13 August 2010

Jejak Ibn Jazla dalam Ilmu Kedokteran

Persentuhan Ibn Jazla dengan bidang kedokteran tak lepas dari berkembang pesatnya tradisi ilmu pengetahuan di dunia Islam. Setelah berdirinya Dinasti Abbasiyah pada abad ke-8 yang berpusat di Kota Baghdad, kota tersebut menggeliat sebagai pusat ilmu pengetahuan.

Khalifah Harun Al Rasyid mendorong penerjemahan teks-teks medis, terutama dari Yunani ke dalam bahasa Arab. Ini memperkaya perkembangan ilmu pengetahuan di Baghdad, termasuk bagi Ibn Jazla, dalam mengembangkan kariernya sebagai dokter dan menulis karyanya.

Menurut pakar sejarah tentang pengaruh Islam di Eropa, Profesor Charles Burnett, dari Warburg Institute, University of London, pada akhir abad ke-10 teks-teks Yunani mengalami percampuran dengan ilmu-ilmu yang lahir di dunia Islam. Pada masa selanjutnya, ilmu yang dikembangkan di dunia Islam memberikan pengaruhnya tak hanya di wilayah sendiri, tetapi juga ke Barat. Dokter-dokter Muslim mampu mengembangkan secara mandiri ilmu pengetahuan kedokterannya.

Bahkan, mereka melontarkan banyak ide yang sama sekali baru dan orisinal. Buktinya, Jazla menuliskan karya-karya yang kemudian diterjemah kan ke bahasa Latin. Pada abad ke-11, ujar Burnett, perkembangan ilmu ke dokteran tak hanya berkutat di Baghdad.

Namun, ilmu kedokteran juga tumbuh pesat di Kairouan, Tunisia. Di sana, ada Constantine the African yang mulai melakukan perjalanan ke Sisilia dan Salerno, Italia. Di Italia, untuk pertama kalinya, Constantine the African memperkenalkan pengobatan Arab ke Barat.

Apa yang diajarkan oleh Constantine menggantikan teks-teks Yunani yang sebelumnya menjadi rujukan. Ia telah memberikan kontribusi besar bagi perkembangan pengobatan di Italia. Bahkan, pengaruh ini berlangsung begitu lama. Di Inggris, misalnya, pada awal abad ke-18, muncul ketertarikan terhadap praktik pengobatan yang berkembang di Timur. Salah satunya adalah praktik inokulasi yang digunakan untuk mengatasi penyakit cacar.

Mengenal Permainan Perang Al Matraki

Ada kisah tentang nama Al Matraki. Nama yang melekat pada dirinya itu berawal dari permainan yang ia ciptakan, yakni Matrak. Dalam bahasa Turki, matrak berarti menakjubkan. Ini memiliki kaitan dengan Al Matraki yang merupakan seorang ksatria.

Permainan Matrak merupakan sebuah permainan perang, yang pemainnya boleh menggunakan tongkat yang disebut labut ataupun gada. Tujuan permainan ini untuk berlatih perang sehingga pasukan perang selalu siap jika sewaktu-waktu terjadi peperangan sesungguhnya.

Al Matraki menulis sebuah buku yang menjelaskan bagaimana permainan tersebut dilakukan. Ia mengajarkan permainan itu kepada para prajurit. Ia mendeskripsikan permainan itu, yakni setiap benteng memiliki lima buah menara dan empat pintu gerbang.

Dinding-dinding benteng dipenuhi dengan senapan dan setiap benteng terdapat 60 orang yang bersenjata. Ketika gerbang pertama kali dibuka, prajurit yang bersenjatakan pedang keluar, lalu diikuti oleh para prajurit dengan gada.

Kemudian, tentara lapis baja bersenjatakan tombak keluar, baru terakhir, para pemanah keluar. Dengan permainan yang diciptakannya ini, pada 1529 Masehi, Sultan Suleyman Kanuni melalui sebuah dekrit memberinya gelar The Master Knight atau Rais.

Gelar ini merupakan apresiasi sang sultan atas kehebatan Al Matraki dalam menciptakan seni permainan perang, yang luar biasa dan tak tertandingi di seluruh Kekaisaran Turki Usmani. Termasuk, dalam metode penggunaan tombak. Kemudian, dekrit tersebut disalin oleh Al Matraki dalam bukunya yang berjudul Umdat al-Hussab. Al Matraki juga sering melakukan permainan perang ketika berada di Mesir selama pemerintahan Gubernur Hayr Bey.

Tlemcen, Potret Ibukota Kebudayaan Islam

Berada di ketinggian 850 meter dari permukaan air laut, kota Tlemcen di wilayah barat Aljazair memiliki peran penting dalam perkembangan budaya Islam. Konferensi para menteri kebudayaan negara Islam di Baku, Azerbaijan 2009, telah menetapkan kota tersebut sebagai ibukota kebudayaan Islam tahun 2011. Komunitas institusi kebudayaan negara-negara Islam itu bernama Islamic Educational, Scientific and Cultural Organisation (Isesco).
Bukan tergolong kota besar, Tlemcen memiliki sejarah panjang dalam proses peradaban Islam. Kota ini tidak diketahui persis kapan berdirinya. Sejarah mencatat, pada masa-masa sebelum masehi, kota ini dihuni oleh bangsa Numidia dengan rezim Berber yang dipimpin Raja Syfax. Mulai tahun 32 masehi hingga tahun 430 masehi, datanglah bangsa Romawi, Vandal, dan Bizantium.
Sedangkan pengaruh Islam mulai datang ke Tlencem pada abad ketujuh yakni tahun 671 masehi dengan datangnya bangsa Arab. Kemudian pada tahun 790 masehi, dinasti Idrissides dari Fes (sekarang di Maroko) menduduki kota tersebut. Dari dinasti Idrissides, wilayah tersebut jatuh ke tangan Youcef Ibn Tachfine dan anaknya Ali bin Youcef. Periode ini disebut dengan Almoravide.
Selanjutnya, pembangunan perdaban Islam di Tlemcen diteruskan oleh Abdelmoumene Ben Ali mulai tahun 1143. Periode ini dikenal dengan sebutan periode Almohad. Bukan hanya peradaban Islam yang dikembangkan, pada periode ini, Abdelmoumene juga mendorong pertumbuhan ekonomi di Tlemcen.
Perubahan yang sangat pesat wilayah tersebut pun terus terjadi. Kondisi ini terlihat mulai abad ke-13 hingga abad ke-16. Saat itu, dinasti yang menguasai Tlemcen adalah dinasti Zianides yang didirikan oleh Yagmorachen. Kekuasaan atas Tlemcen kemudian diteruskan oleh Abu Zain Othmane, Abou Ziane I, dan Abou Tachfine. Dalam masa ini, pengelolaan kota Tlemcen berlangsung lebih modern.
Di tahun 1236, dinasti tersebut membangun masjid agung di pusat kota. Hingga saat ini, masjid tersebut masih berdiri kokoh dengan menara persegi empat. Bagian dalam masjid dipenuhi tiang dengan bentuk kubah poligon. Bangunan ini menjadi salah satu landmark Tlencem dan banyak dikunjungi orang yang ingin melihat masa lalu kota tersebut.
Masjid agung Tlencem ini juga memiliki mihrab dengan ornamen yang sangat kuat dipengaruhi warna seni Andalusia. Bentuk desain interiornya juga mirip-mirip dengan masjid Kordoba. Corak dominan dari bangunan mihrab masjid agung Tlemcen merupakan gabungan dari bentuk mawar dan pohon palm (kurma).
Dinasti tersebut juga membangun seluruh kompleks administrasi di pusat pemerintahannya yang berada di wilayah Mechoar. Wilayah ini berada di pusat kota Tlemcen, dan saat itu dikelilingi tembok tinggi atau benteng sebagai pelindung. Sebgian bentengnya masih terlihat kokoh berdiri sampai sekarang. Namun sebagian lainnya sudah runtuh atau berubah menjadi bangunan lain yang lebih modern.
Satu lagi bangunan masjid yang juga monumental di kota Tlemcen adalah masjid Mansourah. Masjid ini dibangun oleh Sultan Abou Yacoub pada tahun 1299 pada periode Merinide. Saat itu wilayah kota Tlemcen dikembangkan menjadi seluas 101 hektare. Seluruh wilayah Tlemcen ketika itu dikelilingi tembok yang sampai saat ini juga masih terlihat bekasnya.
Selain untuk menjaga wilayah dari serangan pihak asing, tempok tinggi ini juga berguna untuk mengontrol pergerakan seluruh warga Tlemcen. Saat itu, tembok yang mengelilingi Tlemcen dilengkapi dengan 80 menara dan empat pintu gerbang.
Dari abad ke-13 Tlemcen pun terus berkembang. Berbagai monumen dibangun, sebagai saksi sejarah berdirinya kota tersebut. Di abad belasan itu pula, Tlemcen mulai menjalin hubungan dagang dengan wilayah lain di Afrika, juga sebagian wilayah Eropa. Kehidupan komersial pun lahir dan ditandai dengan berdirinya wilayah perdagangan bernama El Kessaria.
Wilayah komersial itu kemudian banyak didatangi Muslim dari Andalusia, juga warga Yahudi dari daerah lain di Spanyol. Saat itu, penduduk kota Tlemcen mencapai 100 ribu jiwa, dan tergolong menjadi kota besar. Sejarah mencatat, di tahun 1236, Muslim Andalusia yang berada di Tlemcen mencapai 50 ribu jiwa. Karena itulah pengaruh Andalusia menjadi sangat kuat dan masih terasa sampai hingga sekarang. Setiap tahun, pemerintah kota setempat menggelar festival musik Andalusia, dan menjadi salah satu bukti masih bercokolnya pengaruh Andalusia di Tlemcen.
Perkembangan yang berjalan pesat pun menjadikan Tlemcen diperebutkan banyak pihak. Dari wilayah sebelah barat masuk pengaruh dinasti Merinidas yang membangun masjid Sidi Boumediene dan Sidi Haloui, juga istana kemenangan di Mansourah. Bangunan-bangunan tersebut masih bisa terlihat hingga saat ini.

