30 December 2010

Jaringan Jalan di Masa Dinasti Abbasiyah

Sistem transportasi yang terintegrasi telah lama dimiliki umat Islam. Jalan-jalan dibangun secara terencana. Menghubungkan ibu kota kekhalifahan dengan kota-kota lain. Selain itu, berfungsi pula menopang kegiatan komersial, sosial, administratif, militer, dan sejumlah hal lainnya.

Pembuatan jaringan jalan mulai menggeliat ketika Dinasti Abbasiyah berkuasa di abad ke-8. Saat itu, fokus utama dinasti tersebut adalah mewujudkan stabilitas serta kemakmuran. Bukan lagi penaklukan wilayah seperti pada dinasti sebelumnya. Maka itu, mereka berpikir perlunya sistem jaringan transportasi dan komunikasi yang andal.

Baghdad sebagai ibu kota pemerintahan, menjadi sentral. Beberapa jalur yang dibuka, semuanya dari dan menuju kota ini. Dengan keberadaan jalan, ungkap Mansour Elbabour dalam System of Cities: an Alternative Approach to Medieval Islamic Urbanism, tercipta integrasi dengan kota-kota provinsi utama hingga wilayah perbatasan.

Kota-kota tersebut memang diharapkan dapat menunjang gerak kehidupan di ibu kota dengan berbagai komoditas yang dihasilkan. Pembangunan jaringan jalan terbagi dalam dua periode. Pada abad ke-9, seluruh jaringan transportasi masih berpusat di Baghdad. Jalan utama atau jalan negara menghubungkan Baghdad dengan kota provinsi yang strategis.

Periode kedua, yakni di abad ke-10 ketika terjadi perkembangan luar biasa di sejumlah provinsi. Kondisi itu membuat kota-kota provinsi kian otonom. Baghdad bukan lagi satu-satunya pusat pertumbuhan. Dengan demikian, pembangunan jaringan jalan di provinsi memiliki fungsi yang sejajar dengan jalan negara.

Beberapa aspek menuntut kebutuhan akan jaringan jalan yang tersistematisasi. Seperti komunikasi antaranggota masyarakat kian intens. Hubungan terjalin di berbagai bidang. Mereka pun membutuhkan kecepatan waktu untuk mempermudah urusan, dan itu hanya bisa dipenuhi lewat sistem transportasi yang baik.

Jalan-jalan yang terbangun dengan baik, memberi kemudahan pula bagi pejabat pemerintah pusat yang seringkali menginspeksi wilayah kekuasaannya. Di sisi lain, pada masa itu bangkit gairah keagamaan di dunia Islam. Umat Islam selalu berharap dapat mengunjungi kota suci Makkah dan Madinah.

Perjalanan harus difasilitasi dengan adanya jaringan yang menghubungkan kota-kota yang bisa mengantarkan umat Islam ke sana. Secara garis besar, terdapat empat jaringan jalan utama. Masing-masing bermula dari Baghdad sebagai ibu kota pemerintahan.

Ada pula yang disebut dengan jaringan jalan kelima. Yaitu, berupa jalur transportasi air melintasi Sungai Tigris menuju Basra dan Teluk Arab. Jaringan pertama adalah Jalan Raya Khurasan. Al-Yaqubi, sejarawan Muslim yang hidup di abad ke9, menyebutnya jaringan besar.

Jalan utama ini membentang dari Baghdad menuju wilayah timur laut dan utara hingga ke kawasan perbatasan dengan Cina. Jalan ini juga melintasi kawasan di sepanjang Sungai Syr Daria. Begitu pula, melewati sejumlah kota, antara lain Hamazan, Ray, Naysapur, Thus, Merv , Bukhara, dan Samarkand.

Ini merupakan daerah yang akan mengarah pada perlintasan Jalan Sutera yang terkenal. Hingga era modern, jaringan jalan tersebut masih ada. Al-Yaqubi menggambarkan, Jalan Khurasan ini sebagai jalur pos utama yang melintasi Persia. Jalan ini melewati sejumlah kota penting, misalnya, Teheran dan kota tua Ray.

Jaringan kedua adalah Jalan Lintas Tenggara. Jalan utama ini hampir paralel dengan Jalan Khurasan. Dua jalan tersebut dipisahkan oleh padang pasir luas yang terdapat di antara Khurasan dan Fars. Dari Gerbang Basra di Baghdad, jalur lintas tenggara mengikuti sepanjang Sungai Tigris. Dua kota pertama yang dilalui, yakni Wasit dan Basra.

Mulai dari Basra, barulah mengarah ke wilayah tenggara, tepatnya ke Kota Ahwaz di Kuzistan, hingga menjangkau arah timur sampai di Sungai Industan. Sedangkan jaringan ketiga, yaitu Jalan Maghreb. Jaringan ini memiliki dua jalur yang melalui Sungai Eufrat dan sedangkan jalur lainnya melewati Mosul.

Jalur yang dibangun melalui Eufrat, ke wilayah barat. Kota yang dilintasi salah satunya Qayrawan di Tunisia. Sedangkan Jalan Maghreb via Mosul, bermula dari Baghdad akan bertemu lintasan paralel di sisi barat Sungai Tigris menuju Samarra serta Mosul.

Terakhir adalah Jalur Haji. Jalan ini berawal dari Gerbang Kufah di Baghdad menuju Kota Kufah. Dari sini, jalur terus hingga ke Gurun Arabia sebelum sampai ke Madinah atau Makkah. Ini adalah salah satu jalan yang juga mengarah ke kota suci, di antara yang lain berasal dari Jazirah dan biasanya digunakan para jamaah haji dari wilayah timur dan utara.

Menurut Josef W Meri dalam Medieval Islamic Civilization, sebagian jaringan jalan yang digunakan umat Islam merupakan kelanjutan dari sistem yang dibuat sejak masa Romawi atau Persia kuno. Jalan-jalan itu sudah memakai batu yang disusun rapi. Saat bangsa Romawi berkuasa, jaringan jalan dibuat militer.

Selama masa pemerintahan Islam, jalan-jalan tadi diperbaiki serta diperluas jangkauannya sehingga dapat mencapai Makkah dan Madinah. Dari catatan Jere L Bacharach, jalur yang menuju dua kota suci bermula dari Baghdad (Darb Zubayda), Damaskus (Darb al-Hajj al-Shami), serta Kairo (Darb al-Hajj al-Misri).

Sebagian jalur belum berbatu, tetapi sudah dilengkapi fasilitas, seperti sumur, penampungan air, tempat peristirahatan, dan masjid. Ada dokumentasi yang baik tentang jalur yang dibangun dari Baghdad. Jalur ini dibangun pada masa Khalifah Harun alRasyid. Di beberapa titik jalur menuju kota suci tersedia tempat penginapan.

Beberapa peristiwa politik yang penting pada masa ini juga sedikit banyak terkait dengan lini transportasi itu. Gerakan perlawanan Abbasiyah bermula dari wilayah Humayma, sebuah desa kecil yang dilintasi jalur utama antara Damaskus dan Madinah. Sebenarnya, terdapat satu jaringan jalan yang sangat penting.

Yakni, jalur Mesir yang melintasi Kota Aqaba dan Ayla. Jalur ini memang kurang terkenal, tetapi kerap digunakan semasa pemerintahan Sultan Mamluk. Di samping membangun dan memperbaiki sistem jaringan jalan, Dinasti Abbasiyah sekaligus mengembangkan beragam fasilitas penunjangnya.

Antara lain, jembatan, tempat pemberhentian, sumur air, masjid, dan sebagainya. Bahkan, catatan sejarah mengungkapkan, sejumlah jembatan yang dibangun pada era tersebut memiliki ketahanan luar biasa. Ada dua tipe jembatan, yaitu yang berstruktur batu (qantara) dan yang berstruktur kayu (jisr).

Josef W Meri mengisahkan, alat transportasi utama yang melintas di jaringan jalan itu kebanyakan adalah unta dan kuda. Kereta kuda belum banyak digunakan sebelum abad ke-13 sampai menjelang serangan bangsa Mongol. Tak hanya itu, dengan sistem jalan yang melintasi berbagai wilayah, secara berangsur permukiman di sepanjang jalur. Beberapa permukiman itu kemudian tumbuh menjadi kota besar, misalnya Sammara yang dibangun pada abad ke-8 yang terletak di persimpangan jalur antara Damaskus dan Kairo serta Jaffa dan Yerusalem.

Potret Kemajuan Dunia Kedokteran dalam Sejarah Islam

Ilmuwan bernama Ehsan Masood mengungkap fakta. Dalam bukunya, 'Science in Islam', ia menyebutkan bahwa ilmu kedokteran merupakan bidang sains yang paling produktif di masa awal Islam. Ini bukan begitu saja terjadi, namun ada latar belakang sebagai pijakan berkembangnya ilmu kedokteran.

Aspek medis dan kesehatan, sudah mendapat perhatian besar Rasulullah SAW semasa hidupnya. Inilah yang mengilhami pencapaian luar biasa umat Islam dalam ilmu kedokteran. Banyak ayat Alquran dan hadis yang berkaitan dengan persoalan kesehatan. Di lapangan, umat telah mempraktikkan ajaran Nabi Muhammad terkait kesehatan.

Bahkan, para Muslimah misalnya, secara sukarela menjadi tenaga perawat untuk mendukung perjuangan yang dilakukan pasukan Islam dalam sejumlah pertempuran. Pemanfaatan teknik pengobatan dan ilmu kedokteran terus berlanjut. Pada masa selanjutnya, terjadi pula transfer ilmu dari masa Yunani kuno.

Literatur-literatur medis dari peradaban lama diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dan Suriah pada abad ke-7 hingga ke-9. Khalifah al Ma'mun dari Dinasti Abbasiyah, mendorong gerakan gerakan pengalihbahasaan literatur penting itu. Bahkan, khalifah memberikan imbalan besar bagi ilmuwan yang melakukan penerjemahan.

Tak jarang, proses penerjemahan juga melibatkan para sarjana Kristen atau Yahudi. Salah satu karya besar yang diterjemahkan adalah buku de Materia Medica yang ditulis pada abad ke-1 oleh Dioscorides. Dia adalah dokter bedah asal Yunani yang bekerja di kententaraan Romawi.

Beberapa karya monumental dari Gelanus, dokter asal Yunani, turut dialihbahasakan. Salah satu penerjemah paling masyhur adalah Hunayn ibn Ishaq (809-873). Tokoh kelahiran al Hira ini tercatat sudah menerjemahkan sekitar 116 karya, termasuk menuliskan 21 buku bidang kedokteran.

Islam juga mengenal sejumlah penerjemah lain, seperti Jurjis ibnu Bakhtisliu dan Yuhana ibn Masawaya. Selain itu, penerjemahan literatur medis dari para dokter dan tabib India serta Persia kuno juga gencar dilakukan. Peter E Poorman dan Emilie SavageSmith melalui bukunya, Medieval Islamic Medicine, mengatakan teks itu menjadi rujukan.

Berdasarkan teks-teks terjemahan, ujar mereka, para ilmuwan Muslim meneliti, menyempurnakan, sekaligus mengembangkan teknik pengobatan baru. Agar mudah dipahami, dipelajari, dan diaplikasikan, umat Islam membuat karya itu lebih sistematis. Ini terwujud lewat daftar indeks, ensiklopedia, atau kesimpulan.

Para ilmuwan Muslim juga memadukan teknik medis dari beragam peradaban sehingga ditemukan cara pengobatan yang lebih baik. Atas dasar fakta tersebut, tak heran jika Poorman dan Smith kurang sependapat dengan anggapan bahwa dokter Muslim hanya mengambil mentah-mentah ilmu kedokteran dari Yunani kuno.

Sejarawan Philip K Hitti menyatakan, ketika Eropa memasuki zaman kegelapan, peradaban Islam mengalami masa keemasan. Termasuk, dalam ilmu kedokteran. Ia mengungkapkan, banyak kemajuan yang mampu dicapai bangsa Arab pada masa tersebut.

Mereka, jelas Hitti, membangun apotek pertama, sekolah farmasi, dan buku daftar obat-obatan. Berdiri pula banyak balai pengobatan serta rumah sakit besar di sejumlah kota utama Islam. Misalnya, Damaskus, Kairo, hingga Baghdad, yang menandai kegemilangan kaum Muslim di ranah kedokteran.

Sir John Bagot Glupp, seorang sejarawan, mengatakan pada masa itu rumah sakit di dunia Islam berfungsi ganda. Rumah sakit tak hanya untuk merawat pasien, tetapi juga tempat para dokter mengasah dan mengembangkan keahliannya. Layaknya sekarang, rumah sakit Islam tak membedakan latar belakang pasien.

Baik pemeluk Islam, Kristen, maupun Yahudi, semuanya memperoleh pelayanan terbaik dan tanpa mengeluarkan dana sepeser pun. Tenaga dokter dan perawatnya berasal dari beragam etnis dan agama. Catatan sejarang menyingkap, rumah sakit pertama berada di Damaskus pada 707 Masehi.

Rumah sakit itu dibangun pada masa pemerintahan Khalifah al-Walid ibnu Abdul Malik. Bahkan, untuk pertama kali, rumah sakit ini mengenalkan sistem dokter spesialis. Pada 872 Masehi, rumah sakit umum dibangun di Kairo. Di kota yang sama, berdiri pula rumah sakit paling modern abad pertengahan, yaitu RS al-Mansuri.

Rumah sakit ini dibangun Sultan alMansur pada 1285. Menurut pakar sejarah, Will Durant, tersedia fasilitas lengkap di sana. Di samping terdapat ruang perawatan pasien, ada pula laboratorium, perpustakaan, dapur, kamar mandi, gudang obat-obatan, serta ruang studi.

Pada abad ke-11, di setiap kota Islam sudah berdiri beberapa rumah sakit. Kordoba di Spanyol, setidaknya memiliki 50 rumah sakit yang representatif pada masa Abu al-Qasim alZahrawi (Abulcasis). Di Tunisia, Pangeran Ziyadad I membangun RS al Qayrawan pada 830 Masehi. Fasilitas umum itu dibangun di Kota al-Dimnah.

Rumah sakit ini telah menerapkan pemisahan antara kamar rawat pasien dan ruang tunggu pengunjung. Lalu di Maroko, Khalifah al-Mansur Ya'qub ibnu Yusuf pada 1190 membangun RS Marakesh. Ini menjadi rumah sakit terbesar dan terindah pada masanya. Sebuah taman asri membuat suasana rumah sakit ini menjadi begitu nyaman.

Studi kedokteran turut berkembang. Sir John Bagot Glubb menjelaskan, sekolah kedokteran Islam pertama hadir di Kota Baghdad pada masa kekhalifahan Abdullah al Ma'mun (786-833).
"Ketika sistem sudah terbangun, para dokter dan ahli mendapat tugas memberikan kuliah bagi para siswa kedokteran," paparnya.

Sumbangsih Islam untuk Kemajuan Teknik Mesin

Pengembangan teknologi telah dirintis lama. Umat Islam ikut memberikan andil di dalamnya. Paling tidak, hal ini bisa diketahui melalui berbagai temuan dan pembuatan peralatan mekanik oleh cendekiawan Muslim. Karya paling menonjol dihasilkan oleh Badi al-Zaman al-Jazari dan Taqi al-Din.

