24 December 2009

Sayyid Abul Hasan 'Ali An-Nadwi

Potret Ulama Rabbany

Sayyid Abul Hasan 'Ali an-Nadwi mendapat julukan Imam Rabbani, Islami, Qur'ani, Muhammadi dari DR. Yusuf Qardhawi, seorang ulama yang tersohor bijaksana dalam berbagai tulisan dan fatwa-fatwa kontemporer. An-Nadwi juga dikenal sebagai seorang ulama dan pemikir Muslim brilian yang bukan saja dikenal di tanah kelahirannya tapi juga di seluruh dunia Islam. Sampai akhir hayatnya (1999)beliau masih menempati beberapa posisi penting di lembaga Islam internasional seperti Rabitah 'Alam Islamy yang berpusat di Mekkah, Dewan Ilmu Pengetahuan dan Bahasa Arab di Damaskus, Majelis Pertimbangan di Universitas Madinah, serta ketua lektor Pusat Pengkajian Islam di Oxford University.
An-Nadwi dikenal sebagai ensiklopedis karena ilmunya yang melimpah dan daya kritisnya yang tajam. Visinya yang modernis dan integralis menjadikannya mampu mengembangkan aktifitas da'wah serta pemikiran ke berbagai bidang. Sebanyak 50 judul buku dalam beragam medan pemikiran Islam yang ditulis dalam empat bahasa yaitu Arab, Urdu, Perancis, dan Inggris berhasil beliau sumbangkan untuk memperkaya khazanah kepustakaan Islam. Selain itu, beliau juga telah menyampaikan ratusan ceramah hasil penelitian dan makalah yang kesemuanya ditulis untuk kemaslahatan serta pengabdiannya kepada Islam.
Beliau adalah ulama yang dapat diterima oleh semua aliran serta kalangan Islam di seluruh India dan juga kalangan di dunia Islam yang memungkinkannya berperan dalam menghilangkan berbagai penyebab pertikaian. Beliau telah tercatat berperan serta dalam kurang lebih seratus muktamar dan forum Internasional yang membahas problematika ummat dan masalah keislaman. Walaupun dikenal sebagai sosok modernis, beliau sangat keras menentang semua arus yang keluar dari manhaj Islam yang benar. Sejak muda ia mengkritik habis pemikiran takrif (Muslim yang mengkafirkan sesamanya)
dan i'tizaliyah (mengisolasikan diri dari kehidupan dunia) yang muncul akibat pemahaman yang dangkal terhadap pemikiran Abul A'la al-Maududi di India dan Sayyid Qutb di Mesir.
Selama hidupnya, beliau memang dikenal sebagai seorang ulama yang lapang dada dan menghargai karya dan jerih payah orang lain, selama itu untuk Islam. Beliau sangat menjahui sifat fanatik buta terhadap tokoh yang ia kagumi. Beliau menganggap maulana Mohammad Ilyas adalah tokoh yang beliau kagumi dengan jama'ah tablighnya, tapi beliau tidak menutup mata bahwa jama'ah yang telah menyebar ke seluruh penjuru dunia ini butuh kepada pengembangan intelektualitas mereka.
Demikian halnya dengan Ikhwanul Muslimin(IM), beliau begitu mengagumi sosok Hasan al-Banna dan para pengikutnya, bahkan dalam pengantarnya terhadap karya al-Banna Mudzakaratudda'wah waddaiyah beliau menulis bahwa pembunuhan dan penganiayaan terhadap Al-Banna serta pengikutnya adalah sebuah kejahatan yang takkan pernah terlupakan oleh sejarah. Pada tahun 1951 beliau berkunjung ke Mesir dan berjumpa dengan para murid serta pengikut Al-Banna seperti Syeikh Mohammad al-Ghazali, Yusuf Al-Qardhawi dan lain-lain, memperkenalkan beliau lebih dekat tentang Ikhwanul Muslimin.
Meskipun demikian beliau mengakui bahwa (IM) bukanlah rumah yang dihuni oleh para malaikat yang lepas dari dosa dan kesalahan. Oleh sebab itu beliau menulis buku Uridu an Atahaddats ila Ikhwanil Muslimin. Karya tersebut beliau katakan sebagai kritik dan saran dari seorang Muslim untuk saudaranya.