Hampir bersamaan juga masuk pengaruh kekuasaan Turki di antara abad ke-16 hingga abad ke-19. Kemudian kolonialisme mulai masuk Tlemcen tahun 1842 dengan datangnya Prancis. Kekuasaan Prancis di Tlemcen terus bercokol hingga tahun 1962 bersamaan dengan merdekanya Aljazair. Sepanjang masa penjajahan Prancis, Tlemcen tidak banyak mengalami perubahan tata kota.
Begitu merdeka di tahun 1962, wilayah kota tersebut sudah mencapai 300 hektare dan sebagian di antaranya merupakan kawasan industri. Di tahun 1987 penduduk Tlemcen mencapai 112 ribu jiwa dan terus berkembang hingga saat ini mencapai sekitar 200 ribu jiwa. Selain kota budaya dan komersial, wilayah tersebut juga sempat dikenal sebagai kota pelajar.
Jejak peninggalan tradisi keilmuan di kota ini setidaknya terlihat di dua lokasi bersejarah yakni, Dar El Hadith dan Medersa Franco-Muslim. Dar El Hadith didirikan tahun 1937 sebagai tempat untuk mengkaji bahasa Arab dan agama Islam. Tempat pendidikan ini dikelola oleh komunitas ulama. Di masa penjajahan Prancis, pusat kajian Islam ini sempat tutup. Begitu Aljazair merdeka, Dar El Hadith pun dihidupkan kembali. Sekitar tahun 1990, lembaga ini mengalami perkembangan pesat.
Sedangkan Medersa Franco-Muslim (atau madrasah untuk Franco-Muslim) didirikan tahun 1905. Sekolah ini termasuk lembaga pendidikan bergengsi yang menghasilkan banyak tokoh Islam di wilayah tersebut.
Dengan begitu banyak peran dan peninggalan sejarah bagi peradaban Islam, tidaklah mengherankan jika Tlemcen kemudian dinobatkan sebagai ibukota kebudayaan Islam untuk tahun 2011. Presiden Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Tlemcen, Amine Lachachi, mengungkapkan bahwa 80 persen situs peninggalan Islam di Aljazair berada di Tlemcen. Hingga saat ini, kehidupan tradisi Islam pun berjalan sangat kuat di wilayah tersebut.
Dengan latar belakang tersebut, dia pun mengaku sangat merindukan hadirnya dunia perbankan syariah di Tlemcen untuk menguatkan perannya sebagai ibukota kebudayaan Islam. Saat ini, iklim perbankan di wilayah tersebut memang belum berkembang dengan baik. Sebagian besar pengusaha mengelola sendiri keuangannya, dan hanya menjadikan bank sebagai tempat untuk menyimpan uang. Namun demikian, kata dia, bank syariah semestinya bisa mulai hadir untuk memancangkan dasar-dasar ekonomi Islam di wilayah tersebut.

Mulla Sadra: Berbicara tentang Jiwa

Bagi Sadra, jiwa merupakan substansi.
Jiwa, menarik minat Sadr ad-Din Muhammad Shirazi. Cendekiawan Muslim, yang lebih dikenal dengan nama Mulla Sadra ini, membahas tentang jiwa dalam kajian filsafat yang ia tekuni. Dan, dalam bidang ini, ia menuliskan karya penting. Salah satunya, Al-Hikmah al-Muta'aliyyah fi al-Asfar al-Aqliyyah al-Arba'ah .
Dr Kholid Al Walid, pengajar di Islamic College, Jakarta, dalam Seminar ''Nasional Filsafat dan Mistitisme Islam, Ibnu Arabi dan Mulla Sadra,'' di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 16 Januari 2010 lalu, mengatakan, Sadra membahas soal jiwa dalam satu jilid penuh bukunya itu. Buku tersebut terdiri atas delapan jilid.
Dalam karyanya itu, Sadra menyodorkan serangkaian bukti tentang keberadaan jiwa. Ia mengatakan, wujud  mumkin merupakan wujud paling utama dan tidak ada kesia-siaan dalam penciptaannya atau dikenal dengan istilah  Imkan al-Asryaf wa 'Adam Abatsiah Khalq al-Mumkinan . Ia pun memberikan penjelasan mengenai hal ini.
Ketika Allah SWT menciptakan makhluk-makhluk-Nya, Dia memulainya dengan  penciptaan zat yang paling utama dan sempurna. Zat pertama yang diciptakan, ungkap Sadra, memiliki kualitas yang tak terbatas karena kedekatannya dengan Sang Pencipta dan merupakan ciptaan yang pertama.
Sedangkan zat berikutnya, memiliki tingkat kesempurnaan yang sama dengan zat yang pertama. Namun, kualitasnya di bawah zat yang pertama itu. Sadra pun menyatakan, proses aktualisasi potensi menjadi aksi merupakan proses penyempurnaan wujud. Ini menunjukkan bahwa setiap bentuk wujud tak sia-sia diciptakan.
Menurut Sadra, hal ini hanya bisa terjadi jiwa pada wujud  mumkin tersebut dan terdapat elemen yang menggerakkan aktualisasi, yakni jiwa. Ia pun melontarkan bukti lainnya mengenai keberadaan jiwa. Dalam hal ini, ia membicarakan tentang efek dari materi. Misalnya, tentang indera yang bisa mempersepsi apa yang terdapat di sekitarnya.
Pun, mengenai indera yang bisa mengetahui apa yang terjadi di sekitarnya. Menurut dia, hal ini hanya bisa terjadi jika ada jiwa. Sebab, jika ada materi, tapi tidak memiliki jiwa, materi tersebut tidak mungkin bisa mempersepsikan segala sesuatu yang ada di sekitarnya.
Sadra menyampaikan pula hal penting lainnya mengenai keberadaan jiwa. Menurut dia, kehidupan adalah jiwa atau  al-Hayah Hiya al-Nafs . Terkait hal ini, ia mengatakan, berbagai macam makhluk memiliki indera dan mampu mempersepsi berbagai macam gambaran. Sehingga, makhluk tersebut bisa disebut sebagai makhluk hidup.
Indera yang mempunyai kemampuan untuk mempersepsikan berbagai macam objek itu, ungkap Sadra, berasal dari tiga kemungkinan, yakni sumber utama yang disebut jiwa, fisik yang mempunyai jiwa, atau fisik. Namun, ia menegaskan, kemampuan indera untuk mempersepsikan berbagai objek itu bersumber dari jiwa.
Di sisi lain, Sadra menolak pendapat yang menyatakan bahwa kemampuan indera untuk mempersepsikan objek berasal dari fisik yang mempunyai jiwa. Sebab, fisik sendiri dikendalikan oleh jiwa sehingga jiwalah yang sebenarnya mampu mempersepsikan objek-objek itu. Pandangan bahwa kemampuan indera mempersepsi objek disebabkan fisik, juga ditentang.
Sebab, kata Sadra, fisik itu tidak akan hidup tanpa ada jiwa. Dalam membahas masalah ini, Sadra memberikan contoh. Sebuah perahu, kata dia, akan memberikan manfaat tertentu bagi manusia. Ini terwujud jika ada yang mendayung atau mengendalikannya, yaitu manusia. Tanpa ada orang yang mendayungnya, perahu itu akan kehilangan makna.
Menurut Sadra, perahu itu menjadi materi yang tak bermanfaat. Dengan demikian, bentuk fisik membutuhkan sesuatu yang lain selain dari dirinya. Lebih lanjut, ia melihat jiwa sebagai substansi. Artinya, beragam efek, seperti tumbuh, bergerak, dan berkembang biak pada manusia ataupun binatang disebabkan oleh apa yang ada dalam dirinya.
Namun, diri yang berada di dalam makhluk hidup tersebut bukanlah raga materi melainkan jiwa. Segala bentuk yang menjadi lokus dan sandaran bagi sesuatu adalah substansi. Dan, Sadra menyimpulkan bahwa jiwa adalah substansi. Ia menambahkan pula, terjadinya jiwa bersamaan dengan terbentuknya fisik.
Raga dan jiwa
Sadra menjelaskan, baik jiwa maupun materi pada awalnya, sama-sama berawal dari materi. Materi itu terdiri atas dua unsur, yakni forma dan materi dasar. Lalu, dalam perkembangannya, forma berubah menjadi jiwa dan materi dasar berubah menjadi fisik. Pandangan Sadra ini berbeda dengan pandangan para filsuf sebelumnya.
Sebab, para filsuf itu menganggap bahwa jiwa terlebih dahulu diciptakan, baru setelah itu fisik diciptakan lalu keduanya bersatu dan saling berkaitan. Namun, Sadra juga memiliki pandangan yang hampir sama dengan para filsuf lainnya. Ini soal keterkaitan antara raga dan jiwa.
Para filsuf Muslim menyatakan, jiwa akan tetap hidup meskipun raga telah hancur. Hal itu terjadi karena jiwa bersifat transenden dan tidak bergantung pada raga kecuali sebagai identitas bagi dirinya. Keberadaan jiwa itu menjadi lokus bagi keberadaan raga, namun tidak sebaliknya.
Seorang filsuf yang juga dokter, Ibnu Sina, mengatakan, sesungguhnya jiwa tidaklah mengalami kematian dengan matinya raga. Bahkan, kata dia, jiwa tidak mengalami kehancuran sedikit pun. Tanpa adanya jiwa, raga tak bisa dibangkitkan. Kebangkitan akan terjadi jika jiwa itu ada. Sadra juga memiliki pandangan serupa.
Sadra berpendapat, jiwa tidak mungkin mengalami kehancuran sebab potensi tersebut bukanlah substansi jiwa. Menurutnya, sesuatu yang mempunyai potensi kehancuran adalah sesuatu yang bisa hancur dan itu adalah materi. Sedangkan jiwa, itu merupakan substansi yang bersifat transenden. Sehingga, jiwa tidak mungkin mengalami kehancuran.
Ikatan antara jiwa dan raga, ujar Sadra, merupakan ikatan keharusan atau  luzumiyyah . Keterikatan keduanya adalah keterikatan keharusan, seperti ikatan antara materi dan forma. Dalam pandangan dia, raga membutuhkan jiwa secara mutlak dalam aktualisasinya. Sedangkan jiwa, memerlukan raga dari segi keberadaan personalitas dan identitasnya.
Oleh karena itu, Sadra menyimpulkan, posisi raga hanya sebagai reseptif, penerima. Ketergantungan raga terhadap jiwa, ujar dia, adalah ketergantungan mutlak. Ketergantungan ini tak akan lenyap selama jiwa bersamanya dan tidak akan ada, jika jiwa tidak ada.
Kisah Mulla Sadra
Mulla Sadra lahir di Shiraz, Iran, pada 1571 Masehi. Pada 1591, ia pindah ke Qazvin, lalu ke Isfahan pada 1597. Hal ini dilakukan dalam rangka untuk menimba ilmu dalam bidang filsafat dan teologi. Ia memiliki banyak guru, di antaranya adalah Mir Damad.
Sadra menuntaskan pendidikannya di Isfahan yang merupakan pusat intelektual dan kebudayaan termuka pada masa itu. Beberapa waktu kemudian, ia menghasilkan sejumlah karya. Di antaranya adalah  Asfar atau  Perjalanan .
Karya tersebut berisi sebagian besar filsafatnya yang dipengaruhi oleh pemikiran pribadinya selama ia menyepi di Kahak, sebuah desa dekat Qom, Iran. Ia pun kemudian menjelma menjadi seorang filsuf yang memiliki pemikiran-pemikiran gemilang.
Sadra pun mampu menyerap pemikiran sejumlah filsuf ternama, kemudian mengelaborasinya. Ia mengkaji pemikiran filsafat Ibnu Sina, filsafat iluminasi yang diusung Shihab al-Din al-Suhrawardi, dan metafisika sufi yang dilontarkan Ibnu Arabi.
Setelah lama meninggalkan kampung halamannya, seorang gubernur dari Provinsi Fars meminta Sadra untuk kembali ke Shiraz. Ia pun memenuhi permintaan tersebut. Ia diminta untuk megajar. Kemudian, ia mengajarkan ilmunya kepada banyak murid.
Namun, saat terakhir masa hidupnya, Sadra ditakdirkan tak berada di Shiraz. Mengutip laman  muslimphilosophy , maut menjemputnya ketika ia berada di Basra, Irak. Ia lalu dimakamkan di Najaf. Ia mengembuskan napas terakhir saat dalam perjalanan menuju Makkah untuk menunaikan ibadah haji.

