24 October 2010

Lihatlah Potret Madrasah di Era Turki Usmani

Pendirian madrasah di masa Turki Usmani, merupakan kelanjutan keberadaan madrasah tradisional yang ada sebelumnya. Bedanya, madrasah yang dibangun pada masa Turki Usmani telah lebih maju karena memiliki kurikulum sendiri. Tak hanya di Istanbul, saat itu madrasah juga didirikan di Edirne, Beograd, dan Sofia dan menjadi tulang punggung lahirnya para individu terpelajar.

Madrasah pun seakan menjadi penjaga kesetaraan. Saat itu, madrasah memberikan kesempatan yang sama kepada semua individu untuk mendapatkan akses pendidikan. Madrasah juga didirikan dengan tujuan menjadi bagian integral dari kehidupan sosial. Terutama, untuk memenuhi kebutuhan intelektual masyarakat.

Madrasah sebagai pusat pendidikan dan kesetaraan ini terus menyebar seiring dengan kian luasnya kekuasaan Turki Usmani. Saat menaklukkan sebuah wilayah baru, segera dibangun masjid dan madrasah. Secara struktural, madrasah-madrasah itu merupakan bagian dari sistem wakaf dan otonom secara finansial.

Kegiatan madrasah-madrasah juga berada di bawah pengawasan negara. Madrasah tidak hanya didirikan oleh sultan dan anggota keluarga kerajaan. Namun, banyak madrasah yang didirikan oleh para wazir, negarawan, dan cendekiawan.

Pada periode sebelum berkuasanya Sultan Mehmed II, pendidikan di madrasah ditekankan pada studi agama. Namun, selanjutnya madrasah juga memasukkan bahan ajaran lainnya selain agama. Maka, kemudian muncul daftar pelajaran seperti ilmu logika, filsafat, dan matematika mulai diajarkan oleh para guru di berbagai madrasah. Di madrasah tertentu juga diajarkan ilmu kedokteran dan astronomi. Ini memantik pendirian rumah sakit dan observatorium.


Selama abad ke-19, masih terdapat 166 madrasah yang aktif di Istanbul dengan 5.369 murid. Namun, pada 1924, setelah berdirinya Republik Turki, setelah revolusi pendidikan, madrasah Kekaisaran Turki Usmani dihapuskan fungsinya.

Warisan Islam di Sudut Valencia

Layaknya di kota-kota Islam lainnya, tradisi ilmiah berkembang pesat di Valencia. Tak hanya di bidang ilmu pasti, tetapi ilmu sosial, seperti sastra dan sejarah. Salah satu indikasinya, ada tradisi bersyair dan bersajak.

Ada pula kompetisi pembuatan puisi-puisi indah, salah satunya diadakan pada 1474 Masehi. Sebanyak 40 puisi yang digubah oleh para pelajar dipertandingkan. Lalu, puisi itu dicetak pada kertas dan dibukukan untuk menjadi rujukan dalam pembelajaran puisi.

Dalam bidang ilmu pengetahuan muncul sejumlah nama, misalnya Ibnu Jubair. Ia menuliskan sejarah Islam dan kehidupan Muslim, baik yang ada di Spanyol maupun di wilayah Islam lainnya. Di antaranya, perjalanannya dari Spanyol ke Makkah hingga ia kembali lagi.

Ada pula Arnau of Villanova. Ia merupakan penduduk Valencia, tak lama setelah kota tersebut di bawah kekuasaan Islam. Ia menguasai bahasa Arab, dan antusiasmenya terhadap kedokteran Islam membuatnya menerjemahkan karya-karya dokter Muslim ternama.

Villanova menerjemahkan Risala fi Maarifat Quwa'l Adwiya al-Murakkaba yang ditulis Al Kindi ke dalam bahasa Latin, De Medicinarum Compositarum Gradibus, juga karya Qusta ibn Luqa, De Physics Ligatures, dan karya Ibnu Sina, De Viribus Cordi.

Tumbuhnya tradisi ilmiah di Valencia telah membuat kota ini memiliki peran cukup besar dalam mentransfer ilmu pengetahuan ke wilayah Eropa. Di sisi lain, pemerintahan Islam di Valencia juga telah melahirkan terobosan dalam tata pemerintahan.

Di antaranya, lahirnya sebuah dewan legislatif dan hakim yang bertindak sebagai inspektur atau pengawas pasar dan masyarakat. Mereka bertindak pula sebagai pembela konsumen. Dalam hukum maritim telah ada pengadilan otonom.

Islam di Indonesia Bisa Jadi Model Dunia

Ulama Australia, Syekh Burhan Mehtar, menyatakan Islam di Indonesia layak menjadi contoh bagi dunia. Alasannya, ajaran Islam dinilai telah menjadi sumber bagi kehidupan banyak Muslim di negara ini. Mereka dikenal ramah, sederhana, penuh cinta kasih dan berusaha mempraktikkan kecintaan pada Quran dan Sunnah melalui kegiatan sehari-hari.

‘’Saya pikir orang (Islam) Indonesia memang seperti yang kita baca dan dengar. Islam di sini tersebar dengan kebaikan, cinta, kesederhanaan dan semoga bisa terbesar di dunia sebagai model,’’ katanya kepada Republika usai memberikan ceramah di Masjid Baitul Ihsan Bank Indonesia, Senin, (12/4).

Burhan menyebutkan, dari beberapa kunjungan ke beberapa daerah dalam beberapa hari lalu, masyarakat Muslim di Indonesia dinilai cukup baik dalam menerapkan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari. Hal itu ditunjukkan dengan banyaknya Muslim di sejumlah daerah yang berusaha memenuhi masjid untuk melaksanakan ibadah shalat Shubuh.

‘’Ketika saya di Medan, saya datang ke mesjid-mesjid, masya Allah saat subuh 500-1000 orang hadir. Mereka juga rajin membaca Quran. Ada kecintaan pada Qur’an,’’ katanya.

Menurut Burhan, masyarakat di Australia dan dunia perlu sering berkunjung ke Indonesia. Hal itu penting dilakukan untuk mengenal lebih jauh tentang Islam dan keindahahan kepribadian Muslim di negara ini. ‘’Karena itu, kunjungan ini akan menjadi satu dari ratusan kunjungan dakwah ke Indonesia,’’ katanya.

Pendapat tidak jauh berbeda diungkapkan ulama asal Madinah, Arab Saudi, Syekh Muhammad Saad Nomani. Menurutnya, cukup banyak masyarakat Indonesian yang berusaha mengamalkan ajaran Islam dan kecintaan pada Quran dan Sunnah. Ungkapan Syekh berdasarkan hasil pengamatan dari kunjungan ke beberapa daerah di Indonesia. ‘

’Kami menyaksikan banyak orang Islam di sini yang mencintai Quran. Ini merupakan negara yang baik terlebih sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia,’’ kata ulama keturunan Imam Abu Hanifah ini

Mengenal Warisan Islam di Kota Madrid

Semula, Madrid bernama Madjrit. Nama ini disematkan oleh umat Islam pada masa kekuasaan Dinasti Umayyah. Merujuk pada Oliver Asin, seorang sejarawan, Madjrit ini pada mulanya adalah sebuah kota kecil di perbatasan yang didirikan oleh Dinasti Umayyah pada abad ke-9.

Dalam bibliografi karya Ibnu Hayyan, disebutkan kebanyakan yang menjadi gubernur Kota Madrid pada masa pemerintahan Dinasti Umayyah adalah anggota keluarga Bani Salim dari Berber. Al-Himrayi mengatakan, pada saat itu Madrid juga memiliki sebuah benteng. Ia mengatakan, benteng ini dibangun oleh Amir Umayyah dari Cordoba bernama Muhammad I yang berkuasa antara tahun 852 hingga 886 Masehi.

Benteng itu sangat kuat dan tak mudah ditembus musuh. Saat itu, Madrid hanya sebuah kota kecil, namun memiliki kegiatan ekonomi yang cukup bagus. Misalnya, ada industri pembuatan sepatu bersol gabus, yang semula dikembangkan oleh orang-orang Romawi. Juga industri kayu ek.

Di bawah pemerintahan Islam, teknik pembuatan sepatu bersol gabus diintensifkan dan didiversifikasi sehingga sepatu bersol gabus menjadi hal umum di Spanyol. Bahkan pada masa itu, sepatu bersol gabus merupakan komoditas pokok ekspor.

Warisan lain umat Islam di Kota Madrid adalah penggunaan qanat, yaitu terowongan bawah tanah yang digunakan untuk tujuan irigasi. Di sana, juga dibangun sistem penyedia an air untuk seluruh wilayah kota tersebut.

Meski pernah menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan, tak banyak lagi karya-karya ilmu pengetahuan karena banyak yang hancur akibat peperangan. Saat Philip II pada abad ke-16 mendirikan perpustakaan Escorial, ia tak banyak menemukan buku berbahasa Arab. Di Escorial, yang kemudian menjadi perpustakaan terbesar di Spanyol pada abad ke-17, hanya 4.000 judul buku Islam yang masih selamat dari penghancuran buku terburuk dalam sejarah Spanyol.

Potret Gemilang Islam di Era Abbasiyah

Tak hanya terobosan dalam tata pemerintahan, pada masa Abbasiyah, tradisi keilmuan berkembang pula. Salah satu yang terlihat jelas adalah metode penulisan sejarah. Philip K Hitti dalam History of the Arabs menyatakan, pada masa Abbasiyah, metode penulisan sejarah telah matang untuk melahirkan karya sejarah formal.

Pada masa sebelumnya, penulisan sejarah dilakukan berdasarkan legenda dan anekdot pada masa pra-Islam. Pun, didasarkan pada tradisi keagamaan yang berkisar pada nama dan kehidupan Nabi. Namun, saat Dinasti Abbasiyah berkuasa, penulisan sejarah mengalami kemajuan. Penulisan dilekatkan pada legenda, tradisi, biografi, geneologi, dan narasi.

Sejarah juga diriwayatkan melalui penuturan para saksi atau orang yang sezaman dengan penulis. Ini dilakukan melalui sejumlah mata rantai para saksi sejarah. Metode ini dinilai telah menjamin keakuratan data bahkan hingga penanggalan kejadian, meliputi bulan dan hari kejadian.

Sejarawan formal pertama pada masa itu adalah Ibn Qutaybah yang bernama lengkap Muhammad ibn Muslim Al Dinawari. Ibn Qutaybah meninggal dunia di Baghdad pada 889 Masehi setelah menuntaskan penulisan bukunya, Kitab Al Maarif atau Buku Pengetahuan.

Sejarawan ternama lainnya yang sezaman dengannya adalah Abu Hanifah Ahmad ibn Dawud Al Dinawari. Ia tinggal di Isfahan. Karya utama Al Dinawari adalah Al Akhbar Al Thiwal (Cerita Panjang), yang merupakan sejarah dunia dari sudut pandang Persia. Di kemudian hari, muncul nama Abu Al Hasan Ali Al Mas’udi.

Di kalangan sejarawan Muslim, ia mendapat julukan Herodotus bangsa Arab. Sebab, Al Mas’udi dianggap sekelas dengan sejarawan Yunani, Herodotus yang hidup pada abad ke-5 Masehi. Al Mas’udi oleh para pemikir dianggap telah memprakarsai metode tematis dalam penulisan karya-karya sejarah.

Metode yang Al Mas’udi gunakan tidak seperti metode yang digunakan sejarawan ternama, Al Thabari, yang dalam menyusun karya sejarah berdasarkan tahun kejadian. Dalam menulis, ia mengelompokkan berbagai peristiwa sejarah berdasarkan dinasti, raja, serta masyarakatnya.

Metode tersebut kemudian diikuti oleh para ahli sejarah lain, seperti Ibn Khaldun. Al Mas’udi juga merupakan orang yang pertama kali menggunakan anekdot-anekdot sejarah. Ia berkelana mencari ilmu hingga ke Baghdad, Asia, dan Zanzibar. Pada dekade terakhir kehidupannya, Al Mas’udi berada di Suriah dan Mesir untuk menulis 30 jilid buku yang berjudul Muruj al Dzahab wa Ma’adin al Jawhar (Padang Emas dan Tambang Batu Mulia). Ini karya geografis bergaya ensiklopedia.

Pada bagian awal karyanya, Al Mas’udi mengatakan daerah-daerah yang tandus pada mulanya adalah lautan dan daerah yang sekarang lautan pada mulanya adalah daerah tandus. Menurut dia, hal tersebut terjadi karena kekuatan alam. Sedangkan dalam karyanya yang berjudul Al Tanbih wa Al Isyraf, Al Mas’udi mengungkapkan pemikirannya tentang filsafat sejarah dan alam. Ia juga mengutip sejumlah pendapat ahli filsafat pada masa itu.