Sebagian teknologi peralatan yang berhasil dikembangkan itu diyakini turut membantu dimulainya revolusi industri di Barat. Beragam peralatan itu tak hanya bernilai estetik, tetapi juga memiliki fungsi membantu pengembangan perta nian, baik industri maupun keperluan sehari-hari.

Melalui al-Jazari dan Taqi al-Din, yang tercatat sebagai insinyur yang berpenga ruh pada bidang teknologi permesinan, generasi ilmuwan berikutnya dapat menemukan rujukan mengenai poros engkol, misalnya. Juga, katup yang kini mewujud pada mesin pembakaran internal.

Profesor Salim al-Hassani dari Universitas Manchester, Inggris, memuji kejeniusan mereka. Menurut dia, al-Jazari dan Taqi al-Din adalah penemu dan perancang peralatan permesinan awal di dunia Islam. Ia telah melakukan penelitian dan kajian terhadap rancangan mesin al-Jazari dan Taqi al-Din.

Selain mengandalkan analisis matema tika, Hassani melakukan pengukuran perinci memakai simulasi komputer gra fis. Hasilnya, unjuk kerja peralatan kuno memiliki karakteristik serupa dengan peralatan modern yang ada. Tak heran jika sejumlah kalangan menyematkan Bapak Teknik Modern pada al-Jazari.

Sejarah mencatat al-Jazari sebagai tokoh besar di bidang mekanik abad ke-12. Ia lahir sekitar 1136 Masehi di al-Jazira, sebuah kawasan antara Sungai Tigris dan Eufrat. Sebagian besar masa hidupnya dihabiskan di Diyar Bakir, Turki. Di sana, dia menuangkan pemikiran dan berkarya.

Ini merupakan masa ketika orang-orang berbahasa Turki mulai menguasai bagian dunia tersebut. Pada tahun 1174, al-Jazari bekerja sebagai ahli teknik untuk Dinasti Bani Artuq, penguasa Mesopotamia (Irak). Karena keahliannya, ia memperoleh sejumlah gelar prestisius, seperti Rais al-A’mal.

Gelar tersebut menunjukkan dirinya adalah pemimpin para insinyur pada masa itu. Sementara itu, gelar Badi al-Zaman dan al-Shaykh memberikan pengakuan sebagai ilmuwan tak tertandingi serta bermartabat. Ehsan Masood dalam Ilmuwan Muslim Pelopor Hebat di Bidang Sains Modern mengatakan bahwa alJazari juga seorang ahli komunikasi andal.

Al-Jazari mampu menulis dan menggambar. Temuan-temuannya menginspirasi rancangan mesin-mesin modern saat ini. Karya fenomenalnya adalah al Jami Bain al-Ilm Wal ‘Aml al-Nafi Fi Sinat ‘at al-Hiyal atau The Book of Knowledge of Ingenious Mechanical Devices yang dirampungkan pada 1198 Masehi.

Buku ini seluruhnya mencakup teori dan praktik mekanik sekaligus mendokumentasikan sekitar 50 temuan yang dilengkapi rancangan gambar secara teperinci. Berkat kepeloporan yang gemilang pada bidang teknik, al-Jazari turut mengangkat sejarah peradaban Islam pada abad pertengahan.

Di antara desain mekaniknya yang mengundang decak kagum para ilmuwan adalah pembuatan jam gajah. Alat tersebut tepatnya berupa jam air berbentuk gajah. Jam gajah mengombinasikan prinsip air Archimedes dengan gajah India dan pengukur waktu yang menggunakan air, naga Cina, phoenix Mesir, karpet Persia, serta angka Arab.

Jam tersebut dipandang sebagai pencapaian luar biasa yang memanfaatkan tekanan air untuk otomatisasi. Adanya kebutuhan untuk mengetahui waktu shalat menjadi titik penting pengembang an jam air semacam itu. Alat ini mampu menunjukkan waktu secara tepat, baik siang maupun malam, melalui simbal dan burung berkicau.

Kondisi geografis di dunia Islam memicu pula sejumlah penemuan. Air menjadi masalah krusial di wilayah kekuasaan Islam yang beriklim kering dan tanah tandus. Warga harus mencari sumber mata air bawah tanah untuk keperluan minum, rumah tangga, irigasi pertanian, industri, dan sebagainya.

Untuk itulah, diperlukan alat pemompa air yang efektif. Masyarakat kuno sejatinya sudah memanfaatkan semacam peralatan pompa air, yakni shaduf dan saqiya. Shaduf digunakan secara luas oleh peradaban Assiria dan Mesir kuno. Alat itu terdiri atas balok panjang yang ditopang dua pilar dengan balok kayu horizontal.

Adapun shaqiya berupa mesin bertenaga hewan dengan mekanisme gerak yang terdiri atas dua roda gigi.Al-Jazari lalu mengembangkan kedua alat ini menjadi sebuah mesin yang mampu memasok air dalam jumlah cukup banyak. Ia juga menciptakan mesin yang menggunakan balok dan tenaga binatang.

Mekanisme yang melibatkan roda gigi dan engkol menggerakkan secara naik turun balok tadi. Ini adalah mesin pertama yang menggunakan engkol sebagai unsur penting sebuah mesin. Sebuah mesin kontrol mekanik merupakan karyanya yang lain. Alat itu diterapkan pada pintu besi besar yang memakai kombinasi kunci dengan baut.

Dia pun merancang sejumlah peralatan automata, seperti mesin otomatis, peralatan rumah tangga, dan automata musik yang digerakkan air. Prestasi mengagumkan di bidang teknik mesin turut ditorehkan Taqi al-Din. Ilmuwan ini lahir di Damaskus, Suriah, pada 1525 Masehi.

Nama lengkapnya adalah Taqi al Din Muhammad bin Ma’ruf bin Ahmad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad bin Yusuf bin Muhammad al-Shami. Ia merupakan ahli teknik terbesar di dunia Islam. Ia juga penulis produktif. Hal ini terbukti dengan 19 buku teknik yang berhasil ia tulis.

Salah satunya berjudul Al-Toruq alSaniyah fi al-Alat al-Rohanyah, yang berisi deskripsi beberapa peralatan mesin kreasinya. Dalam manuskripnya, Taqi alDin menjelaskan mekanisme kerja mesin pompa. Mesin yang digerakkan oleh air ini menunjukkan kemajuan hebat yang dicapai umat Islam.

Roda air yang ada di dalam mesin menggerakkan piston yang saling berhubungan. Silinder piston terhubung dengan pipa penyedot. Pipa penyedot selanjutnya menyedot air dari sumbernya dan membagikannya ke sistem pasokan air. Para ahli permesinan meyakini bahwa pompa ini merupakan contoh awal dari sistem double-acting principle.

Menurut Ehsan Masood, periode kedua tokoh besar ini berkiprah merupakan puncak teknologi mekanik Islam. Yang mereka ciptakan telah membawa penga ruh luar biasa di berbagai bidang kehidupan pada zamannya. Al-Jazari dan Taqi al-Din berhasil menunjukkan betapa penting teknologi kuno dalam membentuk dunia modern. 

Gerakan Freemason dalam Lintasan Sejarah Indonesia

Meski ratusan tahun beroperasi di Nusantara, keberadaan Freemason (Belanda:Vrijmetselaarij), nyaris tak tertulis dalam buku-buku sejarah. Padahal, banyak literatur yang cukup memadai untuk dijadikan rujukan penulisan sejarah tentang gerakan salah satu kelompok Yahudi di wilayah jajahan yang dulu bernama Hindia Belanda ini.

Di antaranya adalah: Vrijmet selaarij: Geschiedenis, Maats chapelijke Beteekenis en Doel (Freemason: Sejarah, Arti untuk Masyarakat dan Tujuannya) yang ditulis oleh Dr Dirk de Visser Smith pada tahun 1931, Geschiedenis der Vrymet selary in de Oostelijke en Zuidelijke Deelen (Sejarah Freemason di Timur dan Selatan Bumi) yang ditulis oleh J Hagemen JCz pada tahun 1886, Geschiedenis van de Orde der Vrijmetselaren In Nederland Onderhoorige Kolonien en Londen (Sejarah Orde Freemason di Nederland di Bawah Kolonialisme) yang ditulis oleh H Maarschalk pada tahun 1872, dan Gedenkboek van de Vrijmet selaaren In Nederlandsche Oost Indie 1767-1917 (Buku Kenang-kenangan Freemason di Hindia Belanda 1767-1917), yang diterbitkan secara resmi pada tahun 1917 oleh tiga loge besar; Loge de Ster in het Oosten (Batavia), Loge La Constante et Fidele (Semarang), dan Loge de Vriendschap (Surabaya).

Di samping literatur yang sudah berusia ratusan tahun tersebut, pada tahun 1994, sebuah buku berjudul Vrijmetselarij en samenleving in Nederlands-Indie en Indonesie 1764- 1962 (Freemason dan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia 1764- 1962) ditulis oleh Dr Th Stevens, seorang peneliti yang juga anggota Freemason. Berbeda dengan buku-buku tentang Freemason di Hindia Belanda sebelumnya, buku karangan Dr Th Stevens ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia pada tahun 2004.

Buku-buku yang mengungkap tentang sejarah keberadaan jaringan Freemason di Indonesia sejak masa penjajahan tersebut, sampai saat ini masih bisa dijumpai di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Bahkan, Indisch Macconiek Tijdschrift (Majalah Freemason Hindia), sebuah majalah resmi milik Freemason Hindia Belanda yang terbit di Semarang pada 1895 sampai awal tahun 1940-an, juga masih tersimpan rapi di perpustakaan nasional.

Selain karya Stevens dan H Maarschalk yang diterbitkan di negeri Belanda, buku-buku lainnya seperti tersebut di atas, diterbitkan di Semarang dan Surabaya, dua wilayah yang pada masa lalu menjadi basis gerakan Freemason di Hindia Belanda, selain Batavia. Keberadaan jaringan Freemason di Indonesia seperti ditulis dalam buku Kenang-kenangan Freemason di Hindia Belanda 1767-1917 adalah 150 tahun atau 199 tahun, dihitung sejak masuknya pertama kali jaringan Freemason di Batavia pada tahun 1762 sampai dibubarkan pemerintah Soekarno pada tahun 1961.

Selama kurun tersebut Freemason telah memberikan pengaruh yang kuat di negeri ini. Buku Kenang-kenangan Freemason di Hindia Belanda 1767-1917 misalnya, memuat secara lengkap operasional, para tokoh, dokumentasi foto, dan aktivitas loge-loge yang berada langsung di bawah pengawasan Freemason di Belanda. Buku setebal 700 halaman yang ditulis oleh Tim Komite Sejarah Freemason ini adalah bukti tak terbantahkan tentang keberadaan jaringan mereka di seluruh Nusantara.

Keterlibatan elite-elite pribumi, di antaranya para tokoh Boedi Oetomo dan elite keraton di Kadipaten Pakualaman, Yogyakarta, terekam dalam buku kenang-kenangan ini. Radjiman Wediodiningrat, orang yang pernah menjabat sebagai pimpinan Boedi Oetomo, adalah satu-satunya tokoh pribumi yang artikelnya dimuat dalam buku kenang-kenangan yang menjadi pegangan anggota Freemason di seluruh Hindia Belanda ini.

Radjiman yang masuk sebagai anggota Freemason pada tahun 1913, menulis sebuah artikel berjudul ”Een Broderketen der Volken” (Persaudaraan Rakyat). Radjiman pernah memimpin jalannya sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Selain Radjiman, tokoh-tokoh Boedi Oetomo lainnya yang tercatat sebagai anggota Freemason bisa dilihat dalam paper berjudul The Freemason in Boedi Oetomo yang ditulis oleh CG van Wering.

Kedekatan Boedi Oetomo pada masa-masa awal dengan gerakan Freemason bisa dilihat setahun setelah berdirinya organisasi tersebut. Adalah Dirk van Hinloopen Labberton, pada 16 Januari 1909 mengadakan pidato umum (openbare) di Loge de Sterinhet Oosten (Loji Bin - tang Timur) Batavia. Dalam pertemuan di loge tersebut, Labberton memberikan ceramah berjudul, ”Theosofische in Verband met Boedi Oetomo” (Theosofi dalam Kaitannya dengan Boedi Oetomo).

Theosofi adalah bagian dari jaringan Freemason yang bergerak dalam kebatinan. Aktivis Theosofi pada masa lalu, juga adalah aktivis Freemason. Cita-cita Theosofi sejalan dengan Freemason. Apa misi Freemason? Dalam buku Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia 1764-1962, karya Dr Th Steven dijelaskan misi organisasi yang memiliki simbol Bintang David ini: ”Setiap insan Mason Bebas mengemban tugas, di mana pun dia berada dan bekerja,untuk memajukan segala sesuatu yang mempersatukan dan menghapus pemisah antar manusia.”

Jadi, misi Freemason adalah “menghapus pemisah antarmanusia!”. Salah satu yang dianggap sebagai pemisah antarmanusia adalah 'agama'. Maka, jangan heran, jika banyak manusia berteriak lantang: ”semua agama adalah sama”. Atau, ”semua agama adalah benar, karena merupakan jalan yang sama-sama sah untuk menuju Tuhan yang satu.”

Paham yang dikembangkan Freemason adalah humanisme sekular. Semboyannya: liberty, egality, fraternity. Sejak awal abad ke-18, Freemasonry telah merambah ke berbagai dunia. Di AS, misalnya, sejak didirikan pada 1733, Freemason segera menyebar luas ke negara itu, sehingga orang-orang seperti George Washington, Thomas Jefferson, John Hancock, Benjamin Franklin menjadi anggotanya.

Prinsip Freemasonry adalah 'Liberty, Equality, and Fraternity'. (Lihat, A New Encyclopedia of Freemasonry, (New York: Wing Books, 1996). Harun Yahya, dalam bukunya, Ksatria-kstaria Templar Cikal Bakal Gerakan Freemasonry (Terj), mengungkap upaya kaum Freemason di Turki Usmani untuk menggusur Islam dengan paham humanisme.

Dalam suratnya kepada seorang petinggi Turki Usmani, Mustafa Rasid Pasya, August Comte menulis, “Sekali Usmaniyah mengganti keimanan mereka terhadap Tuhan dengan humanisme, maka tujuan di atas akan cepat dapat tercapai.” Comte yang dikenal sebagai penggagas alir n positivisme juga mendesak agar Islam diganti dengan positivisme. Jadi, memang erat kaitannya antara pengembangan liberalisasi, sekularisasi, dan misi Freemason. .

08 December 2010

Benarkah Manusia Purba Memang Ada?

Sekali-kali, tengoklah buku sejarah untuk tingkat SMP. Bab I buku itu membahas tentang sejarah manusia, yang dikaitkan dengan kemungkinan adanya jenis makhluk bernama 'manusia purba'. Mengapa teori semacam ini dimunculkan dan diajarkan di sekolah-sekolah?

Perlu dicatat, Ilmu pengetahuan yang berkembang pada era dominasi Peradaban Barat sekarang ini bersumber dari paham sekularisme, utilitarianisme dan materialisme. Pahampaham tersebut menolak unsur transenden dalam alam semesta, memisahkan agama dari kehidupan dan nilai yang tidak mutlak atau relatif (Harvey Cox, The Secular City, 1965).

