20 November 2011

Ibn Hazm, Ulama Negarawan dari Spanyol

Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Sa'id bin Hazm atau lebih dikenal dengan nama Ibn Hazm diakui sebagai seorang ulama yang memiliki kontribusi luar biasa dalam dunia Islam. Ia dikenal sebagai ahli fikih dan hadits sekaligus teolog, sejarawan, penyair, negarawan, akademisi dan politisi yang handal. Tak kurang dari 400 judul kitab telah ditulisnya.


Ibn Hazm lahir di kota Cordoba, Spanyol pada akhir Ramadhan 384 H atau bertepatan dengan 7 November 994 M. Ia tumbuh dan besar di kalangan para pembesar dan pejabat. Ayahnya, Ahmad, adalah seorang menteri pada masa pemerintahan Khalifah al-Mansur dan putranya, al-Muzaffar. Kendati demikian, kemewahan hidup yang dijalaninya itu tidak menjadikannya lupa diri dan sombong. Sebaliknya, ia dikenal sebagai seorang yang baik budi pekertinya, pemaaf dan penuh kasih sayang.

Sebagai seorang anak pembesar, Ibn Hazm mendapat pendidikan dan pengajaran yang baik. Pada masa kecilnya, ia dibimbing dan diasuh oleh guru-guru yang mengajarkan Alquran, syair, dan tulisan indah Arab (khatt). Ketika meningkat remaja, ia mulai mempelajari fikih dan hadits dari gurunya yang bernama Husain bin Ali al-Farisi dan Ahmad bin Muhammad bin Jasur. Ketika dewasa, ia mempelajari bidang ilmu lainnya, seperti filsafat, bahasa, teologi, etika, mantik, dan ilmu jiwa disamping memperdalam lagi ilmu fikih dan hadits.

Penguasaan terhadap berbagai disiplin ilmu tersebut pada akhirnya menjadikan Ibn Hazm seorang yang pakar dalam bidang agama. Kepakarannya ini bukan hanya diakui oleh kaum muslimin, namun juga diakui oleh kalangan sarjana Barat. Ada sebuah nasehat yang terkenal dari Ibn Hazm yang ditujukan kepada para pencari ilmu yaitu, "Jika Anda menghadiri majelis ilmu, maka janganlah hadir kecuali kehadiranmu itu untuk menambah ilmu dan memperoleh pahala, dan bukannya kehadiranmu itu dengan merasa cukup akan ilmu yang ada padamu, mencari-cari kesalahan dari pengajar untuk menjelekkannya. Karena ini adalah perilaku orang-orang yang tercela, yang mana orang-orang tersebut tidak akan mendapatkan kesuksesan dalam ilmu selamanya.''

Terjun ke politik

Sebagai anak seorang menteri dan hidup di lingkungan istana, Ibn Hazm mulai berkenalan dengan dunia politik ketika berusia lima tahun. Pada waktu itu terjadi kerusuhan politik dalam masa pemerintahan Khalifah Hisyam II al-Mu'ayyad (1010-1013 M) yang mengakibatkan Hisyam beserta ayah Ibn Hazm diusir dari lingkungan istana.

Keterlibatan Ibn Hazm di bidang politik secara langsung terjadi pada masa pemerintahan Khalifah Abdurrahman V al-Mustahdir (1023 M) dan Khalifah Hisyam III al-Mu'tamid (1027-1031 M). Pada masa kedua khalifah ini Ibn Hazm menduduki jabatan menteri.

Pada masa pemerintahan Abdurrahman V al-Mustahdir, Ibn Hazm bersama-sama dengan khalifah berusaha memadamkan berbagai kerusuhan dan mencoba merebut wilayah Granada dari tangan musuh. Akan tetapi dalam usaha merebut wilayah itu khalifah terbunuh dan Ibn Hazm tertangkap. Ia kemudian dipenjarakan.

Hal serupa juga dialaminya pada masa pemerintahan Hisyam III al-Mu'tamid. Ibn Hazm pernah dipenjarakan setelah sebelumnya ia ikut mengatasi berbagai keributan di istana. Selepas keluar dari tahanan, ia memutuskan untuk meninggalkan dunia politik dan keluar dari istana.

Sejak keluar dari istana, Ibn Hazm tidak menetap di satu tempat tertentu, tetapi berpindah-pindah. Selain mencari ilmu, motivasinya hidup berpindah-pindah tempat karena ingin mencari ketenangan dan keamanan hidupnya. Sejak saat itu ia juga mencurahkan perhatiannya kepada penulisan kitab-kitabnya.

Kitab-kitab karangan Ibn Hazm seperti yang dikatakan oleh anaknya, Abu Rafi'i al-Fadl, berjumlah 400 buah. Tetapi karyanya yang paling monumental adalah kitab al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam (Ilmu Ushul Fikih; terdiri dari delapan jilid) dan kitab al-Muhalla (Ilmu Fikih; terdiri dari tiga belas jilid). Kedua kitab ini menjadi rujukan utama para pakar fikih kontemporer.

Karya-karyanya yang lain di antaranya adalah: Risalah fi Fada'il Ahl al-Andalus (Risalah tentang Keistimewaan Orang Andalus), al-Isal Ila Fahm al-Khisal al-Jami'ah li Jumal Syarai' al-Islam (Pengantar untuk Memahami Alternatif yang mencakup Keseluruhan Syariat Islam), al-Fisal fi al-Milal wa al-Ahwa' wa an-Nihal (Garis Pemisah antara Agama, Paham dan Mazhab), al-Ijma' (Ijmak), Maratib al-'Ulum wa Kaifiyah Talabuha (Tingkatan-Tingkatan Ilmu dan Cara Menuntutnya), Izhar Tabdil al-Yahud wa an-Nasara (Penjelasan tentang Perbedaan Yahudi dan Nasrani), dan at-Taqrib lihadd al-Mantiq (Ilmu Logika).

Selain menulis kitab mengenai ilmu-ilmu agama, Ibn Hazm juga menulis kitab sastra. Salah satu karyanya dalam bidang sastra yang sangat terkenal adalah yang berjudul Tauq al-Hamamah (Di Bawah Naungan Cinta). Kitab ini menjadi karya sastra terlaris sepanjang abad pertengahan. Kitab yang berisikan kumpulan anekdot, observasi, dan puisi tentang cinta ini tidak hanya dibaca oleh kalangan umat Islam, tetapi juga kaum Nasrani di Eropa.

Ibn Hazm wafat di Manta Lisham pada 28 Sya'ban 456 H bertepatan pada tanggal 15 Agustus 1064 M. Wafatnya Ibn Hazm cukup membuat masyarakat kala itu merasa kehilangan dan terharu. Bahkan, Khalifah Mansur al-Muwahidi, khalifah ketiga dari Bani Muwahid termenung menatap kepergian Ibn Hazm, seraya berucap: "Setiap manusia adalah keluarga Ibn Hazm”.

Bagaimana Pengelolaan Wakaf di Era Dinasti-Dinasti Islam?