Pribadi dan kezuhudannya
Syekh Yusuf Al-Qardhawi menyebutnya sebagai salah satu dari segelintir ulama abad 20 yang pantas untuk mendapatkan tempat di jajaran ulama Rabbany. Pengakuan Qardhawi bukanlah berlebihan karena beliau adalah sosok ulama yang beramal dengan ilmunya, dikenal zuhud dalam kehidupannya, menempatkan dunia pada proporsi yang sebenarnya, menjadikan kehidupan para salaf sebagai cermin kehidupan ideal bagi seorang muslim yang jauh dari sifat ghuluw dalam ibadah dan keduniaan.
Dalam pandangan An-Nadwi, ulama sejati adalah ulama yang jauh dari kemewahan dunia serta mempunyai sifat zuhud yang tinggi. Zuhud dalam pengertian An-Nadwi bukanlah meninggalkan dunia dengan memakai pakaian compang-camping atau mengisolir diri dari gelanggang kehidupan, tapi hakikat zuhud adalah menahan diri dari nafsu dunia di saat kita mampu untuk mendapatkannya. Sifat inilah menurutnya membuat para ulama salaf serta para mujaddid Islam seperti Ibnu Taimiyah, Imam Ahmad bin Hanbal, dan para mujaddid sesudah mereka begitu tegar di depan pesona keduniaan dan tetap mengatakan tidak pada iming-iming kekuasaan.
Dalam suatu kesempatan di salah satu universitas di Timur Tengah selesai menyampaikan ceramah, An-Nadwi ditawarkan uang sebesar 6000 dolar tapi beliau menolaknya dan mengatakan bahwa beliau tidak pernah mengambil upah dari da'wah.
Dalam salah satu tulisannya tentang An-Nadwi, Syeikh Al-Qardhawi menuturkan pengalamannya:
suatu ketika dalam kunjungannya ke Qatar (tempat al-Qardhawi bermukim) di bulan Ramadhan, An-Nadwi sempat menceritakn tentang krisis finansial yang dihadapi oleh Nadwatul Ulama, Al-Qardhawi menganjurkan An-Nadwi untuk mendatangi para muhsinin dan menyampaikan hal itu, tapi An-Nadwi menolaknya dan mengatakan bahwa mereka adalah para pasien dan kita adalah para dokter dan jika para dokter telah meminta bantuan pada sang pasien siapa lagi yang akan mengobati mereka?