Perkembangan Percetakan di Dunia Islam

Pada masa Dinasti Fatimiyah, percetakan mulai mengalami perkembangan.
Pencetakan sebuah manuskrip memiliki sejarah panjang. Ini tak semata terkait dengan mesin cetak yang ditemukan Johannas Gutenberg. Namun, lebih memiliki kaitan dengan kegiatan percetakan yang telah dilakukan lama sebelumnya. Termasuk, perkembangannya di dunia Islam.
Menurut Dr Geoffrey Roper, seorang konsultan perpustakaan yang bekerja dengan Institute for the Study of Muslim Civilisations, London, Inggris, Gutenberg diakui sebagai orang pertama yang menemukan mesin cetak.
Namun, menurut Roper, aktivitas mencetak, yaitu membuat sejumlah salinan dari sebuah teks dengan memindahkannya dari satu permukaan ke permukaan lainnya, khususnya kertas, yang telah berusia lebih tua dibandingkan penemuan mesin cetak Gutenberg.
Orang-orang Cina telah melakukannya sekitar abad ke-4. Cetakan teks tertua yang diketahui berangka tahun 868 Masehi, yaitu Diamond Sutra. Ini merupakan sebuah terjemahan teks Buddha berbahasa Cina yang tersimpan di British Library.
Namun, hal yang tak banyak terekspos adalah sekitar 100 tahun kemudian, Arab Muslim juga memiliki kemampuan mencetak teks. Termasuk, lembaran Alquran. Ini berawal dari langkah Muslim untuk mempelajari kemampuan pembuatan kertas dari Cina.
Lalu, umat Islam mengembangkan kemampuan itu di seluruh wilayah Islam. Hal ini memicu tumbuh berkembangnya produksi manuskrip-manuskrip teks. Pada masa awal perkembangan kekuasaan Islam, manuskrip tak dibuat secara massal dan tak pula didistribusikan untuk masyarakat.
Kala itu, manuskrip yang ada berisikan penjelasan tentang shalat, doa-doa, intisari Alquran, dan asmaul husna yang sangat dikenal oleh Muslim. Apa pun tingkat sosialnya, baik Muslim yang kaya, miskin, terdidik, maupun berpendidikan rendah.
Kemudian, baru pada kekuasaan Dinasti Fatimiyah di Mesir, teknik cetak manuskrip di atas kertas berkembang. Mereka mencetak manuskrip secara massal. Kemudian, manuskrip-manuskrip hasil cetakan itu dibagikan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Sejumlah cetakan manuskrip itu ditemukan para arkeolog saat dilakukan penggalian di Fustat atau Kairo lama. Menurut Roper yang dikutip laman Muslimheritage, cetakan manuskrip tersebut diyakini berasal dari abad ke-10.
Cetakan manuskrip sejenis ditemukan juga di sejumlah tempat lainnya di Mesir. Rope mengungkapkan, iklim kering di Mesir telah membantu menyelamatkan manuskrip itu sehingga tak membuatnya menjadi rusak.
Pada periode kekuasaan Dinasti Mamluk, yang berlangsung pada abad ke-13 hingga abad ke-16, ditemukan sejumlah cetakan tulisan Arab dengan beragam gaya, di antaranya adalah Kufi. Perkembangan kegiatan percetakan di dunia Islam berlangsung hingga 500 tahun.
Sejumlah hasil cetak manuskrip yang dihasilkan di dunia Islam masih bertahan. Paling tidak, ada 60 sampel manuskrip yang tersisa dan tersebar di Eropa, museum dan perpustakaan di Amerika Serikat (AS), serta ada di Mesir dalam jumlah yang tak diketahui secara pasti.
Ada pula cetakan manuskrip yang berasal dari Afghanistan atau Iran. Terungkap pula bahwa hanya sedikit referensi yang mengungkapkan alat percetakan yang digunakan pada masa Islam. Referensi yang ada di antaranya adalah puisi-puisi Arab pada abad ke-10 dan ke-14.
Puisi itu menggambarkan bahwa alat percetakan pada masa itu dibuat pada sebuah pelat yang diukir dengan huruf-huruf. Ada pula yang mengungkapkan, alat percetakan dibuat pada blok kayu dengan huruf-huruf seperti gaya huruf Cina.
Tak diketahui pula, apakah kegiatan percetakan di dunia Islam memberikan pengaruh pada aktivitas yang sama di Eropa. Tak ada bukti yang menunjukkan adanya pengaruh itu. Namun, kemungkinan adanya pengaruh memang tak bisa dinafikan.
Terutama, cetakan manuskrip Eropa yang bergaya cetakan blok. Ada kemungkinan bahasa Italia tarocchi memiliki arti kartu tarot, yang termasuk artefak awal cetak blok di Eropa, berasal dari istilah Arab.
Namun, memang harus diakui, ini merupakan teori spekulatif yang perlu  dibuktikan lebih lanjut. Perlu banyak bukti untuk mengambil kesimpulan terkait hal tersebut. Di sisi lain, ada fakta bahwa percetakan buku dalam bahasa Arab muncul di Eropa, khususnya Italia.
Percetakan ini dilakukan secara sporadis yang berlangsung sebelum 1514 Masehi. Seorang dari Venezia yang bernama Gregorio de Gregori menerbitkan buku berjudul Book of Hours atau Kitab Salat al-Sawa'i untuk dikirimkan ke komunitas Kristen di Suriah.
Sayangnya, cetakan huruf kurang bagus, bahkan hampir tak bisa dibaca. Bagaimanapun, langkah Gregorio itu merupakan upaya yang berani untuk mencoba mencetak buku dengan abjad Arab. Ada juga nama Robert Granjon,  desainer dari Prancis yang terkait dengan dunia percetakan.
Granjon berusaha merancang alat percetakan seperti yang ada di dunia Islam. Ia berupaya mencetak buku dalam bahasa Arab sebab saat itu buku-buku berbahasa Arab cukup banyak diminati. Pada masa selanjutnya, Kardinal de Medici pun ikut berkecimpung dalam bidang ini.
Medici mencari seorang yang mahir berbahasa oriental untuk mengawasi operasi percetakkan buku. Akhirnya, ia bertemu Giovan Battista Raimondi, seorang filsuf, ahli matematika, dan ahli kimia. Hal terpenting, ia memiliki kompetensi yang berkaitan dengan percetakan Arab.
Selama melancong ke Timur, Raimondi telah belajar bahasa Arab, Turki, dan Persia. Selain itu, ia pun mengumpulkan tata bahasa dan kamus bahasa-bahasa tersebut. Dia juga mempunyai pengalaman yang banyak dalam menerjemahkan buku-buku dari bahasa Yunani dan bahasa Arab.
Untuk membuat percetakan bergaya Arab, Raimondi menyewa beberapa bangunan di Piazza del Monte d'Oro di Roma. Dia memerintahkan para pegawaianya untuk mempersiapkan tinta, kertas, dan bahan lain yang diperlukan.
Cetakan teks-teks akhirnya dibuat melalui alat cetak yang bernama Domenico Basa. Buku pertama yang berhasil dicetak adalah Precationum, yakni sebuah buku doa-doa Arab Kristen. Mereka juga mencetak buku sejarah karya Abu al-Abbas Ahmad ibn Khalil al-Salihi.
Buku tersebut berjudul The Book of the Garden of the Wonders of the World.