Tata cara pengelolaan wakaf dalam Islam telah diatur berdasarkan Alquran dan Sunah Rasulullah SAW. Harta wakaf, menurut ajaran Islam, hanya diambil manfaatnya, sementara barang asalnya harus tetap. Karena itu, harta wakaf tidak boleh dijual, dihibahkan, atau diwariskan. Pada prinsipnya, menurut John L Esposito dalam Ensiklopedi Oxford: Dunia Islam Modern, pembuat wakaf menentukan bentuk pengelolaan wakafnya sendiri. Pengelola wakaf biasa disebut dengan istilah mutawalli atau nadhir.


Dalam perkembangannya praktik wakaf menjadi lebih luas pada masa pemerintahan Islam sesudah era Khulafaur Rasyidin. Sri Nurhayati dalam tulisannya yang bertajuk Akuntansi Syariah di Indonesia memaparkan bahwa pada masa pemerintahan Dinasti Umayyah dan Abbasiyah, semua orang berduyun-duyun untuk melaksanakan wakaf. Pada masa itu, wakaf tidak hanya untuk orang-orang fakir dan miskin saja, tetapi wakaf menjadi modal untuk membangun lembaga pendidikan, membangun perpustakaan dan membayar gaji para stafnya, gaji para guru dan beasiswa untuk para siswa dan mahasiswa.

Antusiasme masyarakat kepada pelaksanaan wakaf telah menarik perhatian negara untuk mengatur pengelolaan wakaf. Maka, dalam perkembangan berikutnya mulai dibentuk lembaga yang mengatur wakaf. Lembaga ini bertugas untuk mengelola, memelihara dan menggunakan harta wakaf, baik secara umum seperti masjid atau secara individu atau keluarga.

Taubah bin Ghar al-Hadhramiy yang menjabat sebagai hakim di Mesir pada masa Khalifah Hisyam bin Abdul Malik (724-743 M) dari Dinasti Umayyah, misalnya, telah merintis pengelolaan wakaf di bawah pengawasan seorang hakim. Ia juga menetapkan formulir pendaftaran khusus dan kantor untuk mencatat dan mengawasi wakaf di daerahnya.

Upaya ini mencapai puncaknya dengan didirikannya kantor wakaf untuk pendaftaran dan melakukan kontrol yang dikaitkan dengan kepala pengadilan, yang biasa disebut dengan "hakimnya para hakim". Lembaga wakaf inilah yang pertama kali dilakukan dalam administrasi wakaf di Mesir, bahkan di seluruh negeri Islam pada masa itu. Pada saat itu juga, Hakim Taubah mendirikan lembaga wakaf di Basrah. Sejak itulah pengelolaan wakaf berada di bawah kewenangan lembaga kehakiman.

Keberadaan lembaga wakaf ini juga diteruskan pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah. Pemerintah Abbasiyah membentuk sebuah lembaga yang diberinama Shadr al-Wuquuf. Lembaga wakaf ini bertugas mengurusi masalah administrasi dan memilih staf pengelola lembaga wakaf.

Sementara di masa Dinasti Ayyubiyah di Mesir, perkembangan wakaf cukup menggembirakan, dimana hampir semua tanah-tanah pertanian menjadi harta wakaf yang dikelola oleh negara dan menjadi milik negara. Ketika Shalahuddin al-Ayyubi memerintah di Mesir, ia mewakafkan tanah-tanah milik negara untuk diserahkan kepada institusi agama dan sosial yang ada pada masa itu. Langkah serupa juga pernah dilakukan oleh penguasa Islam di Mesir sebelumnya dari Dinasti Fathimiyah.

Perkembangan wakaf pada masa Dinasti Mamluk sangat pesat dan beraneka ragam. Pada masa pemerintahan Mamluk, apapun yang dapat diambil manfaatnya boleh diwakafkan. Akan tetapi paling banyak yang diwakafkan pada masa itu adalah tanah pertanian dan bangunan.

Pada masa Mamluk juga dikenal yang namanya wakaf hamba sahaya, yakni mewakafkan budak untuk memelihara masjid dan madrasah. Hal ini dilakukan pertama kali oleh pengusa Dinasti Ustmani ketika menaklukan Mesir, Sulaiman Basya, yang mewakafkan budaknya untuk merawat masjid.

Undang-undang wakaf

Di era Dinasti Mamluk inilah awal mula disahkannya undang-undang wakaf dalam sebuah pemerintahan Islam. Berbagai sumber sejarah menyebutkan, perundang-undangan wakaf pada Dinasti Mamluk dimulai sejak masa Sultan Dzahir Baybars al-Bandaqdari, dimana beliau memilih hakim dari masing-masing empat mazhab.

Sementara itu di masa pemerintahan Turki Utsmaniyah, kekuasaan politik yang diraih oleh dinasti ini telah mempermudah penerapan syari'at Islam, di antaranya adalah peraturan tentang perwakafan. Bahkan untuk menangangi persoalan wakaf ini, pada awal abad ke-19 M, pemerintahan Turki Utsmaniyah membentuk kabinet khusus untuk menangangi masalah wakaf.

Di antara undang-undang perwakafan yang paling penting yang pernah dikeluarkan oleh pemerintahan Turki Utsmaniyah adalah yang dikeluarkan pada tanggal 29 November 1863. Undang-undang ini mengatur pengelolaan dan pengawasan wakaf. Undang-undang ini dipraktikkan di berbagai negara (Turki, Suriah, Irak, Lebanon, Palestina, dan Arab Saudi) untuk beberapa tahun setelah perpecahan Kesultanan Turki Utsmaniyah pada tahun 1918.

Kalila wa Dimna, Dongeng Fabel Menarik dari Dunia Muslim


Kisah macam 'Kancil Mencuri Timur' juga dikenal di dunia Arab. Salah satu buku dongeng binatang yang dikenal Muslim sejak lama ialah "Kalila wa Dimna". Buku ini adalah salah satu karya terlaris selama dua ribu tahun dan hingga kini masih digemari banyak orang di dunia Arab.


Buku yang berarti Kalila dan Dimna--dinamai dari dua anjing hutan yang menjadi karakter utama--ditulis sebagai panduan dan instruksi pelayanan sipil. Kisah-kisahnya begitu menghibur hingga diterima di setiap kelas, menjadi dongeng rakyat di dunia Muslim. Orang Arab membawa kisah-kisah itu ke Spanyol, di sana buku tersebut diterjemahkan ke Bahasa Spanyol Tua, pada abad ke-13. Saat diterjemahkan ke dalam Bahasa Italia, itu merupakan kali pertama buku tampil dalam versi cetak, setelah mesin cetak ditemukan.

Kalila dan Dimna aslinya ditulis dalam Bahasa Sansekerta, diperkirakan dari Kashmir pada abad ke-4. Dalam Sansekerta buku ini disebut Panchatantra atau "Lima Wacana". Buku tersebut sebenarnya ditulis untuk tiga pangeran muda yang telah membuat guru mereka putus asa dan sang ayah terganggu.

