirnya pun patah.

literatur yang menerangkan bahwa penjelajah islam telah menginjakkan kaki di Amerika beberapa abad sebelum Columbus juga cukup banyak. Salah satunya ditulis oleh pakar sejarah dan geografi Abul-Hassan Ali Ibnu al-Hussain al-Masudi (871-957). Dalam bukunya Muruj Adh-dhawab wa Maad al-Jawhar (The Meadows of Gold and quarries of Jewels-Hamparan emas dan Tambang Permata), al-Masudi menulis, Khaskhas Ibnu Sa’ied Ibnu Aswad, seorang penjelajah Muslim dari Cordoba, ibu kota Kekhalifahan Andalusia, berhasil mencapai benua Amerika pada 889 Masehi.

Al-Masudi menjelaskan, semasa pemerintah Khalifah Abdullah Ibnu Muhammad (888-912) di Andalusia, Khaskhas berlayar dari Pelabuhan Delbra (Palos) pada 889 menyeberangi Lautan Atlantik hingga mencapai sebuah negeri yang asing. Sekembalinya dari benua yang sekarang Amerika ini, Khaskhas membawa harta yang menakjubkan.

Sejak itulah, pelayaran menembus Atlantik yang saat itu dikenal dengan “lautan yang gelap dan berkabut” itu, banyak yang dilakukan pedagang dan ilmuwan Muslim. Al-Masudi juga menulis Akhbar az-Zaman yang memuat catatan pengembaraan pedagang pedagang Muslim ke kawasan Afrika dan Asia.

Litaretur yang paling populer adalah essay Dr Youssef Mroueh dari Preparatory Committee for International Festivals to Celebrate the Millennium of the Muslims Arrival to the Americas, tahun 1996. Dalam essay yang berjudul Precolumbian Muslims in America (Muslim Amerika Pra Columbus), Dr Mroueh menunjukkan sejumlah fakta bahwa sejumlah Muslimin dari Andalusia dan Afrika Barat tiba di Amerika lima abad sebelum Columbus.

Pada pertengahan abad X, pada masa pemerintahan Bani Umayyah yaitu Khalifah Abdurrahman III (929-961), kaum Muslimin dari Afrika berlayar ke arah barat dari pelabuhan Delbra di Spanyol menembus “samudera yang gelap dan berkabut”. Setelah menghilang beberapa lama, mereka kembali dengan sejumlah harta dari negeri yang “tak dikenal dan aneh”. Dalam pelayaran itu, ada sejumlah kaum Muslimin yang tinggal bermukim di negeri baru itu. Mereka adalah imigran Muslimin gelombang pertama yang tiba di Amerika.

Dr Mroueh juga menulis, berdasarkan catatan ahli sejarah Abu Bakr Ibnu umar al-Gutiyya, pada masa pemerintahan Khalifah Hisham II (976-1009) di Andalusia, penjelajah dari Granada bernama Ibnu Farrukh meninggalkan pelabuhan Kadesh, Februari 999. Farrukh melintasi Lautan Atlantik, mendarat di Gando, (Kepulauan Canary) dan berkunjung pada Raja Guanariga. Ia melanjutkan pelayaran ke barat, melihat dua pulau dan menamakannya Capraria dan Pluitana. Ia kembali ke Andalusia pada Mei 999.

Al-Syarif al-Idrisi (1099-1166), pakar Geografi dan ahli pembuat peta, dalam bukunya yang berjudul Nuzhat al-Musytaq fi Ikhtiraq al-Afaaq (Ekskursi dari yang rindu mengarungi ufuq) menulis sekelompok pelaut Muslim dari Afrika Utara berlayar mengarungi samudera yang gelap dan berkabut. Ekspedisi yang berangkat dari Lisbon (Portugal) ini, dimaksudkan untuk mendapatkan apa yang ada dibalik samudera itu? Berapa luasnya dan di mana batasnya? Mereka pun menemukan daratan yang penghuninya bercocok tanam dan berkomunikasi dengan bahasa Arab.

Pelayaran melintasi Samudera Atlantik dari maroko juga dicatat oleh penjelajah Shaikh Zayn-eddin Ali bin Fadhel al-Mazandarani. Kapalnya melepas jangkar dari pelabuhan Tarfay di Maroko pada masa Sultan Abu Yacob Sidi Youssef (1286-1307), penguasa keenam Kekhalifahan Marinid. Rombongan ekspedisi ini mendarat di Pulau Green di Laut Karibia pada 1291. Menurut Dr Mroueh, catatan perjalanan pelaut maroko ini banyak dijadikan referensi oleh ilmuwan Islam pada era sesudahnya.
Sultan-sultan dari Kerajaan Mali di Afrika Barat yang beribukota di Timbuktu, juga melakukan perjalanan hingga mendarat di benua Amerika. Sejarawan chibab Addin Abdul-Abbas Ahmad bin Fadhl al-Umari (1300-1384) menulis catatan ekspedisi geografi ini dengan saksama. Timbuktu yang kini dilupakan orang, saat itu menjadi pusat peradaban, keilmuan, dan perpustakaan yang maju di Afrika.

Ekspedisi darat dan laut banyak dilakukan orang termasuk umat Islam menuju rimbuktu atau berawal dari Timbuktu. Sultan yang tercatat melakukan pengembaraan ke Benua Amerika adalah Sultan abu Bakari I (285-1312). Sultan Abu Bakari adalah saudara dari Sultan Mansa Kankan Musa (1312-1337). Sultan Abu Bakar I melakukan dua kali ekspedisi menembus Lautan Atlantik dan mendarat di Amerika. Bahkan, penguasa Afrika Barat yang juga ilmuwan ini menyusuri sungai Mississippi untuk mencapai pedalaman Amerika Tengah dan Utara, tahun 1309-1312.

Selama di benua baru ini, para eksplorer tetap menggunakan bahas Arab dalam berkomunikasi dengan penduduk setempat. Dua abad kemudian tepatnya tahun 1513, penemuan benua Amerika ini diabadikan dalam peta berwarna yang disebut Piri Re’isi. Peta ini dipersembahkan kepada Khalifah Utsmaniyah, Sultan salim I, tahun 1517 di Turki. Peta ini berisi informasi akurat tentang belahan bumi bagian barat, Amerika Selatan, benua Antartika, dan penggambaran pesisir brasil yang detail.

19 January 2009

CHEROKEE

Suku Indian Muslim yang musnah


Jika kita berjalan atau mengunjungi Washington, datanglah ke Perpustakaan Kongres (Library of Congress). Lantas, mintalah arsip perjanjian pemerintah Amerika Serikat dengan suku Cherokee, salah satu suku Indian, tahun 1787. Disana akan ditemukan tanda tangan Kepala Suku Cherokee saat itu, Abdel-Khak dan Muhammad Ibnu Abdullah.
Isi perjanjian itu antara lain adalah hak suku Cherokee untuk melangsungkan keberadaannya dalam perdagangan, perkapalan, dan bentuk pemerintahan suku Cherokee berdasarkan hukum Islam. Lebih lanjut, akan ditemukan kebiasaan berpakaian wanita suku Cherokee yang menutup aurat sedangkan laki-lakinya memakai turban (surban) dan terusan hingga sebatas lutut.

Cara berpakaian ini dapat ditemukan dalam foto atau lukisan suku Cherokee yang diambil gambarnya sebelum tahun 1832. Kepala suku terakhir Cherokee sebelum akhirnya benar-benar punah dari daratan amerika adalah seorang Muslim bernama RAMADHAN Ibnu WATI.

Berbicara tentang suku Cherokee, tidaklah lepas dari Sequoyah. Ia adalah orang suku Cherokee asli yang berpendidikan dan menghidupkan kembali Syllabary suku pada tahun 1821. Syllabary adalah semacam aksara, jika kita sekarang mengenal abjad A sampai Z, maka suku Cherokee memiliki aksara sendiri.

Yang membuatnya luar sangat biasa adalah aksara yang dihidupkan kembali oleh Sequoyah ini sangat mirip sekali dengan aksara Arab. Bahkan beberapa tulisan masyarakat Cherokee abad VII yang ditemukan terpahat di bebatuan di Nevada sangat mirip dengan kata “Muhammad” dalam bahasa Arab.

Nama-nama suku Indian dan kepala sukunya berasal dari bahasa Arab tidak hanya ditemukan pada suku Cherokee (Shar-Kee), tapi juga Anasazi, Apache, Arawak, Arikana, ChavinCree, Makkah, Hohokam, Hupa, Hopi, Mahigan, Mohawk, Nazca, Zulu, dan Zuni. Bahkan beberapa kepala suku Indian juga mengenakan tutup kepala khas orang Islam. Mereka adalah kepala suku Chippewa, Creek, Iowa, Kansas, Miami, Potawatomi, Sauk, Fox, Seminole, Shawnee, Sioux, Winnebago, dan Yuchi. Hal ini ditunjukkan pada foto-foto tahun 1835, dan 1870.

Secara umum, suku-suku Indian di Amerika juga percaya adanya Tuhan yang menguasai alam semesta. Tuhan itu tidak teraba oleh panca indera. Mereka juga meyakini tugas manusia yang diciptakan Tuhan adalah untuk memuja dan menyembahnya. Seperti penuturan kepala suku Ohiyesa: “In the life of the Indian, there was only inevitable duty –the duty of prayer- the daily recognition of the Unseen and the Eternal”. Bukankah ini telah dimaktub oleh Allah di dalam Al-Qur’an bahwa jin dan manusia diciptakan untuk beribadah kepada Allah.