Semenjak Rene Descartes (m. 1650) menyampaikan prinsip cogito ergo sum (aku berpikir maka aku ada) maka rasio menjadi satu-satunya pengetahuan dan satu-satunya kriteria untuk mengukur kebenaran. Rasio menjadi pokok pengetahuan dan ia harus terbebas dari mitos-mitos keagamaan seperti wahyu, Tuhan, credo, nilai dan lain sebagainya.

Ilmu pengetahuan Barat modern tidak mempunyai pinjakan kuat tentang asal-usul manusia, berbeda dengan wahyu yang jelas-jelas menyebutkan manusia pertama adalah Adam. Merekapun menyusun suatu landasan teori yang menyebutkan bahwa asal-usul manusia adalah manusia purba. Teori ini 'diperkuat' dengan temuan-temuan fosil manusia purba yang berusia jutaan tahun. Maka muncul dan berkembanglah teori evolusi yang menyatakan asal usul manusia sekarang ini adalah manusia kera, kemudian berkembang menjadi manusia purba dan manusia modern.

Dalam pelajaran sejarah Indonesia kita sering mendapat informasi adanya fosil-fosil Homo erectus yang ditemukan di beberapa lokasi di Jawa yang oleh para arkeolog diperkirakan berumur mulai dari 1,7 juta tahun (Sangiran) hingga 50 ribu tahun yang lalu (Ngandong). Terdapat kategori dua subspesies berbeda yaitu Homo erectus paleojavanicus yang lebih tua daripada Homo erectus soloensis. Disebutkan bahwa mereka hidup sezaman dengan manusia modern Homo sapiens kurang lebih 50.000 tahun lalu.

Namun demikian hampir semuanya sepakat bahwa nenek manusia bukan manusia model yang fosilnya ditemukan itu. Para ahli pendukung teori evolusi mengatakan bahwa makhluk itu merupakan missing link (mata rantai yang hilang) dari ras manusia. Namun bagi umat Islam dan para ilmuwan modern, keberadaan fosil manusia purba tidak pernah diakui kebenarannya. Para evolusionis (kaum yang menganut paham teori evolusi Darwin) yang memang atheis tidak punya pijakan siapa manusia pertama sehingga berasumsi bahwa manusia yang sekarang ada merupakan perkembangan dari manusia purba.

Keberadaan manusia purba, termasuk binatang dinosaurus sudah banyak disangkal oleh para ilmuwan modern. Beberapa temuan terakhir justru menunjukkan bahwa teori manusia purba tidak benar alias tidak pernah ada. Selama ini kita mendapatkan pemahaman yang salah yang diberikan pada waktu pendidikan dasar, ditambah dengan rekayasa film ala holywood yang memvisualisasi keberadaan mahlukmahluk di jaman purba, di antaranya Film Jurasic Park. Keadaan menjadi bertambah parah tatkala teori tentang manusia purba yang dikemukakan oleh para evolusionis ini diberikan tempat di dalam kurikulum pendidikan dasar kita.

Para ilmuwan Barat yang sebagian besar memang menganut teori evolusi memasukkan Australopithecus atau ras kera yang telah punah sebagai ras "nenek moyang manusia".
Padahal ada jurang besar dan tak berhubungan antara kera dan manusia. Perbedaan ini yang tidak bisa dijelaskan oleh mereka selanjutnya disebut dengan mata rantai yang hilang (missing link).

Adapun ras manusia primitif menurut mereka, sebenarnya hanya variasi dari ras manusia modern, namun dibesar-besarkan sebagai spesies yang berbeda. Faktanya, spesies yang berbeda. Fakta tidak ada urutan kronologis seperti itu. Banyak yang hidup pada periode yang sama yang berarti tidak ada evolusi, bahkan ada yang lebih tua dari jenis yang diklaim sebagai nenek moyangnya.

Tatkala para evolusionis tak juga menemukan satu fosilpun yang bisa mendukung teori mereka, terpaksa mereka melakukan manipulasi. Contoh yang paling terkenal adalah manusia Piltdown yang dibuat dengan memasangkan tulang rahang orang utan pada tengkorak manusia. Fosil ini telah mem bohongi dunia ilmu pengetahuan selama 40 tahun. Ilmuwan evolusionis yang tidak mengenal Tuhan tidak mendapatkan informasi siapa manusia pertama yang mendiami bumi ini.

Oleh karena itu mereka membuat teori asal usul manusia yang dimulai dari manusia kera, manusia purba dan manusia modern. Apabila kita orang Islam mengemukakan konsep manusia pertama adalah Adam, sebagaimana disebutkan di dalam Alquran dan Hadis Nabi SAW, besar kemungkinan akan ditolak karena bertentangan dengan teori yang mereka buat. Karena dunia Barat saat ini tengah menguasai peradaban dunia, maka mereka bisa dengan mudahnya memasukkan teori-teori tersebut ke dalam kurikulum pendidikan, termasuk pendidikan Islam di negeri-negeri muslim. Sampai saat ini teori evolusi dengan keberadaan manusia purbanya masih banyak dipakai dan di ajarkan di sekolah-sekolah Islam.

Padahal itu semua tidak benar karena berasal dari pemikiran yang sangat spekulatif dan jauh dari unsur wahyu. Ironisnya, banyak orang tua tidak peduli, saat belajar sejarah, anaknya dijejali dengan teori yang menanamkan benih keraguan terhadap iman mereka.

Merunut Perjalanan Islam Mewarnai Eropa

Interaksi budaya kerap memicu persentuhan. Ada pertemuan antara budaya yang saling mempengaruhi satu sama lain. Demikian pula, persentuhan pemerintahan Islam Turki Usmani dengan Eropa. Di sisi lain, transfer budaya dan peradaban juga muncul dari karya-karya intelektual Muslim yang dipelajari Eropa.

Sultan Mehmed II, penguasa Turki Usmani, menjadi salah satu aktor yang mendorong terjadinya persentuhan budaya dan peradaban itu, khususnya dalam bidang seni. Namun, seorang cendekiawan Barat, Gunsel Renda, melalui tulisannya, The Ottoman Empire and Europe: Cultural Encounters, mengungkapkan, peran sang sultan tak banyak tersingkap.

Selain mengembangkan budaya Islam, Mehmed II juga dikenal sebagai sosok yang tertarik dengan sejarah masa lalu dan budaya Barat. Ketertarikan itu telah sejak belia tertanam di dalam benaknya. "Ia merupakan penguasa Turki Usmani pertama yang menjalin pertalian budaya dengan Barat," ujar Renda.

Penerimaan terhadap budaya lain dan ilmu pengetahuan, bisa tecermin dari koleksi buku di perpustakaan pribadinya. Di rak-rak perpustakaannya, bertebaran buku ilmiah yang ditulis dalam beragam bahasa. Buku itu juga sangat beraneka, dari kajian geogarfi, kesehatan, sejarah, hingga filsafat.

Bibel dan karya-karya Yunani klasik menjadi koleksi perpustakaan pribadi Mehmed II itu. Langkah Mehmed II membuka diri menjalin interaksi memicu sejumlah ilmuwan Barat memberikan apresiasi kepadanya. Giorgios Amirutzes dari Trabezond, misalnya, membuat peta dunia untuk sultan dengan menggunakan Geographike karya Ptolemeus.

Di Istana Topkapi, ada salinan Geographike dalam bahasa Latin serta terjemahan buku tersebut dalam bahasa Italia oleh Berlinghieri Fiorentino yang didedikasikan untuk Mehmed II. Pribadi Mehmed II, pandangan politik, dan sikapnya, akhirnya menebarkan citra Turki di dunia seni Eropa.

Sejumlah seniman Eropa membuat potret Mehmed II sebagai bentuk apresiasi. Di sisi lain, ia meminta dibuatkan potret dirinya. Ia pernah meminta bantuan sejumlah seniman melalui penguasa Italia. Costanza da Ferrara menjadi seniman Italia pertama yang datang ke istana Turki Usmani. Ia dikirim oleh Raja Naples, Ferdinand Ferrante II.

Hubungan Turki Usmani-Eropa yang berlangsung selama berabad-abad, terjadi di tengah perkembangan politik dan ekonomi di kedua belah pihak. Dalam bidang perdagangan, karpet Turki juga banyak diimpor oleh Eropa. Bahkan, motif rancangan pada karpet tak jarang mengikuti perkembangan seni, baik di Eropa maupun Turki Usmani.

Dengan latar belakang ini, di antara komunitas Muslim, Turki memiliki hubungan paling dekat dengan Eropa. Hubungan erat tersebut tecermin pula dalam seni dan budaya. Pada abad sebelumnya, pengaruh Muslim di bidang kuliner merambah Eropa dan menjadi rujukan.

Merujuk pada pernyataan Nabi Muhammad SAW bahwa tubuh memiliki haknya yang harus dipenuhi, dokter dan ilmuwan Muslim menyusun sejumlah buku yang terkait dengan makanan sehat. Demikian pula, dengan cara penyajiannya. Misalnya, Ibnu Sa’id alQurtubi pada abad ke-10 dengan karyanya Kitab Khalq al-janin wa Tadbir al-hibala.

Buku ini membahas diet bagi janin dan ibu yang sedang hamil. Lalu, ada Abu Marwan Ibn Zuhr (10921161) dengan karyanya, Al-Taysir fi ‘l-mudawat wa-‘ltadbir Kitab al-Aghdia. Ini merupakan buku tentang nutrisi. Buku yang membahas masakan secara khusus juga banyak jumlahnya.

Di antaranya adalah Kanz al-fawa’id fi tanwi’ almawa’id yang ada di abad ke-10. Penulisnya anonim dan buku ini diperkirakan dari Mesir. Seorang Muslim Spanyol pada abad ke-12 bernama Ibnu Razin Attujibi, menyusun sebuah buku berjudul Fadhalat al-Khiwan fi Atayyibat at-Ta’am wa-‘l-‘Alwan.

Selain itu, terdapat penulis lainnya, yaitu Mohammed al-Baghdadi, cendekiawan dari Irak pada abad ke-13, dengan karyanya Kitab at-Tabikh. Pada abad yang sama, Dawud al-Antaki dari Suriah, meluncurkan buku berjudul Tadhkira. Demikian pula, dengan Ibnu Adim yang juga dari Suriah, memiliki karya Wasla ‘l-habîb fi wasf al-tayyibât wa at-thibb.

Menurut Zohor Idrisi, seorang peneliti di Foundation for Science, Technology, and Civilization, dalam tulisannya The Influence of Islamic Culinary Art on Europe, pada abad ke-13, buku-buku yang disusun oleh dokter dan ilmuwan Muslim itu menarik perhatian, baik para penguasa maupun gereja di Barat. Rasa tertarik itu kian meningkat saat wilayah Ferrara, Salerno, Montpellier, dan Paris menjadi pusat studi karya kedokteran Muslim. Tak berhenti sampai di situ, di lingkaran penguasa dan aristokrat Eropa, permintaan makanan yang berasal dari dunia Muslim serta rempah mengalami peningkatan.

Sayangnya, ujar Idrisi, para aristokrat Eropa tak mengindahkan aturan diet dari konsumsi sayuran dan daging. Akibatnya, mereka diserang encok. Masuknya manisan, selai, dan makanan yang diawetkan ke Eropa melahirkan masalah baru lainnya bagi mereka, yaitu konstipasi. Mereka mengabaikan rekomendasi dokter Muslim soal makanan.


Namun, ada pula yang benar-benar mengikuti aturan pola makanan yang termuat dalam buku-buku karya Muslim itu. Di antaranya adalah Ratu Cristina yang mengua sai Denmark, Swedia, dan Norwegia. Ia tak mengalami permasalahan seperti yang dihadapi oleh para penguasa lainnya

*berbagai sumber

Ratusan Tahun, Lembaga Islam MDS Jadi Kunci Stabilitas Muslim di Rusia

Sistem Direktorat Spiritual Muslim (MSD) di Rusia tak memiliki basis mendasar dengan Islam, namun ia memiliki akar mendalam dalam Kerajaan Rusia dan Sejarah Soviet. Posisi bersejarah itulah yang memiliki peran kunci dalam mencegah pertikaian antar etnis dan agama di kawasan Muslim, di Volga Tengah dan di mana pun penjuru Rusia.

Pandangan tadi merupakan tulisan sebuah buku baru karangan A.Yu. Khavbutdinov, “The History of the Orenburg Muslim Spiritual Assembly (1788-1917): Institutions, Ideas and People”  terbit tahun ini. Dalam sebuah ulasan, sejarawan Rusia, Damir Mukhetdinov, menulis karena organisasi pendahulu MDS-itulah,  Majelis Spiritual Muslim Orenburg, maka wilayah Muslim masih stabil hingga kini.

Damir sendiri adalah kepala deputi MSD untuk Rusia Eropa. Ia berpendapat lembaga Orenburg, adalah "milik bersama semua Muslim Rusia, kecuali mereka yang tinggal di Kaukasus Utara,". Lembaga itu telah membantu mengembangkan strategi pengembangan dan kerjasama dengan negara dan masyarakat Rusia.

Kajian terhadap Majelis Orenburg menunjukan bahwa "jumlah masjid-masjid lebih berkembang hingga seratus kali lipat" selama masa keberadaan lembaga itu. Namun yang lebih penting bagi Muslim Rusia, "pada era tersebut proses asimilasi hampir selalu berjalan mulus dan tak ada kasus signifikan yang menunjukkan kepindahan warga pemeluk Islam ke negara lain."

"Dan hari ini kita saksikan, bahwa hal utama umat Rusia adalah keberadaan kota-kota dan aula yang menjadi pusat Islam selama epic Majelis Orenburg berlangsung," ujar Damir. Karena kondisi itu pula, para mufti di Rusia mengatakan mereka yang mengkritik sistem MDS dan aktivitas presidennya harus mempertimbangkan lagi kecamannya.

Tentu saja, imbuh Damir, tak pernah ada lembaga atau sosok yang ideal. Akhir masa tsarian di Rusia menunjukkan itu, yang ditandai munculnya bentrokan bahkan pembersihan etnis dan agama. Namun yang perlu ditekankan, mengingat sejarah bentrokan dan pembersihan etnis bukan hal jarang di Rusia, kata Damir, maka di zona mana kekerasan itu ada dan di zona mana yang tidak juga perlu.

Jika seseorang benar-benar mencermati, maka ia dapat melihat bahwa "sebuah kawasan luas yang diawasi Majelis Orenburg, mulai Petersburg hingga Chita dan dari Astrakhan ke Arkhangelsk, tetaplah bebas dari konflik berdarah. Kondisi yang sayangnya tak bisa ditemukan di Transcaucasus, Kaukasus Utara dan Kazakhstan atau Asia Tengah

Pengecualian atas pola nonkonflik dalam wilayah itu, di mana kehidupan beragama dipantau oleh Majelis Orenburg, kala periode revolusi, hanya di bagian Urals, di mana Bashkirs dan Slavic bertikai atas penguasa kawasan. Sejarah mengungkap pula mengapa selama 1990 tidak ada bentrokan berdarah di sana.