Muteferrika dan Percetakan di Turki
Saat masa kekuasaan Turki Utsmani, upaya untuk mewujudkan percetakan juga muncul. Ada sebuah nama yang berkontribusi dalam terwujudnya kegiatan tersebut, yaitu Ibrahim Muteferrika. Lelaki kelahiran 1647 Masehi ini merupakan seorang prajurit, ilmuwan, diplomat, dan penulis.
Kala masih belia, ia menyaksikan kegagalan yang pernah dialami oleh tentara Turki di suatu masa saat melakukan pengepungan di Vienna. Kemudian, ia menyadari bahwa itu menjadi pertanda penurunan kekuatan militer Turki. Banyak hal yang menyebabkan penurunan ini.
Namun, Muteferrika menyimpulkan, perlu inovasi untuk meningkatkan kekuatan tentara Turki. Termasuk, harus mengadopsi inovasi yang dilakukan oleh tentara Eropa. Hal itu harus dilakukan. Jika tidak, tentara Turki tak akan mampu meningkatkan kemampuannya.
Akibatnya, tentara Turki tak akan memiliki daya untuk mempertahankan kekuasaan Turki. Berpijak pada kenyataan itulah, ia memikirkan bagaimana membangun sebuah percetakan. Tujuannya, menyebarkan ide-ide ilmiah tentang kekuatan militer.
Dalam pandangan Muteferrika, penyebaran ide itu harus dilakukan secara cepat dan masif. Ia lalu mendorong penerjemahan teks-teks dari Eropa yang kemudian dicetak secara massal. Sayangnya, konservatisme pemerintah Turki saat itu menghadang ide Muteferrika.
Namun, Muteferrika tak patah arang. Ia mencari dukungan dari karibnya, yaitu Chelebi Mehmed Pasha Yirmisekiz, dan anaknya Sa'id yang pada 1721 baru kembali dari misi diplomatik ke Paris. Keduanya memiliki pandangan maju dan dibalut keinginan untuk melakukan perubahan.
Mereka juga mengagumi kemajuan yang terjadi di Paris, termasuk percetakan. Dengan bantuan mereka, akhirnya Wazir Agung Ibrahim Pasha mendorong Muteferrika membuat sebuah petisi kepada Sultan Ahmed III yang menjelaskan pentingnya percetakan.
Muteferrika pun memenuhinya. Ia membuat penjelasan perinci yang berjudul Wasilat al-Tiba'a atau The Utility of Printing. Dalam pembukaannya, ia mengingatkan pentingnya melestarikan hukum negara dan kesulitan untuk melakukannya.
Menurut Muteferrika, orang-orang kuno menuliskan dan mengabadikan hukum mereka pada tablet atau menuliskannya pada lembaran kulit. Namun, tablet atau perangkat lainnya yang digunakan untuk menuliskan hukum itu tak bisa selalu terlindungi.
Kekuasaan negara juga tak selalu bisa melindunginya, terutama dalam suasana perang. Muteferrika kemudian mencontohkan peristiwa penghancuran buku yang dilakukan oleh Genghis Khan dan Hulagu Khan, para penakluk Mongol pada abad ke-12.
Mereka menghancurkan kekuasaan Dinasti Abbasiyah, membakar atau merusak semua karya seni dan ilmu yang terdokumentasikan dalam bentuk buku. Saat Sultan Ahmed III menerima petisi itu, ia mengonsultasikan hal itu kepada seorang mufti yang bernama Shaikh Abd Allah.
Sang mufti yang ahli dalam hukum Islam itu memandang tak ada masalah usulan pembangunan percetakan itu. Akhirnya, setelah mendapat jawaban dari sang mufti, Sultan Ahmed III mengizinkan pendirian percetakan.