12 October 2010

Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy

1. Riwayat Hidup
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy (ulama) dilahirkan pada tanggal 10 Maret 1904 di Lhokseumawe, Aceh Utara, Indonesia. Ayahnya bernama Al Hajj Teungku Qadhi Chik Maharaja Mangkubumi Husein ibn Muhammad Mas‘ud, seorang ulama terkenal yang memiliki sebuah dayah (pesantren). Ibunya bernama Teungku Amrah, puteri Teungku Abdul Aziz pemangku jabatan Qadhi Chik Maharaja Mangkubumi Kesultanan Aceh waktu itu. Menurut silsilah, Hasbi ash-Shiddieqy merupakan keturunan Abu Bakar ash-Ashiddieqy (khalifah pertama), generasi ke-37. Oleh karena itu, sebagai keturunan Abu Bakar ash-Shiddieqy, ia kemudian melekatkan gelar ash-Shiddieqy di belakang namanya. Ketika ia berusia 6 tahun, ibunya, Teungku Amrah, meningggal dunia. Kemudian, ia diasuh oleh bibinya yang bernama Teungku Syamsiah.
Ketika masih kecil, Teungku Hasbi ash-Shiddieqy mulai belajar agama Islam di dayah (pesantren) milik ayahnya. Pada usia 8 tahun, ia mengunjungi berbagai dayah dari satu kota ke kota lain yang berada dibekas pusat kerajaan Pasai selama 20 tahun. Dalam pengembaraan tersebut, ia pernah belajar bahasa Arab pada Syekh Muhammad ibn Salim al-Kalali, seorang ulama dari Arab. Setelah itu, tahun 1926, ia merantau ke Surabaya untuk melanjutkan pendidikan di Madrasah al-Irsyad, sebuah organisasi keagamaan yang didirikan Syekh Ahmad Soorkati (1874-1943), seorang ulama dari Sudan yang terkenal memiliki pemikiran modern waktu itu. Di madrasah tersebut, ia menempuh pendidikan selama dua tahun dengan mengambil pelajaran takhassus (spesialisasi) dalam bidang pendidikan dan bahasa. Hasbi ash-Shiddieqy juga pernah mendalami ilmu agama Islam di Timur Tengah. Selain melalui jalur pendidikan formal, Hasbi ash-Shiddieqy juga mendalami berbagai disiplin ilmu agama melalui belajar secara autodidak.
Setelah menempuh pendidikan di Surabaya, Teungku Hasbi ash-Shiddieqy kembali ke Aceh sekitar tahun 1928, kemudian ia bergabung dalam beberapa kegiatan organisasi, di antaranya menjadi anggota organisasi Muhammadiyah dan partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Setelah itu, pada tahun 1951, Hasbi ash-Shiddieqy merantau ke Yogyakarta dan kemudian menetap untuk berkonsentrasi pada bidang pendidikan. Tahun 1960, ia diangkat sebagai Guru Besar dalam bidang ilmu Hadis dan Dekan di Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (sekarang Universitas Islam Negeri/UIN) hingga tahun 1972. Selain itu, ia juga pernah diundang sebagai pemakalah dalam International Islamic Colloquium yang diselenggarakan di Lahore, Pakistan tahun 1958.
Semasa hidupnya, Hasbi ash-Shiddieqy juga aktif menulis di berbagai disiplin ilmu, khususnya ilmu-ilmu keislaman, seperti fiqh, hadis, tafsir dan tauhid (ilmu kalam). Menurut catatan para kolektor karya Hasbi ash-Shiddieqy, karya tulis yang telah dihasilkannya berjumlah 73 judul. Sebagian besar karyanya adalah buku-buku fiqh yang berjumlah 36 judul. Sementara bidang-bidang lainnya, seperti hadis berjumlah 8 judul, tafsir 6 judul, dan tauhid 5 judul, selebihnya adalah tema-tema yang bersifat umum. Sebelum menghembuskan nafas terakhir, ia masih sempat menyelesaikan naskah terakhirnya yang berjudul Pedoman Haji.
Teungku Hasbi ash-Shiddieqy meninggal dunia pada tanggal 9 Desember 1975 di Jakarta, dalam usia 71 tahun. Jenazahnya dimakamkan di Pemakaman Keluarga IAIN Ciputat Jakarta. Pada upacara pelepasan jenazah, turut memberikan sambutan Buya Hamka (almarhum), dan pada saat pemakaman, dilepas oleh Mr. Moh. Rum (almarhum).
2. Pemikiran
Sebagai ulama kontemporer, Teungku Hasbi ash-Shiddieqy memiliki pandangan tersendiri mengenai syariat Islam. Ia berpandangan, syariat Islam memiliki sifat dinamis dan elastis, sesuai dengan perkembangan zaman dan konteks sosial budaya yang ada. Ruang lingkupnya mencakup segala aspek kehidupan manusia, baik hubungan sesama manusia maupun dengan Tuhan. Kemudian, syariat Islam yang bersumber dari wahyu Allah SWT. tersebut, dikaji dan dipahami umat Islam melalui metode ijtihad untuk menyesuaikan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat. Hasil ijtihad ini kemudian melahirkan banyak kitab fiqh. Penulis kitab-kitab fiqh tersebut dikenal sebagai imam-imam mujtahid, pendiri mazhab yang empat, yaitu Abu Hanifah, Malik, asya-Syafii dan Ahmad Hanbal.
Akan tetapi, menurut Hasbi ash-Shiddieqy, banyak di kalangan umat Islam, khususnya di Indonesia, belum bisa membedakan antara syariat Islam yang langsung dari Allah SWT., dan hukum-hukum fiqh hasil ijtihad para imam mazhab. Selama ini, sebagian umat Islam cenderung menganggap fiqh sebagai syariat yang absolut (pasti). Akibatnya, kitab-kitab fiqh imam mazhab tersebut dijadikan sebagai salah satu sumber syariat yang pokok dalam kehidupan sehari-hari. Padahal pendapat imam mazhab tersebut, masih perlu diteliti dan dikaji ulang dengan konteks kekinian, sebab hasil ijtihad mereka tentu tidak terlepas dari situasi dan kondisi sosio-kultural serta lingkungan geografis mereka pada waktu itu.
Dalam konteks keindonesiaan, Hasbi ash-Shiddieqy melihat bahwa fiqh yang dianut masyarakat Islam Indonesia banyak yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Kebanyakan dari mereka cenderung memaksakan pemberlakuan fiqh imam-imam mazhab tersebut. Untuk itu, sebagai alternarif terhadap sikap tersebut, ia mengajukan gagasan perumusan kembali fiqh Islam yang sesuai dengan kepribadian masyarakat Indonesia. Menurutnya, umat Islam harus mampu menciptakan hukum fiqh yang sesuai dengan latar belakang sosio-kultural masyarakat Indonesia, tanpa harus meninggalkan hasil ijtihad ulama masa lalu. Justru, hasil ijtihad tersebut harus diteliti, dikaji dan dipelajari secara bebas, kritis dan terlepas dari sikap fanatik. Dengan demikian, ijtihad imam mazhab manapun, jika sesuai dan relevan dengan situasi masyarakat Indonesia, tentu dapat diterima dan diterapkan.
Untuk mewujudkan usaha ini, maka para ulama dituntut mengembangkan dan menggalakkan ijtihad. Oleh karena itu, Hasbi ash-Shiddieqy menolak pandangan, pintu ijtihad sudah tertutup, karena ijtihad merupakan suatu kebutuhan yang terus berlanjut sampai akhir zaman. Menurutnya, untuk mewujudkan fiqh Islam yang berwawasan keindonesiaan, ada tiga bentuk ijtihad yang perlu dilakukan. Pertama, ijtihad dengan mengklasifikasikan hukum-hukum produk imam mazhab masa lalu, sehingga dapat dipilih pendapat mereka yang masih cocok untuk diterapkan di masyarakat kita sekarang ini. Kedua, ijtihad dengan mengklasifikasikan hukum-hukum yang semata-mata didasarkan pada adat kebiasaan dan suasana masyarakat di mana hukum itu berkembang. Menurutnya, hukum ini bisa berubah sesuai dengan perubahan zaman dan perkembangan masyarakat. Ketiga, ijtihad dengan mencari hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah-masalah kontemporer yang timbul akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, seperti transplantasi organ tubuh, bank, asuransi, air susu ibu, dan inseminasi buatan.
Kompleksnya permasalahan yang terjadi sebagai dampak kemajuan peradaban, menyebabkan pendekatan yang harus dilakukan untuk mengatasinya tidak bisa pada bidang tertentu saja. Permasalahan ekonomi, umpamanya, tentu akan berdampak pada aspek-aspek lain. Oleh karena itu, menurut Hasbi ash-Shiddieqy, ijtihad tidak dapat terlaksana dengan efektif jika dilakukan secara individual, maka ia kemudian menawarkan gagasan ijtihad jama‘i (ijtihad kolektif). Para anggotanya tidak hanya dari kalangan ulama, tetapi juga dari berbagai kalangan ilmuwan muslim lainnya, seperti ekonom, dokter, budayawan, dan politikus yang mempunyai visi dan wawasan yang tajam terhadap permasalahan umat Islam. Melalui ijtihad kolektif ini, diharapkan umat Islam Indonesia dapat merumuskan sendiri fiqh yang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Rumusan fiqh tersebut tidak harus terikat pada salah satu mazhab, tetapi penggabungan beberapa pendapat yang sesuai dengan keadaan masyarakat. Menurutnya, hukum yang baik adalah yang mempertimbangkan dan memperhatikan kondisi sosial, ekonomi, budaya, adat-istiadat, dan kecenderungan masyarakat yang bersangkutan. Hasbi ash-Shiddieqy bahkan menegaskan bahwa dalam sejarahnya, banyak kitab fiqh yang ditulis ulama yang mengacu pada adat-istiadat (‘urf) suatu daerah. Sebagai contoh, pendapat Imam asy-Syafii yang berubah seiring dengan perpindahannya dari Irak ke Mesir. Ketika masih di Irak, ia memiliki beberapa pendapat yang sesuai dengan kondisi sosio-kultural Irak saat itu, yang kemudian dikenal dengan sebutan qaul qadim (pendapat lama). Ketika ia pindah ke Mesir dengan kondisi sosio-kultural yang baru, ia mengubah beberapa pendapatnya yang pernah ia pegang selama di Irak, sehingga muncul pendapat baru, yang kemudian disebut dengan qaul jadid (pendapat baru). Dengan demikian, ijtihad harus terus dikembangkan, tidak boleh ditutup.
3. Karya-karya
Sebagai ulama besar, Teungku Hasbi ash-Shiddieqy telah melahirkan banyak karya, di antaranya:
1. Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 1. Semarang: Pustaka Rizki Putra.
2. Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 2. Bandung: Almaarif.
3. Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 3. Semarang: Pustaka Rizki Putra.
4. Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 4. Bandung: Almaarif.
5. Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 5. Yayasan Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy.
6. Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 6. Yayasan Teunkgu Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy.
7. Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 7. Semarang: Pustaka Rizki Putra.
8. Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 8. Semarang: Pustaka Rizki Putra.
9. Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 9. Semarang: Pustaka Rizki Putra.
10. Mutiara Hadis 1 (Keimanan). Semarang: Pustaka Rizki Putra.
11. Mutiara Hadis 2 (Thaharah & Shalat). Semarang: Pustaka Rizki Putra.
12. Mutiara Hadis 3 (Shalat). Semarang: Pustaka Rizki Putra.
13. Mutiara Hadis 4 (Jenazah, Zakat, Puasa, Iktikaf & Haji). Semarang: Pustaka Rizki Putra.
14. Mutiara Hadis 5 (Nikah & Hukum Keluarga, Perbudakan, Jual Beli, Nazar & Sumpah, Pidana & Peradilan, Jihad). Semarang: Pustaka Rizki Putra.
15. Sejarah dan Pengantar Ilmu Alquran dan Tafsir Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy. Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000.
16. Islam dan HAM (Hak Asasi Manusia): Dokumenter Politik Pokok-pokok Pikiran Partai Islam dalam Sidang Konsituante 4 Februari 1958. Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999.
17. Sejarah Pengantar Ilmu Hadis. Jakarta: Bulan Bintang, 1978.
18. Sejarah dan Pengantar Ilmu Tafsir. Jakarta: Bulan Bintang, 1965.
19. Kriteria Antara Sunnah dan Bid‘ah. Jakarta: Bulan Bintang, 1993.
20. Tafsir Alquran al-Madjied-An-Nur. Jakarta: Bulan Bintang, 1965.
21. Pedoman Haji, (Cetakan ke-9, Edisi ke-2). Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2005.
22. Dll.
2. Penghargaan
Atas jasa-jasanya terhadap dunia pendidikan, Teungku Hasbi ash-Shiddieqy telah dianugerahi beberapa penghargaan, di antaranya:
1. Anugerah Doctor Honoris Causa dari Universitas Islam Bandung (UNISBA) pada tahun 1975.
2. Anugerah Doctor Honoris Causa dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tahun 1975.

Syekh Sulaiman al-Rasuli

1. Riwayat Hidup
Perkembangan agama Islam di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari kiprah para tokoh agama dan ulama besar yang giat menyebarkan ajarannya di berbagai wilayah. Sejauh ini, Sumatera Barat merupakan salah satu daerah yang melahirkan banyak ulama terkemuka. Di antara ulama terkemuka tersebut adalah Syekh Sulaiman al-Rasuli.
Syekh Sulaiman al-Rasuli, yang lebih dikenal oleh para muridnya dengan nama Maulana Syekh Sulaiman, dilahirkan pada tahun 1871 M/ 1287H di Candung, yang terletak 10 km. sebelah timur Bukittinggi, Sumatera Barat, Indonesia. Tak jarang pula, ia dipanggil dengan sebutan "Inyik Candung". Ayahnya, Angku Mudo Muhammad Rasul, adalah seorang ulama yang disegani di kampung halamannya.
Sejak kecil, Syekh Sulaiman memperoleh pendidikan awal, terutama dalam bidang pelajaran agama, dari ayahnya. Sebelum meneruskan studinya ke Mekah, ia juga pernah belajar kepada Syekh Yahya al-Khalidi Magak, Bukittinggi, Sumatera Barat. Selama di Mekah, ia belajar kepada Syekh Ahmad Khatib bin Abdul Latif Minankabawi, Syekh Ali Kutan al-Kelantani, Syekh Ahmad Muhammad Zain al-Fathani, dan beberapa ulama Melayu yang bermukim di sana. Menurut riwayat, di kota suci ini, ia seangkatan dengan ulama-ulama Melayu lainnya, seperti Syekh Abbas Ladang Lawas (Bukittinggi), Syekh Jamil Jaho (Padang Panjang), Kyai Hasyim Asy‘ari (Jombang), Syekh Hasan Maksum (Sumatera Utara), Syekh Khatib Ali Minankabawi, Syekh Zain Simabur, Syekh Muham¬mad Yusuf Kenali (Tok Kenali al-Kelantani), dan Syekh Utsman al-Sarawaki.
Sekembalinya dari Mekah, Syekh Sulaiman mendirikan pondok pesantren di tanah kela¬hiran¬nya. Dalam waktu singkat, pesantren yang didirikannya mendapat dukungan penuh dari masyarakat sekitarnya. Dukungan ini mendorong bertambahnya jumlah murid yang menuntut ilmu di pesantren ini. Murid-murid yang belajar di pesantren tersebut tidak hanya berasal dari daerah setempat, melainkan juga datang dari berbagai wilayah Sumatera Barat, Riau, Jambi, Bengkulu, Tapanuli, Aceh, dan bahkan, ada yang datang dari Malaysia.
Materi utama pendidikan di pesantren tersebut adalah pengajaran paham Ahl al-Sunnah wa al-Jama‘ah dan madzhab Syafi‘i. Syekh Sulaiman sangat konsisten menjalankan paham dan aliran tersebut. Ia kemudian mencantumkan pada ijazah kelulusan bagi murid-muridnya pernyataan bahwa si pemegang ijazah, jika berfatwa, harus mendasarkan pada mazhab Syafi‘i. Selain itu, masih dalam ijazah tersebut, tercantum tulisan bahwa Syekh Sulaiman tidak akan rela bila muridnya berfatwa atau menganut paham selain paham Syafi‘i.
Selain aktif di dunia pendidikan agama, Syekh Sulaiman juga aktif di dunia politik dan keorganisasian. Pada tahun 1921, ia bersama dua teman akrabnya, Syekh Abbas dan Syekh Muhammad Jamil, serta sejumlah ulama ‘kaum tua‘ (golongan ulama yang tetap mengikuti salah satu dari empat madzhab dalam fiqh: Maliki, Syafi‘i, Hanafi, dan Hanbali) Minangkabau, membentuk organisasi bernama ‘Ittihadul Ulama Sumatera‘ (Persatuan Ulama Sumatera) yang bertujuan untuk membela dan mengembangkan paham Ahl al-Sunnah wa al-Jama‘ah madzhab Syafi‘i. Organisasi ini merupakan saingan dari Persatuan Guru-guru Agama Islam (PGAI) yang didirikan oleh ‘kaum muda‘ (golongan ulama yang terpengaruh dengan pemikiran tokoh-tokoh pembaharu Islam di Mesir: Syekh Muhammad Abduh dan Syekh Muhammad Rasyid Ridha) pada tahun 1918. Salah satu kegiatannya adalah menerbitkan majalah “al-Radd wa al-Mardud” sebagai sarana untuk menjelaskan serta memperta¬han¬kan paham Ahl al-Sunnah wa al-Jama‘ah madzhab Syafi‘i.
Pada tahun 1928, Syekh Sulaiman al-Rasuli bersama kaum tua dan dua sahabatnya, Syekh Abbas dan Syekh Muhammad Jamil, membentuk organisasi persatuan sekolah-sekolah agama yang berpaham Ahl al-Sunnah wa al-Jama‘ah dengan nama ‘Persatuan Tarbiyah Islamiyah‘ (Perti), di mana seluruh madrasah dan pondok pesantren yang berafiliasi kepadanya dinamakan ‘Madrasah Tarbiyah Islamiyyah‘. Pendirian organisasi ini disebabkan ketidaksetujuan kaum tua dengan aliran pendidikan reformis yang dikem¬bang¬¬kan oleh kaum muda, seperti madrasah diniyah dan pondok pesantren Thawalib. Seluruh madrasah dan pondok pesantren yang tergabung dalam Perti, dirubah cara pengajarannya dengan menggunakan sistem klasikal (menggunakan papan tulis, meja, dan bangku), tetapi mata pelajaran dan kitab-kitabnya (Matan Taqrib, Fathul Qarib, Fathul Mu‘in, I‘anatu al-Thalibin, dan Mahalli) masih tetap dipertahankan. Selang beberapa tahun kemudian, madrasah-madrasah seperti ini menyebar ke seluruh Sumatera, mulai dari Aceh hingga ke Lampung. Selanjutnya, kegiatan organisasi ini tidak hanya terfokus pada dunia pendidikan, tetapi juga merambah pada dunia politik, dan tak lama setelah itu, menjelma menjadi partai politik dengan singkatan Perti.
Di bidang politik, Syekh Sulaiman pernah menjadi anggota Konstituante hasil Pemilu tahun 1955. Ia merupakan salah satu anggota tertua dan sempat ditunjuk untuk memimpin sidang pertama Konstituante. Kiprahnya dalam bidang politik pernah mengantarkannya menduduki jabatan ketua Majelis Islam Tertinggi Sumatera Barat di Bukittinggi. Selain itu, pada zaman pendudukan Jepang tahun 1942, ia pernah menghadiri konferensi ulama-ulama Sumatera dan Malaysia di Singapura.
Sumbangsih Syekh Sulaiman al-Rasuli dalam mengembangkan pendidikan dan agama Islam di tanah kelahirannya memiliki pengaruh yang sangat berarti. Sejarah telah membuktikan bahwa organisasi Perti yang dibentuk bersama kaum tua dan dua sahabatnya dulu, kini telah menjelma menjadi sebuah organisasi yang mapan dan memayungi ratusan sekolah dan lembaga pendidikan Islam. Di sini Syekh Sulaiman hendak menyampaikan pesan bahwa dengan memajukan pendidikan, maka umat Islam akan dapat bangkit dan berkiprah lebih aktif dalam usaha membangun bangsa dan agama. Ia salah satu ulama besar asal Sumatera Barat yang gigih dalam membela Islam. Ia wafat dalam usia 85 tahun, yaitu bertepatan dengan tanggal 28 Rabi‘ul Akhir 1390 H/1 Agustus 1970, dan dimakamkan di Komplek Madrasah Tarbiyyah Islamiyyah, Candung, Bukittinggi, Sumatera Barat, Indonesia.
2. Pemikiran
Syekh Sulaiman al-Rasuli seringkali berbeda pendapat dengan kaum muda (pembaharu) lantaran keteguhannya mempertahankan paham Ahl al-Sunnah wa al-Jama‘ah dan madzhab Syafi‘i. Menurut Kyai Haji Sirajuddin Abbas dalam bukunya “Sejarah dan Keagungan Mazhab Syafi‘i”, ia adalah salah seorang ulama besar yang tidak menerima paham pembaharuan ala Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Kendati demikian, ia sangat toleran dan menghargai pendapat orang lain. Oleh sebab itu, tak aneh jika ulama ini kerap bekerja sama dengan berbagai pihak meski ada keti¬dak¬sepahaman.