17 January 2009

‘Atha’ bin Abi Rabah

Berkata Imam al-Haramain : “Tidak kutemui orang yang paling alim diantar orang yang alim, kecuali 3 orang : ‘Atha, Thawus dan Mujahid..”


Kalau kita menerawang jauh ke empat belas abad yang lampau, maka akan nampak oleh kita sebuah majlis ta’lim di Makkah yang selalu dihadiri oleh ribuan orang, diantara mereka ada para sahabat-sahabat nabi SAW dan juga para tabi’in, sang penceramah adalah seorang tua yang sederhana namun kharismatik, dialah AbduLLAH bin Abbas ra (Ibnu Abbas) salah seorang diantara para tokoh ulama sahabat, dan dia pula yang didoakan oleh RasuluLLAH SAW dengan doanya yang khusus: “ALLAHUMMA FAQQIHHU FIDDIN WA ‘ALLIMHU TA’WIL” (Ya ALLAH dalamkanlah pengetahuannya dalam agama dan ajarilah ia ta’wil Qur’an…)
Ibnu Abbas ra memiliki seorang budak hitam yang kurus, demikian hitamnya kulit budak ini sehingga jika ia berdiri bagaikan seekor burung gagak hitam (ghurabil-aswad) yang menakutkan. Namun hitamnya kulit tidak membuatnya merasa rendah, karena Islam telah membebaskan manusia dari perbudakan manusia atas manusia menjadi perbudakan manusia hanya oleh dan untuk ALLAH SWT saja. Hanya Islam sajalah peradaban yang mampu menempatkan seorang budak hitam Afrika bernama Bilal al Habasyi, budak bangsa Persia Salman al Farisi, dan budak dari Rumawi Shuhaib bin Sinan ar Rumi sederajat dan bahkan lebih tinggi dari para pemuka Quraisy seperti Abu Sufyan bin Harb.
Selama hidupnya ‘Atha membagi waktunya untuk 2 hal : Pertama, khusus untuk Tuhannya dengan melakukan ibadah yang terbaik, terikhlas dan semurni-murninya; sehingga setiap malam ia sedikit sekali tidur karena melakukan qiyam, zikir dan doa. Kedua, untuk menuntut ilmu kepada para ulama, tercatat diantara nama guru-gurunya yaitu para shahabat besar seperti Ibnu Abbas ra, Ibnu Umar ra, Abu Hurairah ra, Ibnu Zubair ra, dll. Ia selalu berkata : “Orang sebelum kalian membenci omong-kosong, yaitu segala sesuatu selain al-Qur’an yang dibaca dan dipelajari, atau Hadits yang diriwayatkan dan diamalkan, atau amar ma’ruf dan nahi munkar, atau ilmu untuk mendekatkan diri kepada ALLAH, atau bekerja mencari nafkahmu. Bacalah oleh kalian kalau mau : Dan orang-orang yang menjauhi perkataan yang tidak bermanfaat (QS al-Mu’minun, 23:3).”
Dibandingkan dengan manusia lainnya, ‘Atha adalah termasuk manusia pilihan yang sangat jarang orang yang mampu berdisiplin sepertinya. Ia mendisiplin dirinya sehingga selama hidupnya tidak pernah sekalipun melakukan hal yang tidak bermanfaat sebagaimana yang dilakukan oleh pemuda-pemuda kebanyakan, dan selama hidupnya ia tidak pernah ngobrol dan bercanda. Pernah dalam suatu perjalanan ia melihat sebuah kota yang telah ditinggalkan penghuninya, lalu ia berfikir : Kapan kota ini didirikan? Kemudian ia menyesali diri karena memikirkan sesuatu yang tidak bermanfaat dan karenanya ia menghukum dirinya untuk berpuasa selang-sehari selama setahun penuh. Waktunya seumur hidupnya selalu dihabiskan untuk belajar, berfikir dan beribadah, ia sangat serius dalam hidupnya dan agar ia tidak terganggu maka selama 20 tahun ia hanya tinggal di dalam masjidil Haram.
Pernah suatu hari ia ditegur oleh orang-orang tentang keseriusannya yang dianggap berlebihan oleh mereka, maka ia menjawab : “Aku bersaksi bahwa aku sangat percaya pada adanya malaikat yang mulia lagi mencatat seluruh amalku, lalu tidak malukah jika nanti diumumkan di depan orang-orang di hari Kiamat nanti lalu banyak ditemukan hal-hal yang bukan ibadah kepada-NYA?!” Karena disiplin dan keseriusannya yang luar biasa dalam belajar inilah ia mencapai derajat tertinggi dikalangan para ulama, sehingga banyak orang yang mengambil manfaat dari keluasan ilmunya. Salah satu contohnya, Imam Abu Hanifah suatu kali pernah bercerita : “Aku pernah salah dalam 5 fiqh Manasik (Hajji) dan aku diingatkan oleh seorang tukang cukur! Yaitu ketika aku duduk untuk tahallul (bercukur setelah selesai hajji) aku bertanya pada tukang cukur itu berapa ongkos cukurnya? Maka ia menjawab bagi orang yang hajji tidak ditetapkan ongkos, maka aku merasa sangat malu dan berfikir siapa tukang cukur ini, lalu aku duduk, maka kata tukang cukur itu : Hendaklah anda menghadap qiblat, maka aku menjadi semakin malu, lalu aku langsung berikan kepalaku untuk dicukur, lalu ia berkata lagi : Hendaknya yang kanan dulu, lalu kuberikan yang sebelah kanan sambil terus berfikir, lalu ia berkata lagi : Perbanyaklah takbir! Maka akupun bertakbir lalu ketika selesai segera kusodorkan uang dan ingin terus berlalu, lau ia berkata lagi : Jangan lupa shalat 2 raka’at. Maka dengan penasaran kutanya darimana dia tahu tentang semua hukum fiqh tersebut? Maka jawabnya : Dulu aku pernah mencukur ‘Atha bin Abi Ribah dan kupelajari semua yang diperbuatnya ketika itu dan kuamalkan.”
Dan selama hidupnya tidak ada orang yang berani berfatwa di masjidil Haram karena hormat akan kedalaman dan keluasan ilmu agama yang dimilikinya, sehingga ia dijuluki SAYYIDUL FUQAHA AL HIJAZ (Pemimpin para ahli Fiqh di Makkah dan Madinah…) Semua orang sangat hormat pada dirinya bahkan ia lebih dihormati dari Khalifah sendiri, kendatipun demikian ‘Atha adalah seorang yang sangat tawadhu’ (rendah hati) dan ia sangat membenci kesombongan dan orang yang sombong, selama hidupnya ia hanya memakai pakaian yang termurah (5 dirham saja). Pernah suatu hari Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik datang dan melakukan hajji dan ketika Thawaf di Baitul Haram orang-orang berusaha minggir menghormatinya, maka ‘Atha marah dan berkata : DA’HU YATA’ALLAMA BI MAWQIF ALLADZI TAQTULU KIBRIYA’UHU! (Biarkan ia disakiti dengan kondisi yang dapat membunuh kesombongannya…)
Maka setelah itu khalifah memanggilnya untuk bertanya tentang beberapa hukum agama, maka ia berkata kepada utusan khalifah tersebut : AL ‘ILMU YU’TA ‘ALAIHI WALAM YA’TI! (Ilmu itu didatangi dan bukan mendatangi…), maka khalifahpun datang kepadanya dan meminta nasihat, maka kata ‘Atha : “Takutlah pada ALLAH wahai Amirul Mu’minin, ingatlah bahwa engkau diciptakan sendiri, dilahirkan sendiri, dimatikan sendiri, dibangkitkan sendiri dan akan dihisab sendiri pula, maka tak ada yang dapat membantumu untuk dunia dan akhiratmu kecuali ALLAH SWT.” Maka khalifah menangis mendengar taushiyyah (nasihat) tersebut dan memberinya hadiah dari emas dan perak, tapi ditolak dengan halus oleh ‘Atha sambil berkata : “Katakanlah : Kami tidak menginginkan balasan dari kalian dan tidak pula ucapan terimakasih, karena sesungguhnya kami takut akan suatu hari dimana manusia saat itu gelap wajah-wajahnya (ayat)..”
Ketika wafatnya, ribuan orang menshalatkan sampai-sampai di masjidil Haram dilaksanakan shalat janazah berkali-kali karena banyaknya yang ingin menshalatkan. Dan ketika mereka mengangkat jenazahnya, maka mereka semua terheran-heran karena mayatnya sangat ringan seperti bulu, sebab tidak sedikitpun membawa keduniaan serta dipenuhi oleh berbagai bekal untuk akhirat yang banyak…

14 January 2009

Kisah Hasan Al Bashri

Suatu hari ummahatul mu’minin, Ummu Salamah, menerima khabar bahwa mantan "maula" (pembantu wanita)-nya telah melahirkan seo¬rang putera mungil yang sehat. Bukan main gembiranya hati Ummu Salamah mendengar berita tersebut. Diutusnya seseorang untuk mengundang bekas pembantunya itu untuk menghabiskan masa nifas di
rumahnya.