Raja takut memercayakan kerajaannya ke para putranya yang tak mampu menguasai pelajaran paling mendasar. Raja mendatangi wazirnya yang bijaksana untuk meminta bantuan dan si wazir pun menulis Panchatantra. Buku itu mengungkapkan kebijaksanaan besar dalam kisah-kisah fabel binatang yang mudah dicerna.

Enam bulan kemudian para pangeran sudah berada di jalan kebijaksanaan. Ketika raja mangkat, mereka menggantikan kepemimpinan ayahnya dengan penuh keadilan.

Dua ratus tahun kemudian, seorang shah Persia mengutus dokter pribadinya, Burzoe, ke India untuk menemukan jenis herbal tertentu yang konon mampu menghadirkan kehidupan abadi bagi mereka yang memakannya. Alih-alih, Burzoe malah membawa satu salinan Panchatantra, yang ia klaim sama baiknya dengan herbal ajaib karena ia menghadirkan kebijaksanaan besar ke pembacanya.

Shah memerintahkan Burzoe mengalihbahasakan ke Pehlavi, bentuk kuno Bahasa Persia. Ia begitu menyukai buku itu hingga menyimpannya dalam satu ruang khusus di dalam istananya.

Tiga ratus tahun berselang, setelah Muslim menguasai Persia dan Timur Dekat, seorang Persia yang telah memeluk Islam, bernama Ibnu al Mukaffah, menemukan buku itu dalam bahasa Pehlavi terjemahan Burzoe. Ia pun mengalihbahasakan lagi ke Arab dengan gaya penuturan begitu mengalir hingga sampai sekarang orang masih menganggapnya model prosa asli Arab.

Keberadaan buku tersebut menyebar ke berbagai negara termasuk Yunani, yang menjadi cikal sumber terjemahan versi berbagai bahasa di Eropa, mulai Latin, Slavia dan Jerman. Sementara versi Bahasa Arabnya juga diterjemahkan ke Bahasa Ethopia, Suriah, Persia, Turki, Melayu, Jawa, Laos dan Siam. Pada abad ke-19 Kalila wa Dimna diterjemahkan ke Hindustan, dengan demikian melengkapi siklus yang dimulai 1.700 lalu di Kashmir.

Tidak semua versi adalah terjemahan sederhana. Buku itu sudah diperluas, diperpendek, mengalami modifikasi, penambahan dan penghilangan figur serta dipermak oleh sejumlah penerjemah dengan jumlah tak terhitung.

Salah satu kisah di bawah ini tidak termasuk dalam versi Sansekerta, juga tak ada di sebagian besar manuskrip Arab salinan Ibnu al Mukaffah, namun yang menarik ia telah memasuki daratan Eropa--masih dianggap dongeng dari Arab--dan menjadi kisah cukup terkenal di sana, berjudul "Memasang Bel ke Leher Kucing.

Cerita serupa mungkin bisa ditemukan di antologi dongeng lain, juga dalam Brothers Grimm. Bedanya, tikus-tikus Arab menyelesaikan masalah mereka jauh lebih tajam ketimbang sepupu mereka di barat. Berikut kisahnya.

Memasang Bel ke Leher Kucing

"Dahulu di tanah para Brahma terdapatlah sebuah rawa bernama Dawran yang membentang di semua penjuru dengan jarak ribuan kilometer. Di tengah rawa tersebut ada sebuah kota bernama Aydazinum. Kota itu memiliki banyak daya tarik, keistimewaan dan penduduknya sangat sejahtera hingga bisa mendapatkan apa pun yang mereka mau.

Dalam kota ada seekor tikus bernama Mahraz, ia memimpin seluruh tikus yang hidup di kota itu dan juga desa-desa di pinggir kota. Ia memiliki tiga wazir yang siap memberi nasehat untuk bermacam urusan.

Suatu hari para wazir berkumpul di hadapan raja tikus untuk mendiskusikan berargam masalah. Di tengah perbincangan, raja berkata, "Apakah mungkin membebaskan diri kita dari teror turun-menurun yang kita dan juga nenek moyang kita rasakan terhadap kucing?"

"Meski kita hidup nyaman dan memiliki banyak kesenangan dalam hidup, ketakutan kita terhadap Kucing telah melenyapkan semua kenikmatan tersebut. Saya harap kalian bisa memberi saran bagaimana mengatasi masalah ini. Apa yang kalian pikir harus kita lakukan?"

"Saran saya," ujar wazir pertama, "adalah mengumpulkan sebanyak mungkin lonceng kecil dan mengalungkan bel itu ke leher setiap kucing sehingga kita dapat mendengar mereka datang dan memiliki waktu untuk bersembunyi di lubang-lubang kita."

Raja menoleh ke wazir kedua dan berkata," Bagaimana menurut kamu saran kolegamu?"

"Saya kira itu saran buruk," ujar wazir kedua. "Setelah mengumpulkan semua bel yang dibutuhkan, lalu siapa yang berani memasang ke leher bahkan anak kucing terkecil sekalipun, apalagi tipe kucing jalanan veteran?"

"Dalam opini saya, kita harus bermigrasi dari kota dan tingga di desa selama setahun hingga orang-orang kota berpikir bahwa mereka dapat mulai mengeluarkan kucing karena tak punya sumber buruan. Orang-orang akan menendang mereka keluar, atau mungkin membunuh para kucing. Mereka akan tersebar dan hidup liar dan tak lagi cocok untuk kucing rumahan. Lalu kita dapat pulang kembali dengan aman ke kota dan hidup selamanya tanpa cemas terhadap kucing."

Raja, sepertinya masih tak puas dengan jawaban wazir kedua menolah lagi ke wazir ketiga, yang terbijak. "Bagaimana dengan ide tersebut?"

"Gagasan yang sangat menyedihkan," balas wazir ketiga, "Jika kita meninggalkan kota dan tinggal di desa bagaimana kita pastikan bahwa kucing-kucing itu akan menghilang dalam satu tahun? Bagaimana pula dengan kesulitan yang akan kita alami? Kehidupan di alam penuh dengan binatang liar yang juga suka makan tikus, dan mereka bisa melakukan hal lebih buruk ketimbang yang dilakukan kucing."

"Kamu benar tentang itu," ujar sang raja. "Jadi apa yang kamu pikir seharusnya dilakukan?"

"Saya dapat menyarankan satu rencana yang paling masuk akal. Raja harus memanggil seluruh tikus di kota dan kawasan sub urban dan memerintahkan mereka membangun lorong di dalam rumah-rumah orang terkaya yang menghubungkan ke semua ruang dalam rumah," ujar wazir ketiga.

"Lalu kita akan masuk ke terowongan itu, tapi kita tak akan menyentuh makanan manusia. Alih-alih kita konsentrasi merusak pakaian, tempat tidur dan karpet mereka. Ketika melihat kerusakan itu, ia akan berpikir. 'Wah satu kucing sepertinya tak bisa mengatasi banyak tikus di sini!' Dan ia pasti akan menambah satu lagi kucing piaraan," ujar Wazir.