Suatu ketika, Syekh Sulaiman berbeda pendapat dengan Haji Abdul Karim Amrullah (tokoh pembaharu Minangkabau) mengenai tarekat Naqsyabandiyyah serta rukyat dalam penetapan awal Ramadhan. Hal ini dikarenakan Haji Abdul Karim Amrullah banyak dipengaruhi pemikiran revolusioner, Syekh Ahmad Khatib, yang menentang adat matrilineal Minangkabau dan tarekat Naqsyabandiyyah al-Khalidiyyah di Sumatera Barat. Haji Abdul Karim Amrullah berusaha mengungkapkan kekeliruan tarekat tersebut terutama dalam praktek dhikr lata‘if, suluk (khalwa), khatm-i khwajagan, dan rabita bi-l-shaykh. Ia (Haji Abdul Karim Amrullah) mencoba meluruskan praktek tarekat yang menurutnya tidak ada dasarnya dalam Islam. Namun demikian, keduanya (Syekh Sulai¬man al-Rasuli dan Haji Abdul Karim) tidak membawa perbedaan pendapat itu ke dalam suatu debat kusir. Keduanya justru bekerja sama erat khususnya untuk menghadapi kolonialisme. Mereka berdua bahkan acap kali mengisi ceramah di satu tempat, dan bersama dengan Syekh Ibrahim Musa (tokoh pembaharu di Parabek, Bukittinggi) berjanji untuk membawa semangat persatuan kepada segenap umat di wilayahnya.

Perdebatan mengenai penetapan awal dan akhir bulan puasa sebenarnya tidak hanya terjadi pada masa Syekh Sulaiman dan Haji Abdul Karim Amrullah. Jauh sebelum me¬re¬ka lahir, perdebatan semacam ini telah sering terjadi antara para pengikut tarekat Naqsybandiyyah dan pengikut tarekat Syatariyyah sejak berkembangnya kedua tarekat ini. Schrieke, misalnya, melaporkan bahwa selama bertahun-tahun, di sekitar Padang Panjang selalu terjadi pertentangan sengit antara Syatariyyah dan Naqsyban¬diyyah menyangkut persoalan tersebut. Demikian halnya di Pariaman, hingga sekarang masih terjadi perbedaan pendapat antara penganut tarekat Syatariyyah di Ulakan dengan penganut Naqsyban¬diyyah di Cangking mengenai awal dan akhir bulan puasa. Biasanya, para penganut Syatariyyah merayakan puasa Ramadan dua hari kemudian setelah para penganut tarekat Naqsybandiyyah merayakannya, sehingga mereka (penganut Syatariyyah) mendapatkan julukan “orang puasa kemudian”, sementara penganut tarekat Naqsybandiyyah disebut orang sebagai “orang puasa dahulu”.
Dengan demikian, munculnya perdebatan antara Syekh Sulaiman al-Rasuli (kaum tua) dan Haji Karim Amrul¬lah (kaum muda) tidak terlepas dari perbedaan paham yang mereka anut, meskipun keduanya pernah berguru kepada Syekh Ahmad Khatib al-Minankabawi, imam madzhab Syafi‘i di Masjid al-Haram. Hal ini dikarenakan Syekh Sulaiman lebih mengembangkan paham Sunni Syafi‘i dan tarekat Naqsy¬ban¬diyyah. Sementara, Haji Karim Amrullah lebih mengembangkan ide-ide pembaharuan agama yang banyak dipengaruhi oleh gerakan Islamic Reviva¬lism di Timur Tengah.
Sebagai ulama yang gigih membela dan mengembangkan paham Ahl al-Sunnah wa al-Jama‘ah, Syekh Sulaiman al-Rasuli berusaha menyampaikan pemahaman ajaran ini kepada para pengikutnya sepanjang hidupnya. Menurutnya, Ahl al-Sunnah wa al-Jama‘ah, secara umum berarti kelompok yang berpegang teguh pada sunnah dan jama‘ah. Ia dan pengikutnya yang menganut paham Ahl al-Sunnah wa al-Jama‘ah menjadikan “sunnah”, atau hadis Nabi, dan ijma‘ sebagai pedoman dalam kehidupan beragama. Dengan demikian, bagi Syekh Sulaiman dan pengikutnya, setidaknya ada tiga pedoman yang menjadi rujukan dalam beragama mereka: al-Qur‘an, hadis Nabi, dan ijma‘. Kendati ijma‘ hanya menempati urutan ketiga, dalam kenyataannya, ijma‘ seringkali menjadi penentu dalam menjustifikasi sebuah persoalan hukum, terutama jika tidak dikemukakan secara spesifik dalam al-Qur‘an dan hadis Nabi. Oleh karenanya, bagi mereka yang menganut paham Ahl al-Sunnah wa al-Jama‘ah, ijma‘ —yang menghendaki adanya persetujuan mayoritas ummat atau jama‘ah dalam membuat sebuah keputusan hukum— menjadi semacam ‘kata kunci‘ yang membedakan kelompoknya dengan kelompok lain.
Namun demikian, paham Ahl al-Sunnah wa al-Jama‘ah yang digagas oleh Syekh Sulaiman al-Rasuli berbeda dengan paham serupa yang digagas oleh sejumlah tokoh Nahdatul Ulama. Syekh Sulaiman berpedoman kepada al-Qur‘an, hadis Nabi, ijma‘, dan madzhab Syafi‘i, sementara NU, selain berpedoman kepada al-Quran, hadis Nabi, dan ijma‘, juga berpegang teguh pada tiga tradisi, yakni: mengikuti paham al-‘Asy‘ari dan al-Maturidi dalam persoalan teologi (tauhid) dan mengikuti paham salah satu dari empat madzhab dalam persoalan hukum (fiqh), yaitu madzhab imam Maliki, Syafi‘i, Hambali, dan Hanafi.
3. Karya
Sebagai seorang ulama, Syekh Sulaiman al-Rasuli telah melahirkan beberapa karya, di antaranya:
1. Dhiya-us Siraj fil Isra‘ wal Mi‘raj.
2. Tsamaratul Ihsan fi wiladah Sayyidil Insan.
3. Dawa-ul Qulub fi qishshah Yusuf wa Ya‘qub.
4. Risalah al-Aqwal al-Washitah fidz-Dzikri war-Rabithah.
5. al-Qaulul Bayan fi Tafsiril Quran.
6. Al-Jawahirul Kalamiyyah.
7. Sabilus Salamah fi wird Sayyidil Ummah.
8. Perdamaian Adat dan Syara‘.
9. Kisah Muhammad ‘Arif (tasawwuf).
4. Penghargaan
Sebagai ulama besar yang terlibat aktif di dunia politik, Syekh Sulaiman al-Rasuli pernah dilantik pemerintah Republik Indonesia Serikat untuk menjadi salah satu anggota Dewan Konstituante, mewakili Perti, pada tahun 1950.
Sumber :
• http://www.republika.co.id
• www.cimbuak.net
• http://ulama-nusantara.blogspot.com
• Sejarah dan Keagungan Mazhab Syafie. Aman Press, 1985.

Syekh Ahmad Khatib al-Minankabawi

1. Riwayat Hidup
Syekh Ahmad Khatib bin Abdul Latif bin Abdullah al-Minankabawi dilahirkan dari keluarga yang berlatar belakang agama dan adat yang kuat pada tanggal 26 Juni 1860 M/6 Dzulhijjah 1276 H di Bukittinggi, Sumatera Barat, Indonesia. Ayahnya adalah seorang hakim dari kaum Paderi yang sangat menentang keberadaan kolonialisme di Minangkabau, Sumatera Barat.
Masa kecil Ahmad Khatib dihabiskan untuk belajar dan menuntut ilmu. Pada tahun 1870, ia masuk sekolah pemerintah Belanda di Minangka¬bau, Sumatera Barat. Ia kemudian melanjutkan pendidi¬kannya ke sekolah guru (kweekschool) di Bukittinggi. Sebagaimana anak-anak dari kaum Paderi lainnya, selain belajar di sekolah formal, ia juga belajar ilmu agama kepada orang tua dan guru ngajinya di Surau.
Pada tahun 1881, Ahmad Khatib pergi ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji dan memperdalam ilmu agama. Di kota ini, ia belajar kepada ulama Mekah, seperti Sayyid Bakri Syatha, Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, dan Syekh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah al-Makki. Di kota ini pula, ia kemudian mendapatkan wawasan baru tentang keislaman dan kondisi dunia Islam yang sedang terjajah, yang pada gilirannya menya¬darkan dirinya akan pentingnya sebuah persatuan dan kesatuan umat Islam untuk melepaskan diri dari penjajahan. Kesadaran ini, ia tanamkan kepada murid-muridnya, seperti Syekh Muhammad Djamil Djambek, Haji Abdullah Karim Amrullah, Haji Abdullah Ahmad, dan Kyai Ahmad Dahlan, yang di kemudian hari men¬jadi pelopor gerakan pembaharuan agama sekaligus sebagai tokoh-tokoh per¬la¬wanan terhadap kolonialisme Belanda.
Syekh Ahmad Khatib al-Minankabawi merupakan ulama yang memiliki pendirian kuat dan menguasai berbagai displin ilmu. Dalam bidang fiqh dan akidah, ia masih tetap berpegang teguh pada madzhab Syafi‘i dan Ahl al-Sunnah wa al-Jama‘ah. Kedua hal inilah yang kemudian mengantarkannya menjadi imam madzhab Syafi‘i di Masjid al-Haram dan berhak menyandang gelar syekh. Ia wafat pada tanggal 9 Jumada al-Awal 1334 H/13 Maret 1916 M di Mekah, Saudi Arabia.
2. Pemikiran
Menurut riwayat, Syekh Ahmad Khatib al-Minankabawi meru¬pakan salah seorang tokoh intelektual abad ke-19 yang membawa gerakan pemba¬haruan (modernisme) Islam di Indonesia, khususnya daerah Minangkabau, meskipun setelah menunaikan ibadah haji (1882) hingga akhir hayatnya, ia tidak pernah kembali lagi ke tanah kelahirannya. Namun demikian, ia tetap menjalin hubungan intensif dengan orang-orang Indonesia, baik melalui mereka yang menu¬naikan ibadah haji maupun melalui para muridnya yang memper¬dalam ilmu agama di Mekah. Jabatannya sebagai imam madzhab Syafi‘i di Masjid al-Haram membuka peluang yang luas baginya untuk mentransfor¬masikan pemiki¬ran-pemi¬kiran reformatif kepada para jama‘ah haji dan murid-muridnya.
Pada dasarnya ada beberapa faktor yang melatarbelakangi pemikiran Syekh Ahmad Khatib, pertama, ia hidup pada masa kemunculan gerakan Islamic Revivalism yang bermarkas di Mekah; kedua, ia menyaksikan perkembangan gerakan antikoloni¬alisme di dunia Islam yang semakin mendunia. Dengan demikian, setidaknya ada dua bi¬dang yang menjadi fokus pe¬mi¬kiran¬¬nya, yaitu bidang akidah dan bidang politik.
a. Bidang Akidah
Syekh Ahmad Khatib banyak menentang praktek-praktek adat dan tingkah laku yang bertentangan dengan ajaran Islam, misalnya ten¬tang praktek tarekat Naqsyabandiyah al-Khalidiyyah di Minang¬ka¬bau, Sumatera Barat. Di samping itu, ia juga menolak hukum waris adat Minangkabau yang menganut sistem matrilinieal (adat masyarakat yang mengatur alur keturunan berasal dari pihak ibu), yang kemudian menjadi bahan perdebatan dengan kaum adat tanpa berkesudahan.
Pada tahun 1906, ia menulis buku yang berjudul “Izhharu Zaghlil Kazibin fi Tasyabbuhihim bish Shadiqin” yang merupakan tulisan sanggahan terhadap tarekat Naqsyabandiyyah al-Khalidiyah di Minangkabau. Kitab tersebut mengundang kemarahan seluruh penganut tarekat Naqsyabandiyah al-Khalidiyah dan penganut-penganut tarekat lain¬nya. Syekh Muhammad Sa‘ad Mungka (salah seorang ulama dari ‘kaum tua‘ yang menganut tarekat Naqsyabandiyyah) menanggapi karya tersebut dengan bukunya yang berjudul “Irghamu Unufi Muta‘annitin fi Inkarihim Rabithatil Washilin.”
Dengan terbitnya karya Mungka tersebut, Syekh Ahmad Khathib al-Minankabawi kemudian menjawabnya kembali dengan bukunya yang berjudul “Al-Ayatul Baiyinat lil Munshifin fi Iza¬lati Khurafati Ba‘dhil Muta‘ashshibin.” Karya ini juga kembali disa¬ng¬gah oleh Syekh Muhammad Sa‘ad Mungka dengan karyanya yang berjudul “Tanbihul ‘Awam ‘ala Taqrirati Ba‘dhil Anam.” Publikasi perdebatan-perdebatan ini kemudian mem¬bang¬¬kitkan sema¬ngat para pemba¬haru Islam di Minangkabau, yang kemu¬dian menjalar ke Pulau Jawa seperti gerakan pembaharuan agama ala Muhammadiyah yang dipelopori oleh KH. Ahmad Dahlan. Setelah karya ini, tidak terdapat sanggahan kembali dari Syekh Ahmad Khathib al-Minankabawi.
b. Bidang Politik
Menurut Haji Agus Salim, dalam suatu seminar di Cornel University (4 Maret 1953), Syekh Ahmad Khatib adalah ulama yang anti Belanda. Perasaan itu selalu ia gelorakan kepada murid-muridnya di Mekah. Ia berpendapat bahwa berperang melawan penjajah adalah jihad di jalan Allah. Kebenciannya terhadap kolonialis dapat dilihat dari hubungan¬nya yang kurang baik dengan Snouck Hurgronje, ilmuwan dan orient¬talis asal Belanda, ketika mengunjunginya di Mekah pada tahun 1885.
3. Karya
Sebagai ulama besar Melayu yang bermukim di Mekah, Syekh Ahmad Khatib al-Minankabawi telah menulis beberapa karya, baik berba¬ha¬sa Melayu maupun berbahasa Arab, di antaranya:
1. Al-Jauharun Naqiyah fil A‘mali Jaibiyah (bahasa Arab). Kairo, Mesir: Mathba‘ah al- Maimuniyah, 1309 H.
2. Hasyiyatun Nafahat ‘ala Syarhil Waraqat (bahasa Arab). Kairo, Mesir: Mathba‘ah Darul Kutub al-‘Arabiyah al-Kubra, 1332 H.
3. Raudhatul Hussab fi A‘mali ‘Ilmil Hisab (bahasa Arab). Kairo, Mesir: Mathba‘ah al-Maimuniyah, 1310 H.
4. Ad-Da‘il Masmu‘ fir Raddi ‘ala man Yuritsul Ikhwah wa Auladil Akhawat ma‘a Wu¬judil Ushl wal Furu‘ (bahasa Melayu). Kairo, Mesir: Mathba‘ah al-Maimuniyah, 1311 H.
5. Al-Manhajul Masyru‘ Tarjamah Kitab Ad-Da‘il Masmu‘ (bahasa Melayu). Kairo, Mesir: Mathba‘ah al-Maimuniyah, 1311 H.
6. ‘Alamul Hussab fi ‘Ilmil Hisab (bahasa Melayu). Mekah: Mathba‘ah al-‘Amirah al-Miriyah, 1313 H.
7. An-Nukhbatun Nahiyah Tarjamah Khulashatil Jawahirin Naqiyah fil A‘malil Jabiyah (bahasa Melayu).
8. Dhau-us Siraj (bahasa Melayu). Mekah: Mathba‘ah al-Miriyah al-Kainah, 1325 H.
9. Shulhul Jama‘atain bi Jawazi Ta‘addudil Jum‘atain (bahasa Arab). Mekah: Mathba‘ah al-Miriyah al-Kainah, Mekah, 1312 H.
4. Penghargaan
Atas penguasan dan pengetahuannya tentang madzhab imam Syafi‘i, Syekh Ahmad Khatib telah diangkat sebagai “Imam Khatib dan Mufti Besar Madzhab Syafi‘i” di Masjid al-Haram, Mekah, sehingga ia berhak mengajarkan madzhab Syafi‘i dan menyandang gelar ‘syekh‘. Menurut riwayat, ia adalah satu-satunya ulama Indonesia yang mencapai penghargaan setinggi itu.


