04 January 2013

Saad Ibnu Rabi, Pembuka Ayat Waris

Kematian Saad membuka ilmu mengenai pewarisan harta kepada anak, istri, dan saudara laki-lakinya.

Nama lengkapnya adalah Saad Ibnu Rabi al Khazraji al-Anshari. Dia termasuk salah seorang tokoh yang memahami bahwa jihad merupakan ibadah dan gugur di jalan Allah merupakan jihad. 

Dia merupakan tokoh Anshar yang memberikan tumpangan kepada kaum Muhajirin dan menolong agama Allah, serta mempersembahkan nyawanya secara murah di jalan Allah. Dialah salah seorang Anshar yang mencintai surga, lalu beramal untuk mendapatkannya.

Saad lahir di negeri Yatsrib yang penuh berkah. Di tanah itulah dia menghabiskan masa kanak-kanaknya. Di antara sungai dan lembah-lembah Madinah itulah kemudaan dan kelelakiannya berkembang sempurna. 

Sejak kecil, sang ayah telah melatihnya menunggang kuda, meloncat ke punggungnya, serta berlatih menggunakan tombak dan panah dalam berburu burung di udara dan binatang di darat.

Saad terkenal sangat rajin. Pada pagi-pagi buta dia telah berang kat untuk menikmati merekahnya sinar matahari yang merangkak menyapu kegelapan yang mundur terkalahkan. Di hadapannya adalah unta dan ternak peliharaannya. Dia memilihkan tempat pengembalaan dan padang rumput untuk hewan peliharaannya itu. 

Setelah memastikan ternaknya mendapatkan rumput terbaik, dia lalu meninggalkan mereka untuk pergi berburu agar pada pengujung siang, dia kembali dengan membawa hewan buruan, seperti burung yang berhasil dipanahnya atau kelinci yang berhasil ditangkap dengan tombaknya. Dia sama sekali tidak menyia-nyiakan waktunya.

Jika telah lewat tengah malam, Saad kecil kembali ke rumahnya, sedangkan di kepalanya muncul petanyaan-pertanyaan yang aneh dan pikiran yang nyeleneh. Dia tidak mampu menjelaskan atau mengucapkannya. Dia senantiasa mengulang-ulang pertanyaan itu dalam dirinya.

Segudang pertanyaan berkelindan di benak Saad Ibnu Rabi.

Siapa yang telah menciptakan alam semesta? Siapa yang memasang gemintang dan planet-planet di permukaan langit? Siapa yang melengkungkan langit ke Bumi? 

Siapa yang menumbuhkan berbagai tanaman? Bagaimana kejadian bayi di perut ibunya? Siapa yang membuka kedua matanya, membentuk kedua bibirnya, dan menciptakan dalam bentuk yang paling indah? Siapakah yang melakukan semua itu?

Apakah yang melakukan hal itu Tuhannya kaum Yahudi yang suka makan, minum, memiliki bentuk, memiliki tubuh, dan bermain-main dengan paus di kedalaman samudra? 

Ataukah yang membuat semua itu adalah Tuhannya kaum Nasrani yang tiga itu, yang berlomba, berselisih, dan saling menaklukkan? Atau, yang melakukan tugas itu adalah berhala-berhala Quraisy yang besar, seperti Hubal, Lata, dan Manat?

Ataukah berhala-berhala kecil yang dipahat oleh tangan manusia sendiri dan digelar di dekat pilar-pilar Ka’bah, yaitu berhala yang tidak dapat berbicara dan menjelaskan sesuatu? 

Apakah berhala-berhala itu mampu menyuguhkan berbagai macam makanan? Apakah berhala-berhala itu dapat mendengar keluhan seorang yang sakit? Saad bergidik dan mengusap tubuhnya seraya berucap dengan lantang. “Tidak… tidak… aku tidak akan menyia-nyiakan akalku.”

Akhirnya, pada suatu hari, tatkala Saad mondar-mandir di pasar, dia melihat sebuah kafilah yang tengah mempersiapkan diri untuk melakukan keberangkatan. Pada kafilah tersebut terdapat sahabat dan temannya sejak kecil. Dia adalah Ubadah. 

“Sepertinya kalian hendak pergi jauh?” tanya Saad. 

“Ya, Saad, tujuan kami adalah Baitullah yang haram,” ujar Ubadah.

Saad heran melihat teman-temannya itu pergi ke Baitullah dalam rombongan. 

Karena, kala itu biasanya untuk beribadah dan tawaf sambil memberi persembahan kepada berhala-berhala di sekitar Ka’bah yang dilakukan sendiri. 

Lalu, Ubadah mencoba mencairkan rasa heran sahabatnya itu. “Hai Saad, tujuan kami bukanlah berhala. Kami tak bermaksud mengunjungi Ka’bah. Keberangkatan kami kali itu bertujuan untuk menemui Muhammad.” 

“Dia adalah Rasul yang diutus kepada hamba-hamba-Nya untuk mengeluarkan mereka dari kegelapan kekafiran kepada cahaya keimanan dan penyembahan berhala kepada penyembahan Tuhan yang Mahapemurah.”

Saad merasa tertarik. Ini adalah konsep baru yang mungkin bisa menjelaskan mengenai apa atau siapakah sang pencipta alam ini. 

Dia pun bertanya, “Apakah Rasul yang ini dapat menunjukkanku kepada pencipta langit dan bumi, kepada yang mengadakan kehidupan dan kematian?”

Ubadah pun menjelaskan bahwa Rasul yang baru diutus ini dapat menunjukkan kepadanya Tuhan sang pencipta langit dan bumi. “Sebab, dia menerima wahyu dari Tuhannya dan kepadanya telah diturunkan Alquran.”

Begitu mendengar hal tersebut, Saad bergegas pulang untuk mempersiapkan kendaraan dan bekalnya. Lalu, dia bergabung dengan kafilah tersebut. Sampai di tempat tujuan, Rasulullah menyambut rombongan dari Madinah itu. 

Rasulullah pun berbicara, membacakan Alquran, dan mendorong kafilah tersebut untuk masuk Islam. “Lindungilah aku dari hal-hal yang kalian juga melindungi kaum wanita dan anak-anakmu dari hal itu,” ujar Rasulullah.

Mendengar perkataan Rasulullah, Saad tersadar, ini adalah untuk pertama kalinya semua pertanyaannya terjawab. Dia telah mengetahui siapa sesungguhnya sang pencipta itu dan memutuskan untuk beriman kepadanya. 

“Aku berbuat kepada Rasulullah dan mengucapkan tauhid, tidak ada Tuhan melainkan Allah dan Muhammad adalah Rasulullah,” ikrarnya.