Anak Seorang Ulama dan Ibu Hafidhah
Dilahirkan di Rae Bareilly India pada 6 Muharram 1333 H, bertepatan dengan Januari 1913 M. Ayahnya Allama Sayyid 'Abdul Hayyi Al-Husny adalah seorang ulama India yang cukup terkenal dan sekaligus seorang penulis produktif. Karya monumentalnya, Nuzhatul Khawatir adalah sebuah karya ensiklopedia yang memuat biografi tokoh dan ulama India. Karena karya tersebut beliau dijuluki Ibnu Khalkan India. Abdul Hayyi meninggal di saat An-Nadwi berusia sepuluh tahun.
Ibunya Sayyidah Khairunnissa, adalah seorang wanita shalihah dan hafidhah juga dikenal sebagai seorang sastrawan yang banyak menulis syair baik dalam bahasa Arab ataupun Urdu dan Persi.Sepeninggal ayahnya, An-Nadwi lebih banyak mendapatkan bimbingan dari sang ibu; dari didikan sang ibu An-Nadwi bisa menghafal al-Quran tigapuluh juz pada usia kanak-kanak serta berhasil mempelajari dasar-dasar bahasa Arab dan Persi. Dari ibunya, An-Nadwi bukan hanya mendapatkan bimbingan intelektualitas tapi juga bimbingan spiritual dan kecintaan kepada al-Quran. Setiap malam juma'at, kenang An-Nadwi, sang ibu selalu membiasakan anak-anaknya untuk
membaca surah al-Kahfi agar selamat dari fitnah dajjal (sebagaimana anjuran Rasulullah saw).
Setelah keluar dari madrasaah oleh sang ibu An-Nadwi diantarkan belajar dasar-dasar sastra Arab pada syeikh Khalil Bin Muhammad Al-Anshari Al-Yamany dan Prof Dr. Taqiyuddin alhilaly yang pada waktu itu menjadi dosen di Nadwatul 'ulama Lokcnow India. Ketika berusia 14 tahun beliau mulai mengecap pendidikan formal di Universitas Lokcnow mengambil jurusan sastra Arab, dan beliau menjadi mahasiswa termuda. Selama belajar di universitas tersebut, An-Nadwi banyak mendalami buku-buku yang berhubungan dengan sasta Arab seperti Nahjatul Balagah. Di universitas yang sama an-Nadwi juga mendalami bahasa Inggris dan ilmu-ilmu umum.
Selesai mendalami sastra Arab, beliau mulai mempelajari disiplin ilmu yang lain seperti hadits, tafsir, tarikh, yang semuanya beliau tempuh dengan jalur talaqqy dari seorang syeikh kepada syeikh yang lain, sebuah corak pendalaman ilmu yang ditempuh oleh para ulama salaf.
Dari maulana Khaidar Hasan Khan di Nadwatul 'Ulama, beliau mendalami ilmu hadits dan
menamatkan kutubussittah. Selesai mengaji pada maulana Khaidar Hasaan beliau nyantri di Daarul 'Ulum Dheoband sebuah pesantren tradisional yang banyak menelorkan ulama-ulama India. Di markas para pakar hadits tersebut, An-Nadwi tinggal beberapa waktu.
Selesai mendalami hadits, pada tahun 1932 an-Nadwi pergi ke Lahor. Di kota tua tersebut beliau mendalami tafsir alquran pada syeikh Ahmad 'Ali Al-Lahori. Dari mufassir kenamaan tersebut beliau berhasil menyelsaikan ummahatu tafsir, seperti Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir At-Thabary, tafsir Al-Baidhawi dan lain- lain.
Sekembalinya dari Lahor beliau ditunjuk sebagai dosen sastra arab dan tafsir di Nadwwatul Ulama Lockhnow. Di Universitas yang memadukan sistem tradisional dan modern tersebut, An-Nadwi mulai berkenalan dengan majalah-majalah berbahasa Arab yang terbit di Timur Tengah seperti al-Manar, al-Hilal, az-Zahra, dan lain-lain. Majalah-majalah pembaruan Islam tersebut bukan saja ikut memberi
andil terhadap pembentukan intelektualitas beliau, tapi juga memperkenalkan An-Nadwi pada uslub (metode) penulisan bahasa Arab. Maka tidak heran jika pada usia 16 tahun beliau telah berhasil menulis biografi Sayyid Ahmad Irfan seorang ulama India, dimuat di majalah al-Manar bahkan kemudian diterbitkan oleh Rasyid Ridha di Mesir.