Sumber :
• http://ulama-nusantara.bolgspot.com
• www.kotasantri.com
• www.republika.co.id
• Majalah Percikan Iman, No. 5, Tahun I, November 2000.

Sultan Iskandar Muda

1. Riwayat Hidup
Snouck Hurgronje pernah menyatakan bahwa kisah tentang Sultan Iskandar Muda hanya dongeng belaka. Sayangnya, Horgronje hanya mendasari penelitiannya pada karya-karya klasik Melayu, seperti Bustan al-Salatin, Hikayat Aceh, dan Adat Aceh. Sejarah Aceh rupanya dipahami Horgronje secara keliru. Sebagai perbandingan, kita bisa membaca penelitian Denys Lombard, Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636) yang di samping menggunakan sumber-sumber Melayu setempat (Bustan al-Salatin, Hikayat aceh, dan Adat Aceh), juga menggunakan sumber-sumber Eropa dan Tionghoa. Di samping kedua sumber itu, Lombard juga menggunakan kesaksian para musafir Eropa yang sempat tinggal di Aceh pada saat itu, seperti Frederik de Houtman, John Davis, dan terutama Augustin de Beaulieu. Penelitian Lombard bisa dikatakan mampu menyajikan fakta sejarah sesuai aslinya, dan itu berarti ia justru membalikkan tesis Horgronje. Lombard membuktikan bahwa masa kekuasaan Sultan Iskandar Muda merupakan masa kejayaan yang sangat gemilang.
Sultan Iskandar Muda merupakan raja paling berpengaruh pada Kerajaan Aceh. Ia lahir di Aceh pada tahun 1593. Nama kecilnya adalah Perkasa Alam. Dari pihak ibu, Sultan Iskandar Muda merupakan keturunan dari Raja Darul-Kamal, sedangkan dari pihak ayah ia merupakan keturunan Raja Makota Alam. Ibunya bernama Putri Raja Indra Bangsa, atau nama lainnya Paduka Syah Alam, yang merupakan anak dari Sultan Alauddin Riayat Syah, Sultan Aceh ke-10. Putri Raja Indra Bangsa menikah dengan Sultan Mansyur Syah, putra dari Sultan Abdul Jalil (yang merupakan putra dari Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahhar, Sultan Aceh ke-3). Jadi, sebenarnya ayah dan ibu dari Sultan Iskandar Muda merupakan sama-sama pewaris kerajaan. Sultan Iskandar Muda menikah dengan seorang putri dari Kesultanan Pahang, yang lebih dikenal dengan Putroe Phang. Dari hasil pernikahan ini, Sultan Iskandar Muda dikaruniai dua buah anak, yaitu Meurah Pupok dan Putri Safiah. Perjalanan Sultan Iskandar Muda ke Johor dan Melaka pada 1612 sempat berhenti di sebuah Tajung (pertemuan sungai Asahan dan Silau) untuk bertemu dengan Raja Simargolang. Sultan Iskandar Muda akhirnya menikahi salah seorang puteri Raja Simargolang yang kemudian dikaruniai seorang anak bernama Abdul Jalil (yang dinobatkan sebagai Sultan Asahan 1).
Sultan Iskandar Muda mulai menduduki tahta Kerajaan Aceh pada usia yang terbilang cukup muda (14 tahun). Ia berkuasa di Kerajaan Aceh antara 1607 hingga 1636, atau hanya selama 29 tahun. Kapan ia mulai memangku jabatan raja menjadi perdebatan di kalangan ahli sejarah. Namun, mengacu pada Bustan al-Salatin, ia dinyatakan sebagai sultan pada tanggal 6 Dzulhijah 1015 H atau sekitar awal April 1607. Masa kekuasaan Sultan Iskandar Muda tersebut ini dikenal sebagai masa paling gemilang dalam sejarah Kerajaan Aceh Darussalam. Ia dikenal sangat piawai dalam membangun Kerajaan Aceh menjadi suatu kerajaan yang kuat, besar, dan tidak saja disegani oleh kerajaan-kerajaan lain di nusantara, namun juga oleh dunia luar. Pada masa kekuasaannya, Kerajaan Aceh termasuk dalam lima kerajaan terbesar di dunia.
Langkah utama yang ditempuh Sultan Iskandar Muda untuk memperkuat kerajaan adalah dengan membangun angkatan perang yang umumnya diisi dengan tentara-tentara muda. Sultan Iskandar Muda pernah menaklukan Deli, Johor, Bintan, Pahang, Kedah, dan Nias sejak tahun 1612 hingga 1625. Sultan Iskandar Muda juga sangat memperhatikan tatanan dan peraturan perekonomian kerajaan. Dalam wilayah kerajaan terdapat bandar transito (Kutaraja, kini lebih dikenal Banda Aceh) yang letaknya sangat strategis sehingga dapat menghubungkan roda perdagangan kerajaan dengan dunia luar, terutama negeri Barat. Dengan demikian, tentu perekonomian kerajaan sangat terbantu dan meningkat tajam.
Dalam bidang ekonomi, Sultan Iskandar Muda menerapakan sistem baitulmal. Ia juga pernah melakukan reformasi perdagangan dengan kebijakan menaikkan cukai eksport untuk memperbaiki nasib rakyatnya. Pada masanya, sempat dibangun juga saluran dari sungai menuju laut yang panjangnya mencapai sebelas kilometer. Pembangunan saluran tersebut dimaksudkan untuk pengairan sawah-sawah penduduk, termasuk juga sebagai pasokan air bagi kehidupan masyarakat dalam kerajaan.
Sultan Iskandar Muda dikenal memiliki hubungan yang sangat baik dengan Eropa. Konon, ia pernah menjalin komunikasi yang baik dengan Inggris, Belanda, Perancis, dan Ustmaniyah Turki. Sebagai contoh, pada abad ke-16 Sultan Iskandar Muda pernah menjalin komunikasi yang harmonis dengan Kerajaan Inggris yang pada saat itu dipegang oleh Ratu Elizabeth 1. Melalui utusannya, Sir James Lancester, Ratu Elizabeth 1 memulai isi surat yang disampaikan kepada Sultan Iskandar Muda dengan kalimat: “Kepada Saudara Hamba, Raja Aceh Darussalam”. Sultan kemudian menjawabnya dengan kalimat berikut: “I am the mighty ruler of the religions below the wind, who holds way over the land of Aceh and over the land of Sumatera and over all the lands tributary to Aceh, which stretch from the sunrise to the sunset (Hambalah sang penguasa perkasa negeri-negeri di bawah angin, yang terhimpun di atas tanah Aceh dan atas tanah Sumatera dan atas seluruh wilayah-wilayah yang tunduk kepada Aceh, yang terbentang dari ufuk matahari terbit hingga matahari terbenam)”.
Pada masa pemerintahannya, terdapat sejumlah ulama besar. Di antaranya adalah Syiah Kuala sebagai mufti besar di Kerajaan Aceh pada masa Sultan Iskandar Muda. Hubungan keduanya adalah sebagai penguasa dan ulama yang saling mengisi proses perjalanan roda pemerintahan. Hubungan tersebut diibaratkan: Adat bak Peutu Mereuhum, syarak bak Syiah di Kuala (adat di bawah kekuasaan Sultan Iskandar Muda, kehidupan beragama di bawah keputusan Tuan Syiah Kuala). Sultan Iskandar Muda juga sangat mempercayai ulama lain yang sangat terkenal pada saat itu, yaitu Syeikh Hamzah Fanshuri dan Syeikh Syamsuddin as-Sumatrani. Kedua ulama ini juga banyak mempengaruhi kebijakan Sultan. Kedua merupakan sastrawan terbesar dalam sejarah nusantara.
Sultan Iskandar Muda meninggal di Aceh pada tanggal 27 Desember 1636, dalam usia yang terbilang masih cukup muda, yaitu 43 tahun. Oleh karena sudah tidak ada anak laki-lakinya yang masih hidup, maka tahta kekuasaanya kemudian dipegang oleh menantunya, Sultan Iskandar Tani (1636-1641). Setelah Sultan Iskandar Tani wafat tahta kerajaan kemudian dipegang janda Iskandar Tani, yaitu Sultanah Tajul Alam Syafiatudin Syah atau Puteri Safiah (1641-1675), yang juga merupakan puteri dari Sultan Iskandar Muda.
2. Pemikiran
Sultan Iskandar Muda merupakan pahlawan nasional yang telah banyak berjasa dalam proses pembentukan karakter yang sangat kuat bagi nusantara dan Indonesia. Selama menjadi raja, Sultan Iskandar Muda menunjukkan sikap anti-kolonialismenya. Ia bahkan sangat tegas terhadap kerajaan-kerajaan yang membangun hubungan atau kerjasama dengan Portugis, sebagai salah satu penjajah pada saat itu. Sultan Iskandar Muda mempunyai karakter yang sangat tegas dalam menghalau segala bentuk dominasi kolonialisme. Sebagai contoh, kurun waktu 1573-1627 Sultan Iskandar Muda pernah melancarkan jihad perang melawan Portugis sebanyak 16 kali, maski semuanya gagal karena kuatnya benteng pertahanan musuh. Kekalahan tersebut menyebabkan jumlah penduduk turun drastis, sehingga Sultan Iskandar Muda mengambil kebijakan untuk menarik seluruh pendudukan di daerah-daerah taklukannya, seperti di Sumatera Barat, Kedah, Pahang, Johor dan Melaka, Perak, serta Deli, untuk migrasi ke daerah Aceh inti.
Pada saat berkuasa, Sultan Iskandar Muda membagi aturan hukum dan tata negara ke dalam empat bidang yang kemudian dijabarkan secara praktis sesuai dengan tatanan kebudayaan masyarakat Aceh. Pertama, bidang hukum yang diserahkan kepada syaikhul Islam atau Qadhi Malikul Adil. Hukum merupakan asas tentang jaminan terciptanya keamanan dan perdamaian. Dengan adanya hukum diharapkan bahwa peraturan formal ini dapat menjamin dan melindungi segala kepentingan rakyat. Kedua, bidang adat-istiadat yang diserahkan kepada kebijaksanaan sultan dan penasehat. Bidang ini merupakan perangkat undang-undang yang berperan besar dalam mengatur tata negara tentang martabat hulu balang dan pembesar kerajaan. Ketiga, bidang resam yang merupakan urusan panglima. Resam adalah peraturan yang telah menjadi adat istiadat (kebiasaan) dan diimpelentasikan melalui perangkat hukum dan adat. Artinya, setiap peraturan yang tidak diketahui kemudian ditentukan melalui resam yang dilakukan secara gotong-royong. Keempat, bidang qanun yang merupakan kebijakan Maharani Putro Phang sebagai permaisuri Sultan Iskandar Muda. Aspek ini telah berlaku sejak berdirinya Kerajaan Aceh.
Sultan Iskandar Muda dikenal sebagai raja yang sangat tegas dalam menerapkan syariat Islam. Ia bahkan pernah melakukan rajam terhadap puteranya sendiri, yang bernama Meurah Pupok karena melakukan perzinaan dengan istri seorang perwira. Sultan Iskandar Muda juga pernah mengeluarkan kebijakan tentang pengharaman riba. Tidak aneh jika kini Nagroe Aceh Darussalam menerapkan syariat Islam karena memang jejak penerapannya sudah ada sejak zaman dahulu kala. Sultan Iskandar Muda juga sangat menyukai tasawuf.
Sultan Iskandar Muda pernah berwasiat agar mengamalkan delapan perkara, di antaranya adalah sebagai berikut. Pertama, ia berwasiat kepada para wazir, hulubalang, pegawai, dan rakyat agar selalu ingat kepada Allah dan memenuhi janji yang telah diucapkan. Kedua, jangan sampai para raja menghina alim ulama dan ahli bijaksana. Ketiga, jangan sampai para raja percaya terhadap apa yang datang dari pihak musuh. Keempat, para raja diharapkan membeli banyak senjata. Pembelian senjata dimaksudkan untuk meningkatkan kekuatan dan pertahanan kerajaan dari kemungkinan serangan musuh setiap saat. Kelima, hendaknya para raja mempunyai sifat pemurah (turun tangan). Para raja dituntut untuk dapat memperhatikan nasib rakyatnya. Keenam, hendaknya para raja menjalankan hukum berdasarkan al-Qur‘an dan sunnah Rasul. Di samping kedua sumber tersebut, sumber hukum lain yang harus dipegang adalah qiyas dan ijma‘, baru kemudian berpegangan pada hukum kerajaan, adat, resam, dan qanun. Wasiat-wasiat tersebut mengindikasikan bahwa Sultan Iskandar Muda merupakan pemimpin yang saleh, bijaksana, serta memperhatikan kepentingan agama, rakyat, dan kerajaan.
Hamka melihat kepribadian Sultan Iskandar Muda sebagai pemimpin yang saleh dan berpegangan teguh pada prinsip dan syariat Islam. Tentang kepribadian kepemimpinannya, Antony Reid melihat bahwa Sultan Iskandar Muda sangat berhasil menjalankan kekuasaan yang otoriter, sentralistis, dan selalu bersifat ekspansionis. Karakter Sultan Iskandar tersebut memang banyak dipengaruhi oleh sifat kakeknya. Kejayaan dan kegemilangan Kerajaan Aceh pada saat itu memang tidak luput dari karakter kekuasaan monarkhi karena model kerajaan berbeda dengan konsep kenegaraan modern yang sudah demokratis.
3. Karya
Surat Sultan Iskandar Muda kepada Raja Inggris King James 1 pada tahun 1615 merupakan salah satu karyanya yang sungguh mengagumkan. Surat (manuskrip) tersebut berbahasa Melayu, dipenuhi dengan hiasan yang sangat indah berupa motif-motif kembang, tingginya mencapai satu meter, dan konon katanya surat itu termasuk surat terbesar sepanjang sejarah. Surat tersebut ditulis sebagai bentuk keinginan kuat untuk menunjukkan kepada dunia internasional betapa pentingnya Kerajaan Aceh sebagai kekuatan utama di dunia.
Masa kejayaan Sultan Iskandar Muda, di samping kebijakan reformatifnya, juga ditandai dengan luasnya cakupan kekuasaannya. Pada masanya, wilayah Kerajaan Aceh telah mencapai pesisir barat Minangkabau dan Perak.
4. Penghargaan
Melalui Surat Keputusan Presiden RI No. 077/TK/Tahun 1993 tanggal 14 September 1993, Sultan Iskandar Muda dianugerahi gelar Pahlawan Nasional oleh Pemerintah RI serta mendapat tanda kehormatan Bintang Mahaputra Adipradana (Kelas II). Sebagai wujud pernghargaan terhadap dirinya, nama Sultan Iskandar Muda diabadikan sebagai nama jalan di sejumlah daerah di tanah air, misalnya sebagai nama jalan di Banda Aceh. Nama Iskandar Muda telah diabadikan sebagai nama Kodam-1.