Saad menjadi tambah istimewa karena kisahnyalah yang menjadi dasar bagi Allah menurunkan Surah an-Nisa ayat 11-12. 

Firman tersebut turun tepat setelah Saad meninggal dunia usai berjihad di Perang Uhud. 

Diriwayatkan dari Muhamad bin Abdurrahman bin Sha’shabah. Suatu hari Rasulullah bersabda, “Siapa yang bisa memberitahuku tentang perbuatan Saad bin Rabi?” 

Seorang sahabat Anshar kemudian menyanggupi permintaan Rasul itu. Dia lalu keluar dan mengelilingi para korban hingga menemukan Saad dalam keadaan terluka, menahan sakit, dan berada dalam sisa-sisa akhir hidupnya.

Sahabat itu berkata, “Wahai Saad, sesungguhnnya Rasulullah memerintahkanku untuk melihat apakah kamu masih hidup atau sudah mati.” 

Saad berkata, “Aku sudah mati. Sampaikan salamku kepada Rasulullah dan katakanlah bahwa Saad berdoa semoga Allah membalas kebaikanmu (Nabi) dariku, seperti Allah membalas kebaikan Nabi dari umatnya.” 

“Sampaikan juga salamku kepada kaummu dan katakan kepada mereka bahwa Saad berkata kepada mereka, ‘Tak ada kesulitan bagimu di sisi Allah jika kamu ikhlas kepada Nabimu walaupun hanya berupa kedipan mata’.”

Setelah kematian Saad, istri dan kedua putrinya datang kepada Rasulullah seraya berkata. “Wahai Rasulullah, ini adalah kedua putri Saad dan ayah mereka terbunuh dalam Perang Uhud.” 

“Sementara, paman mereka telah mengambil harta mereka dan dia tidak menyisakan harta sedikit pun untuk keduanya. Padahal, mereka berdua tidak bisa menikah, kecuali mempunyai harta.” 

Mendengar itu Nabi pun kemudian berkata, “Allah pasti akan menyelesaikan masalah ini.”

Tak perlu menunggu lama untuk mengurai masalah yang menimpa para pewaris sahabat yang satu itu. Turunlah ayat tentang warisan. Setelah itu, paman kedua putri Saad dipanggil oleh Rasulullah dan beliau berkata, “Berikanlah kepada kedua putri Saad dua per tiga harta dan berilah ibu mereka (istri Saad) seperdelapan harta, sedangkan sisanya untukmu.” 

Persaudaraan Dua HartawanSejak menyatakan keislamannya, Saad menjadi sahabat Rasulullah yang disegani. 

Dia merupakan salah satu kaum Anshar yang dipersaudarakan oleh Rasulullah dengan kaum Muhajirin, para pengikut awal Islam yang mengungsi ke Madinah, meninggalkan segala harta dan saudara di Makkah. 

Rasulullah mempersaudarakan dia dengan jutawan Makkah, Abdurrahman bin Auf. Saad sendiri sebenarnya juga merupakan tokoh kaya di Madinah karena mempunyai banyak kebun kurma.

Atas persaudaraan itu, Saad bersikeras untuk memberikan setengah kekayaannya kepada saudaranya dari dua kebun di Madinah dan mengawinkan Abdurrahman dengan salah satu dari dua istrinya. 

“Aku adalah orang terkaya di kalangan Anshar sehingga aku akan memberimu setengah dari kekayaanku. Kamu bisa memilih salah satu dari dua istriku. Siapa pun yang kamu pilih akan aku ceraikan,” kata Saad menawarkan.

Tetapi, Abdurrahman bin Auf menolak tawaran saudara barunya itu dan mendoakan Saad agar memperoleh kebaikan. “Semoga Allah memberikan kebaikan kepada keluarga dan hartamu. Tunjukkan saja kepadaku di mana pasar?” pinta Abdurrahman. “Pasar Qainuqa,” ulang Abdurrahman.

Maka, Abdurrahman tak kembali dari pasar di Madinah sampai dia bisa mendapatkan mentega dan susu kering dari hasil berniaga yang kemudian dibawanya pulang ke rumah. Sejak saat itu, Abdurrahman bin Auf rutin ke pasar sehingga dia bisa memperoleh kembali kekayaannya yang ditinggalkan di Makkah akibat hijrah ke Madinah.

Dengan kekayaannya itu, Abdurrahman akhirnya menikah dengan seorang wanita Anshar. Ketika Rasul dan para sahabat mengetahui perkawinan Abdurrahman, Rasul bertanya dengan maskawin apa dia menikah dan dijawab, dengan sepotong emas sebesar kurma. 

Lalu, Rasulullah memerintahkan agar Abdurrahman bin Auf menggelar resepsi pernikahan (walimah). “Walau dengan seekor domba.”

Melalui peristiwa bersejarah inilah Islam dikenal dengan persaudaraan di antara para pemeluknya. Persaudaraan itu diliputi jalinan ajaran dan perintah Islam. Upaya Rasulullah untuk mempersaudarakan kaum Muhajirin dengan Anshar merupakan sebuah langkah progresif dan bervisi. 

Beliau tidak hanya mempersatukan kaum Muslimin dalam masjid dengan ikatan keyakinan akan kebenaran, tetapi juga mempersatukan mereka dengan ikatan kekeluargaan. 

Ikatan tersebut menyadarkan mereka bahwa sesama Muslim adalah satu unit keluarga yang harus saling menolong, saling membantu, dan saling berjuang demi kebenaran yang diyakini mereka. “Sesungguhnya orang-orang Mukmin adalah bersaudara,” demikian bunyi Surah al-Hujuurat ayat 10.


(Republika)

Zainab Al-Kubra, Wanita Mulia Teladan Kaum Hawa


 Sifatnya begitu terpuji. Tak heran jika sejarah peradaban Islam menempatkannya sebagai teladan bagi kaum hawa.  

Dia adalah Zainab Al-Kubra, putri pertama Rasulullah SAW dari Siti Khadijah. Zainab yang lahir sepuluh tahun sebelum sang ayah diangkat menjadi rasul,  tumbuh dalam rumah tangga Nabi SAW.
Sehingga, dalam dirinya tumbuh jiwa dan perilaku mulia yang diwariskan kedua orang tuanya. Betapa tidak. Sang ayah adalah seorang nabi yang diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia. Sedangkan, ibunya adalah seorang wanita yang paling utama di sentero dunia pada zamannya.