Ibu muda yang baru melahirkan tersebut bernama Khairoh, orang yang amat disayangi oleh Ummu Salamah. Rasa cinta ummahatul mu’minin kepada bekas maulanya itu, membuat ia begitu rindu untuk segera melihat puteranya. Ketika Khairoh dan puteranya tiba, Ummu Salamah memandang bayi yang masih merah itu dengan penuh sukacita dan cinta. Sungguh bayi mungil itu sangat menawan. "Sudahkah kau beri nama bayi ini, ya Khairoh?" tanya Ummu Salamah. "Belum ya ibunda. Kami serahkan kepada ibunda untuk menamainya" jawab Khai¬roh. Mendengar jawaban ini, ummahatul mu’minin berseri-seri, seraya berujar "Dengan berkah Allah, kita beri nama Al-Hasan." Maka do’apun mengalir pada si kecil, begitu selesai acara pembe¬rian nama.

Al-Hasan bin Yasar – atau yang kelak lebih dikenal sebagai Hasan Al-Basri, ulama generasi salaf terkemuka – hidup di bawah asuhan dan didikan salah seorang isteri Rasulullah SAW: Hind binti Suhail yang lebih terkenal sebagai Ummu Salamah. Beliau
adalah seorang puteri Arab yang paling sempurna akhlaqnya dan paling kuat pendiriannya, ia juga dikenal – sebelum Islam – sebagai penulis yang produktif. Para ahli sejarah mencatat beliau sebagai yang paling luas ilmunya di antara para isteri Rasulullah
SAW.

Waktu terus berjalan. Seiring dengan semakin akrabnya hubun¬gan antara Al-Hasan dengan keluarga Nabi SAW, semakin terbentang luas kesempatan baginya untuk ber"uswah" (berteladan) pada ke¬luarga Rasulullah SAW. Pemuda cilik ini mereguk ilmu dari rumah-rumah ummahatul mu’minin serta mendapat kesempatan menimba ilmu bersama sahabat yang berada di masjid Nabawiy.

Ditempa oleh orang-orang sholeh, dalam waktu singkat Al-Hasan mampu meriwayatkan hadist dari Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abu Musa Al-Asy’ari, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, Anas bin Malik dan sahabat-sahabat RasuluLlah lainnya.
Al-Hasan sangat mengagumi Ali bin Abi Thalib, karena keluasan ilmunya serta kezuhudannya. Penguasan ilmu sastra Ali bin Abi Thalib yang demikian tinggi, kata-katanya yang penuh nasihat dan hikmah, membuat Al-Hasan begitu terpesona.

Pada usia 14 tahun, Al-Hasan pindah bersama orang tuanya ke kota Basrah, Iraq, dan menetap di sana. Dari sinilah Al-Hasan mulai dikenal dengan sebutan Hasan Al-Basri. Basrah kala itu terkenal sebagai kota ilmu dalam Daulah Islamiyyah. Masjid-masjid
yang luas dan cantik dipenuhi halaqah-halaqah ilmu. Para sahabat dan tabi’in banyak yang sering singgah ke kota ini.
Di Basrah, Hasan Al-Basri lebih banyak tinggal di masjid, mengikuti halaqah-nya Ibnu Abbas. Dari beliau, Hasan Al-Basri banyak belajar ilmu tafsir, hadist dan qiro’at. Sedangkan ilmu fiqih, bahasa dan sastra dipelajarinya dari sahabat-sahabat yang
lain. Ketekunannya mengejar dan menggali ilmu menjadikan Hasan Al-Basri sangat ‘alim dalam berbagai ilmu. Ia terkenal sebagai seorang faqih yang terpercaya.

Keluasan dan kedalaman ilmunya membuat Hasan Al-Basri banyak didatangi orang yang ingin belajar langsung kepadanya. Nasihat Hasan Al-Basri mampu menggugah hati seseorang, bahkan membuat para pendengarnya mencucurkan air mata. Nama Hasan Al-Basri makin harum dan terkenal, menyebar ke seluruh negeri dan sampai pula ke telinga penguasa.

Ketika Al-Hajaj ats-Tsaqofi memegang kekuasan gubernur Iraq, ia terkenal akan kediktatorannya. Perlakuannya terhadap rakyat¬ terkadang sangat melampaui batas. Nyaris tak ada seorang pun penduduk Basrah yang berani mengajukan kritik atasnya atau menen¬tangnya. Hasan Al-Basri adalah salah satu di antara sedikit penduduk Basrah yang berani mengutarakan kritik pada Al-Hajaj. Bahkan di depan Al-Hajaj sendiri, Hasan Al-Basri pernah menguta¬rakan kritiknya yang amat pedas.

Saat itu tengah diadakan peresmian istana Al-Hajaj di tepian kota Basrah. Istana itu dibangun dari hasil keringat rakyat, dan kini rakyat diundang untuk menyaksikan peresmiannya. Saat itu tampillah Hasan Al-Basri menyuarakan kritiknya terhadap Al-Hajaj:
"Kita telah melihat apa-apa yang telah dibangun oleh Al-Hajaj. Kita juga telah mengetahui bahwa Fir’au membangun istana yang lebih indah dan lebih megah dari istana ini. Tetapi Allah menghancurkan istana itu … karena kedurhakaan dan kesombongannya …"
Kritik itu berlangsung cukup lama. Beberapa orang mulai cemas dan berbisik kepada Hasan Al-Basri, "Ya Abu Sa’id, cukupkanlah kritikmu, cukuplah!" Namun beliau menjawab, "Sungguh Allah telah mengambil janji dari orang-orang yang berilmu, supaya menerangkan kebenaran kepada manusia dan tidak menyembunyikannya."

Begitu mendengar kritik tajam tersebut, Al-Hajaj menghardik para ajudannya, "Celakalah kalian! Mengapa kalian biarkan budak dari Basrah itu mencaci maki dan bicara seenaknya? Dan tak seo¬rangpun dari kalian mencegahnya? Tangkap dia, hadapkan kepadaku!" .

Semua mata tertuju kepada sang Imam dengan hati berge¬tar. Hasan Al-Basri berdiri tegak dan tenang menghadapi Al-Hajaj bersama puluhan polisi dan algojonya. Sungguh luar biasa ketenan¬gan beliau. Dengan keagungan seorang mu’min, izzah seorang muslim dan ketenangan seorang da’i, beliau hadapi sang tiran.

Melihat ketenangan Hasan Al-Basri, seketika kecongkakan Al-Hajaj sirna. Kesombongan dan kebengisannya hilang. Ia langsung menyambut Hasan Al-Basri dan berkata lembut, "Kemarilah ya Abu Sa’id …" Al-Hasan mendekatinya dan duduk berdampingan. Semua mata memandang dengan kagum.

Mulailah Al-Hajaj menanyakan berba¬gai masalah agama kepada sang Imam, dan dijawab oleh Hasan Al-Basri dengan bahasa yang lembut dan mempesona. Semua pertanyaan¬nya dijawab dengan tuntas. Hasan Al-Basri dipersilakan untuk pulang. Usai pertemuan itu, seorang pengawal Al-Hajaj bertanya, "Wahai Abu Sa’id, sungguh aku melihat anda mengucapkan sesuatu ketika hendak berhadapan dengan Al-Hajaj. Apakah sesungguhnya kalimat yang anda baca itu?" Hasan Al-Basri menjawab, "Saat itu kubaca: Ya Wali dan PelindungKu dalam kesusahan. Jadikanlah hukuman Hajaj sejuk dan keselamatan buatku, sebagaimana Engkau telah jadikan api sejuk dan menyelamatkan Ibrahim."

Nasihatnya yang terkenal diucapkannya ketika beliau diundang oleh penguasa Iraq, Ibnu Hubairoh, yang diangkat oleh Yazid bin Abdul Malik. Ibnu Hubairoh adalah seorang yang jujur dan sholeh, namun hatinya selalu gundah menghadapi perintah-perintah Yazid yang bertentangan dengan nuraninya. Ia berkata, "Allah telah memberi kekuasan kepada Yazid atas hambanya dan mewajibkan kita untuk mentaatinya. Ia sekarang menugaskan saya untuk memerintah Iraq dan Parsi, namun kadang-kadang perintahnya bertentangan dengan kebenaran. Ya, Abu Sa’id apa pendapatmu? Nasihatilah aku …"

Berkata Hasan Al-Basri, "Wahai Ibnu Hubairoh, takutlah kepada Allah ketika engkau mentaati Yazid dan jangan takut kepada Yazid¬ketika engkau mentaati Allah. Ketahuilah, Allah membelamu dari Yazid, dan Yazid tidak mampu membelamu dari siksa Allah. Wahai Ibnu Hubairoh, jika engkau mentaati Allah, Allah akan memelihara¬mu dari siksaan Yazid di dunia, akan tetapi jika engkau mentaati Yazid, ia tidak akan memeliharamu dari siksa Allah di dunia dan akhirat. Ketahuilah, tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam ma’siat kepada Allah, siapapun orangnya." Berderai air mata Ibnu Hubairoh mendengar nasihat Hasan Al-Basri yang sangat dalam itu.

Pada malam Jum’at, di awal Rajab tahun 110H, Hasan Al-Basri memenuhi panggilan Robb-nya. Ia wafat dalam usia 80 tahun. Pendu¬duk Basrah bersedih, hampir seluruhnya mengantarkan jenazah Hasan Al-Basri ke pemakaman. Hari itu di Basrah tidak diselenggarakan sholat Ashar berjamaah, karena kota itu kosong tak berpenghuni.