Sumber :
• Hamka, Dari Perbendaharaan Lama, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982).
• Mukhlisuddin Ilyas, “Aceh dalam Lintasan Budaya”, dalam www.acehinstitute.org.
• Winarno, Sejarah Ringkas Pahlawan Nasonal, (Jakarta: Erlangga, 2006).
• www.e-aceh-nias.org.
• www.ruangbaca.com.
• wikipedia.org.

Soeman HS

1. Riwayat Hidup
Soeman Hs dilahirkan di Desa Batantua, Bengkalis, Riau, Indonesia, pada tanggal 4 April 1904 dari pasangan bapak Wahid atau dikenal Lebai Wahid Hasibuan, dan ibu Tarumun Pulungan. Kedua orangtuanya berasal dari Desa Hutanopan, Kecamatan Barumun, Tapanulis Selatan. Ayahnya, Wahid Hasibuan, termasuk keturunan bangsawan yang pernah menjadi kepala adat (Kuria) dan guru ngaji (lebai). Soeman Hs adalah anak ketiga dari enam orang bersaudara, yaitu Raman (sulung), Riban, Abdurrachim, Hamzah dan Juma’at (bungsu).
Pada tahun 1912, dalam usia tujuh tahun, Soeman Hs mulai belajar di Sekolah Melayu Gouevernement Inlandsch School (GIS), sederajat Sekolah Dasar dan tamat 1918. Setelah itu, ia mengikuti ujian masuk Sekolah Calon Guru (Normaal Cursus) di Medan. Dari 24 orang peserta, hanya 6 orang yang diterima termasuk Soeman Hs yang menempati juara ke-4. Selama menempuh pendidikan di Sekolah Calon Guru tersebut, ia mendapat bantuan beasiswa dari pemerintah Belanda sebesar Rp.4 perbulan. Tahun 1920, ia telah menyelesaikan pendidikan di Normaal Cursus, kemudian melanjutkan ke Normal School (sekolah guru yang sebenarnya) di Langsa, Aceh Timur dan selesai 1923.
Selesai di Normal School Langsa, Soeman Hs kembali ke Batantua. Setelah tiga bulan di Batantua, ia diangkat menjadi guru Bahasa Indonesia di HIS (sekolah Belanda) di Siak Sri Indrapura. Tahun 1930, ia diangkat menjadi Kepala Sekolah Melayu dan Penilik Sekolah di Pasir Pengarayan. Menjelang Kemerderkan RI tahun 1945, ia ditunjuk menjadi ketua Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) di Pasir Pengarayan. Semasa masih menjabat Ketua KNIP, pada tahun 1946 ia diangkat menjadi Anggota DPR di Pekanbaru Riau. Kemudian tahun 1948, ketika Yogyakarta diduduki Belanda, ia diangkat menjadi Komandan Pangkalan Gurilla (KPG) Rokan Kanan. Tahun 1950, menjabat sebagai Kepala Jawatan Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan Kabupaten Kampar, Pekanbaru yang berakhir tahun 1960. Baru saja memasuki masa pensiun, tahun 1961, Soeman Hs diangkat menjadi anggota Badan Pemerintahan Harian (BPH) merangkap sebagai kepala Bagian Keuangan di Kantor Gubernur Riau oleh Kaharuddin Nasution (Gubernur Riau waktu itu). Sampai tahun 1998, Soeman Hs masih menjabat Ketua Umum Yayasan Lembaga Pendidikan Islam (YLPI) Daerah Riau dan Ketua Yayasan Setia Dharma.
Soeman Hs mulai menggemari sastra ketika ia masih belajar di Sekolah Melayu. Untuk mengembangkan bakatnya dalam bidang sastra, ia sering mengikuti pembicaraan ayahnya dengan para saudagar yang datang ke rumahnya tentang kehidupan di Singapura. Dari pembicaraan tersebut, ia kemudian banyak berkhayal dan memperoleh banyak inspirasi, serta beberapa cerita. Selain itu, ia juga banyak memperoleh inspirasi dengan banyak membaca buku di perpustakaan. Dua buku yang diminati ketika itu, Siti Nurbaya karya Marah Rusli dan Teman Duduk karya M. Kasim. Kepengarangan Soeman Hs juga muncul berkat dorongan dari gurunya, M. Kasim, yang sering menceritakan pengalamannya menulis. Tulisan-tulisan Soeman Hs telah dimuat dalam majalah ibukota maupun di beberapa harian lainnya. Di harian Indonesia Raya ia tercatat sebagai penulis tetap, dan di majalah Harmonis, Jakarta (1977-1978) ia khusus mengisi kolom Menyelami Bahasa Indonesia. Di antara tulisannya yang pernah dimuat dalam kolom tersebut, yaitu: Senyum dan Tawa, Kalau Hari Panas Lupa Kacang Akan Kulitnya, Marilah Kita Bersikap Hidup Sederhana, dan lain-lain. Selain itu, ia juga pernah menjadi pengasuh ruang siaran Pembinaan Bahasa Indonesia di Stasiun RRI Pekanbaru yang ditayangkan dua kali seminggu. Pada tahun 1972, ia sempat menerbitkan sebuah majalah anak-anak bernama Nenek Moyang, meskipun hanya beberapa kali terbitan karena kesulitan dana.
Soeman Hs meninggal dunia pada hari Sabtu 8 Mei 1999 di rumahnya, Jl. Tangkubanperahu, Pekanbaru dalam usia 95 tahun. Ia meninggalkan seorang istri bernama Siti Hasnah dan 9 orang anak yakni Syamsul Bahri (sulung), Sawitri, Syamsiar, Faharuddin, Mansyurdin, Burhanuddin, Najemah Hanum, dan Rosman (bungsu), serta sejumlah cucu dan cicit.

2. Pemikiran
Berkaitan dengan dunia kesusastraan, Soeman Hs memiliki pandangan tersendiri, yaitu:
1. Hakekat kesusastraan adalah untuk masyarakat. Karena bagaimanapun baiknya sebuah karya puisi, kalau sukar dimengerti akan menjadikan karya tersebut tidak dekat dengan masyarakat.
2. Dalam menulis sebuah novel, ia selalu memakai nama-nama asing dalam setiap novelnya, karena ia ingin mendobrak adat yang kaku. Untuk menggambarkan hal ini, sengaja ia pilih tokoh orang asing agar lebih mudah diterima jika melawan adat. Ini adalah salah satu strategi kepengarangan, agar cerita dalam roman tersebut bisa diterima. Selain itu, judul pada setiap karya juga harus menarik. Sebagai contoh, Percobaan Setia. Menurutnya, judul ini menarik, karena seseorang yang sudah setia masih terus dicoba.
3. Dalam karya Kasih Tak Terlerai, ia tampak lebih banyak berbicara langsung dari pada memberi hidup pada tokoh-tokohnya. Dengan gaya tersebut, terasa kepada kita suatu pemaksaan kepada tokoh-tokohnya untuk hidup. Dengan demikian memaksa pula terhadap pembaca untuk mempercayai segala gerak mereka.
3. Karya-karya
Sebagai sastrawan, Soeman Hs telah melahirkan beberapa karya berupa roman dan cerpen, yaitu:
1. Kasih Tak Terlarai, Jakarta: Balai Pustaka, 1930.
2. Percobaan Setia, Jakarta: Balai Pustaka, 1931.
3. Mencari Pencuri Anak Perawan, Jakarta: Balai Pustaka, 1932.
4. Kasih Tersesat, Jakarta: Balai Pustaka, 1932.
5. Kawan Bergelut (kumpulan cerpen), Jakarta: Balai Pustaka, 1938.
6. Tebusan Darah, Medan: Dunia Pengalaman, 1939.
3. Penghargaan
Atas jasa-jasanya sebagai pahlawan pembela tanah air, Soeman Hs telah dianugerahi sebuah Penghargaan Tertinggi dari Komandan Daerah Militer Riau Utara (KDMRU) pada tahun 1949.