Berbekal pendidikan dari pasangan paling mulia di dunia, Zainab pun tumbuh menjadi wanita yang sempurna. Tak heran, jika putra dari bibinya yang bernama Abu al-Ash bin Rabi, salah seorang yang terpandang di kota Makkah melamarnya. Ia adalah pemuda terpandang di suku Quraisy dan masih dari nasab Abdul Manaf bin Qushay.

Keduanya lalu menikah. Zainab mampu mengatur rumah tangga suaminya hingga menumbuhkan kebahagiaan dan ketenteraman.  Keluarga yang bagahia itu dikaruniai dua orang anak yang bernama Ali dan Umamah. Suatu ketika, keceriaan keluarga kecil yang bahagia itu diuji.

Ketika Abu al-Ash berada dalam suatu perjalanan, terjadilah peristiwa besar dalam sejarah kehidupan manusia. Muhammad SAW, ayah Zainab, diangkat sebagai Nabi pembawa risalah. Zainab pun menyambut seruan dakwah dan ajaran agama penuh dengan kebenaran yang dibawa ayahnya.

Zainab pun menjadikan agama yang dibawa ayahnya sebagai pedoman hidup. Alkisah, begitu suaminya kembali dari ekspedisi dagangnya, Zainab  dengan penuh antusias menceritakan perubahan yang terjadi pada kehidupannya. Ia telah memeluk agama Islam yang dibawa sang ayah.
Zainab menduga sang suami akan langsung mengikrarkan keislamannya. Ia justru melihat suaminya diam seribu bahasa. 

Zainab tak putus asa. Ia mencoba segala cara untuk menyakinkan suaminya agar mengimani ajaran Islam yang dibawa sang ayah.

“Demi Allah, bukannya aku tidak percaya kepada ayahmu, hanya saja aku tidak ingin dikatakan telah menghina kaumku dan mengafirkan agama nenek moyangku, karena ingin mendapatkan keridhaan istriku,” kata Abu al-Ash. 

Jawaban itu membuat Zainab terpukul. Kebahagiaan yang sempat dirasakan berubah menjadi goncangan dan kegelisahan. Ketika ayah dan saudara-saudaranya  hijrah ke Madinah, Zainab tetap tinggal di Makkah. Tatkala pecah Perang Badar, kaum musyrikin mengajak Abu al-Ash memerangi kaum Muslimin.

Dalam perang itu, Abu al-Ash tertangkap. Ia dihadapkan kepada Rasulullah SAW. Nabi SAW meminta kepada para sahabat untuk memperlakukan menantunya itu dengan baik.  Zainab yang mengetahui suaminya menjadi tahanan segera mengutus seseorang untuk menebus suaminya dengan harta yang dimilikinya,

Rasulullah pun memandangi kalung pemberian sang istri tercinta tersebut. Beberapa saat Nabi SAW terdiam, lalu berkata dengan suara yang lembut, “Jika kalian berkenan  membebaskan tawanan yang ditebus Zainab dan mengembalikan harta tebusannya, silakan kalian lakukan.”

Para sahabat menjawab, “Baik, ya Rasulullah.” 

Lalu Rasulullah menagih janji dari Abu al-Ash agar mau melepaskan Zainab, karena Islam telah memisahkan hubungan antara keduanya. Abu al-Ash lalu kembali ke Makkah disambut Zainab dengan riang gembira.
Abu al-Ash lalu kembali ke Makkah disambut Zainab dengan riang gembira. Namun, suaminya tampak muram. Ia mengucapkan salam perpisahan kepada Zainab. 

Karena belum terbuka pintu hidayah kepadanya, Zainab pun akhirnya keluar dari Makkah meninggalkan Abu al-Ash. Orang-orang Quraisy justru menghalang-halangi Zainab dan mengancamnya.

Saat itu, Zainab sedang hamil dan akhirnya keguguran. Ia berhasil meninggalkan Makkah dengan bantuan saudara Abu al-Ash yang bernama Kinanah bin ar-Rabi hingga sampai kepada Rasulullah SAW. Selama di Madinah, ia berdoa agar Allah memberi hidayah kepada suaminya.

Pada Jumadil Ula tahun 6 Hijriyah, Abu al-Ash mengetuk pintu Zainab. Seolah tak percaya, Zainab terkejut saat membuka pintu tersebut. Ingin rasanya Zainab mendekatinya, namun ia menahan diri karena menyadari bahwa akidah harus diutamakan di atas segalanya.

“Kedatanganku bukanlah untuk berperang, akan tetapi berdagang membawa barang-barangku dan juga milik orang-orang Quraisy. Namun, tiba-tiba aku bertemu dengan pasukan ayahmu yang di dalamnya ada Zaid bin Haritsah bersama 170 tentara. Aku meloloskan diri untuk meminta perlindunganmu,” tutur Abu al-Ash.

Dengan suara lembut penuh haru, Zainab pun berkata, “Selamat datang, wahai putra bibiku. Selamat dating wahai ayah Ali dan Umamah.” 

Tatkala Rasulullah SAW selesai shalat Subuh, dari dalam kamar Zainab berteriak dengan suara keras, “Wahai manusia, sesungguhnya aku melindungi Abu al-Ash bin Rabi.”

Abu al-Ash pun mendapat perlindungan dan diizinkan pulang ke Makkah dengan membawa kembali barang dagangannya. Ia lalu menyatakan keislamannya secara terang-terangan di hadapan kaum kafir Quraisy. 

Abu al-Ash kemudian hijrah ke Madinah dan kembali bersatu dalam kebahagiaan dengan istrinya yang mulia.

(Republika)

9 Ilmuwan Muslim yang Berjasa di Dunia Farmasi


Peradaban Islam telah memberi kontribusi yang sangat besar bagi dunia farmasi. Berikut ini 9 ilmuwan Muslim yang berjasa mengembangkan farmakologi:

1. Ibnu Al-Baitar

Lewat risalahnya yang berjudul Al-Jami fi Al-Tibb(Kumpulan Makanan dan Obat-obatan yang Sederhana), Ibnu Al-Baitar turut memberi kontribusi dalam farmakologi dan farmasi. Dalam kitabnya itu, Al-Baitar mengupas beragam tumbuhan berkhasiat obat yang berhasil dikumpulkannya di sepanjang pantai Mediterania antara Spanyol dan Suriah.

Tak kurang dari seribu tanaman obat dipaparkannya dalam kitab itu. Seribu lebih tanaman obat yang ditemukannya pada abad ke-13 M itu berbeda dengan tanaman yang telah ditemukan ratusan ilmuwan sebelumnya. Tak heran bila kemudian //Al-Jami fi Al-Tibb// menjadi teks berbahasa Arab terbaik yang berkaitan dengan botani pengobatan. Capaian yang berhasil ditorehkan Al-Baitar sungguh mampu melampaui prestasi Dioscorides. Kitabnya masih tetap digunakan sampai masa Renaisans di Eropa.