Semua mufti yang memimpin di Majelis Orenburg, tulis Damir, mempromosikan kebijakan hubungan damai dengan lingkungan dan tetangga sekitar. Lebih dari itu, Majelis Orenberg, dalam kajian terbukti menjalankan tata-kelola langka, mereka membuat pengeluaran minimal dari dana penduduk yang dikumpulkan. Mereka tidak hanya mengurus hal-hal keagamaan tetapi juga pendidikan. Majelis pun mencegah mullah dan imam terpisah dan berjarak dari populasi masyarakat.

Baik pengarang maupun pengulas mengatakan, muncul pandangan luas yang keliru bahwa Majelis Orenburg dan anggotanya hanyalah orang-orang birokratis yang tidak melihat situasi semua Rusia dari kacamata terkucil mereka. Damir menyatakan, justru hingga kini, lembaga itu tidak kehilangan kedudukan pentingnya dalam era milenium baru, ketika umat Rusia kembali mempertanyakan persatuan, perbaikan ekonomi, keuangan dan pendidikan sekaligus menjaga kepribadian Muslim di tengah dunia yang kian berubah.

RAHASIA DIPILIHNYA JAZIRAH ARAB SEBAGAI TEMPAT DITURUNNYA ISLAM

Ketika itu, dunia dikuasai oleh dua imperium raksasa, yaitu kerajaan Romawi dan Persia, kemudian disusul oleh Yunani dan India.

Persia adalah ladang subur berbagai khayalan (Khurafat) keagamaan dan filosofi yang saling bertentangan. Di antara falsafahnya adalah Zoroaster yang dianut oleh para penguasa negeri. Ajarannya antara lain mengutamakan perkawinan seseorang dengan ibunya, anak perempuannya, atau saudara perempuannya, sehingga Yazdasir II yang memerintah pada abad V mengawini anak perempuannya. Belum lagi penyimpangan-penyimpangan akhlak yang beraneka ragam sehingga tidak bisa disebutkan di sini.

Di Persia, juga terdapat ajaran Mazdakia, yang menurut Imam Syahrustani, didasarkan pada filsafat lain, yaitu menghalalkan wanita, membolehkan harta, dan menjadikan manusia sebagai serikat seperti perserikatan mereka dalam masalah api, air, dan rumput. Para kaum pengumbar hawa nafsu menyambut baik ajaran ini.

Sementara Romawi telah dikuasai sepenuhnya oleh semangat kolonialisme. Negeri ini terlibat pertentanganagama antara Romawi di satu pihak dan Nasrani. Negara ini mengandalkan kekuatan militer dan ambisi kolonialnyadalam melakukan petualangan naïf demi mengembangkan agama Kristen dan mempermainkannya sesuai dengan keinginan hawa nafsu mereka yang serakah.

Pada waktu yang sama, Negara ini tak kalah bejatnya dari Persia. Kehidupan nista, kebejatan moral, dan pemerasan ekonomi telah menyebar ke seluruh pelosok negeri akibat dari penghasilan yang melimpah dan penumpukan pajak.

Yunani dan India tidak jauh berbeda. Yunani tenggelam dalam khurafat dan mitos-mitos verbal yang tidak pernah memberinya manfaat. Demikian juga India, sebagaimana dikatakan Ustadz Abul Hasan an-Nadawi, telah disepakati oleh para penulis sejarahnya, bahwa negeri ini sedang berada pada puncak kebejatan dari segi agama, akhlak, ataupun sosial. Masa tersebut bermula sejak awal abad VI.

Di samping itu, harus diketahui bahwa ada satu hal yang menjadi sebab utama terjadinya kemerosotan, keguncangan, dan kenestapaan pada umat-umat tersebut, yaitu peradaban dan kebudayaan yang didasarkan pada nilai-nilai materialistic semata, tanpa adanya nilai-nilai moral yang mengarahkan peradaban dan kebudayaan tersebut ke jalan yang benar. Seperti halnya peradaban berikut segala implikasi dan penampilannya, tidak lain hanyalah merupakan sarana dan instrumen. Jika pemegang sarana dan instrumen tidak memiliki pemikiran dan nilai-nilai moral yang benar, peradaban yang ada di tangan mereka akan berubah menjadi alat kesengsaraan dan kehancuran. Akan tetapi, jika pemegangnya memiliki pemikiran yang benar, yang hanya bisa diperoleh melalui wahyu Ilahi, seluruh nilai peradaban dan kebudayaan akan menjadi sarana yang baik bagi kebudayaan yang bahagia penuh dengan rahmat di segala bidang.

Sementara itu, di Jazirah Arabia, bangsa Arab hidup dengan tenang, jauh dari bentuk keguncangan tersebut. Mereka tidak memiliki kemewahan dan peradaban Persia yang memungkinkan mereka kreatif dan pandai menciptakan kemerosotan-kemerosotan, filsafat keserbabolehan, dan kebejatan moral yang dikemas dalam bentuk agama.

Mereka juga tidak memiliki kekuatan militer Romawi yang mendorong mereka melakukan invasi dan ekspansi ke Negara-negara tetangga. Mereka tidak memiliki kemegahan filosofis dan dialektika Yunani yang menjerat mereka menjadi mangsa mitos dan khurafat.

Karakteristik mereka seperti bahan baku mentah; masih menampakkan fitrah kemanusiaan dan kecenderungan yang sehat dan kuat serta cenderung kepada kemanusiaan yang mulia, seperti menolong, dermawan, rasa harga diri, dan kesucian.

Hanya saja mereka tidak memiliki ma’rifat (pengetahuan) yang akan mengungkapkan jalan ke arah itu karena mereka hidup dalam kegelapan, kebodohan, dan alam fitrah yang pertama. Akibatnya, mereka sesat jalan, tidak menemukan nilai-nilai kemanusiaan tersebut.

Selanjutnya, mereka membunuh anak dengan dalih kemuliaan dan kesucian, memusnahkan harta kekayaan dengan alas an kedermawanan, dan membangkitkan peperangan di antara mereka dengan alasan harga diri dan kepahlawanan.

Keadaan inilah yang Alalh sebut dengan dhalal dalam firman-Nya.
“Dan Sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat. (QS. Al-Baqarah: 198)

Suatu sifat, apabila dinisbatkan kepada kondisi umat-umat lain pada waktu itu, lebih banyak menunjukkan kepada I’tidzar (excuse) daripada kecaman, celaan dan hinaan kepada mereka. Ini dikarenakan umat-umat lain tersebut melakukan penyimpangan-penyimpangan terbesar dengan “bimbingan” sorot peradaban, pengetahuan, dan kebudayaan. Mereka terjerembab ke dalam kubangan kerusakan dengan penuh kesadaran, perencanaan, dan pemikiran.

Bila diperhatikan sekarang, seperti dikatakan oleh Ustadz Muhammad Mubarak, akan diketahui betapa Jazirah Arab terletak di antara dua peradaban. Pertama, peradaban Barat yang materialistis telah suatu bentuk kemanusiaan yang tidak utuh. Kedua, peradaban spiritual penuh dengan khayalan di ujung timur, seperti umat-umat yang hidup di India, Cina, dan sekitarnya.

Jika telah kita ketahui kondisi bangsa Arab sebelum islam dan kondisi umat-umat lain di sekitarnya, dengan mudah kita dapat menjelaskan hikmah Ilahiyah yang telah berkenan menentukan Jazirah Arabia sebagai tempat kelahiran Raulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kerasulannya, dan mengapa bangsa Arab ditunjuk sebagai generasi perintis yang membawa cahaya dakwah kepada dunia menuju agama Islam yang memerintahkan seluruh manusia di dunia ini agar menyembah Allah semata.
Jadi, bukan seperti yang dikatakan oleh sebagian orang yang karena memiliki agama yang batil dan peradaban palsu, mereka sulit diluruskan dan diharapkan karena kebanggaan mereka terhadap kerusakan yang mereka lakukan dan anggapan mereka sebagai sesuatu yang benar. Sementara itu, orang-orang yang masih hidup “di masa pencarian”, mereka tidak akan mengingkari kebodohannya dan tidak akan membanggakan peradaban dan kebudayaan yang tidak dimilikinya.

Dengan demikian, mereka lebih mudah disembuhkan dan diarahkan. Kami tegaskan, bukan hanya ini yang menjadi sebab utamanya. Analisis seperti ini akan berlaku bagi orang yang kemampuannya terbatas dan orang yang memiliki potensi.

Jika Allah menghendaki terbitnya dakwah Islam ini dari suatu tempat, yaitu Romawi, Persia, atau India, niscaya untuk keberhasilan dakwah ini, Allah mempersiapkan segala prasarana di negeri tersebut, sebagaimana Dia mempersiapkannya di Jazirah Arabia. Allah tidak akan pernah kesulitan untuk melakukannya.

Akan tetapi, hikmah pilihan ini sama dengan hikmah dijadikannya Rasulullah seorang ummi, tidak bisa mennulis dan membaca, agar manusia tidak memiliki banyak sebab keraguan terhadap dakwahnya.

Adalah termasuk kesempurnaan hikmah ilahiyah jika lingkungan tempat diutusnya Rasulullah dijadikan juga sebagai bi’ah ummiyah (lingkungan yang ummi) bila dibandingkan dengan umat-umat lain disekitarnya, yakni tidak terjangkau sama sekali oelh peradaban-peradaban tetangganya. Demikian pula system pemikirannya tidak tersentuh sama sekali oleh filsafat-filsafat yagn membingungkan yang ada di sekitarnya.

Dikhawatirkan akan timbul keraguan di dada manusia jika Rasulullah itu seorang terpelajar, pandai bergaul dengan kitab-kitab, serta mengetahui sejarah umat-umat terdahulu dan semua peradaban-peradaban mereka. Dikhawatirkan pula akan timbul keraguan mereka manakala melihat munculnya dakwah Islamiyah di antara dua umat yang memiliki peradaban budaya dan sejarah, seperti Negara Persia, Romawi, atau Yunani. Hal ini karena orang yang ragu dan menolak mungkin akan menuduh dakwah Islam hanyalah sebagai mata rantai pengalaman budaya dan pemikiran-pemikiran filosofis yang akhirnya melahirkan peradaban yang unik dan perindang-undangan yang sempurna.
Al-Qur’an menjelaskan hikmah ini dengan ungkapan yang jelas
“Dialah yang mengutus kepada kaum yang ummi seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka kitab dan Hikmah. Dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata,” (QS. Al-Jumu’ah:2)

Allah telah menghendaki Rasul-Nya seorang yang ummi dan kaum di mana Rasul ini diutus juga kaum yang secara mayoritas juga ummi, agar mukjizat kenabian dan syariat Islamiyah menjadi jelas di dalam pikiran, dan tidak bercampur dengan pemikiran filosofi maupun kebudayaan yang lain.

Selain itu, ada pula hikmah-hikmah yang tidak tersembunyi bagi yang mencarinya, antara lain:
1. Sebagaimana telah diketahui, Allah menjadikan Baitul Haram sebagai tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman, dan rumah yang pertama kali dibangun bagi manusia untuk beribadah dan menegakkan syi’ar agama.
2. Secara geografis, jazirah Arabia sangat kondusif untuk mengemban tugas dakwah seperti ini karena letaknya di bagian tengah umat-umat yang ada di sekitarnya. Posisi ini akan menjadikan penyebaran dakwah ke semua bangsa di sekitarnya berjalan gampang dan lancer.
3. Sudah menjadi kebijaksanaan Allah untuk menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa dakwah Islam dan media langsung untuk menerjemahkan Kalam Allah dan penyampaiannya kepada kita. Jika kita kaji karakteristik semua bahasa, lalu kita bandingkan satu sama lain, niscaya akan kita temukan bahwa bahasa Arab banyak memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh bahasa lainnya.


(disarikan dari Kitab Sirah Nabawiyah karangan Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthy, terbitan Robbani Press cetakan ketigabelas tahun 1429 H)

23 November 2010

Sejarah Ketentaraan dalam Dunia Islam

Organisasi dan taktik militer menjadi sebuah kekuatan. Pemerintahan pada masa Abbasiyah, memiliki kekuatan itu sebagai penopang eksistensi mereka. Tentunya, selain pencapaian ilmu pengetahuan di berbagai bidang yang melahirkan decak kagum, organisasi dan taktik militer yang saat itu dikembangkan diakui efektivitasnya oleh pihak lain.

Buku Art of War, yang ditulis seorang sarjana bernama Charles Oman, mengungkapkan, dua hal yang membuat orang-orang Islam yang dipanggil dengan sebutan Saracen pada abad ke-10 menjadi musuh berbahaya, adalah jumlah dan kekuatan mesin perang luar biasa. Pengakuan atas kekuatan militer itu, terungkap pula dalam sebuah naskah tentang taktik militer yang dikaitkan pada Raja Leo VI. Ia berkuasa pada 886 hingga 912 Masehi. Menurut dia, dari semua bangsa atau berber, orang-orang Islam adalah yang paling baik dan paling hebat dalam taktik militernya.

Pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah, militer dibangun dengan mengandalkan pasukan Persia, bukan Arab. Bahkan, pasukan pengawal istana yang menjadi mesin militer terkuat kebanyakan diambil dari pasukan Khurasan. Saat itu, pasukan Arab dibagi menjadi dua divisi, yaitu Arab Utara yang berasal dari Mudhar.

Divisi lainnya adalah Arab Selatan yang berasal dari Yaman. Khalifah al Mu'tashim, di suatu hari membentuk divisi baru. Orang-orang Turki direkrut untuk mengisi divisi tersebut. Mereka berasal dari Farqanah dan sejumlah wilayah Asia Tengah lainnya. Meski pada akhirnya, divisi baru ini menjadi batu sandungan.

Seiring bergulirnya waktu, terutama setelah Khalifah Al-Muntashir, yang berkuasa antara 861 hingga 862 Masehi, mangkat, orang-orang Turki yang tergabung dalam divisi baru itu mulai memainkan peran mereka sebagai bagian dari pasukan pemerintah yang berpengaruh besar dalam urusan kenegaraan.

Dinasti Abbasiyah, mengadopsi sistem yang dikembangkan pihak lain dalam mengembangkan organisasi militernya, terutama saat membentuk pola pasukan. Mereka mengambilnya dari Romawi dan Bizantium, yang menempatkan 10 prajurit di bawah kendali satu orang yang disebut a'rif. Sama seperti decurion dalam militer Romawi.

Sedangkan, 50 prajurit di bawah komando seorang khalifah, 100 prajurit di bawah komando seorang qa'id, dan 10 ribu pasukan yang terdiri atas 10 batalion di bawah komando seorang amir atau jenderal. Pasukan yang terdiri atas 100 orang membentuk sebuah skuadron dan beberapa skuadron membentuk sebuah unit.

Tak hanya untuk pertahanan, Dinasti Abbasiyah memanfaatkan pasukannya untuk meredam berbagai pemberontakan yang terjadi di berbagai wilayah, seperti di Persia, Suriah, dan Asia Tengah. Selain itu pasukannya juga dikirim untuk berperang melawan kekuatan Bizantium.

Menurut Philip K Hitti dalam History of the Arabs, sistem organisasi militer kekhalifahan Arab, pada umumnya tak mempunyai pasukan reguler dalam jumlah besar. Bahkan, pasukan pengawal khalifah yang disebut haras mungkin merupakan satu-satunya pasukan tetap yang masing-masing mengepalai sekelompok pasukan.