Nuruddin Al-Raniri

A. Riwayat hidup
Nuruddin al-Raniri adalah negarawan, ahli fikih, teolog, sufi, sejarawan dan sastrawan penting dalam sejarah Melayu pada abad ke-17. Nama aslinya adalah Nuruddin bin Ali bin Hasanji bin Muhammad Hamid al-Raniri. Ia lahir di Ranir (Rander), Gujarat, India, dan mengaku memiliki darah suku Quraisy, suku yang juga menurunkan Nabi Muhammad SAW. Ayahnya adalah seorang pedagang Arab yang bergiat dalam pendidikan agama (Piah dkk., 2002: 59-60).
Nuruddin adalah seorang polymath, yaitu orang yang pengetahuannya tak terbatas dalam satu cabang pengetahuan saja. Pengetahuannya sangat luas, meliputi bidang sejarah, politik, sastra, filsafat, fikih, dan mistisisme. Nuruddin mula-mula mempelajari bahasa Melayu di Aceh, lalu memperdalam pengetahuan agama ketika melakukan ibadah haji ke Mekah. Sepulang dari Mekah, ia mendapati bahwa pengaruh Syamsuddin as-Sumatrani sangat besar di Aceh. Karena tidak cocok dengan aliran wujudiyah yang disebarkan oleh Syamsuddin, Nuruddin pindah ke Semenanjung Melaka dan memperdalam ilmu agama dan bahasa Melayu di sana.
Selama tinggal di semenanjung, Nuruddin menulis beberapa buah kitab. Ia juga membaca Hikayat Seri Rama dan Hikayat Inderaputera, yang kemudian dikritiknya dengan tajam, serta Hikayat Iskandar Zulkarnain. Ia juga membaca Taj as-Salatin karya Bukhari al-Jauhari dan Sulalat as-Salatin yang populer pada masa itu. Kedua karya ini memberi pengaruh yang besar pada karyatamanya sendiri, Bustan as-Salatin (Piah dkk., 2002: 60)
Pada tahun 1637 ia kembali ke Aceh dan tinggal di sana selama tujuh tahun. Saat itu Syekh Syamsuddin as-Sumatrani telah meninggal. Berkat keluasan pengetahuannya, Sultan Iskandar Tani (1636-1641) mempercayainya untuk mengisi jabatan yang ditinggalkan oleh Syamsuddin. Nuruddin menjabat sebagai Kadi Malik al-Adil, Mufti Besar, dan Syeikh di Masjid Bait al-Rahman.
Pada saat ia berjaya sebagai pejabat kesultanan inilah, dengan dibantu oleh Abdul Rauf Singkel, ia melakukan gerakan pemberantasan aliran wujudiyah yang diajarkan oleh Hamzah Fansuri dan Syamsudin as-Sumatrani. Karya-karya kedua ulama sufi itu dibakar dan para penganut aliran wujudiyah dituduh murtad serta dikejar-kejar karena dituduh bersekongkol untuk membunuh istri Sultan, Ratu Safiatun Johan Berdaulat.
Keadaan berbalik melawan Nuruddin ketika Sultan Iskandar Tani mangkat dan digantikan oleh istrinya, Sultanah Safiatuddin Johan Berdaulat (1641-1675). Polemik antara Nuruddin dan aliran wujudiyah bangkit kembali. Kali ini yang menang adalah seorang tokoh yang namanya sama dengan salah satu karya Hamzah Fansuri, yaitu Saif ar-Rijl, yang berasal dari Minangkabau dan baru kembali ke Aceh dari Surat (Braginsky, 1998: 473). Saif ar-Rijl mendapat dukungan sebagian besar kalangan Aceh, yang merasa tidak senang dengan besarnya pengaruh orang asing di istana Aceh. Untuk menyelesaikan pertikaian itu mereka mencari nasihat sang ratu, tetapi sang ratu menolak dengan dalih tidak berwenang dalam soal ketuhanan.
Sesudah berpolemik selama sekitar satu bulan, Nuruddin terpaksa meninggalkan Aceh dengan begitu tergesa-gesa, sehingga ia tidak sempat menyelesaikan karangannya yang berjudul Jawahir al-`Ulum fi Kasyfi al-Ma`lum (Hakikat Ilmu dalam Menyingkap Objek Pengetahuan) (Takeshi Ito, 1978: 489-491; via Braginsky, 1998: 473-474). Nuruddin akhirnya ia kembali ke Ranir. Ia meninggal di kota kelahirannya pada tanggal 21 September 1658 (Piah dkk., 2002: 60).
B. Pemikiran
1. Teologi
Mungkin yang diingat orang ketika pertama kali membicarakan Nuruddin al-Raniri adalah pertentangannya dengan aliran wujudiyah, yang disebarkan oleh penyair sufi Hamzah Fansuri dan para pengikutnya. Berkat kedekatannya dengan Sultan Iskandar Tani, Nuruddin berhasil menggerakkan kekuatan militer untuk memberantas aliran yang dihujatnya sebagai penyimpangan itu.
Kegigihan Nuruddin dalam memberantas gerakan wujudiyah adalah konsekuensi logis dari penalarannya dalam bidang teologi. Ia memang dikenal sebagai seorang ortodoks dan bersemangat besar dalam memurnikan ajaran Islam. Dalam Sirat al-Mustakim, ia berkomentar dengan nada sinis tentang Hikayat Inderaputera. Menurutnya, seperti juga Hikayat Seri Rama, hikayat ini dapat digunakan di dalam jamban saja, oleh karena di dalamnya nama Allah tidak disebut-sebut (Braginsky, 1998: 293).
Nuruddin menulis beberapa kitab khusus untuk melawan premis-premis wujudiyah, antara lain Hill az-Zill (Sifat Bayang-bayang), Syifat al-Qulb (Pengobatan Hati), Tibyan fi Ma`rifat al-Adyan (Penjelasan tentang Kepercayaan), Hujjat al-Siddiq li Daf az-Zindiq (Pembuktian Ulama dalam Membantah Penyokong Bidah), Asrar al-Insan fi Ma`rifat ar-Ruh wal ar-Rahman (Rahasia Manusia dalam Pengenalan Ruh dan Yang Maha Pengasih).
Posisi teologis Nuruddin dapat dilacak hingga seorang sufi India yang terkenal, Ahmad Sirhindi (1593-1624), walaupun seakan-akan tidak ditemukan petunjuk tentang hal ini. Karena, pandangan Nuruddin umumnya sangat dekat dengan aliran wahdat asy-syuhud yang dikembangkan oleh Sirhindi. Yang mendekatkan dua tokoh sufi ini adalah kecenderungan mereka yang mencolok pada hukum syariat ketimbang pada pengalaman ekstasis, penarikan garis tegas antara Yang Maha Esa dengan dunia, dan kritik mereka yang tajam terhadap kecenderungan sifat-sifat bidah dalam tasawuf, antara lain sifatnya yang dalam anggapan mereka panteistis (Farman dalam via Braginsky 1998: 472).
Dalam Hujjat al-Siddiq Li daf al-Zindiq (Dalil orang Benar untuk Menolak Itikad Orang yang Zindiq), Nuruddin berpendapat bahwa wujud Tuhan adalah wujud yang hakiki, sementara segala yang lain, karena diciptakan dari ketiadaan (atau ketidakadaan), tidak mungkin menjadi analogi dari wujud yang hakiki itu. Membadingkan kedua wujud itu adalah perbuatan yang murtad. Nuruddin juga menyatakan bahwa Yang Ilahi adalah wujud yang pasti, sementara eksistensi dunia hanyalah merupakan salah satu saja dari potensi eksistensi. Tuhan adalah sang pencipta, dunia adalah ciptaan-Nya. Tidak membedakan di antara Tuhan dan dunia akan menimbulkan kebingungan di antara kaum Muslim dan menyimpang dari wahyu dan akal sehat (Piah dkk., 2002: 365).
Selain itu, Nuruddin juga menulis sebuah kitab berjudul Jawahir al-`Ulum fi Kasyfi al-Ma`lum (Hakikat Ilmu dalam Menyingkap Objek Pengetahuan). Di dalam kitab ini, ia berpendapat bahwa Tuhan adalah satu-satunya realitas yang hakiki. Zat Tuhan dinyatakan dengan nama-nama suci Allah (Asmaul Husna). Ada banyak nama yang digunakan oleh manusia untuk merujuk pada sifat-sifat Tuhan Yang Maha Sempurna. Sifat-sifat ini tidak dapat dipisahkan dari zat Tuhan, walaupun dalam pikiran manusia sifat-sifat itu tampak berbeda. Memisahkan antara zat hakiki Tuhan dengan sifat-sifat-Nya adalah perbuatan yang paling murtad, karena hal itu berarti menyangkal keesaan Tuhan (Ahmad Daudy dalam Piah dkk., 2002: 367).
Selanjutnya, Nuruddin memberikan daftar Sifat-sifat Ilahi, yaitu qidam (dahulu), baqa (kekal), mukhalafah al-hawadits (berbeda dengan makhluk), qiamuhu bi nafsih (berdiri sendiri), dan wahdaniyah (tunggal). Sifat-sifat Ilahi (berdasarkan analogi) ada tujuh, yaitu al-hayat (hidup), al-ilmu (mengetahui), al-qudrah (kuasa), al-iradah (kehendak), al-sama`u (mendengar), al-basaru (melihat), dan al-kalamu (berbicara). Dari sifat-sifat ini muncullah sifat ma`nawiyah, yaitu al-Hayatu (Yang Maha Hidup), al-`Alimun (Yang maha Mengetahui), al-Qadiru (Yang Maha Kuasa), al-Muridu (Yang Maha Berkehendak), al-Sami`u (Yang Maha Mendengar), al-Basiru (Yang Maha Melihat), al-Mutakallimu (Yang Maha Berfirman). Dari sifat-sifat ma`nawiyah ini lahirlah sifat-sifat fi il yang mempunyai hubungan dengan alam makhluk, antara lain al-Khaliq (Sang Maha Pencipta), al-Raziq (Sang Pemberi Rezeki), al-Hadi (Sang Pemberi Petunjuk), al-Muhyi (Yang Maha Menghidupkan), al-Mumit (Yang Maha Mematikan), dan lain-lain (Ahmad Daudy 1983: 94-95 via Piah dkk., 2002: 366).
Dalam karya-karya polemiknya terhadap Hamzah Fansuri dan Syamsuddin as-Sumatrani, Nuruddin selalu menuduh mereka sebagai pendakwah ajaran-ajaran bidah yang sesat, bahwa Allah bersifat imanen belaka, tidak transenden, dan dunia ini kekal. Menurut Nuruddin, mereka juga tidak mengakui bahwa Al-Quran tidak bersifat makhluk, yaitu tercipta. Lebih dari itu semua, demikian menurut Nuruddin, mereka bahkan mendewakan diri sendiri, dengan penegasannya bahwa tidak ada perbedaan antara mereka dan Allah. Lebih lanjut Nuruddin berusaha membuktikan, bahwa ajaran mereka sama dengan Zoroasterisme dan agama Kristen, dengan Vedanta Hindu dan Buddhisme Mahayana di Tibet, dengan Kadariyyah, Mutazillah, dan doktrin “falasifah” (Braginsky, 1998: 472).
Uraian Nuruddin tentang konsep-konsep Hamzah Fansuri dan Syamsuddin dikemukakan dalam bentuk pemutarbalikan dan bernada karikatural. Sementara itu Nuruddin, seperti halnya kalangan pengikut awam wujudiyah, tidak selalu bisa memahami istilah-istilah campuran Arab-Melayu yang digunakan lawannya. Misalnya, bagi Nuruddin sama sekali tidak jelas masalah perbedaan, yang dalam peristilahan Hamzah bersifat mendasar, yaitu antara istilah Melayu “ada”, yang merujuk pada eksistensi luar (wahmi), dan istilah Arab “wujud”, yang sesuai dengan eksistensi dalam (hakiki) (Attas dalam Braginsky, 1998: 472).
Walaupun sepintas lalu lawan-lawan ideologi utama Nuruddin adalah Hamzah Fansuri dan Syamsuddin, tetapi sesungguhnya ia pun lebih menentang para pengikut mereka yang memang besar pengaruhnya dikalangan rakyat dan penguasa Aceh. Dalam hal ini, Nuruddin tidak hanya hendak mempertahankan kemurnian Islam semata-mata (Braginsky, 1998: 472), tetapi agaknya juga ingin merebut dan mempertahankan tempat di sisi Sultan Iskandar Tani.
Selama beberapa saat, Nuruddin berhasil membungkam aliran wujudiyah. Tetapi aliran itu bangkit kembali di Aceh tak lama setelah Sultan Iskandar Tani mangkat, dan akhirnya bahkan tersebar hingga ke daerah-daerah lain, seperti Jawa, yang kemudian memperoleh bentuk sebagai doktrin manunggaling kawulo gusti (Teeuw, 1994: 67).
2. Sejarah
Dalam bidang sejarah, sepak terjang Nuruddin tidak “seberingas” dalam bidang teologi. Bustan as-Salatin karangannya adalah karyatama historiografi yang menjadi dokumen penting tentang kesultanan Aceh. Karya ini merupakan titah dari Sultan Iskandar Tani. Walaupun dibebani oleh kewajiban untuk mengagungkan sang patron, tetapi pencapaian intelektual ini mengandung juga nilai-nilai historis dan sastrawi yang tinggi. Selain itu, kitab ini juga berbeda dari kitab-kitab sejarah Melayu yang lain pada masa itu terutama karena tidak lagi memasukkan mitos dan legenda.
Bustan as-Salatin ditulis antara tahun 1638-1641 dan terbagi ke dalam tujuh bagian dan terdiri dari empat puluh bab.
Bagian 1 terdiri dari tiga bab, yang membahas tentang Bumi dan ketujuh petala langit, Nur Muhammad, janji Tuhan terhadap seluruh umat manusia, arasy (tahta) Tuhan, dan sebagainya.
Bagian 2 membahas tentang sejarah nabi-nabi dan raja-raja. Dua bab terakhir pada bagian ini ditekankan pada Semenanjung Melaka dan Sumatra. Bab 12 diadaptasi dari Sejarah Melayu dan diakhiri dengan pembahasan tentang penobatan Sultan Iskandar Tani yang megah. Bab 13 membahas tentang sejarah raja-raja Aceh.
Bagian 3 menceritakan tentang para raja yang adil dan wazir yang bijak.
Bagian 4 membatas tentang raja-raja Muslim yang saleh dan para pahlawan Muslim.
Bagian 5 menceritakan tentang raja-raja yang bengis dan para bangsawan yang dungu yang berusaha memberontak kepada raja mereka.
Bagian 6 terdiri dari dua bab dan bercerita tentang orang-orang yang mulia dan rendah hati serta para pendekar yang gagah berani.
Bagian 7 membahas beragam topik, seperti kebijaksanaan, pengetahuan, pengertian, ada kaum wanita, dan mencakup juga beberapa cerita hantu yang ganjil dan menarik.
Ketika menulis Bustan as-Salatin, Nuruddin berusaha keras agar karya ini dapat menyamai atau bahkan melebihi kitab legendaris Taj as-Salatin—ia memang gemar berpolemik, seperti yang terlihat dalam karya-karya polemisnya dengan aliran wujuidyah yang cukup banyak. Karena itulah tema-tema dalam kedua kitab ini hampir sama, tetapi Nuruddin menambahkan pembahasan yang luas tentang sejarah lokal. Nuruddin juga berusaha mengikuti jejak Tas as-Salatin dengan menggunakan bentuk sajak yang diambil dari khasanah Persia, yaitu syair, seperti terlihat pada bait dari bab 13 Bagian 2 ini:
Ialah perkasa terlalu berani,
Turun-temurun nasab Sultani,
Ialah menyunjung inayat rahmani,
Bergelar Sultan Iskandar Tani.
(Braginsky, 1998: 335)
Menilik isinya, Bustan as-Salatin merupakan sebuah gubahan ensiklopedis yang menggabungkan genre “sejarah universal” dengan “cermin didaktis”. Karangan ini begitu besar sehingga tidak tersimpan sebuah pun naskah yang mengandung semua babnya. Biasanya naskah-naskahnya berisi hanya satu atau dua-tiga bab tertentu (Braginsky, 1998: 336).
Bustan memberikan gambaran tentang Aceh pada abad ke-17, walaupun Nuruddin sama sekali tidak menyebutkan tentang Hamzah Fansuri—tetapi Nuruddin menyebutkannya dalam beberapa kitab lain. Namun, kitab ini sering dianggap gagal dan tidak mampu menyamai kebesaran Taj as-Salatin.
Jika dibandingkan, maka Taj as-Salatin adalah sebuah kitab teologis-etis. Maka yang ditunjukkan oleh kitab ini adalah, bagaimana hukum Ilahi menegakkan harmoni dunia, yang di dalam kehidupan masyarakat diwujudkan dalam pemerintahan yang bersendi atas akal dan keadilan. Perjalanan sejarahnya pun, misalnya dalam hal genealogi raja-raja Iran sebelum Islam, pada hakikatnya tidak lain merupakan ilustrasi untuk konsepsi etika yang dirumuskan oleh Bukhari al-Jauhari, sang pengarangnya. Melalui perumusan itu, bangsa Melayu diberi kemungkinan untuk masuk ke dalam golongan Islam yang berbudaya.
Adapaun Bustan as-Salatin adalah sebuah kitab yang bersifat teologis-historis. Di dalamnya dilukiskan gambaran dinamis tentang penciptaan alam semesta dan kelanjutan proses itu, yaitu sejarah dunia, namun terutama sejarah dunia Islam. Pada pasal-pasal terakhir bab sejarahnya, Bustan dengan tegas memasukkan sejarah bangsa Melayu ke dalam sejarah dunia yang dipaparkan sebelumnya. Dengan demikian ia seakan-akan menamatkan pekerjaan yang dimulai oleh pengarang Sejarah Melayu, yang kroniknya dari versi tahun 1612 diketahui dengan baik oleh syek kelahiran Gujarat ini (Braginsky, 1998: 339).
Berdasarkan uraian tersebut, dunia Melayu, melalui sejarahnya yang bermula dari Iskandar Zulkarnain, mempunyai akarnya di dalam sistem budaya Islam. Barulah kemudian kepada bangsa Melayu dianjurkan konsepsi tentang etika sosial, tingkah laku raja-raja dan pembesar-pembesar negara, seperti yang yang diceritakan dalam Tas as-Salatin, juga tentang dasar-dasar pendidikan dan ilmu pengetahuan Islam.
C. Karya
Secara keseluruhan, Nuruddin Al-Raniri menulis sekitar tiga puluh naskah, di antaranya adalah:
1. Bustan as-salatin (Taman Raja-raja) (1638)
2. Sirat al-Mustakin (1634)
3. Durrat al-Faraid (1635)
4. Hidayat al-Habib (1635)
5. Akhbar al-Akhirah fi Ahwal Yaum al-Qiyamah
6. Al-Tabiyan fi Ma`rifat al-`Adyan
7. Asrar al-Insan fi Ma`rifat al-Ruh wa al-Rahman
8. Lath`aif al-Asrar
9. Syifa` al-Qulub
10. Undat al-I`tiwad
11. Jawahir al-Ulum fi Kasyfi al-Ma`lum
D. Pengaruh
Walaupun dianggap lebih rendah ketimbang Taj as-Salatin, Bustan as-Salatin adalah karyatama yang tetap dibaca orang bahkan setelah Nuruddin meninggal. Kitab ini kemungkinan besar juga mempengaruhi pengarang Hikayat Hang Tuah karena pelukisan tentang taman istana Istanbul di dalam karya itu mengambil contoh dari pelukisan Nuruddin tentang taman istana Sultan Iskandar Tani (Piah dkk., 2002: 440).
Selain itu, posisi Nuruddin al-Raniri yang cenderung pro-hukum syariat ketimbang pengalaman ekstasis dalam pengalaman ilahiah masih dapat dilihat juga dalam pertentangan antara, misalnya, Wali Songo di Jawa dengan paham manunggaling kawulo gusti di Jawa, yang disebarkan oleh sosok semi-mitis Syeh Siti Jenar. Sedangkan gaya historiografinya yang tidak lagi memperhitungkan mitos dan legenda secara ketat adalah gaya penulisan yang merupakan alternatif segar bagi historiografi Islam-Melayu, yang baru dipraktekkan lagi secara utuh pada masa modern.