2. Abu Ar-Rayhan Al-Biruni (973-1051)

Al-Biruni mengenyam pendidikan di Khwarizm. Beragam ilmu pengetahuan dikuasainya sepertiastronomi, matematika, filsafat dan ilmu alam. Ia memulai melakukan eksperimen ilmiah sejak remaja. Ilmuwan Muslim yang hidup di zaman keemasan Dinasti Samaniyaah dan Ghaznawiyyah itu turut memberi kontribusi yang sangat penting dalam farmakologi dan farmasi.

Melalui kitab As-Sydanah fit-Tibb, Al-Biruni mengupas secara lugas dan jelas mengenai seluk-beluk ilmu farmasi. Kitab penting bagi perkembangan farmakologi dan farmasi itu diselesaikannya pada tahun 1050 – setahun sebelum Al-Biruni tutup usia. Dalam kitab itu, Al-Biruni tak hanya mengupas dasar-dasar farmasi, namun juga meneguhkan peran farmasi serta tugas dan fungsi yang diemban seorang famakolog.

3.  Abu Ja’far Al-Ghafiqi (wafat 1165 M)

Ilmuwan Muslim yang satu ini juga turut memberi kontribusi dalam pengembangan farmakologi dan farmasi. Sumbangan Al-Ghafiqi untuk memajukan ilmu tentang komposisi, dosis, meracik dan menyimpan obat-obatan dituliskannya dalam kitab Al-Jami' Al-Adwiyyah Al-Mufradah. Risalah itu memeparkan tentang pendekatan dalam metodelogi, eksperimen serta observasi dalam farmakologi dan farmasi.
4. Al-Razi

Sarjana Muslim yang dikenal di Barat dengan nama Razes itu juga ikut andil dalam membesarkan bidang farmakologi dan farmasi. Ilmuwan Muslim serba bisa itu telah memperkenalkan penggunaaan bahan kimia dalam pembuatan obat-obatan.

5. Sabur Ibnu Sahl (wafat 869)

Ibnu Sahal adalah dokter pertama yang mempelopori pharmacopoeia. Kontribusinya dalam bidang farmakologi dan farmasi juga terbilang mata besar. Dia menjelaskan beragam jenis obat-obatan dan remedies for ailments. Sumbangannya untuk pengembangan farmakologi dan farmasi dituangkannya dalam kitab Al-Aqrabadhin.

6. Ibnu Sina

Dalam kitabnya yang fenomenal, Canon of Medicine, Ibnu Sina juga mengupas tentang farmakologi dan farmasi. Ia menjelaskan lebih kurang dari 700 cara pembuatan obat dengan kegunaannya. Ibnu Sina menguraikan tentang obat-obatan yang sederhana.

7. Al-Zahrawi

Bapak ilmu bedah modern ini juga ikut andil dalam membesarkan farmakologi serta farmasi. Dia adalah perintis pembuatan obat dengan cara sublimasi dan distilasi.

8. Yuhanna Ibnu Masawayh (777-857)

Orang Barat menyebutnya Mesue. Ibnu Masawayh merupakan anak seorang apoteker. Kontribusinya juga terbilang penting dalam pengembangan farmasi dan farmakologi. Dalam kitab yang ditulisnya, Ibnu Masawayh membuat daftar sekitar 30 macam aromatik..

Salah satu karya Ibnu Masawayh yang terkenal adalah kitab Al-Mushajjar Al-Kabir. Kitab ini merupakan semacam ensiklopedia yang berisi daftar penyakit berikut pengobatannya melalui obat-obatan serta diet.

9. Abu Hasan 'Ali b. Sahl Rabban at- Tabari

At-Tabari lahir pada tahun 808 M. Pada usia 30 tahun, dia dipanggil oleh Khalifah Al-Mu'tasim ke Samarra untuk menjadi dokter istana. Salah satu sumbangan At-Tabari dalam bidang farmakologi adalah dengan menulis sejumlah kitab. Salah satunya yang terkenal adalah Paradise of Wisdom. Salah satu babnya membahas tentang pengobatan menggunakan binatang dan oragan-organ burung. Dia juga memperkenalkan sejumlah obat serta cara pembuatannya.

(Republika)

Inilah Sumbangsih Dokter Muslim dalam Bidang Anestesi

Dunia kedokteran Barat mengklaim sebagai perintis di bidang anestesi atau pembiusan. Mereka menyebut Oliver Wendel Holmes Sr sebagai dokter pertama di dunia yang memperkenalkan istilah anestesi. 

Klaim itu tentu saja sangat ahistoris. Betapa tidak, ratusan tahun sebelum Holmes mengenal anestesi pada 1846, dunia kedokteran Islam telah mengenal dan mengembangkan anestesi.

Anestesi berasal dari bahasa Yunani yang berarti suatu tindakan menghilangkan rasa sakit saat melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya pada tubuh.  Sembilan abad sebelum Holmes lahir, para dokter Muslim terkemuka seperti Ibnu Sina, Al-Zahrawi, Ibnu Zuhr, Ibnu Al-Nafis telah sukses melakukan operasi pembedahan.  

Menurut Prof Dr M Taha Jasser dalam tulisannya bertajuk ''Anaesthesia In Islamic Medicine and Its Influence on Western'', dokter Muslim di era keemasan sudah menguasai ilmu bedah. Mereka sudah terbiasa melakukan operasi besar seperti amputasi, operasi tumor, pengobatan tulang patah dan beragam operasi lainnya. Sebuah pencapaian gemilang, yang belum pernah dilakukan peradaban sebelumnya.

Peradaban sebelum Islam dan kebudayaan lain yang sezaman dengan  dunia Islam memandang,  penderitaan kerena rasa sakit merupakan harga yang harus dibayar seorang manusia atas dosa yang diperbuat. Namun, para dokter Islam menolak konsep yang menyatakan rasa sakit sebagai hukuman dari Tuhan. 

''Itulah yang mendorong para dokter Muslim mengembangkan bidang anestesi,'' papar Prof Taha. Menurut dia, untuk menghilangkan rasa sakit pada pasien yang akan menjalani operasi atau pembedahan, para dokter Muslim di era kekhalifahan menggunakan obat penenang dan campuran analgesik.