Abu'l-Barakat al-Baghdadi, Ilmuwan Besar dari Baghdad

Kitab al-Mu'tabar menjadi karya fenomenal Barakat yang berisi esai-esai tentang filsafat dan sains.
Abu'l-Barakat al-Baghdadi dikenal sebagai seorang dokter dan filsuf. Ia dikenal pula sebagai seorang saintis. Nama lengkapnya, Hibat-Allah ibn Ali ibn Malka Abu'l-Barakat al-Baghdadi. Ia pun memiliki nama julukan, Awhad al-Zaman atau orang ternama pada zamannya.
Julukan ini diyakini terkait dengan profesi Barakat sebagai seorang dokter. Sebab, ia merupakan dokternya para khalifah Baghdad, tempat ia tinggal. Ia juga dokter langganan para sultan dari Dinasti Seljuk. Selain melakukan praktik kedokteran, ia juga mengajar tentang kedokteran.
Barakat memiliki sejumlah murid kedokteran. Ia tak hanya dikenal dengan julukannya Awhad al-Zaman, tapi juga memiliki reputasi luas karena karya fenomenalnya yang berjudul Al Kitab al Mu'tabar.
Karya ini berisi esai-esai Barakat tentang filsafat. Dalam esainya itu, ia menguraikan konsep-konsep dasar tentang filsafat alam dengan analisis yang tajam. Kitab ini disusun saat ia mencapai usianya yang matang.
Kitab al-Mu'tabar berisi refleksi-refleksi filosofis Barakat yang dilakukannya dari waktu ke waktu. Terutama, mengenai logika, fisika, ilmu pengetahuan alam, dan metafisika. Ia mengutip pula Kitab al-Shifa yang ditulis cendekiawan Muslim ternama, Ibnu Sina.
Bahkan, dalam beberapa bagian bukunya, Barakat mengutip sepenuhnya kalimat Ibnu Sina. Namun, ia pun menyanggah pemikiran Ibnu Sina dan menguraikan alasan tak sependapat pemikirannya dengan Ibnu Sina tersebut.
Barakat mengenalkan ide-ide alternatif yang menarik. Dan, ide tersebut mengantarkan gaungnya pada perkembangan fisika modern. Seperti, idenya mengenai gerak dan konsep tentang waktu. Pada 1938, seorang ilmuwan, Shlomo Pines, menaruh perhatian besar pada ide inovatif Barakat itu.
Pemikiran Barakat tentang gerak, di antaranya mengenai gerakan proyektil, yang memiliki kaitan dengan perkembangan teknologi pada beberapa abad kemudian. Ini bermula dari perbincangan mengenai bubuk mesiu yang ditemukan di Cina.
Bubuk mesiu tersebut menjadi sangat populer dalam perang Eropa pada abad ke-15. Bubuk ini digunakan pihak-pihak yang bertikai dalam peperangan untuk mendorong proyektil besar, guna menghantam tembok-tembok pertahanan kota yang mereka serang.
Pada pertengahan abad ke-16, para pakar senjata di Eropa mulai mencari cara lain untuk meningkatkan daya jangkau kekuatan artileri mereka. Ada sisi lain dari perkembangan itu yang menjadi sebuah polemik dalam bidang sains.
Sebab, ternyata gerak proyektil yang didorong bubuk mesiu itu tak sesuai dengan konteks doktrin gerak yang diusung oleh Aristoteles. Dalam konteks ini, berdasarkan hukum gerak Aristoteles mestinya proyektil yang dilontarkan jatuh langsung ke tanah.
Pada kenyataannya, proyektil itu justru tak langsung jatuh ke tanah saat terlontar dari selongsong meriam. Sebaliknya, benda tersebut bergerak mengikuti sebuah lintasan melengkung. Bahkan, para pendukung Aristoteles yang paling setia pun melihat cacat doktrin itu.
Kritik terhadap konsep gerak yang diusung Aristoteles, sebenarnya bermunculan sebelum abad ke-15. Banyak cendekiawan termasuk cendekiawan  Muslim melontarkan kritik terhadap doktrin gerak Aristoteles.
Misalnya, Joannes Philoponus yang lebih dikenal sebagai John the Grammarian. Kritik itu lalu dikembangkan lebih jauh oleh cendekiawan Muslim Ibnu Sina, Barakat, dan Ibnu Bajja dari Andalusia pada abad ke-12.
Dalam konteks ini, Barakat menyatakan ada tenaga dorong dari meriam untuk melontarkan proyektil. Hingga proyektil itu terdorong dan mencapai jarak tertentu. Bukan seperti yang dilontarkan oleh Aristoteles bahwa proyektil akan langsung jatuh ke bumi.
Hal itu tak akan terjadi, kata Aristoteles, jika ada penggerak yang berhubungan dengan objek yang sedang bergerak. Saat penggerak tak ada, objek itu akan langsung jatuh ke bumi. Pada kenyataannya, proyektil itu tak langsung jatuh, tapi bergerak meniti garis lengkung.
Konsep yang diajukan oleh Barakat dan Ibnu Sina mengenai gerakan proyektil ini, kemudian menjadi acuan pula bagi pengembangan konsep dorongan dan momentum. Terutama, pada pemikiran yang dikembangkan Galileo Galilei pada abad ke-17.
Pemikiran lain Barakat adalah mengenai akselerasi atau percepatan. Ia mengatakan, percepatan gerak benda jatuh disebabkan adanya gaya gravitasi yang menghasilkan kecenderungan alami benda tersebut untuk jatuh.
Konsep pemikiran Barakat digunakan untuk mengantisipasi hukum dasar mekanika klasik. Ia juga menjelaskan, percepatan yang dialami benda berat yang jatuh merupakan kecenderungan alami. Pemikiran dia ini mendorong lahirnya hukum dasar dinamika modern.
Paling tidak melalui pemikiran-pemikiran itu, Barakat telah menyumbangkan banyak ide baru mengenai fisika yang berkaitan dengan gerak. Selain mengemukakan hukum percepatan, dia juga menyatakan gerak itu relatif.
Dalam Kitab al-Mu'tabar, Barakat memberi perhatian atas kondisi yang saling memengaruhi antara kata-kata dan konsep. Misalnya, ia mengembangkan teori inovatifnya tentang waktu. Ini terlontar setelah ia menemukan sebuah kesimpulan.
Menurut Barakat, kata waktu yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari merupakan sebuah konsep fundamental. Ia mengatakan, waktu merupakan sebuah entitas. Ia menegaskan pula bahwa waktu adalah ukuran sesuatu yang terjadi bukan ukuran gerak seperti kata Aristoteles.
Barakat memiliki pula kontribusi pemikiran dalam bidang psikologi. Ia membahas tentang kesadaran diri. Hal ini pernah pula diangkat oleh Ibnu Sina, terutama yang berkaitan dengan kegiatan ini. Namun, Barakat melakukan kajian lebih dalam.
Kehidupan Barakat
Barakat hidup di abad ke-11 hingga abad ke-12. Ia lahir di Balad, sebuah kota di wilayah Tigris, dekat Mosul, Irak. Ia dilahirkan di sebuah keluarga Yahudi. Laman Muslimheritage dan Wikipedia, mengungkapkan, akhirnya Barakat memutuskan untuk memeluk Islam.
Saat menjalani profesinya sebagai seorang dokter, Barakat memiliki saingan berat, yaitu seorang dokter Kristen bernama Ibn al-Tilmidh. Di sisi lain, ia pun memiliki teman karib bernama Ishaq bin Ibrahim bin Erza yang menulis sebuah buku berisi kata-kata sanjungan terhadapnya.
Ibn Abi-Usyabi'a in juga menulis sebuah karya yang berisi sejumlah anekdot dan ungkapan, serta daftar sejumlah karya Barakat dalam bidang kedokteran. Ini dianggap sebagai sebuah karya biografi tentang Barakat yang lengkap.

Setumpuk Karya Barakat
Harus diakui, karya fenomenal Abu'l-Barakat al-Baghdadi adalah Kitab al-Mu'tabar. Karya ini berisikan beragam pemikiran Barakat dalam sejumlah bidang, terutama filsafat dan sains. Namun, ada sejumlah karya lain yang ditulis Barakat.
Di antaranya adalah karya dalam bidang kedokteran. Barakat memang dikenal pula sebagai seorang dokter. Karyanya dalam bidang kedokteran adalah risalah mengenai farmakologi yang berjudul Sifat Barsha'tha, dan berisi resep obat-obatan dari India.
Terdapat tiga salinan karya tersebut yang tersimpan di perpustakaan Turki. Selain itu, ada risalah lain tentang farmakologi yang ditulis oleh Barakat, yaitu risalah yang ia beri judul Tiryaq Amir al-Arwah.
Salinan karya tersebut tersimpan di Perpustakaan Kitapsaraydi Manisa, Turki. Ada pula risalah lain mengenai pemikiran intelektual yang berjudul Maqala fi'l-'Aql. Karya tersebut disimpan di perpustakaan di Iran dan Leipzig, Jerman.
Ada pula risalah Barakat yang diberi judul Risala fi Sabab Zuhur al-Kawa-kib Laylan wa Khafa'iha Naharan. Dalam risalahnya ini, ia menjelaskan mengapa bintang bisa terlihat di langit pada malam hari. Karya ini ditulis untuk menjawab pertanyaan Sultan Muhammad Tapar.
Manuskrip tentang karyanya itu disimpan di perpustakaan di Berlin, Jerman, dan Hiderabad, Pakistan. Juga, ada risalah mengenai kajian astronomi soal piring universal. Risalah ini berjudul Risala fi al-Amal bi al-Safiha al-Afaqiyyah.
Naskah risalah itu tersimpan di perpustakaan di Nidge, Turki.