"Begitu kucing ditambah, kita pun menambah jumlah kerusakan, benar-benar merobek pakaian-pakaian mereka. Ia pasti akan menambah satu lagi kucing, lalu kita tambah lagi kerusakan hingga tiga kali lipat. Itu seharusnya membuat mereka berhenti dan berpikir 'Hei, kerusakan hanya sedikit ketika aku memiliki satu kucing. Makin banyak kucing, semakin banyak tikus,' seolah-olah itulah yang terlihat" ujar wazir ketiga lagi.

"Jadi ia akan mencoba sebuah eksperimen. Ia akan menyingkirkan satu kucingnya. Saat itu pula kita akan turunkan jumlah kerusakan, menjadi dua pertiga saja. Si pemilik pasti berpikir, 'Aneh sekali,'. Ia lalu menyingkirkan satu lagi kucing lain. Lagi, kita pun kurangi kerusakan hingga hanya sepertiganya. Ia pun akan terdorong untuk menyingkirkan satu lagi kucing tersisa.

Saat itu pula kita hentikan aksi dan tidak merusak apa pun. Ia akan menemukan hal besar. 'Wah ternyata bukan tikus,'. Ia pasti bakal pergi ke para tetangga kaya lain untuk memberi tahu itu. Karena ia adalah orang terkaya dan dihormati maka semua akan mempercayainya dan mulai membuang kucing-kucing mereka ke jalan atau bahkan membunuh mereka. Kemudian setiap kali melihat kucing, mereka akan mengejar dan membunuhnya."

Raja Mahraz pun mengikuti saran wazir ketiga. Butuh waktu tak terlalu lama hingga tidak satupun kucing berada di kota tersebut. Bila mereka melihat lubang di pakaian mereka, orang-orang tetap yakin bahwa itu adalah ulah kucing.

Kini, jika tu terjadi, mereka pasti berkata, "Seekor kucing pasti menyelinap ke rumah tadi malam. Seekor kucing pasti mengendap-endap di kota tadi malam." Alhasil, dengan strategi itu, para tikus benar-benar berhasil membebaskan diri dari warisan rasa takut turun-temurun terhadap kucing.

Wang Zipping, Legenda Grandmaster Wushu Muslim Cina

Seratus delapan puluh kilometer dari utara Kota Terlarang (Beijing saat ini), terletak Changzhou, tempat tinggal suku Hui. Hui adalah suku Muslim di Cina. Namun, selain Islam, ada hal yang menjadi kecintaan anggota suku, yakni tradisi seni bela diri.


Sebelum penemuan senjata, Wushu merupakan alat utama pertempuran dan pertahanan diri di Cina. Para pemimpon Hui selalu mendorong anggotanya mempelajari Wushu sebagai 'kebiasaan suci' demi memperkuat disiplin dan keberanian untuk memperjuangkan sekaligus bertahan di tanah mereka.

Saat itu masjid-masjid, bagi suku Hui, bukan hanya tempat untuk beribadah, tapi juga medan latihan bagi grandmaster untuk menempa dasar-dasar Wushu kepada murid-murid yang antusias.

Seperti banyak Hui yang lain, Wang Ziping lahir di tengah keluarga miskin. Ayahnya bekerja sebagai petinju bayaran. Saat masih bocah, Ziping menunjukkan keinginan kuat belajar Wushu. Bela diri ini adalah identitas Hui. Tidak ada Hui--yang saat itu hanya senilai upah garam--akan berani menjalani hidup tanpa "Latihan Delapanbelas Pukulan Pertempuran" dan "Tinju Diagram Delapan" melekat pada tubuh dan pikiran.

Selain Wushu, Hui juga mendalami ajaran Islam. Dengan demikian kehidupan Hui adalah campuran antara buruh miskin, latihan keras dan spiritual mendalam. Kemampuan luar biasa mereka dalam Wushu bukan sesuatu yang datang sekejap mata.

Begitu pula yang dialami Ziping. Di tengah pelajaran mengaji Al Qur'an, Ziping juga harus mengangkat batu berat untuk membangun stamina, kekuatan dan galian parit yang kian lama kiat luas begitu kemampuannya melompat meningkat. Keseimbangan yang baik diasah dengan cara berbahaya. Zipping ditanam dalam tanah.

Saat itu pula Zipping membaca lantunan zikir. Kekuatan dan keseimbangannya pun bertambah berlipat ganda. Konsentrasi yang biasa dilakukan saat shalat sebagai tuntutan dalam Islam menjadi tulang punggung sesolid batu bagi gerakan mengalir Wushu.

Iklim di Changzou cukup sejuk ketika musim panas, namun dingin saat musim salju. Dalam bulan-bulan musim dingin salju jarang turun sehingga memungkina latihan tetap digelar. Zipping berlatih dengan seluruh elemen untuk membuat tangguh tubuhnya. Begitu ia menginjak usia 14 tahun, ia sudah bisa melompat lebih dari 3 meter dari posisi berdiri.

Sayang bocah dengan tubuh setegap pria dewasa dan kualitas petarung itu tak memiliki guru. Ayahnya yang keras kepala menolak memasukkan Zipping ke sekolah Wushu. Setengah putus asa mencari guru dan teman, ia jatuh ke dalam komunitas rahasia yang menyebut diri mereka "Jurus Kebenaran dan Keharmonian".

Akhirnya Wang Zipping memutuskan pergi dan mengembara ke selatan Jinan, di mana ia menjadi musafir yang tinggal di sebuah Masjid Besar. Dalam ruang utama masjid itulah, Zipping bertemu pria seperti dirinya, seorang petinju. Ia bernama Yang Hongxiu, grandmaster Wushu yang akhirnya menjadi gurunya.

Dan Zipping pun dengan serius mulai mempelajari gerakan burung dan mamalia, seperti elang menukik menyambar mangsa, gerakan kelinci melintas padang rumput, hingga lompatan jitu anjing menghindar dari bahaya. Ia menyerap semua karakter gerakan itu kemudian menciptakan gayanya sendiri. Stamina dan refleksnya yang kian berkembang, membuat Zipping tak hanya kuat tetapi juga cepat--sebuah kombinasi mematikan dalam Wushu.

Seorang dianggap Grandmaster ketika ia mampu menggunakan alat apa pun sebagai senjata. Pengembangan kemampuan ini adalah seni sekaligus kebutuhan dalam Wushu. Zipping, menjadi luar biasa fasih dengan semua senjata utama.

Dia sangat mahir terutama dalam melakukan Qinna, yakni teknik sergapan yang dapat mengunci sendi dan otot-otot lawan dalam persiapan melakukan serangan dahsyat; Shuaijiao. Nama yang terakhir itu adalah gaya bertarung tangan kosong yang menggabungkan prinsip Tai Chi, Hard Qigong dan Teknik Meringankan Tubuh.

Ia mendapat pengakuan sebagai seniman bela diri yang utuh. Pada saat bersamaan ia juga pakar dalam trauma tulang. Ia mengombinasikan pengetahuan mendalam dalam Qinna dengan ketrampilang mengatur tulang. Akhirnya ia menemukan sistem penyembuhan untuk cedera Wushu dan olahraga di utara Cina.