Dalam Canon of Medicine, dokter Muslim legendaris Ibnu Sina telah mengungkapkan penggunaan anestesi. Dokter kelahiran Afshana, Bukhara tahun 980 M itu telah mempersiapkan minuman campuran mandagora (tanamaman mandrak) dan obat tidur.  Tanaman lainnya yang digunakan untuk anestesi saat operasi pembedahan antara lain; hashish, opium poppies, shweikran, bhang  dan hyoscyamus.

Prof Mohamad S Takrouri dari Departemen Anestesi Universitas King Khalid Riyadh mengatakan, anestesi yang dikembangkan kedokteran islam sangat unik. ''Benar-benar mampu menghilangkan rasa sakit pada pasien yang akan dioperasi,'' paparnya. Anestesi dalam dunia Islam, imbuh Prof Takrouri, jauh berbeda bila dibandingkan dengan yang dikembangkan peradaban India, Yunani dan Romawi.

''Anestesi dari ketiga peradaban itu tak membantu menghilangkan rasa sakit,'' imbuh Takrouri. 

 Salah satu bentuk anestesi asli yang dikembangkan peradaban Islam adalah ''spon obat tidur'' (soporific sponge). Teknik tersebut, papar, Prof Takrouri, tak dikenal dalam peradaban sebelum Islam.

Spon obat tidur itu terbuat dari campuran hashish, papver dan hyocymine. ''Campuran itu lalu dikeringkan di bawah sinar matahari,'' imbuh Prof Takrouri.  Ketika akan digunakan, campuran itu kemudian dilembabkan dan ditempatkan di hidung pasien yang akan menjalani operasi. Seketika, pasien akan tertidur dan tak akan merasakan sakitnya operasi.

Teknik anestesi seperti ini baru dikenal kedokteran Barat – terutama Eropa – pada abad ke-18 M. Dunia kedokteran Barat kemudian mengembangkan anestesi inhalational modern pada abad ke-19. Penemuan itu telah dipengaruhi oleh karya-karya dokter Muslim yang beredar dan diajarkan universitas-universitas Barat. ''Dasar-dasar anestesi melalui pernapasan berasal dari Islam,'' tegas Prof Takrour.

Di bidang kimia,  papar Prof Dr M Taha Jasser,  ikatan eter (-0-) merupakan bahan dasar yang digunakan untuk anestesi (diethyl, eter, methoxyflurane, enflurane, fluroxene, forane). Lagi-lagi peradaban Barat juga mengklaim  sebagai penemu zat yang menjadi bahan utama untuk anestesi. Adalah Velerius Cordus yang mengaku sebagai penemu ikatan eter. Namun, Amstrong Davidson meragukan klaim Cordus itu.

"Saya tak yakin bahwa Cordus yang meninggal di 1544  pantas disebut sebagai penemuan ikatan eter,'' papar Davidson. Keraguan Davidson ternyata benar. Faktanya, beberapa abad sebelum Cordus menemukan eter,  dokter Muslim di era kejayaan Islam terlah berhasil menemukannya.  Menurut  Prof Taha, penemu eter radikal (-0-) itu adalah Al-Kindi.

Ilmuwan Muslim itu berhasil melakukan penyaringan alkohol. Bahkan, sebenarnya nama Alkohol pun berasal dari bahasa Arab yakni '''Al-goul " yang berarti sesuatu yang berada  di bawah sadar. Alkisah, pada zaman keemasan Islam  di Kudus Turan beredar 'anggur surga' yang bebas al-goul. Orang-orang meminumnya tak mabuk. "Kata Alkohol adalah bentuk jamak dari Al-kuhl,'' ungkap   MY Hashimi (1968).

Di sisi lain terdapat  bukti bahwa Sulfuric Acid telah ditemukan oleh al-Razi. Senyawa ini digunakan untuk menyuling alkohol. Mengingat bahwa diethyl eter dapat dihasilkan oleh ekstraksi air dari alkohol (2C2H5OH + H2S04 ------- C2H5 + H2O-O-C2H5 + H2 SO4); terdapat kemungkinan bahwa umat Islam telah lama menguasai pembuatan bahan yang digunakan untuk anestesi.

Dalam dunia kedokteran dikenal dua jenis obat  untuk menghilangkan nyeri, yaitu analgetik dan anestesi. Analgetik adalah obat pereda nyeri tanpa disertai hilangnya perasaan secara total. seseorang yang mengkonsumsi analgetik tetap berada dalam keadaan sadar. Analgetik tidak selalu menghilangkan seluruh rasa nyeri, tetapi selalu meringankan rasa nyeri.

Beberapa jenis anestesi menyebabkan hilangnya kesadaran, sedangkan jenis yang lainnya hanya menghilangkan nyeri dari bagian tubuh tertentu dan pemakainya tetap sadar. Selain itu terdapat beberapa tipe anestesi antara lain;  pembiusan total yang mampu menghilangkan kesadaran total; pembiusan lokal  yang dapat menghilangkan rasa sakit pada bagian tubuh tertentu yang diinginkan. 

Serta pembiusan regional, hilangnya rasa pada bagian yang lebih luas dari tubuh oleh blokade selektif pada jaringan spinal atau saraf yang berhubungan dengannya Pembiusan lokal atau anestesi lokal adalah salah satu jenis anestesi yang hanya melumpuhkan sebagian tubuh manusia dan tanpa menyebabkan manusia kehilangan kesadaran.

Umat Muslim selalu tampil sebagai penemu dalam berbagai bidang  di dunia kedokteran modern. 'Dalam bidang anestesi kontribusi umat Islam sungguh sangat besar. Pengaruhnya terhadap dunia Barat juga tak dapat dibantah. Hal itu dapat dilihat dari penemuan kedokteran Barat di dunia modern yang terinspirasi oleh karya-karya dokter Muslim. 

''Kini saatnya dunia Islam harus menunjukkan kembali kontribusinya,'' tutur Prof Taha.

(Republika)

KH Turaichan Adjhuri, Sang Pakar Ilmu Falak

KH. Turaichan Adjhuri


Menyebut ilmu falak, mungkin bagi sebagian umat Islam masih terasa asing di telinga. 

Ilmu falak adalah suatu ilmu yang mempelajari lintasan benda-benda langit, khususnya bumi, bulan, dan matahari pada orbitnya masing-masing dengan tujuan agar dapat diketahui posisi benda-benda langit antara yang satu dan lainnya, sehingga dapat diketahui pula peredaran waktu di permukaan bumi.

Ilmu ini disebut pula dengan ilmu perbintangan atau astronomi, karena menghitung atau mengukur lintasan bintang-bintang. 

Ia biasa juga disebut dengan ilmu hisab, karena dipergunakan perhitungan. Kata lainnya adalah ilmu rashd, karena memerlukan pengamatan, atau ilmu miqat yang mempelajari tentang batas-batas waktu.