Terdapat pasukan bayaran dan sukarelawan serta beberapa pasukan yang berasal dari beragam suku dan distrik. Pasukan sukarelawan yang karib dengan sebutan mutathawwi'ah dibayar saat mereka sedang bertugas. Biasanya, pasukan ini beranggotakan orang-orang badui, petani, dan penduduk kota.

Pasukan tetap yang bertugas aktif, biasanya disebut sebagai murtaziqah. Mereka dibayar secara berkala oleh pemerintah. Sedangkan pasukan pengawal istana, memperoleh bayaran lebih tinggi dibandingkan pasukan lainnya. Mereka juga mengenakan seragam bagus dan dipersenjatai secara lengkap.

Namun, pada masa awal tampuk pemerintahan Dinasti Abbasiyah, mereka telah memiliki pasukan reguler, yang terdiri atas pasukan infanteri atau harbiyah yang dipersenjatai dengan tombak, pedang, dan perisai. Juga, ada pasukan panah (ramiyah) dan kavaleri (fursan), yang bersenjatakan tombak panjang dan kapak.

Perlengkapan lainnya yang mereka kenakan adalah pelindung kepala dan dada. Terkait dengan tingkat gaji, ratarata gaji yang diterima pasukan infanteri sekitar 960 dirham per tahun.
Mereka juga mendapatkan tambahan santunan rutin. Sedangkan, pasukan kavaleri mendapatkan gaji dua kali lipat dari gaji pasukan infanteri.

Pada masa Khalifah Al-Ma'mun, saat dinasti ini mencapai puncak kejayaan kekuasaannya, pasukan yang bermarkas di Baghdad, Irak, mencapai jumlah 125 ribu. Saat itu, pasukan infanteri hanya menangguk gaji sebesar 240 dirham per tahun. Namun, pasukan kavaleri tetap saja diberi gaji dua kali lipat dibandingkan mereka. Sejumlah terobosan Sejarawan Ibnu Khaldun dan AlThabari mengisahkan, saat tampuk kekuasaan di tangan Al-Mutawakil, pasukannya diajari membawa pedang di pinggang, layaknya gaya para pasukan Persia. Saat itu, orang-orang Arab telah terbiasa membawa pedang di punggungnya.

Sang khalifah, memerintahkan pasukan panah membawa pelontar, berpakaian antiapi, dan bertugas melontarkan bahan-bahan mudah terbakar ke area pasukan musuh. Para arsitek pembuat alat pelontar dan pendobrak ditugaskan untuk menemani pasukan di medan pertempuran.

Ada seorang arsitek terkenal bernama Ibn Shabir al-Manjaniqi yang hidup pada abad ke-11, pernah membuat sebuah karya tentang seni peperangan serta teknik peperangan yang diuraikannya secara sangat terperinci. Di sisi lain, Khalifah Harun alRasyid merupakan khalifah pertama memiliki ide pembuatan ambulans.

Ambulans ini digunakan untuk merawat personel pasukan yang terluka saat bertempur di medan peperangan. Ambulans pada masa itu berbentuk gerobak yang ditarik oleh unta. Di dalam gerobak tersebut, terdapat berbagai macam jenis obat untuk mengobati luka-luka para pasukan perang.

Gerakan Zionis, Bagaimana Asal Muasalnya? (3-habis)

Tulisan menarik dapat dibaca lewat olahan Norman G Finkelstein dalam buku The Holocaust Industry. Finkelstein yang kedua orang tuanya lolos dari Ghetto Warsawa dan kamp konsentrasi Nazi menyatakan, Holocaust terbukti menjadi senjata ideologi yang vital. Dengan cara itu, negara dengan kekuatan militer mengagumkan, dengan catatan HAM mengerikan, telah memotret diri sebagai negara 'korban'.

Puluhan museum Holocaust kini tersebar di berbagai negara. Di AS, sekurangnya ada 23 museum. Di Washington DC, misalnya, ada United States Holocaust Memorial Museum yang sempat dikunjungi Republika beberapa tahun lalu. Selain menyajikan film, museum ini memamerkan tumpukan sepatu tua, gerbong kereta, dan ratusan artefak. Keterangan tertulis menyebutkan, barang-barang tersebut adalah peninggalan para korban Holocaust.

Di Jerman, juga terdapat museum Holocaust yang bertengger di pusat keramaian kota Berlin. Museum ini didesain dan dibangun dengan biaya yang tidak sedikit. Museum Holocaust di Berlin berada di bawah tanah. Di permukaan tanah di museum itu terdapat monumen yang terbangun dari batu-batu anti grafiti. Jelas sekali lobi Israel bermain sangat kuat bagi pencitraan dirinya sebagai korban tindak kekerasan.

Istilah anti-Semit dan anti-Zionis selalu dicampuradukkan  kendati di internal Yahudi sendiri ada suara minoritas menentang zionisme. Para ilmuwan Yahudi, juga di masyarakat di kalangan akar rumput menentang gerakan yang cenderung melanggar asas-asas kemanusiaan itu.

"Para penganut paham liberal atau radikal sekalipun tak mampu membendung kebiasaan kaum zionis yang menyamakan anti-Semit dan anti-Zionis," tulis Said. Sejarah penderitaan itulah yang dieksploitasi untuk merobek Palestina. Kini, Laut Mediterania seolah menjadi saksi betapa darah dan air mata seakan berlomba tumpah di tanah Palestina.

Tak heran jika Presiden Iran, Mahmoud Ahmadinejad begitu kuat berupaya untuk menjadikan isu Holocaust tidak disalahgunakan oleh Zionis untuk membolak-balikkan opini. Dia beberapa kali mengungkapkan bahwa Holocauts adalah mitos. Pernyataan ini tidak lain adalah untuk memancing pemikiran agar dunia sadar betapa zionis mengekspolitasi isu tersebut untuk melegalkan aksi arogannya.

Satu pernyataan menarik pernah diungkapkan Ahmadinejad untuk meruntuhkan mitos Holocaust itu. Selain bercerita soal dipenjaranya beberapa peneliti yang mencoba mendalami Holocaust, Ahmadinejad juga sempat mengajukan pertanyaan yang sangat 'mematahkan' argumentasi kaum zionis. "Kalau Holocaust benar terjadi, mengapa warga Palestina yang harus 'mempertanggungjawabkannya'? Semestinya kan Jerman atau Eropa yang harus membayar utang moral atas kejadian itu," kata Ahmadinejad dalam satu wawancara dengan Der Spiegel. (habis)

Gerakan Zionis, Bagaimana Asal Muasalnya? (2)


Arthur John Balfour, mantan perdana menteri Inggris yang juga berperan penting bagi gerakan Zionis.


Seiring munculnya gejolak perlawanan di Palestina, Inggris memutuskan menjauh dari zionisme. Mereka juga melihat lahan yang tersedia tak lagi mencukupi bagi kedatangan kaum Yahudi. Inggris juga menilai telah memenuhi janji pada Deklarasi Balfour. Adolf Hitler menjadi Kanselir Jerman pada 1933 meningkatkan imigrasi kaum Yahudi Jerman ke Palestina. Aksi ini mengundang perlawanan bangsa Arab, namun ditumpas Inggris.

Tapi, kepentingan atas minyak dunia Arab juga membuat Inggris berpikir ulang mengenai zionisme. Pada 1939, Inggris mengeluarkan 'buku putih' yang menyebutkan kebijakan Inggris bukanlah menjadikan Palestina sebagai negara kaum Yahudi. Langkah ini mengundang reaksi kaum zionis. Aksi teror pun mereka lakukan.

Zionis mendirikan Irgun Zvai Leumi yang bertujuan 'melancarkan kampanye teror terhadap populasi Arab'. Pada 1942, Irgun dipimpin Manachem Begin kelak menjadi perdana menteri Israel. Serangan pun mulai diarahkan kepada lambang-lambang kekuasaan Inggris di Timur Tengah. Inggris terdesak. Dukungannya pada zionisme menjadi bumerang. Sementara itu, lobi zionis terhadap Pemerintah AS semakin ditingkatkan, misalnya lewat electoral punishment, menarik dukungan mereka pada pemilu.

Kemenangan kaum zionis, tulis Ovendale, didukung mesin propaganda serta akses media. Kelebihan lainnya adalah dengan menggunakan Holocaust untuk mendulang simpati.Setelah menyerahkan mandat Palestina kepada PBB, pada 1947 Majelis Umum PBB pun melakukan voting pemecahan wilayah Palestina. Zionisme meraih kemenangan lewat Resolusi 181 yang dikenal dengan Partition Plan. Tanah Palestina terbagi tiga: wilayah Arab, wilayah Yahudi, dan Yerusalem yang berstatus di bawah pengawasan internasional.

Partition Plan mendorong kaum zionis untuk mendeklarasikan berdirinya negara Israel, 14 Mei 1948. Pada 1949, pengungsi Palestina yang terusir nyaris mencapai satu juta jiwa. Bagi bangsa Arab, Palestina adalah tanah air mereka. Hingga kini, kedudukan Palestina-Israel tak setara. Palestina hingga kini tetap tidak diakui sebuah negara.

Edward W Said, profesor di Columbia University, AS, yang menulis setidaknya delapan buku mengenai Palestina, mendukung Palestina-Israel hidup berdampingan secara damai asalkan agresi militer dan penindasan terhadap Palestina diakhiri Israel. Meski terbilang moderat, Said menyatakan, zionis ingin menghentikan langkahnya.

Saat penganut Kristen Episkopalian yang lahir di Nazareth, Yerusalem, ini mengunjungi penjara Khiam yang dibangun Israel di Lebanon selatan, dia memotretnya. Esoknya, media Israel dan Barat memuat Said sebagai 'teroris pelempar batu, pria pecinta kekerasan, dan lain-lain'. Dia menilai, tindakan itu sebagai 'propaganda zionis yang penuh permusuhan'.

Pada 2001, tulis Said, "Israel menyewa pengacara AS keturunan Israel untuk 'menyelidiki' 10 tahun pertama kehidupan saya dan 'membuktikan' saya tidak pernah tinggal di sana meski lahir di Yerusalem. Mungkin, ini menunjukkan saya pembohong yang keliru menafsirkan 'hak untuk pulang'. Padahal, 'hak untuk pulang' memungkinkan kaum Yahudi dari mana saja datang dan tinggal di Israel meski tak pernah menginjakkan kaki di Israel."

Sejauh ini, Holocaust menjadi senjata kampanye yang ampuh bagi kaum zionis. Media tampaknya menjadi tulang punggungnya. Seperti diakui Said dalam bukunya, The Question of Palestine, yang menyoroti siaran televisi NBC musim semi 1978. "... Sebagian program tersebut ditujukan sebagai justifikasi dari zionisme--meskipun pada saat yang nyaris bersamaan, pasukan Israel di Lebanon melakukan penghancuran, dengan ribuan korban nyawa warga sipil, dan penderitaan yang tak terucapkan. Namun, hanya segelintir wartawan yang berani menggambarkan aksi itu mirip penghancuran yang dilakukan AS di Vietnam." (bersambung)

13 November 2010

Gerakan Zionis, Bagaimana Asal Muasalnya? (1)

Kepulan asap mesiu membubung tinggi di udara Gaza. Darah terus tertumpah. Seolah tak dapat dipercaya inilah tanah yang dipaparkan dalam kisah para nabi. Dalam jurnal Historian yang terbit tahun 2009, Ritchie Ovendale memaparkan asal muasal konflik Arab-Israel.

Mantan profesor politik internasional Universitas Wales, Inggris, ini menyatakan, sikap anti-Semit sebagai istilah yang muncul pada 1860 di Eropa menjadi cikal bakal pergerakan kaum Yahudi. Di Rusia, sikap anti-Semit ini disebut pogroms. Periode Dreyfus menandai imigrasi Yahudi Eropa, kemudian menetap di Kanada, Inggris, Australia, dan Afrika Selatan.

Sebagian lagi berimigrasi ke wilayah Kekhalifahan Utsmaniyyah, yakni Palestina. Jumlah terbesarnya mendarat di AS. Ide 'Tanah Air' bagi kaum Yahudi digelindingkan pertama kali oleh Leon Pinsker pada 1882 lewat buku Auto-Emancipation. Maknanya dipahami sebagai 'pendirian kembali' tanah air Yahudi di Palestina atau Eretz-Israel.

Adapun kata zionis pertama kali digunakan Nathan Birnbaum dalam artikel pada 1886. Secara politis, zionisme diadopsi Theodore Herzl dalam tulisannya, Der Judenstaat (Negeri Kaum Yahudi), yang terbit di Wina, Austria, pada 1896. Herzl memiliki dua pilihan lokasi tanah air, yaitu Argentina atau Palestina.

Argentina, menurut Herzl, punya kondisi alam yang kaya, wilayah luas, populasi sedikit, dan cuaca sedang. Tapi, pilihan kemudian jatuh ke Palestina, bersandar pada Kitab Perjanjian Lama sebagai tanah yang dijanjikan (the promised land).

Kongres zionis pertama di Basel pada 1897 yang diikuti manuver taktis Max Nordau mengubah istilah tanah air ini menjadi heimmstatte, yang diadopsi sebagai sinonim negara. Setelah itu, muncullah World Zionist Organisation, bendera negara, Hatiqva sebagai lagu kebangsaan, dan Jewish National Fund.

Herzl mengembuskan napas terakhir pada 1904. Ia bak mitos yang diagung-agungkan pendukung zionisme. Pada akhir konferensi di Basel, ia mencatat dalam diarinya bahwa di Basel, ia berhasil mendirikan negara Yahudi. Setengah abad kemudian, orang menyadari ambisinya menjadi kenyataan.

Penerus Herzl, Chaim Weizzman, tinggal di Manchester, Inggris. Pada 1906, ia melakukan pendekatan ke berbagai pihak, termasuk Arthur John Balfour. Meski sudah berstatus mantan perdana menteri, Balfour masih berada dalam lingkaran kekuasaan Inggris. Saat itu, populasi Yahudi di Palestina belum mencapai 10 persen dibandingkan bangsa Arab.

Pada 1917, Kabinet Perang Inggris mengizinkan Balfour yang saat itu menteri luar negeri memberikan surat simpati kepada tujuan zionisme. Surat yang dikenal sebagai Deklarasi Balfour ini menyebutkan, "Pemerintahan yang mulia bersimpati bagi berdirinya sebuah national home di Palestina bagi bangsa Yahudi ...."

Di hadapan Kabinet Perang, Balfour berharap mendulang simpati sehingga populasi Yahudi di Rusia dan AS akan mendesak pemerintah mereka untuk mendukung Inggris. Dukungan ini akan membantu propaganda di kedua negara agar mendukung Inggris memenangkan Perang Dunia I. Lobi zionis, terutama di AS, amat kuat.

Namun, pada 1919, dukungan pada zionisme di Inggris makin melemah. Banyak pendukung zionisme menyadari bahwa tujuan mereka adalah mendirikan negara di Palestina. Sebutan national home dalam Deklarasi Balfour diterjemahkan menjadi negara. Imigrasi pun terus dimobilisasi. (bersambung)

Ibn Arabi Pendukung Pluralisme Agama, Benarkah?