Legenda Klasik

Banyak kisah, ada yang asli dan juga sekedar mitos, yang telah disematkan pada sosoknya. Namun yang selalu diulang adalah kisah satu ini.

Selama melakukan praktek pengobatan di Jiaozhou, Jerman ditugaskan untuk membangun rel kereta api dari kawasan itu menuju Jinan. Proyek mercusuar itu adalah harga mahal yang harus dibayar setelah Ratu Ci'xi gagal dalam pemberontakan tinju. Rel dibuat dengan yang tujuan memperluas dan mengkokohkan kontrol Eropa atas daratan Cina.

Reputasi Zipping bukannya tak diketahui oleh Jerman. Lebih cerdas dan berani dari pada koleganya, para Jerman berupaya mempermainkannya. Seorang petinggi militer Jerman bersiasat dengan menempatkan penggilingan batu besar di depan stasiun rel kereta api dan menantang siapa pun untuk mengangkatnya.

Zipping yang tidak pernah bisa tahan dengan penghinaan terhadap orang Cina, secara alami langsung gusar. Seperti yang diharapkan Jerman, Zipping masuk perangkap.

"Bagaimana kalau saya bisa mengangkatnya," tanya Zipping.

"Maka gilingan itu menjadi milikmu," para Jerman menjawab dengan tampang mengolok-olok.

"Bila saya gagal?"

"Maka kamu harus membayar,"

Zipping denga mudah mengangkan gilingan batu itu, meninggalkan para Jerman tercengang-cengang. Seorang warga Amerika yang bekerja sebagai guru fisika di tempat itu, menyaksikan aksi Zipping. Ia pun menantang duel.

Saat berjabat tangan mengawali pertandingan, tiba-tiba si Amerika dengan kuat memegang tangan Zipping dan berupaya membantingnya ke tanah. Zipping secepat kilat menyapukan kaki ke bagian bawah tubuh lawannya dan membuatnya ambruk.

Karena reputasinya, Zipping ditunjuk sebagai kepala Divisi Shaolin di Institut Pusat Seni Bela Diri. Ia juga pernah menjabat wakil presiden Asosiasi Whusu Cina, organisasi Wushu tertinggi di CIna.

Ia memegang banyak gelar dan tanggung jawab, termasuk konsultan sejumlah rumah sakit besar di penjuru Cina. Karirnya sebagai pakar bela diri juga kian menajam setelah ia melakoni banyak duel dengan orang asing. Ia selalu ingin membuktikan bahwa Cina bukan ras inferior.

Meski dalam usia senja, Zipping tak pernah kehilangan kekuatan dan kecepatannya. Pada 1960 ketika ia menjadi pelatih dan direktur grup pelajar Wushu yang menyertai perdana menteri saat itu, Zhou Enlai, melawat ke Burma, ia diminta mendemonstrasikan kemampuannya. Di depan tuan rumah ia menampilkan jurus dengan senjata luar biasa berat, Pedang Naga Hitam. Dengan teknik tinggi, kemampuan dan semangat muda, tak satupun orang berpikir ia telah berkepala delapan.

Rumah Sakit Sultan Bayezid II, Termodern di Zamannya

Sebelum dijadikan ibukota pemerintahan Ottoman, Edirne sudah ramai sebagai pusat perdagangan dan juga budaya Muslim. Hal ini ditandai dengan banyaknya bangunan yang dibangun oleh penguasa Muslim di kota ini. Salah satunya adalah Rumah Sakit (RS)Bayezid II. Rumah sakit ini berada di dalam Kompleks (Kulliye) Bayezid II.


RS Bayezid II dibangun atas perintah Sultan Bayezid II. Proses pembangunan Kulliye Bayezid II berikut bangunan rumah sakitnya memakan waktu empat tahun, dari 1484 M hingga 1488 M. Hingga abad ke-19 M, para dokter dididik di rumah sakit yang sekaligus menjadi sekolah kedokteran itu.

Yulianto Sumalyo dalam bukunya yang bertajuk Arsitektur Masjid dan Monumen Sejarah Muslim mengungkapkan, setibanya di Edirne dalam perjalanan ke Balkan bersama pasukannya pada akhir musim semi 1484, Sultan Bayezid II memerintahkan membangun banyak proyek, yaitu masjid baru dan pusat kesehatan (medical centre) termasuk di dalamnya rumah sakit, sanatorium, rumah sakit jiwa dan sekolah kedokteran di tepian Sungai Tunca.

Seperti halnya di sejumlah kota lain yang berada dalam wilayah kekuasaan Ottoman, bangunan-bangunan tersebut didirikan dalam sebuah kulliye. Untuk perencanaan pembangunannya, Sultan Bayezid II menunjuk arsitek kerajaan pada waktu itu, Mimar Hayrettin, untuk mendesain keseluruhan bangunan dalam Kulliye Bayezid II ini.

Bangunan rumah sakit (darussifa) dan rumah sakit jiwa (timarhane) Bayezid II terletak di sisi barat daya bangunan masjid dalam Kompleks Bayezid II. Tata letak rumah sakit tersebut terbilang cukup unik, pada ujung selatan terdapat unit berdenah segi delapan, pada masing-masing sisinya terdapat ruang-ruang untuk perawatan.

Setiap ruang dalam unit ini beratap kubah, termasuk sebuah ruangan yang menyerupai hall. Namun berbeda dengan kubah pada ruang perawatan, kubah di atas hall jauh lebih besar dan dilengkapi dengan sebuah lantern yang terdapat pada bagian puncak kubah tepat di atas bak air besar yang terdapat di tengah-tengah hall. Lantern tersebut juga beratap kubah, namun dalam ukuran yang lebih kecil.

Bagian penampang kubah hall berbentuk segi dua belas. Di sekeliling dinding kubah berbentuk silindris ini terdapat jendela-jendela yang berfungsi sebagai tempat sirkulasi udara. Sinar matahari dan udara alami masuk melalui jendela-jendela tersebut hingga ke dalam ruangan yang berada tepat di bawah kubah.

Rumah sakit Sultan Bayezid II ini beroperasi selama empat ratus tahun sejak diresmikan tahun 1488 M hingga berkecamuknya Perang Rusia-Turki (1877-1878 M). Hingga abad ke-19 M, rumah sakit ini menjadi salah satu rumah sakit rujukan bagi pasien-pasien yang hendak menjalani perawatan bedah dan mereka yang mengidap penyakit mental.

Sejarah mencatat, RS Bayezid II terutama terkenal karena memiliki tenaga-tenaga ahli bedah yang terampil. Disamping juga terkenal karena metode pengobatan untuk penyakit mental yang diberikan kepada para pasien di timarhane (rumah sakit jiwa). Metode pengobatan penyakit mental yang dilakukan oleh para dokter di rumah sakit ini menggunakan terapi musik, suara air, dan penggunaan wewangian atau yang dikenal dengan aromatherapy.