Daftar Bacaan:
• Braginsky, K.I., 1998. Yang Indah, Berfaedah dan Kamal Sejarah Sastra Melayu Dalam Abad 7-19. Jakarta: INIS
• Harun Mat Piah, dkk., 2002. Traditional Malay Literature. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka
• Teeuw, A., 1994. Iindonesia Antara Kelisanan dan Keberaksaraan. Jakarta: Pustaka Jaya

02 October 2010

Siti Roehana Koedoes




1. Riwayat Hidup
Pejuang kaum perempuan Minangkabau ini dilahirkan dengan nama Siti Roehana. Setelah menikah dengan Abdoel Koedoes, kemudian dia dikenal sebagai Siti Roehana Koedoes. Roehana dilahirkan di Kotogadang, Kabupaten Agam, Sumatra Barat, pada 20 Desember 1884 (Tamar Djaja, 1980: 26). Roehana berasal dari keluarga terpandang, dari salah satu jalur matrilineal tertua di Kotogadang, yakni keturunan Datuk Dinagari dari Puak Kato. Ayah Roehana, Moehammad Rasjad Maharadja Soetan, adalah seorang hoofdjaksa (jaksa kepala), jabatan yang termasuk berkelas pada masa itu. Roehana bersaudara tiri dengan Soetan Sjahrir—pejuang pergerakan yang kelak menjadi Perdana Menteri RI pertama—satu bapak namun lain ibu (Mrazek, 1996: 4).
Roehana sangat dekat dengan ayahnya. Julukan “Roehana anak ayah” pun disematkan kepada Roehana karena dia dianggap sebagai anak kesayangan. Rasjad memang berperan besar dalam proses pendewasaan Roehana dan berharap putri tercintanya itu akan tumbuh menjadi seorang perempuan yang berguna bagi keluarga dan bangsanya. Bakat revolusioner Roehana sudah terlihat sedari dini. Dia gemar membaca buku dan surat kabar, suka menulis, dan berlatih menyulam.
Berkat bimbingan sang ayah, Roehana dengan cepat menguasai ilmu-ilmu baru. Ayahnyalah yang mendidik Roehana dengan berlangganan surat kabar dan menyediakan buku-buku bacaan. Sang ayah bahkan sampai memesan koran dan buku dari Singapura untuk dibaca Roehana. Sepanjang hayatnya, Roehana tidak pernah merasakan sekolah formal karena harus hidup nomaden mengikuti tempat tugas sang ayah. Selain itu, Roehana juga berkewajiban mengasuh dan menjaga adik-adiknya. Jadilah Rasjad berperan sebagai ayah sekaligus guru bagi anak-anaknya, termasuk Roehana.
Ketika mengikuti ayahnya bertugas di Alahan Panjang, pengetahuan yang didapat Roehana bertambah lengkap. Keluarga Roehana bertetangga baik dengan seorang jaksa, Lebi Rajo nan Soetan, dan istrinya, Adiesah. Kebetulan keluarga kecil ini belum dikaruniai momongan. Keluarga Lebi Rajo kemudian berandil cukup besar dalam proses kreatif Roehana. Roehana kerap diajari membaca, menulis, serta merajut benang wol yang merupakan keahlian perempuan Belanda (Fitriyanti, 2001: 18). Bermacam surat kabar dan buku yang terdapat di rumah Adiesah dilahap Roehana. Sementara di rumahnya sendiri, Roehana juga membaca buku milik ayahnya seperti buku sastra, politik, atau hukum. Beginilah cara Roehana mengenyam pendidikan.
Proses pembelajaran yang menyenangkan di Alahan Panjang cuma dua tahun dirasakan Roehana. Rasjad dipindatugaskan ke Simpang Tonang Talu gara-gara sikapnya yang kritis terhadap atasan. Di tempat tugas ayahnya sekaligus tempat tinggal keluarganya yang baru inilah Roehana memulai jejaknya sebagai seorang guru muda. Ini bermula dari kebiasaan unik Roehana—yang bakal menjadi trade mark gaya Roehana kecil menarik murid—yakni membaca surat kabar ataupun buku dengan suara lantang di depan orang banyak di tempat umum maupun di teras rumahnya (Hajar NS, 2008: 186).
Awalnya hanya dari kebiasaan Roehana membaca buku-buku dan koran dengan suara yang nyaring lagi lantang, namun siapa sangka kegemaran ini justru yang membuat lingkungan sekitarnya sadar bahwa Roehana sangat berbakat untuk menjadi guru. Mulanya tak puas mendengar, berangsur para tetangganya mulai tertarik belajar membaca dan menulis agar bisa membaca sendiri cerita yang diperdengarkan Roehana.
Ternyata umpan Roehana mujarab menjaring minat belajar orang sekampung. Timbullah gagasan mendirikan sekolah di rumah, teras disulap menjadi tempat belajar sederhana, sedangkan ayah Roehana membantu pengadaan alat tulis yang dibagikan secara gratis. Cukup beralas tikar dan duduk bersila, pelajaran membaca dan menulis dimulai dengan Roehana sebagai guru. Ayah Roehana pun bersedia mengajar materi budi-pekerti dan agama.
Kegiatan belajar-mengajar yang berlangsung di rumah Roehana semakin riuh. Dari anak-anak sampai para ibu muda terlibat proses pendidikan dalam suasana yang menggembirakan. Roehana mulai memperkaya materi pengajaran. Tak hanya membaca dan menulis saja, tapi juga pelajaran agama dengan menyertakan belajar membaca dan menulis Arab agar tidak sekadar menghafal, sebagaimana pelajaran agama di surau-surau. Nenek Roehana, Tuo Sarimin, turut andil dengan memberikan pelajaran keterampilan menyulam, sementara Tuo Sini, adik neneknya yang selain pintar mendongeng juga mengajar anyam-menganyam.
Menjalani peran sebagai penyuluh kaum perempuan dilakoni Roehana cukup lama, sejak belia hingga Roehana berusia 24 tahun. Selama kurun waktu itu, Roehana telah melakukan banyak gebrakan untuk mendidik kaum perempuan. Jasa terbesar Roehana tentu saja ketika mendirikan sekolah Kerajinan Amai Setia (KAS) di Kotogadang pada 1911. Sekolah yang mendidik keahlian anak-anak perempuan ini merupakan tindak lanjut dari dideklarasikannya perkumpulan perempuan Kerajinan Amai Setia pada 11 Februari 1911 di mana Roehana didaulat sebagai ketuanya. Di bawah tangan halus Roehana, KAS berkembang pesat. Para istri pejabat Belanda tertarik dengan hasil kerajinan siswi-siswi KAS yang kualitasnya dinilai sudah layak ekspor.
Kegemilangan yang diraih Roehana tersiar ke berbagai penjuru. Hingga datang undangan, Roehana ditawari pergi ke Eropa untuk ikut dalam Internationale Tentoonstelling yang akan diadalkan di Brussel, Belgia, pada 1913. Internationale Tentoonstelling adalah ajang pameran kerajinan tahunan yang diikuti oleh peserta dari banyak negara. Ini adalah kesempatan emas Roehana untuk memamerkan sulam terawang karya perempuan Kotogadang sehingga akan dikenal lebih luas. Namun, gara-gara fitnah dari pihak-pihak yang dengki, Roehana batal ke Eropa, padahal kabar rencana keberangkatan Roehana telah disiarkan luas.
Gagal ke Eropa, spirit Roehana tak surut. Justru aksi jegal yang dialaminya dijadikan pelecut untuk semakin maju. Roehana bertekad untuk terus membimbing bangsanya menuju pencerahan. Kali ini pena menjadi pilihan senjatanya. Kegemarannya membaca membuat Roehana terpantik untuk turut menulis. Ini suatu keputusan berani mengingat kala itu tak banyak perempuan yang berkecimpung di semesta media. Roehana adalah salah seorang srikandi pertama yang memulai tradisi pers di Sumatra Barat, pelopor jurnalisme perempuan Minangkabau.
Selama menjadi guru, Roehana mengajari para muridnya menulis maupun menyadur cerita dalam bentuk syair yang memuat kearifan. Selain itu, Roehana mempunyai kebiasaan menulis catatan harian atau semacam memoar yang berisi keluh-kesah, juga apapun yang dialaminya dalam kehidupan sehari-hari. Kegemaran membaca dan menulis inilah yang kemudian membuatnya berani mencoba mengirimkan hasil pemikirannya ke beberapa surat kabar.
Ketika Poetri Hindia terbit perdana pada 1908 di Batavia dan lantas dianggap sebagai koran perempuan pertama di Indonesia, Roehana ikut antusias menyambut kemajuan ini. Beberapa kali dia menjadi kontributor koran perempuan yang hadir berkat gagasan Tirto Adhi Soerjo itu. Bisa jadi Roehana adalah wanita Indonesia yang secara sadar memerankan dirinya sebagai seorang jurnalis, yang bersedia meliput berita sekaligus menulis untuk kemudian dikirimkan ke media massa. Kebanyakan, para perempuan yang terlibat di dunia jurnalistik kala itu cuma sebatas sebagai “pemanis” semata, tanpa perlu susah-susah bersadar diri dalam melakoni tugas-tugas dasar di bidang jurnalistik.
Setelah Poetri Hindia tutup buku karena Tirto Adhi Soerjo terlibat beberapa perkara delik pers dengan pemerintah kolonial Hindia Belanda, Roehana kemudian berpaling pada surat kabar Oetoesan Melajoe yang sudah terbit sejak 1911 (Muhidin M. Dahlan, 2008: 73). Roehana mengirim surat kepada Datoek Soetan Maharadja alias DSM, pemilik Oetoesan Melajoe sekaligus tokoh pers terkemuka di Sumatra Barat.
Gayung bersambut, DSM ternyata sama kepincutnya terhadap Roehana, DSM mengikuti dengan cermat setiap sepak-terjang Roehana, baik lewat gerakan-gerakan Roehana di bidang pendidikan ataupun ketajaman kalam Roehana yang dimuat di sejumlah surat kabar. Saking tertariknya, orang sepenting dan sesibuk DSM sampai rela datang langsung ke Kotogadang demi menemui Roehana.
Hati Roehana terang girang bukan kepalang, dia segera menyampaikan keinginannya kepada DSM yang dijuluki raja pers Minangkabau itu. Roehana tidak main-main dalam hal ini, bahkan dia dengan tegas menyatakan ingin menerbitkan surat kabar khusus perempuan. “Keinginanku sebenarnya bukanlah sekadar meminta ruangan kaum ibu dalam surat kabar Oetoesan Melajoe yang bapak pimpin, tetapi kalau boleh ya penerbitan surat kabar yang istimewa untuk perempuan,” pinta Roehana. Setelah berembug, mereka kemudian bersepakat untuk menerbitkan koran khusus perempuan yang hingga saat itu belum pernah ada di Sumatra.
Tanpa lebih banyak basa-basi, meluncurlah edisi perdana Soenting Melajoe pada 10 Juli 1912. Roehana dipercaya untuk mengendalikan surat kabar ini sebagai pemimpin redaksinya. Inilah perempuan Indonesia pertama yang secara langsung memimpin surat kabar dan secara teknis sangat terlibat dalam tiap-tiap terbitannya. Bersama Roehana, duduk pula nama-nama srikandi lain di jajaran keredaksian Soenting Melajoe, seperti Zoebaedah Ratna Joewita binti Datoek Soetan Maharadja yang berkedudukan di Padang serta Roehana binti Maharadja Soetan yang mengasuh biro Soenting Melajoe di Bukittinggi. Ratna Joewita, anak perempuan DSM, sudah cukup kenyang pengalaman karena pernah menjadi penulis di Poetri Hindia, sama seperti yang pernah dilakoni Roehana.
DSM menyerahkan seluruh penggarapan Soenting Melajoe kepada Roehana sebagai pemimpin redaksinya. Inilah yang menjadi puncak pencitraan Roehana sebagai perempuan Indonesia pertama yang berprofesi sebagai wartawan. Awalnya, kerja Roehana hanya memetakan pemikirannya sembari merilis berita dan tulisan dari koran-koran luar negeri untuk ditampilkan di Soenting Melajoe. Namun kemudian Roehana benar-benar menjalani tugasnya sebagai wartawan. Roehana tak jarang bolak-balik Kotogadang-Bukittinggi untuk meliput peristiwa-peristiwa aktual yang sedang terjadi.
Soenting Melajoe diterbitkan dari Padang namun Roehana tak perlu berpindah domisili. Dari Kotogadang, Roehana tetap bisa mengendalikan redaksi Soenting Melajoe, yakni cukup dengan mengirim tulisan selama sepekan dan berkoordinasi dengan awak redaksi di Padang. Roehana menulis dengan tulisan tangan karena dia merasa masih nyaman dengan gaya konvensional ini, selain tidak memiliki dan belum mahir menggunakan mesin ketik. Kecuali aktif dan produktif dalam menulis, Roehana turun langsung mencari bakat terpendam para perempuan yang gemar menulis ke pelosok-pelosok, serta mengusahakan dibukanya biro-biro Soenting Melajoe di berbagai tempat untuk memudahkan distribusinya.
Selain bersama Soenting Melajoe, Roehana juga terlibat dalam beberapa koran lainnya. Pada 1913, di samping pekerjaaan utamanya sebagai pemimpin redaksi Soenting Melajoe, Roehana juga menjadi awak redaksi Saoedara Hindia, surat kabar terbitan Kotogadang, tempat Roehana bermukim. Selanjutnya, pada 1920, saat Roehana menetap di Medan sembari mengajar pada sekolah Dharma Putra, dia membantu penerbitan surat kabar Perempoean Bergerak (Dian Andika Winda, 2008: 148).
Perempoean Bergerak merupakan koran terbitan Deli yang juga mengusung semangat feminisme kendati tetap memuat sajian rumah tangga, sopan-santun, keluarga, penjagaan anak, pergaulan sehari-hari, dan masak memasak. Segmen pembacanya pun juga ditujukan bagi laki-laki. Argumentasinya, kemajuan perempuan dan bangsa hanya akan tercapai dengan kerjasama antara laki-laki dan perempuan. ‘Perempoean Bergerak dipelopori para aktivis perempuan ternama kala itu, antara lain Boetet Satidjah, Anong S Hamidah, Siti Sahara, Ch Baridjah, TA Safariah, dan Siti Satiaman. Nama terakhir yang disebut adalah pemimpin redaksi sekaligus istri dari jurnalis terkemuka, Parada Harahap (Rhoma Dwi Aria Yuliantri, 2008: 88).
Roehana sempat pula menjadi redaktur surat kabar Radio dan Tjahaja Sumatra yang diterbitkan di Padang. Namun, meski sudah kenyang berbagai pengalaman di dunia pers, Soenting Melajoe tetap saja menjadi ciri yang paling lekat pada diri Roehana sebagai seorang jurnalis perempuan yang paling terkemuka.
Roehana setia mengawal Soenting Melajoe dari awal hingga pungkas. Sejak Soenting Melajoe pertama kali diluncurkan sampai koran ini berhenti terbit pada 1921, posisi Roehana sebagai motor utama penggeraknya tak tergantikan. Sembilan warsa yang dilakoni Roehana bersama Soenting Melajoe bukanlah waktu yang sebentar, tak banyak koran yang bisa bertahan selama itu dalam kurun dekade kedua abad ke-20 tersebut. Berkat kegigihan dan komitmen Roehana demi kemajuan kaum perempuan, Soenting Melajoe mampu melangsungkan perjuangannya.
Pada usia 24 tahun, Roehana menikah dengan Abdoel Koedoes, seorang notaris sekaligus jurnalis koran Tjahaja Soematra. Suami Roehana juga tercatat sebagai anggota organisasi pergerakan yang dipimpin Tjipto Mangoenkoesoemo, Insulide. Setelah menikah dengan Abdoel Koedoes, Roehana berhak menyandang nama belakang suaminya. Sejak itulah dia lebih dikenal dengan nama Siti Roehana Koedoes. Suami-istri yang konsisten berjuang demi kemajuan bangsanya itu dikaruniai seorang anak laki-laki yang diberi nama Djasman.
Pada 17 Agustus 1972, tepat ketika seluruh rakyat Republik Indonesia memperingati hari kemerdekaannya yang ke-27, Siti Roehana Koedoes meninggal dunia di Jakarta pada usia 88 tahun. Jenasahnya dimakamkan di pemakaman umum Karet, Jakarta. Tak banyak perempuan Indonesia seperti Roehana, apalagi pada masa hidupnya yang sarat ketidakadilan yang dialami kaum perempuan. Siti Roehana Koedoes, seorang perempuan yang tidak pernah mengecap pendidikan formal namun sanggup melakukan hal-hal besar demi perubahan: mendirikan sekolah perempuan, membentuk organisasi perempuan, serta menerbitkan surat kabar perempuan. Bukan kebetulan bila di ranah Sumatra, Roehana adalah sang pemulanya.