Meskipun lebih dikenal sebagai tokoh Sufi, Ibn ‘Arabi juga kampium dalam studi agama-agama. Ia bernama lengkap Abu Bakr Muhammad ibn al‘Arabi al-Hatimi al-Tai, asal Murcia, Spanyol. Ia lahir tanggal 17 Ramadhan 560 H/28 Juli 1165 dan meninggal pada 16 November 1240 bertepatan tanggal 22 Rabiul Akhir 638 pada usia tujuh puluh tahun.

Oleh para pengikutnya, Ibn Arabi diberi julukan ”Syaikh al-Akbar” (Sang Mahaguru) atau”Muhyiddin” (”Sang Penghidup Agama”). Ayahnya adalah pegawai penguasa Murcia, Spanyol. Ketika Ibn ’Arabi berusia tujuh tahun, Murcia ditaklukkan oleh Dinasti al Muwahiddun (al-Mohad) sehingga ayahnya membawa pergi keluarganya ke Sevilla.

Pada tahun 620/1233, Ibn ’Arabi menetap secara permanen di Damaskus, tempat sejumlah muridnya, termasuk al-Qunawi yang menemaninya sampai akhir hayat. Selama periode tersebut, penguasa Damaskus dari Dinasti Ayyubiyah, Muzhaffar al-Din merupakan salah seorang muridnya. Ibn ‘Arabi wafat di Damaskus pada 16 November 1240 bertepatan tanggal 22 Rabiul Akhir 638 pada usia tujuh puluh tahun.

Ibn ‘Arabi telah menulis 289 buku dan risalah. Bahkan menurut Abdurrahman Jami, ia telah menulis 500 buku dan risalah. Sedangkan menurut al-Sya’rani, karya Ibn Arabi berjumlah 400 buah. Di antara karya Ibn Arabi yang paling terkenal adalah al-Futûhat al-Makkiyyah, Fushûshul Hikam, dan Turjumân al-Asywâq.

Beberapa dasawarsa terakhir Ibn ‘Arabi oleh sebagian kalangan sering diklaim sebagai pelopor paham Pluralisme Agama. Dr Syamsuddin Arif menyebut, nama Ibn ‘Arabi dicatut dan dijadikan bemper untuk membenarkan konsep ‘agama perennial’ atau religio perennis yang dipopulerkan oleh Frithjof Schuon, Seyyed Hossein Nasr dan William C Chittick dalam tulisan-tulisan mereka.

Padahal Ibn ‘Arabi tegas menyatakan bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang sah di dalam pandangan Allah SWT. Setelah Nabi Muhammad SAW diutus, maka pengikut agama-agama para Nabi sebelumnya, wajib beriman kepada Nabi Muhammad SAW dan mengikuti syariatnya. Sebab, dengan kedatangan sang Nabi terakhir, maka syariat agama-agama sebelumnya otomatis tidak berlaku lagi.

Dr Mohd Sani bin Badrun, alumnus ISTAC-IIUM, dalam tesisnya berjudul “Ibn al-‘Arabi’s Conception of Religion”, menegaskan bahwa menurut Ibn Arabi, syariat para Nabi terikat dengan periode tertentu, yang akhirnya terhapuskan oleh syariat Nabi sesudahnya. Hanya Alquran, menurutnya, yang tidak terhapuskan. Bahkan Alquran menghapuskan syariat yang diajarkan oleh Kitab-kitab sebelumnya. Karena itu, syariat yang berlaku bagi masyarakat, adalah syariat yang dibawa oleh Nabi terakhir.

Salah satu kesimpulan penting dari teori agama-agama Ibn Arabi yang diteliti oleh Dr Mohd Sani bin Badrun adalah: “Kaum Yahudi wajib mengimani kenabian Isa AS dan Muhammad SAW. Kaum Kristen juga wajib beriman kepada kenabian Muhammad SAW dan Alquran. Jika mereka menolaknya, maka mereka menjadi kafir.” Bahkan, Ibn Arabi pun berpendapat, para pemuka Yahudi dan Kristen sebenarnya telah mengetahui kebenaran Muhammad SAW, tetapi mereka tidak mau mengimaninya karena berbagai faktor, seperti karena kesombongan dan kedengkian.

Menurut Ibn ‘Arabi, sebagaimana dikutip oleh Dr Mohd Sani bin Badrun, tanda paling nyata kebenaran Muhammad saw adalah Alquran, yang diturunkan dalam bahasa Arab yang secara mutlak tidak dapat ditiru oleh orang-orang Arab sendiri (al-Futûhat, 3:145). Bahkan beliau bertanya secara retoris, “Apalagi tanda yang lebih bermukjizat selain daripada Alquran?” (al-Futûhat, 4:526). Alquran juga mendatangkan apa yang sebagiannya telah disampaikan oleh kitab-kitab terdahulu yang Muhammad tidak tahu isi kandungannya melainkan melalui dari Alquran.

Menurut Sani, Ibn ‘Arabi justru meyakini bahwa orang-orang Yahudi, Nasrani, ahli-ahli kitab (ashab al-kutub) pasti tahu bahwa Alquran adalah bukti dari Allah akan kebenaran Muhammad (al-Futûhat, 3:145). Oleh karena mereka yang mendustakan kebenaran Nabi Muhammad bakal diazab Tuhan karena Ia telah menurunkan Alkitab dengan haq dan sesungguhnya orang-orang yang berselisih itu benar-benar dalam penyimpangan yang jauh (al-Futûhat, 4:526).

Ibn ‘Arabi juga menegaskan bahwa para pemimpin ahli kitab telah menyesatkan pengikut mereka dengan memerintahkan apa yang tidak pernah dikatakan Allah, bahkan menyatakan kepada pengikutnya bahwa “ini dari Tuhan”. Seperti dalam Alquran, Ibn ‘Arabi mengumpamakan para pemimpin ahli kitab itu seperti orang yang diberi kitab tapi dilemparkan ke punggung mereka dan menjualnya dengan harga yang murah.

Mereka berbuat demikian karena sikap sombong (uluww). Sebagai fakta sejarah, ini cukup untuk menjadikan agama ahli kitab sebagai ‘agama hawa nafsu’ pemimpin mereka yang menyalahi kandungan Kitab mereka yang asal (al-Futûhat, 1:303). Menurut Ibn ‘Arabi, ‘agama hawa nafsu’ ini terlembagakan di kalangan Yahudi dan Nasrani yang akibatnya kebenaran Nabi Muhammad SAW tersembunyi dari pengikut ahli kitab.

Karena itu, dengan membaca karya-karya Ibn ‘Arabi secara serius, sangat keliru jika memasukkan sang tokoh ini ke dalam barisan Transendentalis, yang memandang bahwa semua agama sebenarnya jalan yang sama-sama sah menuju Tuhan dan akan bertemu pada level esoteris. Menurut Dr Sani, kekacauan terbesar soal pemikiran keagamaan Ibn Arabi muncul dari karya William Chittick, Imaginal World: Ibn al‘Arabi and the Problem of Religious Diversity. Namun masih banyak kaum Muslimin yang salah dalam membaca pemikiran Ibn ‘Arabi karena mengikuti pemikiran pemikir Barat tersebut. (berbagai sumber)

Bagaimana Sastra dan Musik Mewarnai Sejarah Islam?


ilustrasi

Seni telah lama berkembang. Bidang ini juga menjadi bagian dalam perkembangan peradaban Islam. Salah satunya adalah penulisan sastra. Banyak sastrawan bermunculan dengan berbagai karya mereka. Di sisi lain, seni musik pun mendapatkan ruang dan para musisi diberi kesempatan untuk mengembangkan potensinya.

Sastra mulai berkembang saat pemerintahan Dinasti Abbasiyah. Puncaknya, termasuk dalam perdagangan, terjadi pada masa kepemimpinan Khalifah Harun Al Rasyid dan putranya, Al Ma’mun. Para sastrawan masa itu banyak melahirkan karya besar. Bahkan, mereka juga memberikan pengaruh besar terhadap perkembangan sastra pada masa pencerahan di Eropa.

Philip K Hitti dalam bukunya History of The Arabs mengatakan, pada masa itu sastra mulai dikembangkan oleh Abu Uthman Umar bin Bahr Al Jahiz. Ia mendapatkan julukan sebagai guru sastrawan Baghdad. Al Jahiz dikenal dengan karyanya yang berjudul Kitab Al Hayawan atau Kitab Hewan. Ini merupakan sebuah antologi anekdot binatang, perpaduan rasa ingin tahu antara fakta dan fiksi. Ia pun menulis karya lain, Kitab Al Bukhala, yang merupakan kajian tentang karakter manusia.

Perkembangan sastra ini kemudian terus berlanjut hingga mencapai masa puncaknya pada sekitar abad ke-10.
Bermunculan nama-nama sastrawan yang memiliki pengaruh besar, yaitu Badi Al Zaman Al Hamadhani, Al Tsa'alibi dari Naisabur, dan Al Hariri. Al Hamadhani dikenal sebagai pencipta maqamat, sejenis anekdot yang isinya dikesampingkan oleh penulisnya untuk mengedepankan kemampuan puitisnya. Namun, dari sekitar 400 yang ditulisnya, hanya ada 52 yang masih bisa ditelusuri jejaknya.

Seorang sastrawan lainnya, Al Hariri, lebih jauh mengembangkan maqamat. Ia menjadikan karya-karya Al Hamadhani sebagai model. Melalui maqamat ini, baik Al Hamadhani dan Al Hariri, menyajikan anekdot sebagai alat untuk menyamarkan kritik-kritik sosial terhadap kondisi yang ada di tengah masyarakat.

Menurut Philip K Hitti, sebelum maqamat berkembang, ada sastrawan yang merupakan keturunan langsung Marwan, khalifah terakhir Dinasti Abbasiyah. Sastrawan itu bernama Abu Al Faraj Al Ishbahani. Ia lebih dikenal dengan panggilan Al Ishfahani. Abu Al Faraj tinggal di Aleppo, Suriah, untuk menyelesaikan karya besarnya, Kitab Al Aghni. Ini merupakan sebuah warisan puisi dan sastra yang berharga. Buku ini juga dianggap sebagai sumber utama untuk mengkaji peradaban Islam.

Sejarawan terkenal, Ibnu Khaldun, menyebut karya Abu Al Faraj sebagai catatan resmi bangsa Arab. Bahkan, saking berharganya karya itu, sejumlah figur ternama dalam pemerintahan, seperti Al Hakam dari Andalusia, mengirimkan seribu keping emas kepada Abu Al Faraj sebagai hadiah. Sebelum pertengahan abad ke-10, draf pertama dari sebuah karya yang kemudian dikenal dengan Alf Laylah wa Laylah (Seribu Satu Malam) disusun di Irak. Acuan utama penulisan draf ini dipersiapkan oleh Al Jahsyiyari.

Awalnya, ini merupakan karya Persia klasik, Hazar Afsana. Karya itu berisi beberapa kisah yang berasal dari India. Lalu, Al Jahsyiyari menambahkan kisah-kisah lain dari penutur lokal. Sastrawan lain yang kemudian muncul pada masa Abbasiyah adalah Abu Al Tayyib Ahmad Al Mutanabbi. Banyak kalangan menganggap bahwa ia merupakan sastrawan terbesar.

Abu al-’Ala al-Ma’arri yang hidup antara 973 hingga 1057 Masehi merupakan sosok lainnya. Ia menjadi salah satu rujukan para sarjana Barat. Puisi-puisi yang ia ciptakan menunjukkan adanya perasaan pesimis dan skeptisme pada zaman ia hidup. Perkembangan sastra ini juga memberikan pengaruh kepada Spanyol.

Dalam konteks ini, tak ada penulis Barat yang mengungkapkan ketertarikan Eropa terhadap sastra Arab dalam bentuk yang lebih dramatis dan puitis dibandingkan penyair asal Inggris William Shakespeare. Hal menarik yang diciptakan Shakespeare adalah Pangeran Maroko yang merupakan salah satu tokoh agung dalam The Merchant of Venice. Pangeran Maroko dibuat dengan meniru Sultan Ahmed al-Mansur yang agung yang menunjukkan martabat kerajaan.

Pada masa pemerintahan Islam, musik juga mengalami perkembangan. Para penguasa pemerintahan Islam di Baghdad bahkan pergi ke Kordoba untuk memberikan dukungan kepada musisi dan perkembangan musik di sana. Alat musik pun banyak bermunculan. Bahkan, berkembang di luar wilayah Islam.

Misalnya oud, yang berbentuk setengah buah pir, berisi 12 string. Di Italia, oud menjadi il luto. Di Jerman, alat musik menjadi laute. Di Prancis, alat ini menjadi le luth. Di Inggris, ini menjadi lute. Rebab, yang merupakan salah satu bentuk dasar biola, menyebar dari Spanyol ke Eropa dengan nama rebec.

Rebana merupakan instrumen musik Arab yang juga diadaptasi oleh dunia Barat. Rebana terbuat dari kayu dan per kamen. Hingga saat ini, rebana masih digunakan di berbagai belahan dunia saat bermusik. Perkembangan musik dan alat musik ini ditopang pula oleh kegiatan yang biasanya diselenggarakan di istana.

Para Perempuan Cemerlang dalam Peradaban Islam

Panggung peradaban Islam, tak hanya dominasi laki-laki. Perempuan, muncul pula memberikan kontribusi. Mereka, menunjukkan kecemerlangan pemikirannya dalam beragam bidang. Hal ini, telah bermula sejak zaman Nabi Muhammad dan para sahabatnya saat merintis masyarakat berperadaban.

Salim T S Al Hassani, profesor emiritus di University of Manchester, Inggris, dalam tulisannya, 'Women's Contribution to Classical Islamic Civilisation: Science, Medicine and Politics', menyatakan, selain dalam bidang agama mereka juga berkiprah di bidang ilmu pengetahuan. Sejumlah perempuan memiliki kemampuan dalam bidang medis.

Kemunculan mereka terkadang dipicu oleh suatu peristiwa peperangan yang tak terelakkan. Di antara mereka ada Rufayda Al Aslamiyyah, yang mengawali kariernya merawat para tentara terluka. Ada pula nama-nama lainnya, yang menguasai matematika.

Rufayda al-Aslamiyyah
Perempuan ini sering pula dipanggil dengan nama Rufayda binti Sa'ad. Ia dianggap sebagai perawat pertama dalam lintasan sejarah Islam, yang hidup pada zaman Nabi Muhammad.

Dalam Perang Badar pada 13 Maret 624 Hijriyah, ia bertugas merawat mereka yang terluka dan mengurus personel yang meninggal dunia.

Rufayda belajar pengetahuan medis dari ayahnya, Saad Al Aslamy, yang juga seorang dokter. Ia sering membantu ayahnya mengobati pasien. Pada akhirnya, ia yang sarat pengalaman mengabdikan diri dalam bidang yang dikuasainya. Ia mewujud menjadi seseorang yang andal dalam bidangnya.

Dalam praktiknya, ia sering menjalankan keahliannya di rumah sakit lapangan berbentuk sebuah tenda. Saat itu, Nabi Muhammad memerintahkan untuk membawa anggota pasukan yang terluka ke rumah sakit lapangan tersebut. Selain kepandaian dalam bidang medis, Rufayda dikenal sebagai sosok yang empatik.

Tak hanya itu, Rufayda merupakan seorang organisatoris yang baik pula. Ia aktif mengajarkan keahliannya kepada perempuan lainnya dan menjadi seorang pekerja sosial. Biasanya, ia membantu memecahkan masalah-masalah sosial yang terkait dengan penyakit.