As-Shakawi

Peletak Dasar Ilmu Sejarah Islam


Kepakarannya mulai diakui publik pada pertengahan 1400-an. Bahkan, seorang sultan pada Dinasti Mamluk 'melamar' menjadi muridnya. Ulama ini dikenal sebagai seorang ahli hadis, sejarawan besar pada zamannya serta penulis yang produktif. Dia berasal dari keluarga miskin yang tinggal di As-Sakha, sebuah perkampungan di Kairo, Mesir.
Nama lengkapnya adalah Abu al-Khair Muhammad bin Abdurrahman bin Muhammad bin Abi Bakr bin Usman asy-Syakhawi al-Qahiri asy-Syafi'i dan lahir sekitar tahun 1427 di Kairo. Kakeknya seorang miskin dan hidup dari berdagang barang tenunan secara kecil-kecilan. Meski serba kekurangan, namun tidak mengurangi semangat sang kakek untuk tetap beribadah kepada Allah SWT.
Sementara ayahnya yang bernama Abdurrahman adalah seorang pedagang kecil tetapi kuat ibadahnya. Dia kerap menghadiri majelis taklim dan punya hubungan luas dengan sejumlah ulama di wilayahnya. Di antara para ulama itu yakni Ibnu Hajar al-Asqalani, ahli hadis yang juga sejarawan terkemuka. Dari kakeknya, ayah dan Ibnu Hajar itulah, As-Shakawi memperoleh bekal ilmu pendidikan. Terutama Ibnu Hajar yang sangat mencintainya, dengan penuh kasih sayang senantiasa menurunkan ilmunya kepada sang murid.
Ketika menimba ilmu dari Ibnu Hajar, As-Shakawi mengkaji tulisan dalam berbagai bidang ilmu semisal hadis, sejarah maupun biografi. Dan sebagaimana gurunya itu, di kemudian hari dia banyak menuliskan biografi para tokoh, utamanya untuk kepentingan seleksi hadis. Di samping dia pun terbilang gemar menulis kritik tentang hadis yang diriwayatkan oleh para tokoh tersebut.
Dalam bidang yang satu ini, dia memang banyak belajar pada Ibnu Hajar yang tak pernah lupa mengirimkan pembantunya untuk membacakan karyanya pada as-Shakawi bila dia sendiri berhalangan. Oleh sebab itu, Ibnu Hajar lantas memberikan pujian bagi muridnya tersebut. "Dia, yang masih muda ini, karena kesungguhan, ketekunan, kehati-hatian dan daya kritiknya, mengungguli murid-murid yang lebih senior," begitu komentarnya. Sehingga tidaklah mengherankan bila di masa tuanya, Ibnu Hajar mengangkat muridnya yang cerdas ini untuk menjadi asistennya dalam memberi pelajaran hadis.
Tahun 1449 Ibnu Hajar al-Asqalani meninggal dunia dan itu sangat memukul as-Shakawi. Saking tak kuat menahan sedih, dia bermaksud meninggalkan Mesir dan pindah ke Suriah dengan niat ingin menimba pengetahuan pada guru yang terkenal di sana. Namun harapannya ini tidak kesampaian lantaran tidak mendapat izin dari orangtuanya.
Oleh karenanya, dia pun terpaksa tetap tinggal di Mesir serta melanjutkan pendidikannya pada bidang ilmu hadis. Dia kemudian banyak mengembara dari satu kota ke kota lain demi menemukan guru pembimbing yang mumpuni. Kota-kota besar semisal Dimyath, Manuf dan Iskandariyah pernah disinggahinya. Sekaligus pada waktu bersamaan, dia berupaya mendapatkan tugas dalam pengajaran hadis di Kairo dengan meminta bantuan dari kawan-kawan Ibnu Hajar.
Sekitar tahun 1452 pergilah ia ke tanah suci Makkah guna menunaikan ibadah haji. Namun setelah itu as-Shakawi memutuskan untuk menetap selama beberapa lama di sana serta menyempatkan diri berziarah ke Madinah. Maka sejak tahun 1453, hidupnya berpindah-pindah antara Mesir, Suriah dan juga Hejaz. Tercatat sebanyak lima kali dia menunaikan ibadah haji dengan yang terakhir ialah tahun 1492. Dan setiap kali berhaji, tokoh ini selalu bermukim beberapa waktu di Makkah, sesudah itu kembali ke Mesir untuk mengajar hadis di beberapa madrasah di ibukota Kairo.
Pada masa-masa tersebut As-Shakawi mulai rajin menulis. Saat ditugaskan untuk memberi pelajaran sejarah pada Sultan Dinasti Mamluk, Qait Bey (1468-1496), setiap dua malam dalam seminggu, ia menolak. Bahkan dia juga menyatakan dengan tegas keberatannya ketika sultan berharap agar As-Shakawi bersedia menerima sultan sebagai murid khusus yang akan hadir di kediamannya. Akan tetapi, beberapa anak sultan terus mengikuti pengajiannya.
Sebagai seorang penulis yang produktif, As-Shakawi meninggalkan banyak karya, antara lain Ad-Dau' al-Lami fi A'yan al-Qarn at-Tasi (Cahaya Gemerlap tentang Tokoh-tokoh abad ke-9 H), berisi 12 jilid. Buku ini merupakan kamus yang memuat tokoh-tokoh terkenal abad ke-9 H, disusun secara alfabetis Arab. Bukunya yang berjudul Al-I'lan bi at-Taubikh li Man Zamma Ahl at-Tawarikh pada intinya menerangkan pengertian ilmu tarikh dan kedudukan ilmu ini bagi masyarakat, adalah sebuah buku yang demikian terkenal dalam bidang historiografi. Melalui karya tersebut, dapat dikatakan bahwa as-Shakawi telah meletakkan monumen penting bagi historiografi Islam. Kitab ini juga merupakan makalah panjang tentang kritik sejarah.

Dengan segala kekurangannya, buku ini ia tulis setelah melakukan sejumlah penelitian mendalam berkenaan penulisan sejarah. Karya ini banyak memberikan informasi tentang karya-karya sejarah dan teologi serta sedikit tentang karya sejarah yang disebut sebagai sejarah umum.

13 January 2009

Al-Idrisi Pencipta Globe

Palermo, Sicilia, tahun 1138 M. Sebuah pertemuan istimewa antara seorang raja Kristen dengan Ilmuwan Muslim berlangsung di istana kerajaan Sicilia. Dalam suasana keakraban, Raja Roger II – penguasa Sicilia- secara khusus menyambut kedatangan tamu Muslim kehormatannya dengan ‘karpet merah’. Sang Ilmuwan Muslim dipersilahkan duduk di tempat terhormat.
Keduanya berbincang dalam pertemuan yang dibilang tidak lazim. Betapa tidak, disaat umat Islam berjihad melawan tentara salib di Yerusalem, dua peradaban yang berseberang duduk berdampingan dengan penuh kehormatan di sicilia, bekas wilayah kekuasaan Islam. Ilmuwan Muslim ini bernama al-Idrisi. Dia adalah geographer dan kartografer (pembuat peta) termashur abad XII.
Kepopuleran al-Idrisi dalam dua bidang ini telah membuat sang raja Nasrani ini kepincut. Apalagi, Raja Roger II sangat tertarik dengan studi geografi. Raja Roger II mengundang al-Idrisi agar dibuatkan peta oleh sang ilmuwan Muslim ini. Pada era itu, belum ada ahli geografi dan kartografi Kristen yang mumpuni untuk membuat peta dunia secara akurat. “Saat itu, geographer dan kartografer Barat masih menggunakan pendekatan simbolis dan fantasi,” tulis Frances Carney Gie dalam tulisannya berjudul al-Idrisi and Roger’s Book.
Alih-alih menggunakan pendekatan ilmiah seperti yang dilakukan Ilmuwan Muslim, sarjana Barat masih percaya pada mistis dalam membuat peta. Sehingga tak ada jalan bagi King Roger II untuk memenuhi ambisinya, kecuali ia harus berbesar hati meminta bantuan pada Ilmuwan Islam. Dalam peertemuan itu, mereka sepakan membuat peta dunia pertama yang akurat dalam tempo 15 tahun. Untuk mewujudkannya, didirikanlah akademi Geografi yang dipimpin oleh mereka berdua.
Mega proyek pembuatan peta dunia itu melibatkan 12 sarjana, 10 orang adalah sarjana muslim. Kota Palermo adalah berkah tersendiri bagi al-Idrisi dalam pembuatan peta. Sebab, di kota inilah para navigator dan pelaut dari berbagai wilayah seperti Mediterania, Atlantik, dan perairan utara bertemu. Al-Idrisi pun menggali informasi dari mereka yang tengah beristirahat di Palermo. Penjelasan seorang navigator dikonfrontir pada navigator lainnya. Hasil kajian ini lalu dirumuskan.
Selama bertahun-tahun, Al-Idrisi menyaring fakta yang berhasil dikumpulkannya. Ia menggunakan keterangan yang paling jelas sebagai acuan pembuatan peta. Menjelang tenggat waktu yang ditentukan, peta yang diinginkan Raja Roger II akhirnya selesai pada tahun 1154.
Sebagai geographer yang meyakini bumi ini bulat, al-Idrisi secara gemilang membuat globe dari perak. Bola bumi yang diciptakannya itu memiliki berat sekitar 400 kg. Dalam globe itu, al-Idrisi menggambarkan enam benua, dilengkapi dengan jalur perdagangan, danau, sungai, kota-kota utama, daratan, dan gunung-gunung. Tak hanya itu, globe tersebut juga memuat informasi tentang jarak, panjang, dan tinggi secara akurat. Untuk melengkapi globe yang dirancangnya, al-Idrisi menulis buku berjudul al-Kitab al-Rujari (Buku Roger) yang didedikasikan untuk sang raja.
Selain menulis Buku Roger, al-Idrisi jaga marampungkan penulisan kitab Nuzhat al-Musthaq fi Ikhtiraq al-Afaq. Ini adalah Ensiklopedi Geografi yang berisi peta dan informasi mengenai Negara-negara di Eropa, Afrika, dan Asia yang pertama kali diterbitkan secara rinci. Setelah itu, dia juga menyusun ensiklopedia yang lebih komprehensif berjudul Rawd-Unnas wa Nuzhat al-Nafs. Selama mendedikasikan dirinya di Sicilia, al-Idrisi membuat sebanyak 70 peta daerah yang sebelumnya tak tercatat dalam peta.
Al-Idrisi memang sangat fenomenal. Dua abad sebelum Marco Polo menjelajahi samudera, ia sudah memasukkan seluruh benua seperti asia, eropa, afrika, dan utara Equador ke dalam peta yang diciptakannya.
Lantas, siapa sebenarnya al-Idrisi sebenarnya? Ilmuawan ini memiliki nama lengkap Abu Abdullah Muhammad al-Idrisi Ash-Sharif. Selain dikenal sebagai Kartografer dan Geografer, Ilmuwan kelahiran Ceuta, Maroko tahun 1100, juga dikenal dengan nama singkat al-Sharif al-Idrisi al-Qurthubi. Orang Barat menyebutnya dengan nama Edrisi atau Dreses.
Laiknya kebanyakan Geografer, al-Idrisi banyak melakukan pengembaraan ke tempat yang jaraknya terbilang jauh, meliputi Eropa dan Afrika Utara. Ia melukan pengembaraan untuk mengumpulkan data tentang geografi.
Sebagai Ilmuwan yang cerdas, al-Idrisi mengombinasikan pengetahuan yang diperolehnya dengan hasil temuan langsung. Itulah yang membuat pengetahuannya terhadap seluruh bagian dunia sangat komprehensif. Pengetahuannya yang luas tentang geografi dan kartografi membuatnya dikenal dunia. Para navigator laut dan ahli strategi militer pun sangat tertarik dan menaruh perhatian terhadap terhadap pemikiran al-Idrisi. Dibanding geographer Muslim lainnya, figure dan hasil karyanya lebih kesohor di Eropa. Al-Idrisi meninggal dunia di Sicilia pada tahun 1160.