Di dunia Islam, istilah ini sudah sangat familiar. Bahkan, banyak ilmuan Muslim yang mampu melakukan perhitungan secara cermat dan teliti sehingga dapat diketahui ukuran waktu di suatu tempat.

Dalam Islam, ilmu ini sangat berkaitan erat dengan penanggalan (kalender), waktu shalat, arah kiblat, dan gerhana. Untuk penanggalan (kalender) ini, Islam mengenal berbagai istilah penanggalan, di antaranya kalender Masehi dan Hijriah. 

Umumnya, penanggalan Hijriah menggunakan masa edar bulan atau disebut pula dengan penanggalan Qomariyah (bulan). Sedangkan penanggalan Masehi biasanya menggunakan penanggalan Syamsiyah (menghitung waktu berdasarkan masa edar matahari).

Bagi sebagian orang, ilmu ini dikenal sangat rumit. Sebab, dibutuhkan perhitungan-perhitungan dan pengamatan yang cermat dan teliti, sehingga menghasilkan perhitungan yang sesuai (tepat). 

Karena itu, acapkali terdapat perbedaan di kalangan ulama dalam menentukan waktu yang sesuai dengan yang sebenarnya. Dan hanya orang-orang yang telaten, rajin, dan giat yang mampu dan mau berkecimpung dalam bidang ini.

Di Indonesia, terdapat sejumlah tokoh yang sangat mumpuni dalam bidang ilmu falak ini. 

Salah satunya adalah KH Turaichan Adjhuri Asy-Syarofi, seorang ulama asal Kudus, Jawa Tengah. 

Ulama kelahiran Kudus, 10 Maret 1915, ini dikenal sebagai 'gurunya para ahli ilmu falak Indonesia'. Kepakarannya dalam bidang ini sudah tak diragukan lagi, mengingat keilmuan dan kapasitasnya yang dalam menekuni ilmu falak. 

Karena kepakarannya itu, Kiai Turaichan—biasa disapa dengan Mbah Turaichan—diberikan jabatan sebagai Ketua Markas Penanggalan Provinsi Jawa Tengah.

Mbah Turaichan adalah putra Kiai Adjhuri dan Nyai Sukainah. Sejak masa kanak-kanak, ia dibekali dengan pendidikan agama yang sangat matang. Ia belajar melaui sistem tradisional masyarakat yang telah turun-temurun dijalani keluarga dan teman-teman di sekitarnya. 

Ia mengaji pada para Kiai dan ulama di sekitar tempat tinggalnya secara nonformal dan  sempat mengenyam pendidikan formal di daerahnya selama dua tahun.

UnikMbah Turaichan terbilang seorang ulama yang unik. Namun, ia juga sangat luar biasa. Bila seorang 'calon ulama' dan anak seorang kiai diharuskan belajar pendidikan agama di pondok pesantren (pendidikan informal), sepanjang hidupnya Mbah Turaichan tak pernah mengecam pendidikan pesantren, dalam arti 'mondok' (menetap) sebagai seorang santri yang diasramakan di lingkungan pesantren.

Kebiasaan ini terbilang tidak lazim, kendati di pesantren dikenal dengan istilah santri kalong, yaitu santri yang belajar di pesantren, namun setelah belajar pada hari itu mereka kembali lagi ke rumahnya.

Mbah Turaichan hanya mengenyam pendidikan formal selama dua tahun, yakni ketika berusia 13 hingga 15 tahun. Tepatnya di Madrasah Tasywiquth Thullab Salafiyyah (TBS), Kudus, sekitar tahun 1928, yakni sejak madrasah tersebut didirikan. 

Namun, karena kemampuannya yang dianggap melebihi rata-rata, maka ia diminta untuk membantu pelaksanaan belajar-mengajar di madrasah tersebut. Namun demikian, ia juga masih sempat belajar pada ulama lainnya secara nonformal.

Sejak mengajar di Madrasah TBS Kudus, Kiai Turaichan giat belajar ilmu falak dan kemudian secara terus-menerus menekuninya.

Sehingga ia pun sangat mahir dalam bidang ini. Berbagai hal berkaitan dengan bidang ini, perhitungan dan pengamatannya terbukti tepat, kendati hanya dengan mengandalkan pengamatan pada peredaran benda-benda langit (ru'yah al-hilal).

Tak heran, bila kemampuannya ini kemudian ia tularkan pada para anak didiknya. Namun demikian, sebagaimana sulitnya dalam mempelajari ini, tak banyak anak didiknya yang 'benar-benar' mumpuni sebagaimana kemampuan Mbah Turaichan. 

Karena kepakarannya itu, maka ia dijuluki oleh para santrinya sebagai 'gurunya para ilmu falak Indonesia'.

Kemampuan yang dimiliki Kiai Turaichan, digunakannya sebagai media dakwah sekaligus membantu umat dalam memecahkan persoalan-persoalan yang rumit berkaitan dengan ilmu falak ini.

Tercatat, tokoh ini pernah menjabat dan terlibat dalam Lajnah Falakiyah PBNU. Bahkan, ia seringkali terlibat dalam diskusi-diskusi yang intens berkaitan dengan bidang yang satu ini, baik tingkat lokal maupun nasional. 

Dalam berbagai forum muktamar Nahdlatul Ulama, Kiai Turaichan acap kali terlibat dalam diskusi yang serius dengan tokoh lainnya. Dengan argumentasi yang tepat dan mumpuni, kalangan ulama senior sangat mengandalkan keahliannya. Ia seringkali dilibatkan dalam forum yang lebih tinggi saat membahas bidang ilmu falak.

Dan karena keahliannya ini, tak jarang pendapatnya berbeda dengan kebanyakan pandangan ulama, termasuk di PBNU. Namun demikian, ia tetap kukuh pada pandangan dan pendapatnya itu. 

Sebab, ia yakin, pendapatnya itu benar, berdasarkan ilmu, pengamatan, dan kondisi alam yang ada. Dan terbukti, pendapat-pendapatnya lebih banyak yang sesuai dengan kenyataan.

Kendati berbeda pandangan, Kiai Turaichan tetap menjalin hubungan yang baik dengan pihak-pihak yang sering menolak keputusannya. Bahkan, ia juga selalu bersikap akomodatif pada pemerintah, walaupun pemerintah pernah beberapa kali mencekalnya. 

Pencekalan dilakukan karena Kiai Turaichan mengeluarkan pernyataan berbeda dengan pemerintah perihal penentuan awal bulan Syawal.