Shifa binti Abdullah
Lalu, muncul pula nama lain, Al Shifa binti Abdullah al Qurashiyah al'Adawiyah. Nama lain yang lekat pada dirinya adalah Laila. Kepiawaianya dalam bidang medis ditopang oleh kemampuannya dalam membaca. Sebab, saat itu banyak orang buta huruf dan tentu tak bisa mengakses pengetahuan.

Layaknya Rufayda, Al Shifa tak pelit dengan ilmu yang dimilikinya. Ia menebar ilmu medis yang ia kuasainya, meski dalam hal yang sangat sederhana. Misalnya, pengobatan terhadap gigitan semut. Kemudian, Rasulullah SAW memintanya untuk mengajarkan hal itu kepada perempuan lainnya.

Al Shifa pun multitalenta. Ia tak hanya dominan pada bidang medis. Namun, ia pun sangat terampil dalam administrasi publik dan dikenal dengan kebijaksanaannya.

Nusayba binti Harith
Nusayba binti Harith Al Ansari hadir sebagai sosok lain. Ia merawat para prajurit terluka. Ia juga seorang tabib khitan. Masa pun berjalan. Pada abad ke-15, seorang ahli bedah dari Turki, Serefeddin Sabuncuoglu (1385-1468), penulis karya tentang bedah, Cerrahiyyetu'l-Haniyye. Dia tak ragu menggambarkan secara terinci mengenai prosedur gineologi atau menggambarkan perawatan terhadap pasien perempuan.

Bukan hanya menggambarkan, namun Sabuncuoglu pun bekerja dengan para ahli bedah perempuan. Saat itu, dikabarkan rekan-rekannya di dunia Barat, malah menentang bekerja sama dengan para perempuan. Bahkan, dalam bukunya, ia menggambarkan bagaimana para ahli bedah perempuan menjalankan pekerjaannya.

Sutayta Al-Mahamli
Pakar matematika ini hidup pada paruh kedua abad ke-10. Ia berasal dari keluarga berpendidikan tinggi di Baghdad, Irak. Ayahnya, Abu Abdallah Al Hussein, menjabat sebagai seorang hakim yang juga penulis sejumlah buku, termasuk Kitab fi Al Fiqh dan Salat Al'idayn.

Sang ayah tak memandang sebelah mata Sutayta yang berjenis kelamin perempuan itu. Ia mengajarkan ilmu pengetahuan kepada anaknya, bahkan mendatangkan sejumlah guru. Banyak hal yang diajarkan namun Sutayta terpikat hatinya pada matematika.

Sejumlah cendekiawan yang pernah menjadi gurunya adalah Abu Hamza bin Qasim, Omar bin Abdul-'Aziz Al Hashimi, Ismail bin Al Abbas Al Warraq, dan AbdulAlghafir bin Salamah Al Homsi. Sejumlah sejarawan, Ibnu Al Jawzi, Ibnu Al Khatib Baghdadi, dan Ibnu Katsir, memuji kemampuan Sutayta dalam matematika. Sutayta sangat menguasai hisab atau aritmatika dan perhitungan waris.

Kedua cabang matematika tersebut berkembang dengan baik di zamannya. Dalam aljabar, ia berhasil menemukan sebuah persamaan yang pada masa selanjutnya, sering dikutip oleh pakar matematika lainnya.

Bidang ilmu lain yang juga dikuasainya adalah sastra Arab, ilmu hadis, dan hukum. Setelah lama bergelut dengan angka dan memberikan kontribusinya dalam bangunan peradaban Islam, akhirnya Allah SWT memanggilnya. Ia mengembuskan napas terakhir pada 987 Masehi.

Labana dari Kordoba
Pada masa pemerintahan Islam, Kordoba menjadi salah satu pusat peradaban. Kota ini, bahkan menjadi salah satu lumbung orang-orang berotak cerdas. Salah satunya adalah perempuan yang bernama Labana. Matematika menjadi bidang kajian yang ia kuasai.

Labana dikenal dengan kemampuannya menyelesaikan beragam masalah matematika yang sangat pelik, baik aritmatika, geometri, maupun aljabar. Saat itu, tak banyak ilmuwan laki-laki yang mampu memecahkan masalah sepelik itu. Melalui kecerdasannya, ia menuai buah manis. Ia menjadi pegawai pemerintah.

Labana menjadi sekretaris Khalifah Al Hakam II dari Dinasti Bani Ummayah. Jatuhnya jabatan sekretaris ke tangan Labana, menunjukkan khalifah tak mempetimbangkan jenis kelamin. Namun, ia lebih mementingkan kepandaian dan kemampuan yang dimiliki Labana.

Pada masa itu, sejumlah perempuan bernasib sama dengan Labana. Para perempuan yang menguasai suatu bidang, akan mendapatkan penghargaan tinggi dari pemerintah. Kalau memang bersedia, para perempuan itu mendapatkan posisi di pemerintahan.

24 October 2010

Lihatlah Potret Madrasah di Era Turki Usmani

Pendirian madrasah di masa Turki Usmani, merupakan kelanjutan keberadaan madrasah tradisional yang ada sebelumnya. Bedanya, madrasah yang dibangun pada masa Turki Usmani telah lebih maju karena memiliki kurikulum sendiri. Tak hanya di Istanbul, saat itu madrasah juga didirikan di Edirne, Beograd, dan Sofia dan menjadi tulang punggung lahirnya para individu terpelajar.

Madrasah pun seakan menjadi penjaga kesetaraan. Saat itu, madrasah memberikan kesempatan yang sama kepada semua individu untuk mendapatkan akses pendidikan. Madrasah juga didirikan dengan tujuan menjadi bagian integral dari kehidupan sosial. Terutama, untuk memenuhi kebutuhan intelektual masyarakat.

Madrasah sebagai pusat pendidikan dan kesetaraan ini terus menyebar seiring dengan kian luasnya kekuasaan Turki Usmani. Saat menaklukkan sebuah wilayah baru, segera dibangun masjid dan madrasah. Secara struktural, madrasah-madrasah itu merupakan bagian dari sistem wakaf dan otonom secara finansial.

Kegiatan madrasah-madrasah juga berada di bawah pengawasan negara. Madrasah tidak hanya didirikan oleh sultan dan anggota keluarga kerajaan. Namun, banyak madrasah yang didirikan oleh para wazir, negarawan, dan cendekiawan.

Pada periode sebelum berkuasanya Sultan Mehmed II, pendidikan di madrasah ditekankan pada studi agama. Namun, selanjutnya madrasah juga memasukkan bahan ajaran lainnya selain agama. Maka, kemudian muncul daftar pelajaran seperti ilmu logika, filsafat, dan matematika mulai diajarkan oleh para guru di berbagai madrasah. Di madrasah tertentu juga diajarkan ilmu kedokteran dan astronomi. Ini memantik pendirian rumah sakit dan observatorium.


Selama abad ke-19, masih terdapat 166 madrasah yang aktif di Istanbul dengan 5.369 murid. Namun, pada 1924, setelah berdirinya Republik Turki, setelah revolusi pendidikan, madrasah Kekaisaran Turki Usmani dihapuskan fungsinya.

Warisan Islam di Sudut Valencia

Layaknya di kota-kota Islam lainnya, tradisi ilmiah berkembang pesat di Valencia. Tak hanya di bidang ilmu pasti, tetapi ilmu sosial, seperti sastra dan sejarah. Salah satu indikasinya, ada tradisi bersyair dan bersajak.

Ada pula kompetisi pembuatan puisi-puisi indah, salah satunya diadakan pada 1474 Masehi. Sebanyak 40 puisi yang digubah oleh para pelajar dipertandingkan. Lalu, puisi itu dicetak pada kertas dan dibukukan untuk menjadi rujukan dalam pembelajaran puisi.

Dalam bidang ilmu pengetahuan muncul sejumlah nama, misalnya Ibnu Jubair. Ia menuliskan sejarah Islam dan kehidupan Muslim, baik yang ada di Spanyol maupun di wilayah Islam lainnya. Di antaranya, perjalanannya dari Spanyol ke Makkah hingga ia kembali lagi.

Ada pula Arnau of Villanova. Ia merupakan penduduk Valencia, tak lama setelah kota tersebut di bawah kekuasaan Islam. Ia menguasai bahasa Arab, dan antusiasmenya terhadap kedokteran Islam membuatnya menerjemahkan karya-karya dokter Muslim ternama.

Villanova menerjemahkan Risala fi Maarifat Quwa'l Adwiya al-Murakkaba yang ditulis Al Kindi ke dalam bahasa Latin, De Medicinarum Compositarum Gradibus, juga karya Qusta ibn Luqa, De Physics Ligatures, dan karya Ibnu Sina, De Viribus Cordi.

Tumbuhnya tradisi ilmiah di Valencia telah membuat kota ini memiliki peran cukup besar dalam mentransfer ilmu pengetahuan ke wilayah Eropa. Di sisi lain, pemerintahan Islam di Valencia juga telah melahirkan terobosan dalam tata pemerintahan.

Di antaranya, lahirnya sebuah dewan legislatif dan hakim yang bertindak sebagai inspektur atau pengawas pasar dan masyarakat. Mereka bertindak pula sebagai pembela konsumen. Dalam hukum maritim telah ada pengadilan otonom.

Islam di Indonesia Bisa Jadi Model Dunia

Ulama Australia, Syekh Burhan Mehtar, menyatakan Islam di Indonesia layak menjadi contoh bagi dunia. Alasannya, ajaran Islam dinilai telah menjadi sumber bagi kehidupan banyak Muslim di negara ini. Mereka dikenal ramah, sederhana, penuh cinta kasih dan berusaha mempraktikkan kecintaan pada Quran dan Sunnah melalui kegiatan sehari-hari.

‘’Saya pikir orang (Islam) Indonesia memang seperti yang kita baca dan dengar. Islam di sini tersebar dengan kebaikan, cinta, kesederhanaan dan semoga bisa terbesar di dunia sebagai model,’’ katanya kepada Republika usai memberikan ceramah di Masjid Baitul Ihsan Bank Indonesia, Senin, (12/4).

Burhan menyebutkan, dari beberapa kunjungan ke beberapa daerah dalam beberapa hari lalu, masyarakat Muslim di Indonesia dinilai cukup baik dalam menerapkan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari. Hal itu ditunjukkan dengan banyaknya Muslim di sejumlah daerah yang berusaha memenuhi masjid untuk melaksanakan ibadah shalat Shubuh.

‘’Ketika saya di Medan, saya datang ke mesjid-mesjid, masya Allah saat subuh 500-1000 orang hadir. Mereka juga rajin membaca Quran. Ada kecintaan pada Qur’an,’’ katanya.

Menurut Burhan, masyarakat di Australia dan dunia perlu sering berkunjung ke Indonesia. Hal itu penting dilakukan untuk mengenal lebih jauh tentang Islam dan keindahahan kepribadian Muslim di negara ini. ‘’Karena itu, kunjungan ini akan menjadi satu dari ratusan kunjungan dakwah ke Indonesia,’’ katanya.

Pendapat tidak jauh berbeda diungkapkan ulama asal Madinah, Arab Saudi, Syekh Muhammad Saad Nomani. Menurutnya, cukup banyak masyarakat Indonesian yang berusaha mengamalkan ajaran Islam dan kecintaan pada Quran dan Sunnah. Ungkapan Syekh berdasarkan hasil pengamatan dari kunjungan ke beberapa daerah di Indonesia. ‘

’Kami menyaksikan banyak orang Islam di sini yang mencintai Quran. Ini merupakan negara yang baik terlebih sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia,’’ kata ulama keturunan Imam Abu Hanifah ini

Mengenal Warisan Islam di Kota Madrid

Semula, Madrid bernama Madjrit. Nama ini disematkan oleh umat Islam pada masa kekuasaan Dinasti Umayyah. Merujuk pada Oliver Asin, seorang sejarawan, Madjrit ini pada mulanya adalah sebuah kota kecil di perbatasan yang didirikan oleh Dinasti Umayyah pada abad ke-9.

Dalam bibliografi karya Ibnu Hayyan, disebutkan kebanyakan yang menjadi gubernur Kota Madrid pada masa pemerintahan Dinasti Umayyah adalah anggota keluarga Bani Salim dari Berber. Al-Himrayi mengatakan, pada saat itu Madrid juga memiliki sebuah benteng. Ia mengatakan, benteng ini dibangun oleh Amir Umayyah dari Cordoba bernama Muhammad I yang berkuasa antara tahun 852 hingga 886 Masehi.

Benteng itu sangat kuat dan tak mudah ditembus musuh. Saat itu, Madrid hanya sebuah kota kecil, namun memiliki kegiatan ekonomi yang cukup bagus. Misalnya, ada industri pembuatan sepatu bersol gabus, yang semula dikembangkan oleh orang-orang Romawi. Juga industri kayu ek.

Di bawah pemerintahan Islam, teknik pembuatan sepatu bersol gabus diintensifkan dan didiversifikasi sehingga sepatu bersol gabus menjadi hal umum di Spanyol. Bahkan pada masa itu, sepatu bersol gabus merupakan komoditas pokok ekspor.

Warisan lain umat Islam di Kota Madrid adalah penggunaan qanat, yaitu terowongan bawah tanah yang digunakan untuk tujuan irigasi. Di sana, juga dibangun sistem penyedia an air untuk seluruh wilayah kota tersebut.

Meski pernah menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan, tak banyak lagi karya-karya ilmu pengetahuan karena banyak yang hancur akibat peperangan. Saat Philip II pada abad ke-16 mendirikan perpustakaan Escorial, ia tak banyak menemukan buku berbahasa Arab. Di Escorial, yang kemudian menjadi perpustakaan terbesar di Spanyol pada abad ke-17, hanya 4.000 judul buku Islam yang masih selamat dari penghancuran buku terburuk dalam sejarah Spanyol.

Potret Gemilang Islam di Era Abbasiyah

Tak hanya terobosan dalam tata pemerintahan, pada masa Abbasiyah, tradisi keilmuan berkembang pula. Salah satu yang terlihat jelas adalah metode penulisan sejarah. Philip K Hitti dalam History of the Arabs menyatakan, pada masa Abbasiyah, metode penulisan sejarah telah matang untuk melahirkan karya sejarah formal.

Pada masa sebelumnya, penulisan sejarah dilakukan berdasarkan legenda dan anekdot pada masa pra-Islam. Pun, didasarkan pada tradisi keagamaan yang berkisar pada nama dan kehidupan Nabi. Namun, saat Dinasti Abbasiyah berkuasa, penulisan sejarah mengalami kemajuan. Penulisan dilekatkan pada legenda, tradisi, biografi, geneologi, dan narasi.

Sejarah juga diriwayatkan melalui penuturan para saksi atau orang yang sezaman dengan penulis. Ini dilakukan melalui sejumlah mata rantai para saksi sejarah. Metode ini dinilai telah menjamin keakuratan data bahkan hingga penanggalan kejadian, meliputi bulan dan hari kejadian.

Sejarawan formal pertama pada masa itu adalah Ibn Qutaybah yang bernama lengkap Muhammad ibn Muslim Al Dinawari. Ibn Qutaybah meninggal dunia di Baghdad pada 889 Masehi setelah menuntaskan penulisan bukunya, Kitab Al Maarif atau Buku Pengetahuan.