12 January 2009

Kisah para pembuat peta (Tulisan kedua)

Pada awal abad X Masehi, Abu Zayd Al-Balkhi yang berasal dari Balkh mendirikan sekolah di kota Baghdad yang khusus mengkaji dan membuat peta bumi. Selanjutnya, abad XI M, Geografer Spanyol, Abu Ubaid Al-Bakri menulis Mu’jam al-Ista’jam (Ensiklopedi geografi) dan al-Masalikc Wa al- Mamalik (Jalan dan Kerajaan). Buku pertama berisi nama-nama tempat di Jazirah Arab. Sedangkan buku kedua berisi pemetaan geografis dunia Arab zaman dahulu.
Pada abad XII, Geografer Muslim Lainnya, al-Idrisi berhasil membuat peta dunia. Al-Idrisi yang lahir tahun 1100 M di Ceuta Spanyol juga menulis buku geografi yang berjudul Nazhah al-Muslak fi Ikhtira al-Falak (Tempat Orang yang Rindu Menembus Cakrawala). Buku ini sangat berpengaruh sehingga diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dengan judul geographia Nubiensis.
Seabad kemudian, dua Geografer Muslim, Qutubuddin Asy-Syirazi (1236-1311 M) dan Yaqut ar-Rumi (1179-1229 ) berhasil melakukan terobosan membuat peta Laut Putih (Laut Tengah) yang dihadiahkan kepada raja Persia. Sedangkan Yaqut menulis enam jilis ensiklopedi bertajuk Mu’jam al-Buldan (Ensikloped Negeri-Negeri).
Penjelajah asal Marolo, Ibnu Battuta pada abad XIV memberi sumbangan dalam menemukan rute perjalanan baru. Hampir selama 30 tahun Ibnu Battuta menjelajahi daratan dan mengarungi lautan mengelilingi dunia. Penjelajah Muslim lainnya yang mampu mengubah rute perjalanan laut adalah Laksmana Cheng Ho dari Tiongkok. Dia melukan ekspedisi sebanyak 7 kali dari tahun 1405-1433.
Berkembangnya ilmu Geografi, dengan sendirinya memberi kontribusi bagi pengembangan Ilmu Bumi. Dan ilmuwan Muslim banyak memberi kontribusi dalam bidang ini. Al-Kindi misalnya, diakui sangat berjasa sebagai Geografer pertama yang memperkenalkan percobaan dalam ilmu bumi, sedangkan al-Biruni didapuk sebagai “Bapak Geodesi” yang memberi kontribusi terhadap gegrafi dan geologi.
John O’Connor dan Edmund F Robertson menuliskan pengakuannya terhadap kontribusi al-Biruni dalam Mac-Tutor History of Mathematics. Menurut mereka, al-Biruni telah menyumbangkan kontribusi penting bagi pengembangan geografi dan geodesi. Al-Biruni lah yang memperkenalkan teknik pengukuran bumu dan jaraknya dengan menggunakan triangulation.
Al-Biruni juga yang menemukan radius bumi mencapai 6.339,6 km. hingga abad XVI, Barat belum mampu mengukur radius bumi seperti yang dilakukan al –Biruni. “Bapak Sejarah Sains”, George Sarton, juga mengakui kontribusi sarjana Muslim dalam pengembangan Geografi dan Geologi. “Kita menemukan penelitian kimia, sebuah teori pembentukan besi yang ditulis oleh sarjana Muslim”, tulis sarton.
Salah satu kekhasan yang dikembangkan Geografer Muslim adalah munculnya “Bio-Geografi.” Hal ini didorong oleh banyaknya orang Arab di era kekhalifahan yang tertarik mendistribusikan dan mengklasifikasi tanaman, binatang, dan evolusi kehidupan. Para sarjana Muslim telah menganalisa berbagai jenis tanaman yang bermanfaat untuk kehidupan.
(sumber; Sabili Edisi Khusus “The Great Muslim Travelers).

10 January 2009

Sultan Muhammad Al-Fatih

Panglima Terbaik dan Pasukan Terbaik yang menaklukkan Istanbul (Konstantinopel)

Istanbul atau yang dulu dikenal sebagai Konstantinopel, adalah salah satu bandar termasyhur dunia. Bandar ini tercatat dalam tinta emas sejarah Islam khususnya pada masa Kesultanan Usmaniyah, ketika meluaskan wilayah sekaligus melebarkan pengaruh Islam di banyak negara.

Bandar ini didirikan tahun 330M oleh Maharaja Bizantium yakni Costantine I. Kedudukannya yang strategis, membuatnya punya tempat istimewa ketika umat Islam memulai pertumbuhan di masa Kekaisaran Bizantium. Rasulullah SAW juga telah beberapa kali memberikan kabar gembira tentang penguasaan kota ini ke tangan umat Islam seperti dinyatakan oleh Rasulullah pada perang Khandak.

Para khalifah dan pemimpin Islam pun selalu berusaha menaklukkan Kostantinopel. Usaha pertama dilancarkan tahun 44 H di zaman Muawiyah bin Abi Sufian RA. Akan tetapi, usaha itu gagal. Upaya yang sama juga dilakukan pada zaman Khilafah Umayah.

Di zaman pemerintahan Abbasiyyah, beberapa usaha diteruskan tetapi masih menemui kegagalan termasuk di zaman Khalifah Harun al-Rasyid tahun 190H. Setelah kejatuhan Baghdad tahun 656H, usaha menawan Kostantinopel diteruskan oleh kerajaan-kerajaan kecil di Asia Timur (Anatolia) terutama Kerajaan Seljuk. Pemimpinnya, Alp Arslan (455-465 H/1063-1072 M) berhasil mengalahkan Kaisar Roma, Dimonos, tahun 463 H/1070 M. Akibatnya sebagian besar wilayah Kekaisaran Roma takluk di bawah pengaruh Islam Seljuk.

Awal kurun ke-8 hijrah, Daulah Usmaniyah mengadakan kesepakatan bersama Seljuk. Kerjasama ini memberi nafas baru kepada usaha umat Islam untuk menguasai Konstantinopel. Usaha pertama dibuat di zaman Sultan Yildrim Beyazid saat dia mengepung bandar itu tahun 796 H/1393 M. Peluang yang ada telah digunakan oleh Sultan Beyazid untuk memaksa Kaisar Bizantium menyerahkan Konstantinople secara aman kepada umat Islam. Akan tetapi, usahanya menemui kegagalan karena datangnya bantuan dari Eropa dan serbuan bangsa Mongol di bawah pimpinan Timur Leng.

Selepas Daulah Usmaniyyah mencapai perkembangan yang lebih maju dan terarah, semangat jihad hidup kembali dengan nafas baru. Hasrat dan kesungguhan itu telah mendorong Sultan Murad II (824-863 H/1421-1451 M) untuk meneruskan usaha menaklukkan Kostantinopel. Beberapa usaha berhasil dibuat untuk mengepung kota itu tetapi dalam masa yang sama terjadi pengkhianatan di pihak umat Islam. Kaisar Bizantium menabur benih fitnah dan mengucar-kacirkan barisan tentara Islam. Usaha Sultan Murad II tidak berhasil sampai pada zaman anak beliau, Sultan Muhammad Al-Fatih, sultan ke-7 Daulah Usmaniyah.