Merintis Tradisi Berceramah

Proses perkembangan seni berceramah berlangsung mulai abad ke-10 hingga abad ke-12.
Ceramah lekat dengan tradisi Islam. Dan, kegiatan berceramah ini bermula dari pemikiran kaum tradisionalis. Dengan pemahaman tentang agama, mereka berupaya untuk menyampaikan dan menularkannya kepada orang lain, terutama kepada para muridnya.
Secara umum, seni berceramah yang berkembang di dunia Islam terbagi dalam dua jenis, yaitu khotbah dan wa'zh. Khotbah dilakukan oleh seorang khatib pada hari Jumat. Sang khatib yang dipilih khalifah umumnya berdiri di atas mimbar.
Sedangkan, wa'zh disampaikan oleh seorang ulama yang otonom, yaitu seorang ahli hukum Islam atau fakih, sufi, penghafal Alquran, atau seorang ahli hadis. Dengan demikian, wa'izh atau orang yang melakukan wa'zh tak diangkat oleh penguasa layaknya seorang khatib.
Wa'zh disampaikan dalam sebuah masjid, surau, ataupun madrasah. Selain berisi tentang pengetahuan agama, wa'zh juga berisi nasihat ataupun teguran terhadap pejabat pemerintah. Nasihat atau teguran itu disampaikan secara terbuka di hadapan massa.
Khotbah atau wa'zh merupakan bagian dari bentuk ceramah yang paling penting. Selain kedua hal itu, ada pula yang disebut dengan qashash (kisah) dan tazkir (peringatan). Menurut kebiasaan, qashash atau ceramah umum disampaikan di jalan-jalan perkotaan.
Para penyampai cerita itu dipanggil dengan sebutan qashsh. Sedangkan, mereka yang menyampaikan ceramah, dengan tujuan memberikan peringatan kepada masyarakat, disebut mudzakkir atau pemberi peringatan.
Seorang penulis sekaligus ahli dalam seni berceramah bernama Ibn al-Jawzi. Ia membahas perbedaan antara qashsh dan mudzakkir. Pembahasan tersebut ia uraikan dalam bukunya yang berjudul Kitab al-Qushshash wa al-Mudzakkirin (Buku tentang Juru Kisah dan Pemberi Peringatan).
Menurut al-Jawzi, seorang qashsh memiliki tugas mengisahkan tentang kisah-kisah sejarah pada masa lampau. Lalu, menafsirkan kisah sejarah tersebut dan menceritakannya kepada masyarakat umum. Beda pula tugas yang diemban mudzakkir.
Al-Jawzi mengungkapkan, seorang mudzakkir bertugas mengingatkan orang-orang atas nikmat Allah SWT yang telah diberikan kepadanya. Mudzakkir juga mengingat mereka agar tak mengingkari segala anugerah yang diperolehnya selama ini.
Singkat kata, ujar al-Jawzi, tujuan mudzakkir adalah mendorong audiensnya meningkatkan ketakwaannya kepada Allah SWT. Kemunculan tradisi berceramah sendiri bisa dilihat dari sejumlah aktivitas kelompok tradisionalis.
Misalnya, aktivitas ceramah yang dilakukan Barbahari yang lahir pada 941 Masehi. Ia dikenal sebagai pelopor dalam pengembangan seni berceramah. Salah satu karya Barbahari yang masih bertahan hingga saat ini adalah Syarh Kitab al-Sunnah (Uraian Seputar Kitab al-Sunnah).
Karya tersebut berisi tentang uraian secara terperinci atas karya Ahmad ibn Hanbal mengenai akidah. Di dalamnya juga berisi kritik dan penentangan Barbahari terhadap gerakan politk keagamaan yang dianggap bertentangan dengan ajaran Islam yang murni.
Nama lain yang sering disebut dalam pengembangan seni berceramah adalah Abu Bakar al-Najjad yang hidup pada 961 Masehi. Di Masjid al-Manshur, ia memiliki dua kelompok studi. Satu sebagai kelompok pengajaran fikih, sedangkan satunya lagi untuk pengajaran hadis.
Al-Najjad juga dikenal sebagai penghimpun musnad dari hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad Ibn Hanbal. Ada sebuah karya yang ia tulis menjadi bahan perdebatan sengit di antara para ahli fikih. Ia menulis risalah untuk membuktikan bahwa Alquran bukan makhluk.
Melalui tulisannya itu, al-Najjad ingin meluruskan pandangan sejumlah kalangan yang saat itu meyakini bahwa Alquran adalah makhluk. Ada pula ulama besar yang memiliki peran dalam pengembangan seni berceramah ini, yaitu Abu al-Husayn ibn Sam'un.
Ibn Sam'un hidup pada 912 hingga 997 Masehi. Ceramah yang ia lakukan sering dikumpulkan. Sayangnya, saat ini hanya tersisa sejumlah penggalan khotbahnya. Ceramahnya banyak mengundang massa sebab isinya sangat menarik.
Pada suatu masa, pertentangan antara Sunni dan Syiah telah mendorong Abud al-Dawlah, penguasa dari Dinasti Buwaih, berniat menghentikan ulama berceramah. Ia meyakini, upaya ini akan mampu menyulut pertentangan yang ada.
Namun, Ibn Sam'un bersikeras menyampaikan ceramah. Akhirnya, ia pun dipanggil ke istana. Bahkan, dengan keteguhan hatinya, ia malah melakukan ceramah di depan para petinggi istana. Dan, ia akan tetap melakukan ceramahnya walaupun ada larangan.
Langkah cerdas Ibn Sam'un yang dilakukan dalam berceramah telah membuat bangunan seni berceramah kokoh. Bahkan, seni berceramah menjadi kajian dalam halaqah yang dilakukan di masjid-masjid ataupun madrasah.
Nama Ibn Aqil adalah yang muncul kemudian. Ia merupakan ahli fikih dan menjadi figur yang kian membuat seni berceramah berkembang. Ia menyatakan pula, seni berceramah merupakan sebuah bidang yang penting dipelajari.
Ia mengembangkan bidang ini bersama gurunya yang bernama Abu Thahur ibn al-Allaf yang hidup pada 1050 Masehi dan merupakan salah satu murid Ibn Sam'un. Dalam perkembangannya, Ibn Aqil memberikan pengaruh besar pada Ibn al-Jawzi, seorang penceramah dan penulis.
Ini terbukti dalam uraian karya al-Jawzi saat membahas karya-karya Ibn Aqil. Ia melakukannya secara terperinci. Namun, secara langsung, al-Jawzi belajar tentang seni berceramah dari sahabat dekat Ibn Aqil, yaitu  al-Zaghuni.
Mendiang George Abraham Makdisi, pakar dunia Arab dan Islam, mengungkapkan, tradisi berceramah--dapat dikatakan--berkembang melalui proses pewarisan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Proses itu berlangsung mulai abad ke-10 hingga abad ke-12.
Seni berceramah mengalami puncak perkembangan dalam kajian ilmu-ilmu humaniora pada abad ke-11 yang digerakkan Ibn Aqil dan pada abad ke-12 dimotori oleh Ibn al-Jawzi. Pada masa itu, para penceramah mendapatkan jabatan yang tinggi di istana-istana para khalifah.
Pada mulanya, seni berceramah ini memang memiliki tujuan untuk menyebarkan ajaran agama dan untuk menghambat pidato sekuler yang banyak muncul di istana-istana raja. Selain, itu ceramah juga banyak digunakan untuk melontarkan kritik atas kehidupan mewah para raja.
Ibn al-Jawzi, dalam karyanya tentang seni berceramah, menuliskan sejumlah penceramah. Di antaranya adalah 16 nama sahabat Nabi Muhammad SAW, termasuk empat khalifah pertama setelah wafatnya Nabi SAW. Selain itu, dia menyebutkan sejumlah penceramah ulung dari berbagai wilayah. Misalnya, para penceramah dari Makkah, Madinah, Yaman, Kufah, Basrah, Rayy, dan Balkh.

Pengembangan Ceramah Melalui Madrasah
Tak hanya ulama yang memiliki peran dalam mengembangkan seni berceramah. Namun, sejumlah institusi pendidikan pun ikut berperan. Di antaranya, Madrasah Nizamiyah, yang ada di Baghdad, Irak. Madrasah ini berkembang pada abad ke-11.
Saat itu, banyak cendekiawan yang memiliki kemampuan berceramah dari wilayah di luar Irak bertandang ke Baghdad. Mereka tinggal di sana, baik dalam jangka waktu yang pendek atau panjang. Mereka diberi kehormatan untuk mengajarkan ilmunya di Madrasah Nizamiyah.
Kehormatan tersebut diberikan langsung oleh Nizham al-Muluk, yang merupakan pendiri madrasah tersebut. Keturunan Nizham juga melakukan langkah yang sama. Salah seorang yang berkecimpung di Madrasah Nizamiyah adalah Abu Husyn al-Abbadi, yang berasal dari Marw.
Al-Abbadi bahkan pernah menduduki jabatan akademis di Nizamiyah, yaitu sebagai guru besar dalam mata kuliah seni berceramah. Sebuah catatan mengungkapkan, pada November hingga Desember 1092, al-Abbadi berkunjung ke Baghdad.
Kemudian, al-Abbadi melanjutkan perjalananya menuju Arab Saudi untuk menunaikan ibadah haji. Pada tahun berikutnya, ia kembali lagi ke Baghdad dan diangkat menjadi pengajar tamu untuk mata kuliah seni berceramah. Hingga, ia pun menjadi guru besar di sana.
Di sana, al-Abbadi juga bertemu dengan ilmuwan besar al-Ghazali, yang menjadi kepala guru besar di Nizamiyah. Kemampuan al-Abbadi berceramah juga melahirkan rasa takjub dari seorang pengembara dari Spanyol, Ibnu Jubair.
Dalam karyanya yang berjudul Perjalanan, Ibnu Jubair, mengisahkan banyaknya orang yang berkerumun untuk mendengarkan ceramah al-Abbadi. Selain Nizamiyah, ada pula Tajiyah, di mana madrasah ini juga memiliki penceramah ternama, yaitu Abu al-Futuh al-Ghazali.
 
Selain mengajar di Tajiyah, al-Futuh juga mengajar bidang studi ceramah di ribath atau padepokan sufi di Bahruz. Dia juga pernah diundang untuk menyampaikan ceramah di istana Sultan Mahmud dari Bani Seljuk dan memperoleh honor sebanyak 1.000 dinar.
Dalam melakukan kegiatannya, ceramah al-Abbadi maupun al-Futuh, tak pernah melahirkan pertentangan. Terkadang, ada ceramah yang melahirkan pertentangan karena apa yang disampaikan mendapatkan bantahan dari mereka yang menolak isi ceramah atau kelompok yang berbeda aliran.
Putra pertama al-Abbadi, yaitu Abu Manshur al-Abbadi, pernah memicu pertentangan. Ini terjadi saat ia yang berasal dari kelompok Asyariyah, bersikeras melakukan ceramah di Masjid Al-Manshur, yang merupakan tempat berkumpulnya kaum tradisionalis.