Selain terkenal karena para ahli bedah serta terapi mental yang dimilikinya, RS Bayezid II juga terkenal berkat pusat pengobatan matanya. Karenanya pada masa lalu, rumah sakit ini menjadi satu-satunya rumah sakit rujukan bagi penderita penyakit mata.

Kini bangunan rumah sakit bersejarah tersebut menjadi bagian dari kompleks Universitas Trakya yang juga berada di kota Edirne. Dan, sejak tahun 1997, bangunan rumah sakit tersebut dialihfungsikan menjadi sebuah museum kesehatan bernama Bayezid II Kulliye Health Museum. Museum tersebut didedikasikan untuk mengenang peran dan kontribusi penguasa Ottoman dalam mengembangkan khazanah ilmu pengobatan dan kedokteran.

Hingga saat ini, Bayezid II Kulliye Health Museum menjadi satu-satunya museum kesehatan yang terdapat di Turki. Museum ini memberikan berbagai informasi penting seputar sejarah dan perkembangan ilmu kedokteran dan pengobatan, khususnya pada masa pemerintahan Ottoman, kepada para pengunjung.

Museum ini tercatat sebagai tempay bersejarah kedua di Edirne yang paling banyak dikunjungi oleh para wisatawan setelah Masjid Selimiye (Sultan Salim). Karenanya, pada tahun 2004 lalu, Bayezid II Kulliye Health Museum dianuegrahi Museum Award oleh Dewan Kebudayaan Eropa.

Jejak Pembuatan Tembikar dalam Sejarah Islam

Jejak peradaban Islam tertoreh juga pada tembikar. Benda berbahan tanah liat yang bermotif indah itu hadir melalui proses yang cukup panjang. Menyerap teknik pembuatan dari beraneka sumber, mengkajinya, dan mengembangkannya sendiri. Para ahli kimia turut menyumbang pemikiran bagaimana memadu bahan agar tembikar berkualitas.


Nyatanya, tembikar yang menjadi satu buah peradaban Islam menuai sanjungan. Philip K Hitti melontarkan kekagumannya. Melalui bukunya, History of the Arabs, ia menyatakan, di tangan seniman Muslim, seni tembikar mencapai tingkat keindahan yang sulit ditandingi.

Keindahan yang tertoreh pada tembikar mewujud melalui lukisan manusia, hewan, dan tumbuhan, selain bentuk geometris dan epigraf. Karya ini segera berkembang pesat hingga menjadi sebuah industri yang sangat maju di beberapa wilayah Islam. Sentra produksi tembikar ada di Antiokia, Aleppo, Damaskus, Tyre, dan Phoenix.

Sejumlah tembikar peninggalan umat Muslim pada zaman pertengahan masih tersisa. Sebagian masih disimpan di Museum Lauvre, British Museum, dan Arabic Museum di Kairo, Mesir. Tembikar memiliki kegunaan luas. Salah satunya untuk hiasan dan menjadi bagian dari dekorasi bangunan megah.

Salah satu yang terkenal adalah tembikar Qasyani. Karya seni asal Persia itu berhias gambar bunga dan diakui keistimewaannya oleh banyak kalangan. Perkembangan seni tembikar di dunia Islam bermula sejak abad ke-7 Masehi. Pengetahuan pembuatan barang itu diserap dari sejumlah sumber, seperti Persia dan Cina.

Teknik-teknik yang diadopsi dari luar kemudian dipadukan dengan teknik yang dikembangkan oleh umat Islam. Maka itu, hadirlah sebuah karya seni dengan reputasi menjulang sepanjang masa.Dalam tulisannya berjudul The Potters of Islam, John Luter mencatat kontribusi sains Islam dalam pengembangan tembikar. Menurut dia, pembuatan tembikar berkualitas oleh masyarakat Muslim terinspirasi keunggulan teknik yang dikembangkan di Cina. Bangsa Cina dikenal dengan tembikarnya yang kuat, tidak mudah pecah, berbalut dekorasi warna-warni, dan mengilap.

Buku karya Muhammad bin alHusayn al-Baihaki yang berangka tahun 1059 Masehi menjadi rujukan para sejarawan kontempoter. Al Baihaki berkata, seorang gubernur dari Khurasan, Iran, mengirimkan hadiah kepada Khalifah Harun alRasyid berupa tembikar yang berasal dari Cina.

Sang khalifah terpikat keindahan benda itu. Lalu, ia mendorong seniman Muslim untuk membuat karya yang tak kalah hebatnya. Inisiatif ini memicu banyak seniman terkemuka berdatangan ke Baghdad, ibu kota pemerintahan, untuk memenuhi tantangan Khalifah Harun al-Rasyid. Karya awal mereka masih berupa eksperimen. Seiring waktu, kajian teknik untuk melahirkan karya berkualitas gencar dilakukan. Kemudian, hadirlah motif, rancangan, ataupun dekorasi baru. Begitu pula teknik dan metode pembuatan tembikar berkembang begitu pesat dan diperbarui dari waktu ke waktu.

Salah satu inovasi penting adalah kemampuan mewujudkan lukisan yang berkilau. Beberapa sumber sejarah menyebut teknik itu pertama kali diciptakan bangsa Mesir dan Cina. Umat Islam mengadopsi metode itu bahkan memperbaikinya untuk memperoleh kualitas yang lebih baik.

Para seniman pada masa Abbasiyah memunculkan kreasi warna keemasan dan juga menghadirkan motif mengilap pada tembikar yang biasanya hanya dihias warna biru, hijau, atau abu-abu. Teknik itu, sambung John Luter, memakai bahan sulfur dan zat asam serta dicampurkan dengan material tanah lempung.

Bahan campuran itu dipakai sebagai cat pada motif lukisan. Goresan motif gambar dilakukan segera setelah tembikar itu melalui proses pencetakan dan pembakaran. Setelah digambar dan diberi motif atau dekorasi, sekali lagi tembikar itu dibakar untuk mencegah pengapuran. "Ketika residu bahan perlahan menghilang selama proses pem bakaran, efek mengilap dari cat tadi muncul sehingga menjadikan tembikar itu tampak sangat indah," ujar John Luter. Menurut dia, bahan pembuat tembikar yang juga paling umum digunakan adalah semacam semen putih.

Di sini, ahli kimia Muslim memainkan peran penting. Mereka menemukan bahan yang sanggup menghasilkan tembikar berkualitas tinggi. Kian majunya teknik pembuatan tembikar memantik lahirnya industri tembikar. Masa-masa pentingnya berlangsung dalam kurun abad ke-9 hingga abad ke-13 Masehi.

Ragam tembikar dan variasi motif membanjiri kota-kota besar Islam. Gedung-gedung dan istana berhias barang tembikar nan indah. Di sisi lain, seni tembikar Islam juga mendapatkan sentuhan aspek kaligrafi. Hal ini menambah keunggulan dan keistimewaan yang tidak ada pada peradaban lainnya.

Kaligrafi bukan sekadar untuk menghias permukaan tembikar. Pada beberapa daerah, kalimat kaligrafi yang tersemat di permukaan tembikar mencerminkan tradisi keagamaan ataupun kondisi umat Muslim setempat. Tak dimungkiri bahwa masyarakat pada masa itu telah memandang seni tembikar bukan sekadar hiasan, tapi juga ekspresi keyakinan.