Semenjak kecil, Sultan Muhammad Al-Fatih telah mencermati usaha ayahnya menaklukkan Kostantinopel. Bahkan beliau mengkaji usaha-usaha yang pernah dibuat sepanjang sejarah Islam ke arah itu, sehingga menimbulkan keinginan yang kuat baginya meneruskan cita-cita umat Islam. Ketika naik tahta pada tahun 855 H/1451 M, dia telah mulai berpikir dan menyusun strategi untuk menawan kota bandar tadi.

Kekuatan Sultan Muhammad Al-Fatih terletak pada ketinggian pribadinya. Sejak kecil, dia dididik secara intensif oleh para ulama terulung di zamannya. Di zaman ayahnya, yaitu Sultan Murad II, Asy-Syeikh Muhammad bin Ismail Al-Kurani telah menjadi murabbi Amir Muhammad (Al-Fatih). Sultan Murad II telah menghantar beberapa orang ulama untuk mengajar anaknya sebelum itu, tetapi tidak diterima oleh Amir Muhammad. Lalu, dia menghantar Asy-Syeikh Al-Kurani dan memberikan kuasa kepadanya untuk memukul Amir Muhammad jika membantah perintah gurunya.

Waktu bertemu Amir Muhammad dan menjelaskan tentang hak yang diberikan oleh Sultan, Amir Muhammad tertawa. Dia lalu dipukul oleh Asy-Syeikh Al-Kurani. Peristiwa ini amat berkesan pada diri Amir Muhammad lantas setelah itu dia terus menghafal Alquran dalam waktu yang singkat. Di samping itu, Asy-Syeikh Ak Samsettin (Syamsuddin) merupakan murabbi Sultan Muhammad Al-Fatih yang hakiki. Dia mengajar Amir Muhammad ilmu-ilmu agama seperti Alquran, hadis, fikih, bahasa (Arab, Parsi dan Turki), matematika, falak, sejarah, ilmu peperangan dan sebagainya.

Syeikh Semsettin lantas meyakinkan Amir Muhammad bahwa dia adalah orang yang dimaksudkan oleh Rasulullah SAW di dalam hadis pembukaan Kostantinopel. Ketika naik takhta, Sultan Muhammad segera menemui Syeikh Semsettin untuk menyiapkan bala tentara untuk penaklukan Konstantinopel. Peperangan itu memakan waktu selama 54 hari. Persiapan pun dilakukan. Sultan berhasil menghimpun sebanyak 250 ribu tentara. Para mujahid lantas diberikan latihan intensif dan selalu diingatkan akan pesan Rasulullah SAW terkait pentingnya Konstantinopel bagi kejayaan Islam.

Setelah proses persiapan yang teliti, akhirnya pasukan Sultan Muhammad Al-Fatih tiba di kota Konstantinopel pada hari Kamis 26 Rabiul Awal 857 H atau 6 April 1453 M. Di hadapan tentaranya, Sultan Al-Fatih lebih dahulu berkhutbah mengingatkan tentang kelebihan jihad, kepentingan memuliakan niat dan harapan kemenangan di hadapan Allah SWT. Dia juga membacakan ayat-ayat Alquran mengenainya serta hadis Nabi SAW tentang pembukaan kota Konstantinopel. Ini semua memberikan semangat yang tinggi pada bala tentera dan lantas mereka menyambutnya dengan zikir, pujian dan doa kepada Allah SWT.

Sultan Muhammad Al-Fatih pun melancarkan serangan besar-besaran ke benteng Bizantium di sana. Takbir "Allahu Akbar, Allahu Akbar!" terus membahana di angkasa Konstantinopel. Pada 27 Mei 1453, Sultan Muhammad Al-Fatih bersama tentaranya berusaha keras membersihkan diri di hadapan Allah SWT. Mereka memperbanyak shalat, doa, dan zikir.

Hingga tepat jam 1 pagi hari Selasa 20 Jamadil Awal 857 H atau bertepatan dengan tanggal 29 Mei 1453, serangan utama dilancarkan. Para mujahidin diperintahkan supaya meninggikan suara takbir kalimah tauhid sambil menyerang kota. Tentera Usmaniyah akhirnya berhasil menembus kota Konstantinopel melalui Pintu Edirne dan mereka mengibarkan bendera Daulah Usmaniyah di puncak kota. Kesungguhan dan semangat juang yang tinggi di kalangan tentara Al-Fatih, akhirnya berjaya mengantarkan cita-cita mereka. ( yus/berbagai sumber )


Syekh Hasanuddin Pendiri Pesantren Pertama di Jawa Barat

Menurut Babad Tanah Jawa, pesantren pertama di Jawa Barat adalah pesantren Quro yang terletak di Tanjung Pura, Karawang. Pesantren ini didirikan oleh Syekh Hasanuddin, seorang ulama dari Campa atau yang kini disebut Vietnam, pada tahun 1412 saka atau 1491 Masehi. Karena pesantrennya yang bernama Quro, Syekh Hasanuddin belakangan dikenal dengan nama Syekh Quro.

Syekh Quro atau Syekh Hasanuddin adalah putra Syekh Yusuf Sidik. Awalnya, Syekh Hasanuddin datang ke Pulau Jawa sebagai utusan. Ia datang bersama rombongannya dengan menumpang kapal yang dipimpin Laksamana Cheng Ho dalam perjalanannya menuju Majapahit.

Dalam pelayarannya, suatu ketika armada Cheng Ho tiba di daerah Tanjung Pura Karawang. Sementara rombongan lain meneruskan perjalanan, Syekh Hasanuddin beserta para pengiringnya turun di Karawang dan menetap di kota ini.

Di Karawang, Syekh Hasanuddin menikah dengan gadis setempat yang bernama Ratna Sondari yang merupakan puteri Ki Gedeng Karawang. Di tempat inilah, Syekh Hasanuddin kemudian membuka pesantren yang diberi nama Pesantren Quro yang khusus mengajarkan Alquran. Inilah awal Syekh Hasanuddin digelari Syekh Quro atau syekh yang mengajar Alquran.

Dari sekian banyak santrinya, ada beberapa nama besar yang ikut pesantrennya. Mereka antara lain Putri Subang Larang, anak Ki Gedeng Tapa, penguasa kerajaan Singapura, sebuah kota pelabuhan di sebelah utara Muarajati Cirebon. Puteri Subang Larang inilah yang kemudian menikah dengan Prabu Siliwangi, penguasa kerajaan Sunda Pajajaran.

Kesuksesan Syekh Hasanuddin menyebarkan ajaran Islam adalah karena ia menyampaikan ajaran Islam dengan penuh kedamaian, tanpa paksaan dan kekerasan. Begitulah caranya mengajarkan Islam kepada masyarakat yang saat itu berada di bawah kekuasaan raja Pajajaran yang didominasi ajaran Hindu.

Karena sifatnya yang damai inilah yang membuat Islam diminati oleh para penduduk sekitar. Tanpa waktu lama, Islam berkembang pesat sehingga pada tahun 1416, Syekh Hasanuddin kemudian mendirikan pesantren pertama di tempat ini.


Ditentang penguasa Pajajaran

Berdirinya pesantren ini menuai reaksi keras dari para resi. Hal ini tertulis dalam kitab Sanghyang Sikshakanda Ng Kareksyan. Pesatnya perkembangan ajaran Islam membuat para resi ketakutan agama mereka akan ditinggalkan.

Berita tentang aktivitas dakwah Syekh Quro di Tanjung Pura yang merupakan pelabuhan Karawang rupanya didengar Prabu Angga Larang. Karena kekhawatiran yang sama dengan para resi, ia pernah melarang Syekh Quro untuk berdakwah ketika sang syekh mengunjungi pelabuhan Muara Jati di Cirebon.

Sebagai langkah antisipasi, Prabu Angga Larang kemudian mengirimkan utusan untuk menutup pesantren ini. Utusan ini dipimpin oleh putera mahkotanya yang bernama Raden Pamanah Rasa. Namun baru saja tiba ditempat tujuan, hati Raden Pamahan Rasa terpesona oleh suara merdu pembacaan ayat-ayat suci Alquran yang dilantunkan Nyi Subang Larang.

Putra mahkota yang setelah dilantik menjadi Raja Pajajaran bergelar Prabu Siliwangi itu dengan segera membatalkan niatnya untuk menutup pesantren tersebut. Ia justru melamar Nyi Subang Larang yang cantik. Lamaran tersebut diterima oleh Nyi Santri dengan syarat maskawinnya haruslah Bintang Saketi, yaitu simbol "tasbih" yang ada di Mekah.

Pernikahan antara Raden Pamanah Rasa dengan Nyi Subang Karancang pun kemudian dilakukan di Pesantren Quro atau yang saat ini menjadi Masjid Agung Karawang. Syekh Quro bertindak sebagai penghulunya.

Menyebar santri untuk berdakwah

Tentangan pemerintah kerajaan Pajajaran membuat Syekh Quro mengurangi intensitas pengajiannya. Ia lebih memperbanyak aktivitas ibadah seperti shalat berjamaah.

Sementara para santrinya yang berpengalaman kemudian ia perintahkan untuk menyebarkan Islam ke berbagai kawasan lain. Salah satu daerah tujuan mereka adalah Karawang bagian Selatan seperti Pangkalan lalu ke Karawang Utara di daerah Pulo Kalapa dan sekitarnya.

Dalam penyebaran ajaran Islam ke daerah baru, Syekh Quro dan para pengikutnya menerapkan cara yang unik. Antara lain sebelum berdakwah menyampaikan ajaran Islam, mereka terlebih dahulu membangun Masjid. Hal ini dilakukan Syekh Quro mengacu pada langkah yang dicontohkan Rasulullah SAW ketika berhijrah dari Mekkah ke Madinah. Saat itu beliau terlebih dahulu membangun Masjid Quba.