2. Pemikiran
Apa yang menjadi pemikiran sekaligus motivasi perjuangan Roehana bermuara pada satu hal besar: emansipasi perempuan. Hal besar inilah yang kemudian oleh Roehana diperjuangkan melalui dua jalur, yaitu pendidikan dan jurnalistik, dengan sasaran untuk kemajuan kaum perempuan di Sumatra pada khususnya dan di Indonesia pada umumnya.
a. Pendidikan
Keteladanan seorang guru akan menjadikan guru sebagai pendidik yang mampu memberikan kesempatan siswa untuk mengembangkan semua dimensi kemanusiaannya (St Kartono, 2006: 20). Maka dari itu, Roehana mengasah pengetahuannya dengan lebih banyak membaca buku dan berlangganan surat kabar, termasuk media terbitan luar negeri. Dengan banyak menjamah bacaan asing, Roehana kian menyadari perbedaan nasib perempuan di dalam negeri dengan kondisi perempuan di luar negeri. Roehana mendapati tak hanya lelaki yang bisa menikmati pendidikan, tapi juga kaum perempuan.
Perempuan di negeri nun jauh di sana bisa memperoleh gelar sarjana, bekerja di kantor, menjadi guru, serta boleh menyatakan pendapatnya untuk turut menentukan masa depan bangsa. Kondisi kaum perempuan di dalam negeri sangat berbeda, masih dibatasi dengan aturan adat. Keadaan ini mengundang rasa prihatin dan memunculkan hasrat Roehana untuk memajukan kaum perempuan.
Pengetahuan dari bacaan-bacaan luar negeri diterapkan Roehana saat mengajar. Roehana membeberkan nasib perempuan di Eropa yang jauh lebih baik ketimbang putri-putri negeri sendiri. Roehana sekali lagi menegaskan perlunya perempuan Minang untuk merantau demi mencari ilmu. Bila perempuan tak berani membuka pikirannya, kata Roehana, maka dia akan tersingkir dari perhatian laki-laki karena pria Minang lebih menyukai perempuan yang pintar. Pikiran Roehana tentang perempuan merantau dianggap menyimpang dari adat karena berani memasukkan perempuan dalam lingkaran rantau yang mutlak dipunyai lelaki. Tapi begitulah ciri pelopor, pikirannya pasti melampaui orang kebanyakan pada zamannya.
Roehana menghabiskan waktu sepanjang hidupnya dengan belajar dan mengajar, juga berupayamengubah paradigma masyarakat Minangkabau terhadap pendidikan untuk kaum perempuan. Roehana dengan bijak menjelaskan bahwa perputaran zaman tidak akan pernah membuat perempuan menyamai laki-laki. Perempuan tetaplah perempuan dengan segala kemampuan dan kewajibannya. Yang harus berubah adalah perempuan harus mendapat pendidikan dan perlakukan yang lebih baik. Perempuan harus sehat jasmani dan rohani, berakhlak dan berbudi pekerti luhur serta taat beribadah. Kesemuanya itu hanya akan terpenuhi dengan mempunyai ilmu pengetahuan.
Dengan demikian jelaslah sudah, emansipasi yang ditawarkan dan dilakukan Roehana tidak menuntut persamaan hak perempuan dengan laki-laki namun lebih kepada pengukuhan fungsi alamiah perempuan itu sendiri secara kodratnya. Untuk dapat berfungsi sebagai perempuan sejati sebagaimana mestinya juga butuh ilmu pengetahuan dan keterampilan. Untuk itulah diperlukannya pendidikan yang layak dan baik bagi kaum perempuan.
b. Jurnalistik
Pemikiran Roehana tentang emansipasi perempuan yang diguratkan melalui tulisan-tulisannya di surat kabar lebih terasa tajam. Seringkali artikel karya Roehana mengkritisi ketidakadilan yang dialami kaum hawa di negeri ini, terutama ketika Roehana memimpin Soenting Melajoe. Dominasi tulisan Roehana yang dimuat dalam Soenting Melajoe menekankan pentingnya perempuan menempuh pendidikan, baik pendidikan formal, pendidikan keluarga, juga pendidikan untuk bisa hidup mandiri tanpa bergantung pada lelaki. Tulisan-tulisan Roehana cukup tajam, bahkan berulangkali menyerang adat Minangkabau yang dinilainya telah usang, tak relevan lagi dengan kemajuan zaman.
“Saya terutama sekali menulis mengenai segi keagamaan dan keharusan adat Minangkabau, khususnya Kotogadang, yang mengubah sikap mereka mengenai perempuan,” tegas Roehana (Hajar NS, 2007: 38). Tulisannya banyak bercerita ihwal kehidupan perempuan dari lapisan menengah ke bawah. Roehana sangat paham tentang keadaan tersebut karena dalam lingkungan itulah dia menjalani kehidupan.
Roehana juga kerap menyoroti nasib perempuan di negara miskin dan negara terjajah. Dalam salah satu artikelnya di Soenting Melajoe, Roehana menggugat nasib kaum perempuan India yang merana akibat terkekang aturan adat. Keadaan kaum perempuan India memang sangat mengenaskan, bahkan mereka diperlakukan secara tidak manusiawi. Ketika sedang menstruasi, para perempuan India harus diasingkan karena dianggap sebagai makhluk yang kotor lagi najis. Inilah yang digugat Roehana bahwa perempuan selalu saja menjadi tumbal atas nama norma adat. “Perempuan bangsa Hindu di tanah Hindustan sebelah utara dan Hindustan sebelah tengah amatlah rendah sekali derajatnya dan tiada berhak apa-apa,” tukas Roehana (Roehana Koedoes, Soenting Melajoe: 13 Desember 1918).
Gugatan Roehana kian bernyali. Dia menulis garang kepada kaum pria yang selama ini hanya menjadikan perempuan berada di bawah kuasa mereka. Roehana menginginkan keadilan. Dia tidak mau kaumnya hanya diperlakukan sekadar sebagai pelengkap, pemuas nafsu yang kebetulan memiliki fungsi reproduksi. Roehana memperjuangkan emansipasi dan kesetaraan, karena menurut Roehana, perempuan bersama laki-laki adalah unsur pembangun bangsa. Roehana mengultimatum, “Ketahuilah oleh tuan-tuan, bahwa perempuan itu sunting permainan. Janganlah tuan pilih perempuan (sama gadis atau janda) yang panjang rambut dan licin kening saja, tetapi wajiblah tuan-tuan ingat buah yang manis itu banyak berulat.” (Roehana Koedoes, Soenting Melajoe: 10 Desember 1920).
Meski cenderung keras dalam urusan emansipasi perempuan namun Roehana tak serta-merta jadi gelap mata. Roehana masih memegang teguh kodrat asali perempuan, yakni sebagai ujung tombak dalam mengurus rumah tangga dan keluarga. Untuk itu, Roehana selalu menghimbau agar kaum perempuan tak jemu menimba ilmu supaya menjadi golongan yang tangguh, pandai mengelola keluarga tanpa selalu bergantung pada suami. Melalui tulisannya, Roehana menganjurkan, “Rajin-rajinlah dan tetaplah hati saudara-saudara setiap hari menuntut ilmu, karena ilmu itu telah bersendi kemajuan bagi pihak beberapa bangsa... Sebab kemajuan itu tak hanya pendapat pada pihak laki-laki saja. Bangsaku perempuan hendaknya juga dimajukan, jangan sekali ditinggalkan di belakang. Sekali lagi, anak perempuan harus terus disekolahkan!” (Hajar NS, 2008: 221).
Berkat peran vitalnya dalam menggalang keberlangsungan Soenting Melajoe, nama Roehana melambung ke panggung pers nasional sebagai jurnalis perempuan yang konsisten memperjuangkan emansipasi. Sebagai pedagog sekaligus jurnalis, nama Roehana kemudian dikenang-kenang sebagai jurnalis pertama perempuan Pribumi karena dia juga terlibat langsung dalam membangun manajemen pers di dekade kedua abad ke-20 itu. “Soerat Kabar Perempuan di Alam Minangkabau”, demikian jargon yang diusung Soenting Melajoe. Jargon ini senafas dengan perjuangan Soenting Melajoe mengangkat harkat perempuan, utamanya adalah bagaimana mendudukan posisi yang sejajar dengan kaum laki-laki di dalam dunia pergerakan.
Tak jemu-jemu Roehana menuntut agar hak-hak kaum perempuan tidak terlalu ditekan. Roehana berjuang sekuat tenaga melalui bidang yang dikuasainya. Lewat media surat kabar, pergerakan Roehana lebih leluasa dalam melancarkan kritikan dan sentilan pedas kepada pihak-pihak yang tak ingin kaum perempuan memperoleh kemajuan. Sebagai ransum untuk memperkaya wawasannya sebagai seorang guru sekaligus jurnalis, Roehana terus membekali dirinya dengan membaca surat kabar pergerakan, seperti Fadjar Asia, Modjopahit, Goentoer Bergerak, juga Sinar Djawa/Sinar Hindia. Koran-koran ini kebanyakan adalah corong pergerakan yang dimotori para pejuang generasi muda yang berdarah-darah menentang kolonialisme dan imperialisme.
Roehana menemukan alasan kuat mengapa tertarik terjun ke dunia jurnalistik. Pertama, perasaaan bangga karena dengan menjadi wartawan dapat bertemu dengan para tokoh besar. Kedua, kerja-kerja menulis seorang wartawan adalah ruang untuk memerdekakan pikiran, bahkan bisa untuk mengkritik atau mengkoreksi hal-hal yang dirasa tidak benar dan dianggap perlu diketahui oleh khalayak. Ketiga, kewajiban seorang wartawan untuk mengemban amanat rakyat yang hakiki berupa kemerdekaan hati nurani rakyat. Terakhir, dengan menjadi seorang wartawan, Roehana dapat leluasa memperjuangkan nasib perempuan agar tidak terus ditindas oleh aturan adat serta perlakuan diskriminatif. Roehana berkehendak memenangkan perjuangan perempuan, dan itulah yang dilakukannya melalui Soenting Melajoe dan surat kabar lain yang dikelolanya.
3. Jasa dan Karya
Perjuangan nyata Roehana demi kepentingan dan kemajuan kaum perempuan sangat banyak. Sepanjang Roehana hidupnya, Roehana telah menorehkan banyak prestasi, antara lain:
1. Menggagas perkumpulan perempuan Kerajinan Amai Setia pada 11 Februari 1911 di mana Roehana ditunjuk sebagai ketuanya.
2. Mendirikan sekolah Kerajinan Amai Setia (KAS) di Kotogadang pada 1911, sekolah ini masih bertahan hingga sekarang.
3. Menjadi jurnalis perempuan pertama di Indonesia.
4. Menjadi kontributor koran khusus perempuan terbitan Batavia, Poetri Hindia, pada 1908.
5. Menggagas dan memimpin penerbitan surat kabar khusus perempuan Soenting Melajoe, yang diterbitkan di Padang sejak 10 Juli 1912.
6. Menjadi guru di sekolah Dharma Putra di Medan pada 1920.
7. Membantu penerbitan surat kabar terbitan Medan, Perempoean Bergerak, pada 1920.
8. Menjadi redaktur surat kabar Radio dan Tjahaja Sumatra yang diterbitkan di Padang.
4. Penghargaan
Sebagai bentuk pengabadian atas jasa-jasa Roehana, pada 1974 pemerintah daerah Sumatra Barat memberi penghargaan kepada Roehana sebagai wartawati pertama Indonesia. Pemerintah Orde Baru tidak mau kalah, pada peringatan Hari Pers Nasional ke III, 9 Februari 1987, Roehana dianugerahi gelar sebagai perintis pers Indonesia. Selanjutnya, pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono turut menggenapkan gemilang jasa yang ditorehkan Roehana dengan menganugerahkan Bintang Jasa Utama kepada Roehana atas jasa-jasanya dalam perjuangan bangsa melalui dunia jurnalistik. Penghargaan yang diberikan pada 16 Februari 2008 itu diserahkan melalui Gubernur Sumatra Barat, Gamawan Fauzi, dan diterima keluarga Roehana Koedoes yang diwakili cucunya, Juneydi Juni, pada acara puncak Hari Pers Nasional tingkat Sumatra Barat di Istana Negara Bung Hatta, Bukittinggi. (Iswara NR/ MelayuOnline)
Kepustakaan
AN Ismanto (Ed.), Tanah Air Bahasa: Seratus Jejak Pers Indonesia, Jakarta: IBOEKOE, 2007,
Fitriyanti, Roehana Koeddoes:Perempuan Sumatera Barat, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2001.
Iswara N Raditya dan Muhidin M Dahlan (Eds.), Karya-karya Lengkap Tirto Adhi Soerjo: Pers Pergerakan dan Kebangsaan, Jakarta: IBOEKOE, 2008.
M Balfas, Dr Tjipto Mangoenkoesoemo: Demokrat Sedjati, Jakarta: Djambatan, 1952.
Muhammad Safrinal (Ed.), Sang Guru: Peta Ringkas Hubungan Guru-Murid di Pelbagai Tradisi, Yogyakarta: Ekspresibuku, 2006
Muhidin M Dahlan (Ed.), Seabad Pers Kebangsaan: Bahasa Bangsa, Tanahair Bahasa (1907-2007), Jakarta: IBOEKOE, 2008.
Petrik Matanasi (Ed.), 7 Ibu Bangsa, Jakarta: Rahzenbook, 2008
Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, Jakarta: Lentera Dipantara, 2003.
Rudolf Mrazek, Sjahrir:Politik dan Pengasingan di Indonesia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1996.
Tamar Djaja, Roehana Koddoes, Srikandi Indonesia, Jakarta: Penerbit Mutiara, 1980.
Artikel dalam Buku
Dian Andika Winda, “Perempoean Bergerak: Dari Deli untuk Kesetaraan, “dalam Muhidin M Dahlan (Ed.), Seabad Pers Kebangsaan: Bahasa Bangsa, Tanahair Bahasa (1907-2007), Jakarta: IBOEKOE, 2008, hlm. 148.
Hajar NS, “Siti Roehana Koedoes: Ibu Pers dan Pergerakan Indonesia”, dalam Petrik Matanasi (Ed.), 7 Ibu Bangsa, Jakarta: Rahzenbook, 2008, hlm. 186.
Hajar NS, “Siti Roehana Koedoes: Membaca Surat kabar Seperti Meminum Air Laut”, dalam dalam AN Ismanto (Ed.), Tanah Air Bahasa: Seratus Jejak Pers Indonesia, Jakarta: IBOEKOE, 2007, hlm. 38.
Iswara N Raditya, “Datoek Soetan Maharadja: Penghulu Adat Berkiblat Barat”, dalam AN Ismanto (Ed.), Tanah Air Bahasa: Seratus Jejak Pers Indonesia, Jakarta: IBOEKOE, 2007, hlm. 24.
M Yuanda Zara, “Oetoesan Melajoe: Koran Utusan Kaum Adat”, dalam Muhidin M Dahlan (Ed.), Seabad Pers Kebangsaan: Bahasa Bangsa, Tanahair Bahasa (1907-2007), Jakarta: IBOEKOE, 2008, hlm. 73.
Reni Nuryanti, “Soenting Melajoe: Di sini, Nama Roehana Koedoes Terpahat”, dalam Muhidin M Dahlan (Ed.), Seabad Pers Kebangsaan: Bahasa Bangsa, Tanahair Bahasa (1907-2007), Jakarta: IBOEKOE, 2008, hlm. 91
Rhoma Dwi Aria Yuliantri, “Parada Harahap: King of The Java Press”, dalam AN Ismanto (Ed.), Tanah Air Bahasa: Seratus Jejak Pers Indonesia, Jakarta: IBOEKOE, 2007, hlm. 88.
St Kartono, “Masih Ada Guru”, dalam Muhammad Safrinal (Ed.), Sang Guru: Peta Ringkas Hubungan Guru-Murid di Pelbagai Tradisi, Yogyakarta: Ekspresibuku, 2006, hlm. 20.
Artikel dalam Surat Kabar/Internet
-------, “Roehana Kudus”, tersedia di www.wikipedia.org. diakses pada 6 April 2009.
-------, “Balai Wartawan "Rohana Kudus" Bukti Sejarah,” tersedia di www.opensubscriber. com, diakses pada 7 April 2009.
Nasrul Azwar (2007), “Roehana Kudus, Jurnalis Perempuan Dari Sumatra Barat” tersedia di www.ranah-minang.com, diakses pada 6 April 2009.
Riny Yunita (2008), “Roehana Kudus Rintis Surat kabar Perempuan”, tersedia di www.langitperempuan.com, diakses pada 6 April 2009.
Siti Roehana Koedoes (1918), “Perempoean”, dalam Soenting Melajoe, 13 Desember 1918.
Siti Roehana Koedoes (1920), “Mentjari Isteri”, dalam Soenting Melajoe, 10 Desember 1920.