Mendambakan kembalinya Khilafah Isamiyah
Tujuh puluh tahun berjalan bersama kafilah da'wah beliau telah banyak menyaksikan pahit getirnya perjalanan ummat, namun tragedi sejarah yang pernah menimpa ummat ini yang beliau akui sebagai tragedi yang paling menyedihkannya adalah jatuhnya khilafah Islamiyah di Turki pada tahun 1924. Kalau saja dunia tahu tulisnya, tentang kerugian yang akan diderita dunia akibat jatuhnya khilafah niscaya mereka akan mengenang hari kejatuhan itu sebagai hari dukacita.
25 tahun setelah jatuhnya khilafah, pada tahun 1951 karya monumentalnya masa khasiral 'alam biinhithatil muslimin diterbitkan. Karya tersebut telah mendapatkan kekaguman dan sambutan hangat dari para pemikir muslim, Assyahid Sayyid Quthb mengomentarinya sebagai karya sejarah yang telah menafsirkan sejarah lewat tafsiran Islam yang lebih luas. Karya tersebut telah mengantarkan beliau untuk mendapatkan The King Faishal International Award pada tahun 1980 bersama Dr. Mohammad Natsir (alm).
Lewat karyanya yang pernah menjadi best seller itu, An-Nadwi ingin menyadarkan kembali ummat Islam bahwa mereka bukanlah aktor dari sebuah babak-babak drama yang dipentaskan atau anak-anak catur yang dipermainkan, tapi mereka adalah faktor utama yang menentukan wajah dunia.
Sudah saatnya, lanjut An-Nadwi, Islam memimpin dunia sekali lagi sebagaimana Islam telah menyelamatkan dunia pada abad ke-enam dengan kedatangan Rasulullah Saw. Dunia Arab, lanjut An-Nadwi adalah harapan dunia Islam untuk memimpin dunia sekali lagi, karena mereka adalah rahim yang pernah melahirkan para pahlawan Islam yang membuka pintu gerbang dunia.
Sayang ajal lebih dulu menjemputnya sebelum menyaksikan bendera khilafah berkibar sekali lagi. Beliau menghembuskan nafasnya yang terahir pada hari Juma'at pada tanggal 31 Desember 1999 di tanah kelahirannya.

12 December 2009

Ibn Juljul, Herbalis dari Cordoba



Abu Da'ud Sulayman bin Hassan atau yang dikenal dengan panggilan Ibn Juljul lahir di Cordoba, Spanyol pada tahun 944. Sejak kecil dia sangat tertarik dengan ilmu pengetahuan dan banyak menghabiskan waktu untuk belajar.

Pada usia 10 tahun, dia sudah belajar tentang tata bahasa dan tradisi masyarakatnya. Lalu pada usia 15 tahun, dia mulai mempelajari ilmu kedokteran. Padahal pada zaman modern ini, ilmu kedokteran baru dipelajari di bangku kuliah.

Pengalaman memelajari ilmu kedokteran pada usia sangat dini, membuat Ibn Juljul, pada usia yang relatif muda sudah sangat terampil dalam ilmu kedokteran dan pengunaan obat-obatan herbal. Menurut catatan sejarah yang dikutip Muslimheritage.com , dia pernah bekerja sebagai dokter pribadi Al-Mu'ayyad Billah Hisyam, seorang Kalifah yang berkuasa pada tahun 977-1009 Masehi. Selama masa pemerintahan Kalifah Al-Mu'ayyad, Ibn Juljul banyak menghabiskan waktu untuk mempraktekkan keahlian medisnya dan menulis karya-karya medis.

Ketertarikan Ibn Juljul dengan obat-obatan terutama herbal sebagai obat alami yang banyak diekstrak dari tumbuh-tumbuhan luar biasa besar. Selain mempelajari pengobatan herbal, dia juga mempelajari farmasi.

Saat mempelajari pengobatan dia banyak berbagi dan berlatih dengan Albucasis atau Abu al-Qasim Khalaf bin Abbas Al-Zahrawi. Albucasis sendiri merupakan seorang dokter bedah di Cordoba, Spanyol yang menemukan penyakit hemofilia di mana bila penderita mengalami luka, darahnya sulit membeku dan terus mengalir. Albucasis juga menuliskan buku yang sangat populer di dunia kedokteran berjudul At-Tasrif liman 'Ajiza 'an at-Ta'lif (Metode Pengobatan).