Cara lainnya, adalah dengan menyampaikan ajaran Islam melalui pendekatan dakwah bil hikmah. Hal ini mengacu pada AlQuran surat An Nahl ayat 125, yang artinya: "Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik."

Sebelum memulai dakwahnya, Syekh Quro juga telah mempersiapkan kader-kadernya dengan pemahaman yang baik soal masyarakat setempat. Ini dilakukan agara penyebaran agamanya berjalan lancar dan dapat diterima oleh masyarakat. Hal inilah yang melatarbelakangi kesuksesan dakwah Syekh Quro yang sangat memperhatikan situasi kondisi masyarakat serta sangat menghormati adat istiadat penduduk yang didatanginya.

Selama sisa hidup hingga akhirnya meninggal dunia, Syekh Quro bermukim di Karawang. Ia dimakamkan di Desa Pulo Kalapa, Kecamatan Lemah Abang, Karawang. Tiap malam Sabtu, makam ini dihadiri ribuan peziarah yang datang khusus untuk menghadiri acara Sabtuan untuk mendoakan Syekh Quro.

Belakangan masjid yang dibangun oleh Syekh Quro di pesantrennya, kemudian direnovasi. Namun bentuk asli masjid -- berbentuk joglo beratap dua limasan, menyerupai Masjid Agung Demak dan Cirebon -- tetap dipertahankan.

( uli/berbagai sumber )

Kisah para pembuat peta

(Tulisan Pertama)

Ketika Barat tertidur dalam kegelapan, ilmuwan dan penjelajah Muslim sudah mampu membuat peta dan globe secara akurat. Tak heran, jika peradaban pun ada dalam genggaman umat Islam.
Tanpa globe, peta, atau kompas, dan penunjuk arah lainnya, mungkin tak kan ada penjelajahan di muka bumi. Keberhasilan membuat peta dan globe pada keemasan Islam menandai mulai berkembangnya ilmu Geografi.
“sungguh telah berlaku sunnah Allah maka berjalanlah kamu di muka bumi dan lihatlah bagaimana akibat (perbuatan) orang-orang yang mendustakan ayat-ayat-Nya.” (QS. Al Imran:137).
Perintah ini membuat umat Islam berupaya melakukan ekspansi. Karenanya, sejak zaman kenabian, umat Islam sudah mengarungi lautan dan menjelajah daratan menyebar agama Allah. Sejak abad ke 8 Masehi, kawasan Mediterania telah menjadi jalur utama ekspedisi para ulama, ilmuwan, dan pedagang Muslim. Jalur laut dan darat yang sering digunakan akhirnya menghubungkan seluruh wilayah Muslim yang berkembang mencapai India, asia tenggara, Cina, meluas ke utara dari sungai Volga hingga, Skandinavia, dan menjangkau pedalaman Afrika. Akhirnya, ekspansi abad ini mendorong sarjana dan penjelajah Muslim mengembangkan ilmu Geografi (Ilmu Bumi).
Umat Islam memang bukan yang pertama mengembangkan geografi. Ilmu ini pertama kali dikenal oleh bangsa Yunani. Tokoh Yunani yang berjasa mengeksplorasi geografi antara lain Thales dari Miletus, Herodotus, Eratosthenes, Hipparchus, Aristotle, Dicaearchus dari Messana, Strabo, dan ptolemy. Bangsa romawi juga memberikan konstribusi pada pemetaan karena banyak melakukan penjelajahan dan menambah tknik baru. Salah satunya adalah periplus, yakni deskripsi pelabuhan dan daratan sepanjang garis pantai yang bisa dilihat pelaut.
Ketika Romawi jatuh, Barat berada dalam kegelapan. Ilmu pengetahuan berkembang pesat di Timur Tengah dan Cina. Geografi pun mulai berkembang pada era Kekhalifahan Abbasyiah yang berpusat di Baghdad. Ketika Khalifah Harun ar-Rasyid dan Al-Ma’mun berkuasa, mereka mendorong sarjana Muslim menerjemahkan naskah-naskah kuno Yunani dan Romawi ke bahasa Arab. Naskah Yunani yang diterjemahkan antara lain Alemagest dan Geographia.
Perkembangan pesat Ilmu Geografi di dunia Islam dimulai ketika Khalifah Al-ma’mun (813-833 M) memerintahkan sarjana Muslim untuk mengukur kembali jarak bumi. Sejak itulah muncul istilah mil untuk mengukur jarak, sedangkan orang Yunani menggunakan istilah stadion. Upaya keras Ilmuwan Muslim berbuah manis. Umat Islam akhirnya bisa menghitung volume dan keliling bumi. Berbekal keberhasilan ini, Al-ma’mun memerintahkan Geografer Muslim menciptakan peta bumi. Akhirnya Musa al-Khawarizmi bersama 70 Geografer lainnya berhasil membuat globe pada tahun 830 M.
Khawarizmi juga menulis kitab geografi yang berjudul Surah al-Ardh (Morfologi Bumi), sebuah koreksi terhadap karya Ptolemaeus. Kitab ini menjadi landasan ilmiah bagi Geografi Muslim Tradisional. Pada abad yang sama, al-Kindi juga menulis sebuah buku yang bertajuk keterangan tentang bumi yang berpenghuni. Sejak itulah, geogerafi berkembang dengan pesat.
(bersambung)

09 January 2009

IBNU SINA

KELAHIRAN DAN KEHIDUPAN BELIAU :
Nama beliau ialah Al-Husain bin Abdullah bin Al-Hasan bin Ali bin Sina, manakala gelaran beliau pula ialah Abu Ali.
Ibnu Sina dilahirkan di Afsyinah iaitu nama sebuah kampung yang terletak berhampiran dengan Bukhara di mana kini ia yang terletak di Republik Uzbekistan.
Ibnu Sina dibesarkan di dalam sebuah keluarga yang agak teguh. Ayah beliau berasal dari Balakh kemudian berpindah ke Bukhara pada zaman pemerintahan Al-Amir Nuh bin Mansur dan tinggal di salah sebuah perkampungan kecil di Bukhara yang bernama Khirmithan, walau bagaimanapun akhirnya beliau tinggal menetap di Afsyanah kerana tempat tersebut hampir dengan tempat kerjanya. Dengan demikian bapa Ibnu Sina mampu memberikan pendidikan yang unggul dan pengetahuan yang agak tinggi kepada Ibnu Sina dan adik-beradik beliau jika dibandingkan dengan suasana yang ada pada masa tersebut. Bapa beliau telah menyediakan seorang guru Al-Quran dan seorang guru kesusasteraan menyebabkan Ibnu Sina dapat menghafal seluruh Al-Quran dalam usia sepuluh tahun.
PENGAJIAN ILMU BELIAU :
Ibnu Sina banyak mempelajari buku-buku kesusasteraan. Selepas mampu menguasai ilmu ini beliau dihantar oleh bapa beliau kepada seseorang yang boleh mengajar ilmu matematik kepada beliau. Kemudian Ibnu Sina mempelajari ilmu fekah, cara-cara membuat penyelidikan dan perbahasan. Beliau juga mendalami ilmu tasawuf, mantik, falsafah malah beliau tergolong di kalangan cendekiawan di bidang kedoktoran serta terkemuka di dalam bidang tersebut sehingga ramai di kalangan pakar-pakar di bidang kedoktoran yang datang mempelajari ilmu daripada beliau.
Ibnu Sina merupakan seorang yang cekal di dalam menimba ilmu pengetahuan di mana beliau tidak akan tidur pada waktu malam kecuali setelah beliau banyak membaca pada malam tersebut, begitu juga beliau tidak akan tidur pada waktu siang kecuali setelah beliau berusaha mendapatkan ilmu pengetahuan pada hari tersebut. Beliau tidak pernah ketinggalan dari menghadiri pengajian ilmu fekah dan falsafah sehingga beliau memiliki cara tersendiri di dalam menyelesaikan pelbagai masalah.
Ibnu Sina berjaya menguasai kesemua bidang ilmu dalam usia yang masih terlalu muda di mana ada yang mengatakan usia beliau pada masa tersebut menjangkau usia enam belas tahun atau delapan belas tahun.
KEMASYURAN DAN KETINGGIAN ILMU BELIAU:
Tatkala Al-Amir Nuh bin Mansur mengalami kesakitan, ramai doktor yang datang mengubatinya, sehinggalah apabila beliau mendengar nama dan kemasyhuran Ibnu Sina, beliau memerintahkan agar memanggil Ibnu Sina supaya dapat bersama-sama dengan para doktor yang lain untuk mengubati penyakit Al-Amir. Lantas Ibnu Sina berusaha mengubati penyakit Al-Amir sehinggalah beliau sembuh. Sebagai ganjaran di atas usaha tersebut, Al-Amir mengizinkan beliau untuk menggunakan perpustakaan yang terdapat di Istana. Setelah itu Ibnu Sina membaca kesemua kitab-kitab yang terdapat di dalam perpustakaan tersebut.
Ibnu Sina memulakan pengembaraan beliau selepas berlaku kekacauan di dalam pengurusan kerajaan As-Samaaniah. Lalu beliau keluar dari Bukhara menuju ke sebuah tempat yang bernama Karkang. Ketika itu Ibnu Sina sentiasa memakai pakaian fukaha menyebabkan beliau dihormati oleh Amir Khawarizmi. Kemudian beliau berpindah ke Jarjan dan Khurasan. Walau bagaimanapun setelah beberapa ketika Ibnu Sina meninggalkan kedua-dua negara tersebut menuju ke Dahastan kemudian kembali semula ke Jarjan dan bertemu dengan Juzjani. Di Jarjan kedudukan Ibnu Sina dipandang tinggi, di mana beliau telah dilantik menjadi menteri kepada Syamsu Ad-Daulah di negeri Hamdan sebanyak dua kali, walaupun demikian beliau tidak pernah berhenti menulis, mengajar dan mengarang. Beliau mula mengajar murid-murid beliau pada awal waktu malam, memberikan catatan buku yang beliau hafal kepada mereka manakala pada waktu pagi pula beliau bertolak ke pejabat Kementerian tempat beliau tugaskan.
KARANGAN IBNU SINA :
Buku yang dikarang oleh Ibnu Sina adalah menjangkau sebanyak 250 buah termasuk kitab, esei dan artikel di dalam bidang matematik, mantik, akhlak, fizik, kedoktoran dan falsafah.
Pencapaian Ibnu Sina yang dianggap paling menonjol ialah pencapaian beliau di dalam bidang kedoktoran di mana beliau telah mengarang kitab beliau yang bernama Al-Qanun yang menggariskan beberapa catatan terperinci seperti hubungannya dengan penyakit batuk kering, penyakit paru-paru yang lain serta menyatakan peranan air dan debu di dalam memindahkan jangkitan penyakit di samping mengaitkan penyakit dengan unsur-unsur psikologi, tekanan perasaan dan beberapa penyebab penyakit yang sangat luar biasa.
Kitab Al-Qanun telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa Eropah dan terus dijadikan sebagai bahan penyelidikan di beberapa buah universiti di Eropah selama empat kurun berturut-turut.
Ibu Sina juga telah memberi sumbangan di dalam ilmu fizik sebagaimana yang ditulis di dalam kitabnya Asy-Syifa’, An-Najah dan Al-Isyarah.
KEWAFATAN IBNU SINA :
Walaupun Ibnu Sina salah seorang yang mengutamakan ilmu kedoktoran tetapi beliau tidak mengambil berat kepada kesihatan diri beliau menyebabkan beliau menghadapi pelbagai penyakit sehinggalah kekuatannya menjadi semakin lemah dan akhirnya beliau mati pada tahun 428 Hijrah / 1037 Masihi di negeri Hamdan.