Tradisi Penulisan Surat

Kemampuan menulis surat mengantarkan para penulis pada status sosial dan jabatan yang tinggi.
Seni menulis surat mengalami perkembangan di dunia Islam. Bahkan, umat Islam tak hanya memiliki kemampuan menulis dengan tingkat kefasihan bahasa yang tinggi. Mereka juga mampu menyusun tata cara dan struktur penulisan surat.
Pada dasarnya, mengutip George Abraham Makdisi dalam bukunya Cita Humanisme Islam, ada sejumlah istilah penting yang kerap digunakan saat membahas keahlian atau keterampilan menulis surat. Ada tiga akar kata yaitu, asala, nasya'a dan kataba.
Kata-kata  tarasul, tarsil, kitabah, dan  insya digunakan  merujuk pada ilmu persuratan. Sedangkan, untuk surat, kata-kata yang biasanya dipakai adalah  risalah dan  kitab. Selain istilah di atas, umat Islam telah berkemampuan menyusun struktur sebuah surat.
Ada tiga bagian utama dari sebuah surat. Pertama, Al-Fawatih atau kata-kata pembuka yang disebut  iftitah al-mukatabah. Kata pembuka ini terdiri atas ucapan basmalah, hamdalah, tasyahud, salwalah, tasliyah, kata salam, dan ucapan amma ba'du.
Unwan atau alamat juga bagian dari kata pembuka, seperti dari si A kepada si B. Bagian kedua adalah batang tubuh surat atau al-lawaqih. Batang tubuh ini merupakan teks surat yang ada di antara dua salam.
Sebab, biasanya, surat diawali dengan salam dan diakhiri pula dengan salam. Sedangkan, bagian ketiga adalah kata penutup al-khawatim yang berisi kalimat insya allahu ta'ala yang artinya bila Allah menghendaki.
Bagian lainnya dari kata penutup adalah tarikh atau penanggalan surat serta alamah, berupa tanda tangan dari orang yang mengirimkan surat tersebut. Di sisi lain, ada frase hamdallah yang biasa digunakan untuk menutup sebuah surat.
Menurut Makdisi, tiga bagian utama yang terdapat dalam struktur surat di dunia Islam dan dokumen sejenisnya ini pada kemudian hari ditemukan pula pada dokumen-dokumen berbahasa Latin yang merupakan peninggalan abad pertengahan.
Kemampuan berbahasa, menurut cendekiawan Muslim, Ibnu al-Nadim, merupakan keterampilan yang mesti dimiliki oleh seorang ahli menulis surat. Ia mengungkapkan hal ini dalam bukunya yang terkenal, Fihrist.
Bab ketiga dari buku yang ditulis pada 987 Masehi ini membahas para ahli pembuat surat dan orator ulung. Dalam bukunya itu, Nadim membagi ahli menulis surat ke dalam dua kelompok. Kelompok pertama adalah mereka yang suratnya dipublikasikan.
Kelompok ini terdiri atas 49 nama penulis surat. Biasanya, publikasi surat-surat mereka dalam bentuk antologi. Sementara itu, kelompok kedua terdiri atas 12 orang. Kelompok ini adalah mereka yang surat-suratnya sering dikutip oleh penulis surat pada masa selanjutnya.
Pengelompokan yang dilakukan Nadim menunjukkan bahwa kedudukan seorang penulis surat ditentukan oleh kefasihan bahasanya atau balaghah-nya. Hal ini juga berlaku bagi para orator yang biasanya mampu memberikan pengaruh besar bagi pendengarnya.
Sebenarnya, tradisi penulisan surat ini mewujud pada masa Nabi Muhammad SAW, para sahabat, dan tabiin. Namun, saat itu, penulisan surat belum menjadi sebuah seni yang memiliki tata cara tertentu yang terperinci.
Penulisan surat mulai menjadi sebuah keahlian baru pada masa Abd al-Hamid ibn Yahya, sekretaris terakhir Dinasti Umayyah. Lalu, banyak bermunculan penulis surat pada abad ke-8 hingga abad-abad berikutnya. Puncaknya, terjadi pada abad ke-10.
Melihat perkembangan penulisan surat, sejumlah kalangan akhirnya kerap menyebut bahwa ilmu persuratan diawali oleh Abd al-Hamid dan ditutup oleh Ibn al-Amid. Ini merepresantasikan perkembangan ilmu persuratan yang bermula pada abad ke-8 dan mencapai puncaknya pada abad ke-10.
Puncak perkembangan seni menulis surat ini ditandai dengan tingginya capaian artistik dan estetika bahasa. Bahkan, saat itu, mereka yang memiliki kemampuan menulis surat berhasil meraih status sosial dan jabatan politik yang tinggi.
Sebagian mereka ada yang diangkat menjadi penasihat negara yang memiliki juru tulis sendiri dan ada pula yang menjadi perdana menteri yang kedudukannya di bawah seorang khalifah atau sultan. Dua status itu merupakan puncak jabatan dalam bidang kesekretariatan.
Tak heran jika banyak orang tertarik untuk menjadi seorang yang memiliki keahlian dalam menulis surat. Lalu, muncullah buku-buku tentang pedoman penulisan surat yang dikarang oleh ahli menulis surat.
Buku tersebut banyak digunakan oleh para juru tulis di kantor-kantor pemerintahan. Buku semacam itu juga sangat berguna bagi para siswa yang ingin mempelajari dunia kesekretariatan dan magang di kantor-kantor administrasi negara.
Buku pedoman menulis surat ini sering disebut adab al-katib dan jumlahnya sangat banyak. Karya Ibnu Qutaybah itu diuraikan secara perinci oleh Abu Bakar al-Anbari; Al-Zajjaji; dan Al-Batalyausi yang berasal dari Spanyol dan meninggal pada 1127 Masehi; serta al-Jawaliq. Cendekiawan Muslim Al-Kindi juga pernah menulis buku mengenai penulisan surat.
Buku tersebut berjudul Risalah fi Rasm Riqa ila al-Khalifah wa al-Wazir atau  Risalah dan Pengajuan Proposal kepada Khalifah dan Perdana Menteri. Dalam bukunya ini, Al-Kindi menjelaskan pedoman menulis surat terkait dengan pengajuan sebuah proposal.
Selain itu, ada pula Qudamah ibn Ja'far yang meninggal pada 948 Masehi. Kemudian, Al-Farabi juga menulis buku tentang seni menulis surat, keahlian seorang penulis, dan keahlian seorang sekretaris negara dalam karya berjudul Shina'ah al-Kitabah.
Cendekiawan terkenal lainnya, Tsabit Ibnu Qurra, juga menulis sebuah karya tentang penulisan surat berjudul  Risalah fi al-Farq Bayn al-Mutarasil wa al-Syair atau  Risalah mengenai Perbedaan antara Penulis Surat dan Penyair.
Namun, ada sebuah karya yang dinilai paling komprehensif yang membahas pokok-pokok penting dalam ilmu persuratan dan mengaitkan tradisi kepenyairan yang ditulis oleh Dhiya al-Din ibn Al-Atsir. Judul karya tersebut adalah Al-Matsal al-Sa'ir fi Adab al-Katib wa al-Sya'ir (Model Populer mengenai Disiplin Penulis dan Penyair).
Seni Berpidato
Selain penulisan surat, umat Islam juga mengembangkan kemampuan berpidato dan bersyair. Seorang ahli pidato atau khatib sering diasosiasikan dengan ahli bercerita atau ahli riwayat kejadian pada masa lampau.
Pada masa awal Islam, terdapat istilah yang digunakan untuk ceramah atau pidato, yaitu khotbah yang berarti ceramah atau pidato yang disampaikan oleh seorang penceramah dari atas mimbar masjid pada setiap Jumat.
Istilah lainnya adalah wa'zh yang berarti ceramah yang disampaikan oleh penceramah. Penceramah sendiri disebut wa'izh karena berada di depan majelis dalam institusi akademis ataupun tempat-tempat lain. Buku kumpulan khotbah yang pertama ditulis oleh Ibnu Nubata al-Fariqi. Ia meninggal pada 985 Masehi.
Khotbah dalam karya itu lalu ditambah dan disempurnakan oleh putranya, Abu Thahir Muhammad, dan cucunya, Abu al-Faraj. Karya tersebut kemudian direvisi kembali pada 1223 dan dicetak dalam beberapa edisi.
Pada masa itu, Ibnu Nubata dikenal sebagai seorang ahli pidato di istana seorang amir dari Bani Hamdan, yaitu Sayf al-Dawlah. Dia hidup sezaman dengan penyair istana yang terkenal, yaitu al-Mutanabbi. Ia pun pernah belajar pada Mutannabi.
Pidato Nubata terdiri atas beberapa kategori, yaitu pidato agama atau disebut khotbah agama. Ini berisi puji-pujian kepada Allah SWT dan shalawat kepada Nabi Muhammad SAW. Pun, tentang nasihat agar selalu bertakwa kepada Allah SWT dan mengingatkan pada hukum agama.
Selain itu, dalam pidato agama, biasanya juga ada doa untuk memohon karunia dan bantuan dari Allah SWT, yang kemudian ditutup dengan membaca ayat Alquran. Jenis pidato lain yang dilakukan Nubata adalah pidato politik.
Suatu saat, Nubata berpidato untuk mendorong umat Islam mendukung Syaf al-Dawlah, seorang amir pada masanya, dalam berperang melawan musuh Islam di Byzantium. Pidato Nubata itu menjadi rujukan para ahli sejarah untuk mengetahui berbagai peristiwa pada masa itu.