Baik Ibn Juljul dan Albucasis bekerja dan menulis selama hari-hari terakhir masa kekalifahan di Andalusia ( Spanyol). Menurut catatan seorang ahli sejarah kedokteran yang terkenal di Bagdad yakni Bin Abi Usaybi'a, Ibn Juljul menulis sebuah buku sejarah pengobatan yang berjudul Atibba'wa'l Tabaqat al-Hukama.

Menurut Bin Abi, buku tersebut telah diedit beberapa kali. Buku tersebut dimulai dengan tulisan riwayat ayah Ibn Juljul yang juga ahli obat-obatan. Setelah itu dilanjutkan uraian tentang para ahli obat-obatan yang sangat terkenal sebagai para pendahulunya di Andalusia.

Dia juga menuliskan tentang banyaknya hubungan maupun komunikasi yang baik antara kekalifahan Timur dan Andalusia. Selain itu dia juga menceritakan tentang banyaknya para mahasiswa yang melakukan perjalanan untuk mencari ilmu pengetahuan dan melakukan banyak pelatihan.

Ibn Juljul mempelajari ilmu pengobatan herbal yang dilakukan oleh Pedanius Dioscorides, seorang dokter Yunani kuno, ahli farmasi dan ahli botani. Dioscorides sering bepergian guna mencari bahan-bahan jamu dari seluruh wilayah Romawi dan Yunani. Dia juga menulis lima jilid buku dalam bahasa Yunani asli. Salah satu bukunya yang terkenal berjudul De Materia Medica (Masalah-masalah yang berhubungan dengan medis).

Berdasarkan ajaran dalam buku milik Dioscorides, Ibn Juljul membuat sebuah karya berjudul Maqalah. Dalam karyanya itu dia menuliskan berbagai macam tumbuhan yang penting bagi obat-obatan termasuk sifat tumbuh-tumbuhan tersebut. Dia juga menuliskan efek dari penggunaan tumbuh-tumbuhan tersebut bagi organ tubuh tertentu.

Tumbuh-tumbuhan untuk herbal yang ditulisnya sebanyak 28 jenis, berasal dari India atau tempat-tempat yang ia singgahi dalam perjalanannya melalui rute perdagangan India, 2 dari Yaman, 2 dari Mesir , 1 dari Ceylan, 1 dari Khwarizm, 2 dari kota yang dekat dengan Cordoba. Dalam Maqalah, Ibn Juljul kadang-kadang menuliskan nama orang yang pertama kali menggunakan tumbuhan tersebut untuk pengobatan atau orang yang menceritakan fungsi dan efek penggunaan tumbuhan tersebut.

Ibn Juljul juga pernah membahas tentang batu Bezoar yang dapat digunakan untuk melawan semua racun. Batu tersebut memiliki warna yang kekuning-kuningan dengan garis-garis putih.

Tak hanya itu, dia juga pernah membahas Ribas. Dia menuturkan bahwa menurut salah seorang pedagang kepercayaannya, ribas merupakan sejenis sayuran yang rasanya masam. Ribas dengan akar sangat masam dapat diperoleh di pegunungan yang tertutup dengan salju. Meskipun daftar pengobatan Ibn Juljul memiliki cerita yang eksotis, namun semuanya mengandung elemen medis.

Rupanya karya herbal Ibn Juljul banyak dipelajari oleh para ilmuwan lain. Beberapa ilmuwan lain yang mempelajari metode pengobatan Ibn Juljul diantaranya seorang ahli botani yang bernama Al-Ghafiqi. Dia mengoleksi beragam jenis tumbuh-tumbuhan yang diperolehnya baik dari wilayah Spanyol maupun Afrika. Selain itu, dia juga membuat catatan yang menggambarkan secara detil tentang jenis-jenis tumbuhan dikoleksinya itu. Bahkan seorang ahli sejarah dari Barat yang bernama George Sarton mengatakan, Al Ghafiqi merupakan ahli botani paling cerdas pada masanya.