SAYYID QUTBH (Tokoh Intelektual Sejati)

Tokoh Kita kali ini seorang ilmuwan, sastrawan sekaligus pemikir dari Mesir. Sayyid Qutb namanya. Ia lahir di daerah Asyut, Mesir tahun 1906, di sebuah desa dengan tradisi agama yang kental. Dengan tradisi yang seperti itu, maka tak heran jika Qutb kecil menjadi seorang anak yang pandai dalam ilmu agama. Tak hanya itu, saat usianya masih belia, ia sudah hafal Qur’an. Bakat dan kepandaian menyerap ilmu yang besar itu tak disia-siakan terutama oleh kedua orang tua Qutb. Berbekal persedian dan harta yang sangat terbatas, karena memang ia terlahir dalam keluarga sederhana, Qutb di kirim ke Halwan. Sebuah daerah pinggiran ibukota Mesir, Cairo.
Kesempatan yang diperolehnya untuk lebih berkembang di luar kota asal tak disia-siakan oleh Qutb. Semangat dan kemampuan belajar yang tinggi ia tunjukkan pada kedua orang tuanya. Sebagai buktinya, ia berhasil masuk pada perguruan tinggi Tajhisziyah Dar al Ulum, sekarang Universitas Cairo. Kala itu, tak sembarang orang bisa meraih pendidikan tinggi di tanah Mesir, dan Qutb beruntung menjadi salah satunya. Tentunya dengan kerja keras dan belajar. Tahun 1933 Qutb dapat menyabet gelar sarjana pendidikan.
Tak lama setelah itu ia diterima bekerja sebagai pengawas pendidikan di Departemen Pendidikan Mesir. Selama bekerja, Qutb menunjukkan kualitas dan hasil yang luar biasa, sehingga ia dikirim ke Amerika untuk menuntut ilmu lebih tinggi dari sebelumnya.Qutb memanfaatkan betul waktunya ketika berada di Amerika, tak tanggung-tanggung ia menuntut ilmu di tiga perguruan tinggi di negeri Paman Sam itu. Wilson’s Teacher’s College, di Washington ia jelajahi, Greeley College di Colorado ia timba ilmunya, juga Stanford University di California tak ketinggalan diselami pula.
Seperti keranjingan ilmu, tak puas dengan yang ditemuinya ia berkelana ke berbagai negara di Eropa. Itali, Inggris dan Swiss dan berbagai negara lain dikunjunginya. Tapi itupun tak menyiram dahaganya. Studi di banyak tempat yang dilakukannya memberi satu kesimpulan pada Sayyid Qutb. Hukum dan ilmu Allah saja muaranya. Selama ia mengembara, banyak problem yang ditemuinya di beberapa negara. Secara garis besar Sayyid Qutb menarik kesimpulan, bahwa problem yang ada ditimbulkan oleh dunia yang semakin matrealistis dan jauh dari nilai-nilai agama.
Alhasil, setelah lama mengembara, Sayyid Qutb kembali lagi ke asalnya. Bak pepatah, sejauh-jauh bangau terbang, pasti akan pulang ke kandang. Ia merasa, bahwa Qur’an sudah sejak lama mampu menjawab semua pertanyaan yang ada. Ia kembali ke Mesir dan bergabung dengan kelompok pergerakan Ihkawanul Muslimin. Di sanalah Sayyid Qutb benar-benar mengaktualisasikan dirinya. Dengan kapasitas dan ilmunya, tak lama namanya meroket dalam pergerakan itu. Tapi pada tahun 1951, pemerintahan Mesir mengeluarkan larangan dan pembubaran ikhwanul muslimin.
Saat itu Sayyid Qutb menjabat sebagai anggota panitia pelaksana program dan ketua lembaga dakwah. Selain dikenal sebagai tokoh pergerakan , Qutb juga dikenal sebagai seorang penulis dan kritikus sastra. Kalau di Indonesia semacam H.B. Jassin lah. Banyak karyanya yang telah dibukukan. Ia menulis tentang banyak hal, mulai dari sastra, politik sampai keagamaan.Empat tahun kemudian, tepatnya Juli 1954, Sayyid menjabat sebagai pemimpin redaksi harian Ikhwanul Muslimin. Tapi harian tersebut tak berumur lama, hanya dua bulan tajam karena dilarang beredar oleh pemerintah.
Tak lain dan tak bukan sebabnya adalah sikap keras, pemimpin redaksi, Sayyid Qutb yang mengkritik keras Presiden Mesir kala itu, Kolonel Gamal Abdel Naseer. Saat itu Sayyid Qutb mengkritik perjanjian yang disepakati antara pemerintahan Mesir dan negara Inggris. Tepatnya 7 Juli 1954. Sejak saat itu, kekejaman penguasa bertubi-tubi diterimanya. Setelah melalui proses yang panjang dan rekayasa, Mei 1955, Sayyid Qutb ditahan dan dipenjara dengan alasan hendak menggulingkan pemerintahan yang sah. Tiga bulan kemudian, hukuman yang lebih berat diterimanya, yakni harus bekerja paksa di kamp-kamp penampungan selama 15 tahun lamanya. Berpindah-pindah penjara, begitulah yang diterima Sayyid Qutb dari pemerintahnya kala itu.
Hal itu terus di alaminya sampai pertengahan 1964, saat presiden Irak kala itu melawat ke Mesir. Abdul Salam Arief, sang presiden Irak, memminta pada pemerintahan Mesir untuk membebaskan Sayyid Qutb tanpa tuntutan. Tapi ternyata kehidupan bebas tanpa dinding pembatas tak lama dinikmatinya. Setahun kemudian, pemerintah kembali menahannya tanpa alasan yang jelas. Kali ini justru lebih pedih lagi, Sayyid Qutb tak hanya sendiri. Tiga saudaranya dipaksa ikut serta dalam penahanan ini. Muhammad Qutb, Hamidah dan Aminah, serta 20.000 rakyat Mesir lainnya.
Alasannya seperti semua, menuduh Ikhwanul Muslimin membuat gerakan yang berusaha menggulingkan dan membunuh Presiden Naseer. Ternyata, berjuang dan menjadi orang baik butuh pengorbanan. Tak semua niat baik dapat diterima dengan lapang dada. Hukuman yang diterima kali ini pun lebih berat dari semua hukuman yang pernah diterima Sayyid Qutb sebelumnya. Ia dan dua kawan seperjuangannya dijatuhi hukuman mati.

Meski berbagai kalangan dari dunia internasional telah mengecam Mesir atas hukuman tersebut, Mesir tetap saja bersikukuh seperti batu. Tepat pada tanggal 29 Agustus 1969, ia syahid di depan algojo-algojo pembunuhnya. Sebelum ia menghadapi ekskusinya dengan gagah berani, Sayyid Qutb sempat menuliskan corat-coret sederhana, tentang pertanyaan dan pembelaannya. Kini corat-coret itu telah menjadi buku berjudul, “Mengapa Saya Dihukum Mati”. Sebuah pertanyaan yang tak pernah bisa dijawab oleh pemerintahan Mesir kala itu. Semoga Allah memberikan tempat yang mulia disisinya.