KH Turaichan pernah disidang di pengadilan pada 1984, ketika menentang perintah pemerintah untuk berdiam diri di rumah saat terjadi gerhana Matahari total.

Alih-alih menaati perintah itu, ia justru mengajak umat untuk melihat peristiwa tersebut secara langsung dengan mata kepala telanjang.

Pada waktu terjadi peristiwa gerhana Matahari total tersebut, ia memberi pengumuman kepada umat Muslim di Kudus, bahwa gerhana Matahari total adalah fenomena alam yang tidak akan menimbulkan dampak (penyakit) apa pun bagi manusia jika ingin melihatnya, bahkan Allah-lah yang memerintahkan untuk melihatnya secara langsung.

Hal ini dikarenakan redaksi kabar mengenai fenomena alam itu menunjukkan keagungan Allah ini difirmankan oleh Allah menggunakan kata abshara, yang berarti melihat secara langsung dengan mata, bukan makna denotatif seperti mengamati, meneliti, dan lain-lain, meskipun memang ia dapat berarti demikian secara lebih luas.

Pada hari terjadinya gerhana Matahari total di tahun tersebut, Kiai Turaichan tengah berpidato di Masjid al-Aqsha, menara Kudus. Di tengah-tengah pidato, ia mengajak jamaah untuk menyaksikan langsung gerhana tersebut.

''Wahai Saudara-saudara, jika kalian tidak percaya, maka buktikan. Sekarang peristiwa yang dikatakan menakutkan, sedang berlangsung. Silakan keluar dan buktikan, bahwa Allah tidak menciptakan bala atau musibah darinya. Silakan keluar dan saksikan secara langsung!''

Maka, para jamaah pun lantas berhamburan keluar, menengadah ke langit dan menyaksikan secara langsung dengan mata kepala telanjang terjadinya gerhana Matahari total. 

Setelah beberapa saat, para jamaah kembali ke tempatnya semula, dan Kiai Turaichan melanjutkan pidatonya. Dan faktanya, memang tidak terjadi apa-apa, termasuk musibah yang didengungkan oleh pemerintah.

Namun karena keberaniannya ini, Kiai Turaichan harus menghadap dan mempertanggungjawabkan tindakannya di depan aparat negara yang sedemikian represif waktu itu. Meski demikian, sama sekali ia tidak menunjukkan tabiat mendendam terhadap pemerintah.

Hingga menjelang akhir hayatnya pada 20 Agustus 1999, KH Turaichan termasuk ulama yang sangat antusias mendukung undang-undang pencatatan nikah oleh negara yang telah berlaku sejak 1946. 

Kiai Turaichan sangat getol menentang praktik-praktik nikah siri atau di bawah tangan.

Menurutnya, selama hukum pemerintah berpijak pada kemaslahatan umat dan tidak bertentangan dengan syariat Islam, maka wajib bagi seluruh umat Muslim yang menjadi warga negara Indonesia untuk menaatinya. 

Artinya, pelanggaran atas suatu peraturan (undang-undang) tersebut adalah juga dihukumi sebagai kemaksiatan terhadap Allah. Demikian pun menaatinya, berarti adalah menaati peraturan Allah.

Hal inilah yang membuat kharisma dan kealiman Kiai Turaichan semakin diperhitungkan. Tak heran, bila namanya sangat masyhur sangat ahli ilmu falak yang sangat disegani.

'Lokalitas NU'

KH Turaichan Adjhuri Asy-Syarofi dikenal sebagai ulama ilmu falak yang sangat karismatik. Ia pernah ditunjuk menjabat sebagai Ketua Lajnah Falakiyah PBNU. Di tingkat cabang Kabupaten Kudus, ia pernah menjabat sebagai Rais Syuriah NU.

Kiai Turaichan juga pernah terlibat dalam dunia politik di tingat pusat. Beberapa kali ia ditunjuk menjadi panitia Ad Hoc oleh pimpinan pusat Partai NU. Selain itu, ia juga dipercaya menjadi qadli (hakim) pemerintah pusat pada tahun 1955-1977.

Di organisasi Nahdlatul Ulama, Kiai Turaichan seringkali terlibat dalam forum-forum diskusi dan bahtsul masail (membahas permasalahan umat), terutama bidang yang menjadi spesialisasinya. 

Namun, pada saat terjadi perubahan asas dasar NU dari asas Ahlussunnah wal Jamaah menjadi asas Pancasila, dia menyatakan memisahkan diri dari keorganisasian NU.

Meski telah menyatakan memisahkan diri secara keorganisasian, namun ia tetap dipercaya sebagai Rais Suriyah di tingkat cabang. Sedangkan untuk tingkat pusat, ia tidak lagi aktif seperti sebelumnya. Karenanya, Kiai Turaichan kemudian mempopulerkan istilah 'Lokalitas NU' yang berarti tetap setia untuk memperjuangkan organisasi NU dalam skala lokal, yakni di NU cabang Kudus saja.

(Republika)

Melacak Jejak Kesultanan Banten

Banten dikenal sebagai salah satu wilayah di Tanah Air yang sangat kental dengan nuansa keislamannya. Sejarah perkembangan dan penyebaran Islam di ‘’tanah para jawara’’ itu tak lepas dari pengaruh Kesultanan Banten. 

Islam telah masuk di Banten sekitar tahun 1524-1525, semasa Banten masih di bawah pemerintahan Kerajaan Sunda yang dipimpin Prabu Pucuk Umun dan anaknya yang bernama Prabu Seda. Adalah Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati yang menyebarkan Islam di wilayah barat pulau Jawa itu.

Syarif Hidayatullah bahkan sempat menjadi penguasa Islam pertama di Banten. Namun, ia tak mengangkat dirinya sebagai sultan. Tahta kesultanan itu diamanahkan kepada putranya yang bernama Maulana Hasanuddin. Oleh Kesultanan Demak dan Cirebon, Maulana Hasanuddin ditugaskan untuk mengislamkan bagian barat Pulau Jawa, tepatnya  Banten. 

Kerajaan Banten bercorak Islam didirikan karena Kesultanan Cirebon mendengar informasi adanya perjanjian antara Portugis dengan Kerajaan Padjajaran yang berencana membangun benteng di Sunda Kelapa (Jakarta). Konon, Portugis dan Padjajaran berniat untuk menghambat penyebaran Islam di bagian barat Pulau Jawa.
 
Kala itu,  Padjajaran  merupakan  satu-satunya kerajaan Hindu yang masih eksis di Pulau Jawa. Para wali mengegelar perundingan dan memutuskan untuk menguasai Banten terlebih dahulu. Sebab, Banten merupakan pintu gerbang untuk masuk ke Jawa Barat. 