Ibnu Miskawaih, Mendorong Pendidikan Sejak Dini


Proses Belajar dan Mengajar (ilustrasi)


Pendidikan sejak dini bagi seorang anak akan membuat mereka kelak menjadi manusia yang baik.
Pendidikan bukanlah ranah asing bagi Ibnu Miskawaih. Ia telah lama bergelut di bidang tersebut walaupun lebih dikenal sebagai filsuf dan lekat dengan bidang etika. Maka, berserak pula uraian konsep-konsepnya tentang pendidikan.
Dalam salah satu karyanya, Tahdhib al-Akhlaq , cendekiawan Muslim asal Ray, Persia, ini menyatakan, pendidikan menunjukkan tugas dan kewajiban yang harus dilakukan orang dewasa, terutama orang tua kepada anak-anaknya.
Menurut Miskawaih, orang tua wajib memberikan pendidikan kepada anak-anaknya, yang berisi pengetahuan, moralitas, adat istiadat, dan perilaku yang baik. Langkah ini untuk mempersiapkan mereka agar menjadi manusia yang baik.
Kelak, bila anak-anak itu menjelma menjadi manusia dewasa yang baik, akan memberikan manfaat bagi masyarakatnya. Mereka pun akan diterima secara baik oleh masyarakatnya. Miskawaih menambahkan, pendidikan memang bertujuan menyempurnakan karakter manusia.
Dalam pandangan Miskawaih, layaknya kebaikan yang bisa ditularkan melalui pendidikan, demikian pula dengan kejahatan. Maka, ia mengingatkan orang tua untuk secara berulang, mengingatkan dan mendidik anak-anak mereka tentang kebaikan dan kesalehan.
Selain memberikan pendidikan mengenai kebaikan, Miskawaih menekankan pula agar sejak dini orang tua mengarahkan buah hatinya berada dalam lingkungan yang baik. Orang tua harus membiasakan anak-anaknya bergaul dan berteman dengan orang-orang berperilaku baik.
Miskawaih memberikan alasan mengapa ia menekankan pentingnya lingkungan yang baik. Menurut dia, tak semua orang dapat dengan cepat menerima kebaikan yang diajarkan kepadanya. Lingkungan yang baik akan mencegah mereka yang lamban, bisa terhindar dari kejahatan.
Mereka yang lamban, harus terus-menerus mendapatkan pendidikan tentang kebaikan. Miskawaih menyatakan pula, setiap orang dapat berubah asalkan mendapatkan pendidikan secara terus-menerus tentang kebaikan.
Tak heran jika Miskawaih kemudian menyimpulkan, hal-hal yang telah terbiasa dilakukan oleh anak-anak sejak kecil, akan memengaruhinya ketika menjadi orang dewasa. Dengan demikian, anak laki-laki ataupun perempuan harus sejak dini dididik tentang kebaikan.
Pemikiran Miskawaih itu tersurat dalam bagian kedua bukunya yang berjudul,  Tahdhib al-Akhlaq . Miskawaih mengatakan, pendidikan sejak dini terhadap anak-anak memiliki arti penting. Selain menanamkan kebaikan sejak dini, juga bisa sebagai sarana pembentuk karakter.
 
Menurut Miskawaih, tidak mudah bagi seseorang yang telah dewasa untuk mengubah karakternya. Kecuali, dalam kondisi tertentu. Misalnya, orang tersebut sadar dan menyesal atas perilaku dan moralnya yang buruk selama ini.
Lalu, orang tersebut bertekad untuk memperbaiki diri dan meninggalkan perilakunya yang buruk itu. Miskawaih mengatakan, orang semacam ini, yang memiliki kesadaran dari lubuk hatinya untuk melakukan perubahan diri, biasanya akan terus menjauhkan diri dari kejahatan moral.
Bahkan, jelas Miskawaih, orang itu biasanya akan secara sadar meminta orang lain membimbingnya ke jalan yang benar. Pun, meminta orang lain untuk selalu mengingatkannya saat ia berkecenderungan melakukan hal yang tidak baik.
Di sisi lain, Miskawaih mengungkapkan, adanya seseorang yang berusaha  memperbaiki karakternya, memurnikan jiwanya yang kotor, dan membebaskan dirinya dari kebiasaan jahat, karena pada dasarnya semua orang itu baik.
Miskawaih menegaskan pula, mereka akan tetap menjadi baik karena adanya hukum dan pendidikan. Juga, ada pelatihan dan pembiasaan terhadap mereka sejak kanak-kanak, agar mereka selalu menjalankan kebaikan sesuai fitrahnya.
Bila hal ini diabaikan, ungkap Miskawaih, mereka akan jatuh dalam perangkap keburukan. Dan, tentunya hubungan spiritual dengan Allah SWT akan mengalami gangguan akibat perilaku yang buruk itu. Jadi, pendidikan menjadi hal yang sangat berperan penting.
Karakteristik buruk
Dalam pandangan Miskawaih, ada empat karakteristik buruk yang harus dihilangkan sejak anak-anak supaya mereka tidak menderita ketika dewasa. Pertama, malas, menganggur, menyiakan hidup tanpa kerja apa pun. Intinya, manusia tanpa manfaat.
Kedua, kebodohan dan ketidaktahuan yang disebabkan oleh kegagalan untuk mempelajari dan melatih diri dengan ajaran-ajaran yang diucapkan oleh orang-orang bijak. Ketiga, bersikap kurang ajar dan tak tahu sopan santun.
Hal itu terjadi karena seseorang mengejar keinginan yang tak terkendali dan berusaha melakukan perbuatan dosa dan jahat. Sedangkan keempat, adalah rasa asyik dan keadaan terbiasa dengan perbuatan buruk karena seringnya melakukan perbuatan tersebut.
Miskawaih mengatakan, untuk menghilangkan setiap karakteristik buruk di atas, dibutuhkan pendidikan ataupun pelatihan yang dilakukan secara terus-menerus. Hanya orang cerdas, kata dia, yang dapat menyembuhkan dirinya sendiri dari karakter buruk tersebut.
Sekali lagi, Miskawaih menegaskan, persoalan itu bisa diatasi melalui pendidikan dan pelatihan. Keduanya bisa dilakukan oleh orang tua terhadap anak-anaknya. Ia menyatakan, pendidikan bisa menjadi sarana untuk mewujudkan hal-hal yang baik itu.
Miskawaih mengatakan, pendidikan ini selain berguna bagi anak-anak, juga bermanfaat bagi orang tua. Sebab, saat memberikan pengajaran dan contoh kepada anak-anaknya, mereka akan terus ingat untuk selalu menjalankan perbuatan yang baik.
Pada akhirnya, pendidikan ini akan mengarahkan anak-anak saat menjadi dewasa, untuk menjalankan kebaikan dan menghindari perbuatan jahat dengan mudah. Pun, tentunya mudah mengikuti semua ajaran yang ada di dalam Alquran dan sunah.
Mereka, jelas Miskawaih, juga akan menjadi terbiasa menjaga diri dari godaan kesenangan yang menjerumuskan kepada keburukan. Tak hanya itu, mereka juga akhirnya tak terbiasa memanjakan dirinya dalam kesenangan yang melalaikan.
Pada akhirnya, mereka lebih menginginkan untuk memiliki kemampuan yang tinggi dalam filsafat, dan mencari kedekatan diri dengan Allah. Lalu, jelas Miskawaih, mereka akan menuai persahabatan yang hangat dari orang-orang yang saleh.
Miskawaih dan Metode Pendidikan
Ibnu Miskawaih juga mengenalkan sejumlah langkah yang akan melahirkan aspek positif dalam mendidik. Ia, misalnya, memandang penting pemberian pujian. Pujian, kata dia, bisa dilakukan oleh orang tua atau pendidik ketika anak-anak melakukan hal-hal baik.
Menurut Miskawaih, patut pula memberikan pujian kepada orang dewasa yang melakukan perbuatan baik di hadapan anak-anak. Tujuannya, anak-anak bisa mencontoh sikap terpuji yang dilakukan oleh orang dewasa tersebut.
Miskawaih mengingatkan, pujian harus dilakukan untuk menekankan pentingnya tindakan-tindakan yang baik dan harus diberikan untuk tindakan yang baik-baik saja. Selain pujian, ia juga memberi saran untuk mendorong anak menyukai makanan, minuman, dan pakaian yang baik.
Namun, perlu diingatkan pula agar seorang anak atau siapa pun yang telah dewasa untuk tak makan, minum, dan berpakaian secara berlebihan. Dalam aturan makan, anak harus diberi tahu bahwa makan itu suatu keharusan dan penting bagi kesehatan tubuh.
Makan, jelas Miskawaih, bukan sebagai alat kesenangan indra. Perlu diketahui pula bahwa makanan merupakan obat bagi tubuh, yakni obat untuk rasa lapar dan mencegah timbulnya penyakit. Orang tua atau pendidik harus mengingatkan anak didiknya agar tak makan berlebihan.
Dalam cara berpakaian, Miskawaih menyatakan, saat anak telah beranjak dewasa, khususnya laki-laki, sebaiknya mereka mengenakan pakaian putih-putih dan menghindari pakaian berpola. Sebab, menurut dia, pakaian berwarna dan berpola lebih layak untuk perempuan.
Selain itu, Miskawaih mendorong laki-laki untuk tak menghiasai dirinya dengan perhiasan perempuan, seperti memakai cincin dan mempunyai rambut panjang. Mereka tidak boleh mengenakan emas dan perak dalam bentuk apa pun.
Anak-anak, jelas Miskawaih, pun harus dilatih untuk mengagumi sifat-sifat murah hati. Misalnya, berbagi makanan. Selain pujian, anak juga perlu mendapatkan peringatan bila melakukan hal tak baik. Jika anak berbuat buruk, perbuatan itu juga perlu dikecam.
Langkah ini bertujuan agar si anak tak lagi melakukan hal buruk. Jika kecaman tak membuat si anak menghentikan perbuatan buruknya, Miskawaih menyarankan tindakan terakhir, yaitu hukuman fisik. Namun, hukuman ini tak dilakukan secara berlebihan.