Hingga masa kekuasaan Dinasti Seljuk, penelitian ilmiah dan kreasi baru seni tembikar tak henti bermunculan. Seniman era ini mengenalkan tembikar jenis baru, yaitu faience. Tembikar itu terbuat dari bahan semen putih dicampur dengan cairan alkalin yang memunculkan efek kaca. Risalah dari Abulqassim pada tahun 1301 Masehi menjelaskan teknik dan proses pembuatan faience. Dalam salah satu bagian risalah, ia menuturkan, untuk menambah kekuatan tembikar, para pembuatnya mengurangi kadar air pada bahan-bahan dasar tembikar.

Tradisi Diplomasi dalam Sejarah Islam

Jalan diplomasi sudah lama dibangun. Banyak cendekiawan yang dilibatkan dalam menjalin hubungan dengan bangsa dan peradaban lain. Pemerintahan Islam di abad pertengahan banyak mengirim diplomatnya, selain untuk menjaga pertemanan, juga untuk mewujudkan perdamaian.

Jere L Bacharach dalam bukunya Medieval Islamic Civilization, an Encyclopedia mengatakan, praktik diplomasi sudah menjadi bagian dari politik Islam sejak berabadabad silam. Sejarawan ini mencatat, terdapat dua karakteristik diplomasi yang dipraktikkan umat Islam.

Pertama, pada masa awal Islam, tujuan religius menjadi fokus. Diplomasi adalah untuk mengajak kaum di luar Islam untuk memeluk Islam, beriman kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Sedangkan, karakteristik kedua, lebih bersifat politis. Pada masa pemerintahan Islam banyak ekspedisi dan perluasan wilayah.

Mereka harus berhubungan dengan banyak negara dan peradaban lain. Diplomasi dibutuhkan untuk memperkuat aliansi, pertukaran pengetahuan, perdagangan, dan perdamaian. Ibnu Batutta menjadi salah satu tokoh utusan yang mewarnai perkembangan diplomasi di dunia Islam.

Ia dikenal pula sebagai penjelajah terbesar bangsa Arab. Hampir separuh dunia pernah dikunjunginya. Ibnu Batutta melakukan ekspedisi pengembaraan hingga puluhan tahun lamanya. Nama lengkap tokoh asal Maroko itu adalah Syamsuddin Muhammad bin Abdullah alTanji. Namun, lebih dikenal dengan panggilan Ibnu Batutta.

Dirinya mengabdi pada pemerintahan Sultan Abu `Inan. Beberapa ekspedisi perjalanannya dicatat pada karya yang ditulis sarjana bernama Ibnu Jauzi. Selain menjadi pengembara, Ibnu Batutta juga ahli geografi yang cermat. Keistimewaan yang dimilikinya membuatnya diberi kepercayaan oleh Sultan Abu `Inan.

Sultan menunjuknya sebagai utusan Islam untuk Dinasti Yuan, penguasa negeri Cina. Ibnu Battuta menerima amanat tersebut dan berangkat ke wilayah timur jauh. Berkat pengetahuan yang luas dan kecakapannya dalam bernegosiasi, terjalin hubungan erat antara pemerintahan Islam dan Cina.

Selama berabad-abad hampir tak ada konflik yang muncul dalam hubungan kedua pemerintahan itu. Bahkan, terjadi transfer pengetahuan yang pesat. Kerja sama perdagangan kian meningkat. Selain Ibnu Batutta, muncul pula nama lainnya, yaitu Nadhir al-Harami.

Ia pemimpin rombongan utusan Khalifah al-Muqtadir ke kawasan Volga Bulgars. Sebuah negara yang terletak di Sungai Volga dan Kama, Rusia. Seluruh kisah perjalanan maupun langkah diplomasi alHarami terekam dalam buku berjudul Ar-Risalah karya Ibnu Fadhlan. Ia merupakan sekretaris rombongan.

Al-Harami sukses menjalankan titah khalifah. Sebelumnya, penguasa dan masyarakat Volga Bulgas bersedia mempelajari agama Islam. Utusan dari Volga tiba di Baghdad pada 920 Masehi. Mereka meminta kepada khalifah agar dikirimkan ahli-ahli agama untuk mengajar di sana.

Ada pula nama Abd el Ouahed bin Messaoud. Ia bekerja di pemerintahan saat Ahmad al-Mansur menjadi penguasa Maroko pada sekitar abad ke-16. Jabatannya adalah sekretaris kerajaan. Saat itu umat Islam di Maroko sedang menghadapi pertikaian dengan bangsa Spanyol.

Abd el-Ouahed lantas diutus menemui Ratu Elizabeth I dari Inggris. Tujuannya agar terjalin aliansi antara Maroko dan Inggris untuk bersama menghadapi kekuatan armada Spanyol. Jalan ini ditempuh karena sebelumnya kekuatan Inggris mampu mengalahkan armada Spanyol, yaitu pada 1588 Masehi.

Mereka lantas menguasai wilayah Cadiz. Pasukan Maroko menang atas Spanyol pada pertempuran Alcazar tahun 1578. Dua momen itu mengilhami Ahmad al-Mansur. Dia ingin dua kekuatan, Inggris dan Maroko, bersatu. Lantas dikirimlah diplomat terbaiknya, Abd el Ouahed yang tiba di Inggris pada 1600 Masehi.

Selama menjalankan misi diplomasinya, Abd el Ouahed didampingi Haji Messa dan Haji Bahanet. Pun seorang penerjemah bernama Abd el Dodar. Tujuan lain utusan ini adalah membuka jalur perdagangan antara kedua negara. Mereka bertemu Ratu pada 19 Agustus dan 10 September.

Rombongan itu menghabiskan waktu selama enam bulan di Inggris. Saat itu, Ratu belum memberikan jawaban atas tawaran kerja sama dalam menghadang Spanyol. Namun, ia menerima keinginan Maroko untuk menjalin perdagangan. Abd el Ouahed berusaha menjalankan tugas dengan sebaikbaiknya.

Ia membahas dengan perinci prinsip-prinsip kerja sama yang akan dijalankan kedua negara. Seperti besaran kompensasi dari masing-masing negara untuk memperkuat perniagaan. Demikian pula bantuan pembuatan kapal perang. Menurut Jere Bacharach, Abd el Oauahed menunjukkan dedikasi luar biasa.

Bacharach mengatakan, Abd el Oauahed memiliki karakter seorang diplomat sejati yaitu loyal, berpengetahuan luas, mahir berbicara, cermat, pantang menyerah, dan tegas. Menurut dia, pengiriman misi diplomatik semacam itu juga lazim dilakukan penguasa Islam di Spanyol maupun Palestina.

Praktik itu kian intensif karena kerap timbul gejolak di kawasan tersebut. Para diplomat dan utusan dengan keahlian hebat sangat dibutuhkan untuk meneruskan peradaban Islam yang gemilang.