Sejarawan ternama lainnya yang sezaman dengannya adalah Abu Hanifah Ahmad ibn Dawud Al Dinawari. Ia tinggal di Isfahan. Karya utama Al Dinawari adalah Al Akhbar Al Thiwal (Cerita Panjang), yang merupakan sejarah dunia dari sudut pandang Persia. Di kemudian hari, muncul nama Abu Al Hasan Ali Al Mas’udi.

Di kalangan sejarawan Muslim, ia mendapat julukan Herodotus bangsa Arab. Sebab, Al Mas’udi dianggap sekelas dengan sejarawan Yunani, Herodotus yang hidup pada abad ke-5 Masehi. Al Mas’udi oleh para pemikir dianggap telah memprakarsai metode tematis dalam penulisan karya-karya sejarah.

Metode yang Al Mas’udi gunakan tidak seperti metode yang digunakan sejarawan ternama, Al Thabari, yang dalam menyusun karya sejarah berdasarkan tahun kejadian. Dalam menulis, ia mengelompokkan berbagai peristiwa sejarah berdasarkan dinasti, raja, serta masyarakatnya.

Metode tersebut kemudian diikuti oleh para ahli sejarah lain, seperti Ibn Khaldun. Al Mas’udi juga merupakan orang yang pertama kali menggunakan anekdot-anekdot sejarah. Ia berkelana mencari ilmu hingga ke Baghdad, Asia, dan Zanzibar. Pada dekade terakhir kehidupannya, Al Mas’udi berada di Suriah dan Mesir untuk menulis 30 jilid buku yang berjudul Muruj al Dzahab wa Ma’adin al Jawhar (Padang Emas dan Tambang Batu Mulia). Ini karya geografis bergaya ensiklopedia.

Pada bagian awal karyanya, Al Mas’udi mengatakan daerah-daerah yang tandus pada mulanya adalah lautan dan daerah yang sekarang lautan pada mulanya adalah daerah tandus. Menurut dia, hal tersebut terjadi karena kekuatan alam. Sedangkan dalam karyanya yang berjudul Al Tanbih wa Al Isyraf, Al Mas’udi mengungkapkan pemikirannya tentang filsafat sejarah dan alam. Ia juga mengutip sejumlah pendapat ahli filsafat pada masa itu.

12 October 2010

Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy

1. Riwayat Hidup
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy (ulama) dilahirkan pada tanggal 10 Maret 1904 di Lhokseumawe, Aceh Utara, Indonesia. Ayahnya bernama Al Hajj Teungku Qadhi Chik Maharaja Mangkubumi Husein ibn Muhammad Mas‘ud, seorang ulama terkenal yang memiliki sebuah dayah (pesantren). Ibunya bernama Teungku Amrah, puteri Teungku Abdul Aziz pemangku jabatan Qadhi Chik Maharaja Mangkubumi Kesultanan Aceh waktu itu. Menurut silsilah, Hasbi ash-Shiddieqy merupakan keturunan Abu Bakar ash-Ashiddieqy (khalifah pertama), generasi ke-37. Oleh karena itu, sebagai keturunan Abu Bakar ash-Shiddieqy, ia kemudian melekatkan gelar ash-Shiddieqy di belakang namanya. Ketika ia berusia 6 tahun, ibunya, Teungku Amrah, meningggal dunia. Kemudian, ia diasuh oleh bibinya yang bernama Teungku Syamsiah.
Ketika masih kecil, Teungku Hasbi ash-Shiddieqy mulai belajar agama Islam di dayah (pesantren) milik ayahnya. Pada usia 8 tahun, ia mengunjungi berbagai dayah dari satu kota ke kota lain yang berada dibekas pusat kerajaan Pasai selama 20 tahun. Dalam pengembaraan tersebut, ia pernah belajar bahasa Arab pada Syekh Muhammad ibn Salim al-Kalali, seorang ulama dari Arab. Setelah itu, tahun 1926, ia merantau ke Surabaya untuk melanjutkan pendidikan di Madrasah al-Irsyad, sebuah organisasi keagamaan yang didirikan Syekh Ahmad Soorkati (1874-1943), seorang ulama dari Sudan yang terkenal memiliki pemikiran modern waktu itu. Di madrasah tersebut, ia menempuh pendidikan selama dua tahun dengan mengambil pelajaran takhassus (spesialisasi) dalam bidang pendidikan dan bahasa. Hasbi ash-Shiddieqy juga pernah mendalami ilmu agama Islam di Timur Tengah. Selain melalui jalur pendidikan formal, Hasbi ash-Shiddieqy juga mendalami berbagai disiplin ilmu agama melalui belajar secara autodidak.
Setelah menempuh pendidikan di Surabaya, Teungku Hasbi ash-Shiddieqy kembali ke Aceh sekitar tahun 1928, kemudian ia bergabung dalam beberapa kegiatan organisasi, di antaranya menjadi anggota organisasi Muhammadiyah dan partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Setelah itu, pada tahun 1951, Hasbi ash-Shiddieqy merantau ke Yogyakarta dan kemudian menetap untuk berkonsentrasi pada bidang pendidikan. Tahun 1960, ia diangkat sebagai Guru Besar dalam bidang ilmu Hadis dan Dekan di Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (sekarang Universitas Islam Negeri/UIN) hingga tahun 1972. Selain itu, ia juga pernah diundang sebagai pemakalah dalam International Islamic Colloquium yang diselenggarakan di Lahore, Pakistan tahun 1958.
Semasa hidupnya, Hasbi ash-Shiddieqy juga aktif menulis di berbagai disiplin ilmu, khususnya ilmu-ilmu keislaman, seperti fiqh, hadis, tafsir dan tauhid (ilmu kalam). Menurut catatan para kolektor karya Hasbi ash-Shiddieqy, karya tulis yang telah dihasilkannya berjumlah 73 judul. Sebagian besar karyanya adalah buku-buku fiqh yang berjumlah 36 judul. Sementara bidang-bidang lainnya, seperti hadis berjumlah 8 judul, tafsir 6 judul, dan tauhid 5 judul, selebihnya adalah tema-tema yang bersifat umum. Sebelum menghembuskan nafas terakhir, ia masih sempat menyelesaikan naskah terakhirnya yang berjudul Pedoman Haji.
Teungku Hasbi ash-Shiddieqy meninggal dunia pada tanggal 9 Desember 1975 di Jakarta, dalam usia 71 tahun. Jenazahnya dimakamkan di Pemakaman Keluarga IAIN Ciputat Jakarta. Pada upacara pelepasan jenazah, turut memberikan sambutan Buya Hamka (almarhum), dan pada saat pemakaman, dilepas oleh Mr. Moh. Rum (almarhum).
2. Pemikiran
Sebagai ulama kontemporer, Teungku Hasbi ash-Shiddieqy memiliki pandangan tersendiri mengenai syariat Islam. Ia berpandangan, syariat Islam memiliki sifat dinamis dan elastis, sesuai dengan perkembangan zaman dan konteks sosial budaya yang ada. Ruang lingkupnya mencakup segala aspek kehidupan manusia, baik hubungan sesama manusia maupun dengan Tuhan. Kemudian, syariat Islam yang bersumber dari wahyu Allah SWT. tersebut, dikaji dan dipahami umat Islam melalui metode ijtihad untuk menyesuaikan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat. Hasil ijtihad ini kemudian melahirkan banyak kitab fiqh. Penulis kitab-kitab fiqh tersebut dikenal sebagai imam-imam mujtahid, pendiri mazhab yang empat, yaitu Abu Hanifah, Malik, asya-Syafii dan Ahmad Hanbal.
Akan tetapi, menurut Hasbi ash-Shiddieqy, banyak di kalangan umat Islam, khususnya di Indonesia, belum bisa membedakan antara syariat Islam yang langsung dari Allah SWT., dan hukum-hukum fiqh hasil ijtihad para imam mazhab. Selama ini, sebagian umat Islam cenderung menganggap fiqh sebagai syariat yang absolut (pasti). Akibatnya, kitab-kitab fiqh imam mazhab tersebut dijadikan sebagai salah satu sumber syariat yang pokok dalam kehidupan sehari-hari. Padahal pendapat imam mazhab tersebut, masih perlu diteliti dan dikaji ulang dengan konteks kekinian, sebab hasil ijtihad mereka tentu tidak terlepas dari situasi dan kondisi sosio-kultural serta lingkungan geografis mereka pada waktu itu.
Dalam konteks keindonesiaan, Hasbi ash-Shiddieqy melihat bahwa fiqh yang dianut masyarakat Islam Indonesia banyak yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Kebanyakan dari mereka cenderung memaksakan pemberlakuan fiqh imam-imam mazhab tersebut. Untuk itu, sebagai alternarif terhadap sikap tersebut, ia mengajukan gagasan perumusan kembali fiqh Islam yang sesuai dengan kepribadian masyarakat Indonesia. Menurutnya, umat Islam harus mampu menciptakan hukum fiqh yang sesuai dengan latar belakang sosio-kultural masyarakat Indonesia, tanpa harus meninggalkan hasil ijtihad ulama masa lalu. Justru, hasil ijtihad tersebut harus diteliti, dikaji dan dipelajari secara bebas, kritis dan terlepas dari sikap fanatik. Dengan demikian, ijtihad imam mazhab manapun, jika sesuai dan relevan dengan situasi masyarakat Indonesia, tentu dapat diterima dan diterapkan.
Untuk mewujudkan usaha ini, maka para ulama dituntut mengembangkan dan menggalakkan ijtihad. Oleh karena itu, Hasbi ash-Shiddieqy menolak pandangan, pintu ijtihad sudah tertutup, karena ijtihad merupakan suatu kebutuhan yang terus berlanjut sampai akhir zaman. Menurutnya, untuk mewujudkan fiqh Islam yang berwawasan keindonesiaan, ada tiga bentuk ijtihad yang perlu dilakukan. Pertama, ijtihad dengan mengklasifikasikan hukum-hukum produk imam mazhab masa lalu, sehingga dapat dipilih pendapat mereka yang masih cocok untuk diterapkan di masyarakat kita sekarang ini. Kedua, ijtihad dengan mengklasifikasikan hukum-hukum yang semata-mata didasarkan pada adat kebiasaan dan suasana masyarakat di mana hukum itu berkembang. Menurutnya, hukum ini bisa berubah sesuai dengan perubahan zaman dan perkembangan masyarakat. Ketiga, ijtihad dengan mencari hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah-masalah kontemporer yang timbul akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, seperti transplantasi organ tubuh, bank, asuransi, air susu ibu, dan inseminasi buatan.
Kompleksnya permasalahan yang terjadi sebagai dampak kemajuan peradaban, menyebabkan pendekatan yang harus dilakukan untuk mengatasinya tidak bisa pada bidang tertentu saja. Permasalahan ekonomi, umpamanya, tentu akan berdampak pada aspek-aspek lain. Oleh karena itu, menurut Hasbi ash-Shiddieqy, ijtihad tidak dapat terlaksana dengan efektif jika dilakukan secara individual, maka ia kemudian menawarkan gagasan ijtihad jama‘i (ijtihad kolektif). Para anggotanya tidak hanya dari kalangan ulama, tetapi juga dari berbagai kalangan ilmuwan muslim lainnya, seperti ekonom, dokter, budayawan, dan politikus yang mempunyai visi dan wawasan yang tajam terhadap permasalahan umat Islam. Melalui ijtihad kolektif ini, diharapkan umat Islam Indonesia dapat merumuskan sendiri fiqh yang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Rumusan fiqh tersebut tidak harus terikat pada salah satu mazhab, tetapi penggabungan beberapa pendapat yang sesuai dengan keadaan masyarakat. Menurutnya, hukum yang baik adalah yang mempertimbangkan dan memperhatikan kondisi sosial, ekonomi, budaya, adat-istiadat, dan kecenderungan masyarakat yang bersangkutan. Hasbi ash-Shiddieqy bahkan menegaskan bahwa dalam sejarahnya, banyak kitab fiqh yang ditulis ulama yang mengacu pada adat-istiadat (‘urf) suatu daerah. Sebagai contoh, pendapat Imam asy-Syafii yang berubah seiring dengan perpindahannya dari Irak ke Mesir. Ketika masih di Irak, ia memiliki beberapa pendapat yang sesuai dengan kondisi sosio-kultural Irak saat itu, yang kemudian dikenal dengan sebutan qaul qadim (pendapat lama). Ketika ia pindah ke Mesir dengan kondisi sosio-kultural yang baru, ia mengubah beberapa pendapatnya yang pernah ia pegang selama di Irak, sehingga muncul pendapat baru, yang kemudian disebut dengan qaul jadid (pendapat baru). Dengan demikian, ijtihad harus terus dikembangkan, tidak boleh ditutup.
3. Karya-karya
Sebagai ulama besar, Teungku Hasbi ash-Shiddieqy telah melahirkan banyak karya, di antaranya:
1. Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 1. Semarang: Pustaka Rizki Putra.
2. Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 2. Bandung: Almaarif.
3. Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 3. Semarang: Pustaka Rizki Putra.
4. Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 4. Bandung: Almaarif.
5. Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 5. Yayasan Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy.
6. Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 6. Yayasan Teunkgu Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy.
7. Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 7. Semarang: Pustaka Rizki Putra.
8. Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 8. Semarang: Pustaka Rizki Putra.
9. Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 9. Semarang: Pustaka Rizki Putra.
10. Mutiara Hadis 1 (Keimanan). Semarang: Pustaka Rizki Putra.
11. Mutiara Hadis 2 (Thaharah & Shalat). Semarang: Pustaka Rizki Putra.
12. Mutiara Hadis 3 (Shalat). Semarang: Pustaka Rizki Putra.
13. Mutiara Hadis 4 (Jenazah, Zakat, Puasa, Iktikaf & Haji). Semarang: Pustaka Rizki Putra.
14. Mutiara Hadis 5 (Nikah & Hukum Keluarga, Perbudakan, Jual Beli, Nazar & Sumpah, Pidana & Peradilan, Jihad). Semarang: Pustaka Rizki Putra.
15. Sejarah dan Pengantar Ilmu Alquran dan Tafsir Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy. Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000.
16. Islam dan HAM (Hak Asasi Manusia): Dokumenter Politik Pokok-pokok Pikiran Partai Islam dalam Sidang Konsituante 4 Februari 1958. Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999.
17. Sejarah Pengantar Ilmu Hadis. Jakarta: Bulan Bintang, 1978.
18. Sejarah dan Pengantar Ilmu Tafsir. Jakarta: Bulan Bintang, 1965.
19. Kriteria Antara Sunnah dan Bid‘ah. Jakarta: Bulan Bintang, 1993.
20. Tafsir Alquran al-Madjied-An-Nur. Jakarta: Bulan Bintang, 1965.
21. Pedoman Haji, (Cetakan ke-9, Edisi ke-2). Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2005.
22. Dll.
2. Penghargaan
Atas jasa-jasanya terhadap dunia pendidikan, Teungku Hasbi ash-Shiddieqy telah dianugerahi beberapa penghargaan, di antaranya:
1. Anugerah Doctor Honoris Causa dari Universitas Islam Bandung (UNISBA) pada tahun 1975.
2. Anugerah Doctor Honoris Causa dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tahun 1975.