Pada 1525 M, pasukan gabungan dari Kesultanan Demak dan Cirebon bersama laskar-marinir yang dipimpin Maulana Hasanuddin menyerbu Kadipaten Banten Girang yang bercorak Hindu. Pasukan gabungan itu tidak mengalami kesulitan dalam menguasai Banten. 

Pasukan gabungan berhasil mengalahkan Prabu Pucuk Umun sebagai adipati Banten Girang, kala itu. Pada 1526, Maulana Hasanuddin berhasil merebut Banten dari Padjajaran. ‘’Secara strategi perang, Padjajaran memang kalah oleh Demak dan Cirebon, sehingga Syarif Hidayatullah berani menempatkan anaknya, Maulana Hasanuddin di Banten,’’ ujar  Mufti Ali, sejarawan dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sultan Maulana Hasanuddin.

Setelah penaklukan tersebut, pada 1526 lahirlah Kadipaten Banten yang bercorak Islam dibawah naungan Demak dan Cirebon. Maulana Hasanuddin dinobatkan sebagai adipatinya. Pada tahun yang sama, Maulana Hasanuddin menikah dengan Nyi Ratu Ayu Kirana, putri mahkota Sultan Trenggana (Demak III). Saat itu usia Hasanuddin masih 26 tahun.

Semenjak Banten Girang berhasil dikalahkan oleh penguasa Islam, terjadilah peralihan kekuasaan. Kekuasaan Islam bertambah jaya ketika pusat Kesultanan Banten dipindah ke Banten Lama yang terletak di kawasan pesisir pantai utara Pulau Jawa bagian barat. 

Pemindahan ini merupakan suatu pilihan penting untuk mengembangkan perdagangan, sehingga bandar Banten di pesisir yang berfungsi pusat politik maupun ekonomi berkembang dengan pesat. Pemindahan kota pusat kerajaan itu dimaksudkan untuk memudahkan hubungan antara pesisir utara pulau Jawa dengan pesisir Sumatera bagian barat melalui Selat Sunda dan Samudera Indonesia.

Maulana Hasanuddin pun mulai membangun kota Banten sebagai negara-kota (city-state), sekaligus sebagai kota bandar (harbour city). Tata letak keraton, alun-alun, masjid, pasar, dan jaringan jalan menunjukkan pola morfologi kota yang hampir sama dengan kota-kota Islam lainnya di Jawa, seperti  Cirebon dan Demak.

Benteng pertahanan pun mulai dibangun di sekeliling negara kota itu. Penduduk yang terkonsentasi di kota Benteng tersebut pada saat itu berjumlah sekitar 70 ribu jiwa. Maulana Hasanuddin kemudian mengkonsolidasi pasukan dan mendeklarasikan Banten sebagai kesultanan independen dari Demak. 

Sehingga pada 1552, lahirlah Kesultanan Banten. Maulana Hasanuddin diangkat sebagai Sultan Banten. Ia memerintah selama 18 tahun (1552-1570). Kota Surosowan (Banten Lor) pun didirikan sebagai ibu kota Kesultanan Banten.

Sultan Maulana Hasanuddin adalah raja sekaligus pemuka agama.  Ia memberikan andil yang sangat besar dalam meletakkan fondasi Islam di Nusantara sebagai salah seorang pendiri Kesultanan Banten. Hal ini telah dibuktikan dengan kehadiran bangunan peribadatan berupa masjid dan sarana pendidikan Islam,  seperti pesantren. 

‘’Ia juga mengirim mubalig ke berbagai daerah yang telah dikuasainya,’’ tutur Mufti.  Sebagai sultan pertama, Maulana Hasanuddin membangun insfrastruktur perkotaan Islam modern, antara lain membangun Keraton Surosowan sebagai pusat pemerintah, membangun Masjid Agung Banten sebagai pusat peribadatan, membangun alun-alun sebagai pusat informasi dan berkomunikasi dengan rakyatnya. 

Yang tak kalah pentingnya, ia juga membangun Pelabuhan Karangantu sebagai pelabuhan internasional yang menghantarkan Banten sebagai kesultanan dengan pelabuhan terkuat di Nusantara.

Pesatnya aktivitas niaga yang berlangsung di berbagai bandar tersebut, terutama di Sunda Kelapa dan Banten tidak terlepas dari pengaruh jatuhnya Malaka ke tangan Portugis pada 1511. Pedagang-pedagang Islam yang semula berdatangan ke Malaka, mulai enggan berhubungan dengan pedagang Portugis yang beragama Kristen. 

Portugis pun lebih suka berdagang dengan orang yang beragama Hindu. Karena Selat Malaka dan kota Malaka pada masa itu telah dikuasai Portugis, maka tak sedikit para pedagang datang untuk mengadakan transaksi jual beli berbagai komoditas di Banten. Sumber tertulis menyebutkan para pedagang itu berasal dari Arab, Abesinia, Belanda, Cina, Denmark, Gujarat, Inggris, Prancis, Persia, dan Turki.

Kebesaran Kesultanan Banten pada masa ini ditunjang oleh beberapa faktor, seperti letak geografis yang stategis, kondisi lingkungan (ekologis) yang menguntungkan, struktur masyarakat, dan pemerintahan yang kuat. Pada waktu kota Banten menjadi pusat pemerintahan, kota ini banyak didatangi oleh para pedagang asing dan Nusantara. 

Kota Banten menjadi ramai karena terletak pada jalur perdagangan internasional dan merupakan penghasil komoditas lada. Para pedagang asing yang datang ke Banten, selain berdagang juga mencatat keadaan kota.

Keberadaan Banten lama sebagai pusat kesultanan dan kota bandar yang dilengkapi dengan berbagai sarana diberitakan jelas oleh Belanda ketika mengirimkan ekspedisi pertamanya menuju Banten di bawah Corenelis de Houtman.

Houtman menggambarkan keberadaan kota Banten sebagai keraton, masjid, alun-alun, pasar, pelabuhan, jalan, serta perdagangan di pasar Karangantu, perkampungan penduduk dari berbagai tempat di Indonesia. Kala itu, struktur masyarakat Banten amat multietnis, yakni yang berasal dari Melayu, Benggala, Gujarat, Abesenia, Cina, Arab, Pegu, Turki, Persia, Belanda, Portugis, dan para pedagang dari Nusantara seperti dari Ambong, Belanda, Maluku, Selor, Makasar, Sumbawa, Jaratan, Gersik, Pati, Sumatera, dan Kalimantan.

(Sumber: Republika)