Asal Mula Rumah Sakit dalam Sejarah Islam

Kemajuan bidang medis memicu perkembangan lebih jauh. Tak melulu karya dan pemikiran yang berserak. Namun, pada akhirnya muncul sebuah institusi berupa rumah sakit. Keberadaan rumah sakit selain berfungsi sebagai pusat pelayanan kesehatan juga menjadi sentra pengembangan ilmu medis.

Rumah sakit yang representatif paling awal dibangun di Baghdad, Irak pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah. Tepatnya, ketika Harun al-Rasyid (786809) menjadi khalifah. Rumah sakit dikenal dengan sebutan bimaristan atau maristan. Bangunan rumah sakit di Baghdad besar dan megah.

Rancang bangunnya menjadi acuan bagi rumah sakit lainnya yang baru didirikan di wilayah Islam. Gambaran mengenai rumah sakit di Baghdad disampaikan oleh sejarawan Muslim terkemuka al-Jubair. Ia mengunjungi Baghdad pada 1184 Masehi. Menurutnya, perlengkapan rumah sakit sangat memadai.

Bahkan ia mengungkapkan, kemegahannya tak kalah dengan istana khalifah. Kebutuhan air bersih di rumah sakit disalurkan langsung dari Sungai Tigris. Pada masa selanjutnya, umat Islam membangun sejumlah rumah sakit besar dan terintegrasi. Maksudnya, rumah sakit itu mampu memberi pelayanan pengobatan beragam jenis penyakit.

Selain itu, terdapat fasilitas rawat inap, ruang penyimpanan dan pelayanan obatobatan, tempat pendidikan bagi dokter dan tenaga medis, perpustakaan, bahkan menjadi pusat pengembangan ilmu serta praktik kedokteran. Sebagian besar rumah sakit Islam berkonsep modern sudah memiliki standar semacam ini.

Oleh karena itu, rancang bangun dan tata letak ruangan rumah sakit menjadi penting untuk dapat mengakomodasi seluruh fungsi tadi. Beberapa ruangan khusus melengkapi sarana yang ada. Hal itu diungkapkan dalam buku History of the Arabs. Si penulis buku, Philip K Hitti, menyebut rumah sakit Islam mempunyai ruangan khusus perempuan.

Berdiri pula gudang obat yang menyatu dengan bangunan rumah sakit. "Beberapa di antaranya dilengkapi perpustakaan kedokteran. Rumah sakit juga menawarkan kursus pengobatan," urai Hitti. Gambaran yang hampir sama tercantum dalam artikel berjudul "Islamic Culture and the Medical Arts" pada laman National Library of Medicine.

Artikel tersebut menggambarkan, rumah sakit yang didirikan umat Islam di Suriah maupun Mesir sepanjang abad ke-12 dan ke-13 juga memiliki setidaknya empat bangsal besar. Ruangan lain berukuran tidak terlampau luas, seperti ruang untuk dapur, gudang, apotek, tempat istirahat staf, dan perpustakaan.

Tiap bangsal biasanya dilengkapi pancuran air bersih untuk minum atau mandi. Rumah sakit menerapkan pemisahan bangsal pasien perempuan dan laki-laki. Juga bangsal untuk pasien berpenyakit menular dirawat di ruangan terpisah dari pasien lain. Selain itu, ada pula ruang khusus bagi pasien penyakit mata dan disentri.

Di sisi lain, ada area khusus yang digunakan sebagai ruangan operasi dan ruang perawatan pasien gangguan jiwa. Kamar mandi dengan pasokan air memadai tersedia pada beberapa bagian rumah sakit. Para pengelola rumah sakit sangat memerhatikan unsur kebersihan sehingga tidak membiarkan kamar mandi dalam keadaan kotor.

Sejumlah rumah sakit milik pemerintah memiliki laboratorium guna meracik beragam obat. Tak jarang, pusat farmasi ini sanggup memproduksi obat-obatan dalam skala besar. Sebagian besar obat diberikan untuk pasien rumah sakit dan sebagian lagi disalurkan kepada masyarakat yang membutuhkan.

Prestasi mengagumkan ketika rumah sakit menjadi tempat pendidikan, tempat menempa mahasiswa kedokteran dan perawat, serta pengembangan kajian medis. Ada pula ruangan yang digunakan sebagai tempat belajar-mengajar. Tradisi itu mulai berlangsung pada masa Khalifah al-Ma'mun serta al-Mu'tashim, dan masih ada di era Seljuk dan Usmani.

Di Rumah Sakit Bursa yang berdiri di dekat istana Sultan Yildirim, dibuka sekolah kedokteran. Di rumah sakit itu, di samping ada ruang belajar, ada pula ruangan pengajar yang juga para dokter senior. Perpustakaan besar yang menyimpan bermacam naskah ilmiah medis turut melengkapi sarana pendidikan.

Rumah sakit lain yang membuka fasilitas pelatihan kedokteran yakni RS al-Nuri di Damaskus, Suriah dan RS Marakesh di Maroko. Ruangan yang sangat penting dan selalu ada di rumah sakit Islam adalah masjid atau tempat ibadah. Fasilitas tersebut memudahkan pasien dan pengunjung dalam menunaikan ibadah.

Tak heran, ruangannya cukup besar dan bisa menampung banyak jamaah. Selain itu, dalam artikel berjudul "The Beginning of the Islamic Hospitals" pada laman muslimheritage menuturkan, di sana dibangun pula gereja bagi pengunjung, pasien, maupun tenaga kesehatan yang beragama Nasrani.

Manajemen rumah sakit menyediakan ruang tunggu bagi pengunjung. Sarana penunjang lainnya adalah aula, klinik pasien rawat jalan dan penyakit ringan, juga dapur. Dan yang membanggakan, seluruh pelayanan dan sarana itu dapat dinikmati oleh pasien tanpa dipungut biaya sepeser pun. Ilmuwan Hossam Arafa dalam tulisan berjudul "Hospital in Islamic History" mengatakan, karakteristik rumah sakit Islam adalah melayani pasien tanpa memandang asal usul, etnis, suku, maupun agama. Semua berhak menerima perawatan medis tanpa perlu membayar biaya layanan rumah sakit.

Dana yang dibutuhkan untuk memberikan layanan pengobatan, perawatan, hingga biaya operasional rumah sakit sepenuhnya berasal dari dana wakaf. Umat Muslim dan penguasa mewakafkan sebagian harta mereka untuk kepentingan sosial dan agama. Pada masa itu, dana wakaf yang terkumpul cukup besar.

Dana wakaf tersebut lebih dari cukup untuk membiayai pembangunan serta operasional rumah sakit. Sebagian anggaran negara juga didistribusikan ke rumah sakit, terutama untuk pemeliharaan peralatan dan penyediaan obat-obatan. Karena itulah, rumah sakit bisa beroperasi secara maksimal dan mampu memberikan pelayanan terbaik bagi pasien. Konsep dan rancang bangun rumah sakit modern milik umat Muslim ini dijadikan model bagi rumah sakit-rumah sakit yang didirikan di Eropa beberapa abad kemudian.