Deskripsi tentang tumbuh-tumbuhan yang dibuat Al-Ghafiqi diakui sebagai karya yang paling membanggakan yang pernah dibuat seorang Muslim. Pasalnya karya fenomenal Al-Ghafiqi yang judulnya Al-Adwiyah al-Mufradah memberikan inspirasi kepada Ibnu Baytar untuk meneliti tumbuh-tumbuhan dengan cara sederhana seperti yang dilakukan Al-Ghafiqi.

Abdullah Ibnu Ahmad Ibnu Al-Baitar, salah satu ahli Botani sekaligus ahli obat-obatan di Spanyol pada abad pertengahan, juga mengutip empat belas obat-obatan herbal milik Ibn Juljul. Padahal Al-Baitar pun merupakan ahli botani hebat. Dia mengoleksi dan mencatat 1.400 jenis tanaman obat yang diperolehnya saat menjelajahi daerah pesisir Mediteranian dari Spanyol ke Suriah. Salah satu karya Al-Baitar yang paling termasyhur berjudul Al-Mughani-fi al Adwiyah al Mufradah.

Para ahli botani dan medis berjumlah banyak yang mengutip karya Ibnu Juljul menunjukkan bahwa karya Ibn Juljul tentang pengobatan herbal teruji oleh waktu. Selain teruji, karya-karya ia sangat berguna dan bernilai bagi para cendekiawan dan praktisi herbalis baik di wilayahnya sendiri, Andalusia maupun di luar negeri seperti di Maroko

Ibn Juljul menggunakan dan menghormati karya-karya herbal kuno dari Yunani. Namun dia membuat pengembangannya sendiri, bahkan yang sebelumnya tidak pernah ada di Yunani. Kontribusi terhadap dunia medis sangat berharga bagi penggunaan tanaman obat selanjutnya, bahkan di dunia modern ini.

Menelusuri Bendungan di Masa Islam


Bendungan dibangun dengan kemampuan teknik yang tinggi.

Ilmu pengetahuan telah menebar jaringnya ke segala ranah kehidupan. Ini terjadi di dunia Islam. Beragam karya bertebaran dari pemikiran cendekiawan Muslim. Tak hanya karya dalam tataran pemikiran, tetapi juga berwujud bangunan-bangunan megah.

Bendungan menjadi salah satu dari beragam buah karya cendekiawan Muslim. Mereka merancang dan membangun bendungan tak semata untuk mewujudkan sebuah fungsi. Namun, ada sentuhan seni dan teknik tingkat tinggi.

Walaupun, terkadang tak ada pengakuan jujur atas buah karya mereka. Dalam bukunya, History of Dams, Norman Smith, seorang ilmuwan Barat, mengungkapkan keprihatinannya itu. Ia menuliskannya saat mengawali bab dalam bukunya tersebut.

Menurut Smith, yang dikutip situs Muslimheritage, sejarawan teknik sipil hampir sepenuhnya mengabaikan bangunan bendungan yang ada pada periode Muslim. Mereka tak membuat referensi mengenai hasil karya Muslim.

Bahkan, dinyatakan pula, pada masa Ummayah dan Abbasiyah, pembangunan bendungan, irigasi, dan aktivitas teknik lainnya mengalami kemunduran tajam dan kepunahan. ''Pandangan seperti ini tak adil dan tak benar,'' kata Smith.

Padahal, menurut Josef Schnitter, seorang arsitek dan ahli teknik, Muslim telah membangun banyak bendungan dengan beragam struktur dan bentuk. Mayoritas bendungan paling awal dibangun di wilayah Arabia, yang menjadi awal pusat penyebaran Islam.

Schnitter mencontohkan keberadaan Qusaybah, sebuah bendungan yang ada di dekat Madinah, memiliki tinggi 30 meter dan panjang 205 meter. Berdasarkan penemuannya, sepertiga dari bendungan yang dibangun pada abad ke-7 dan ke-8 itu masih utuh hingga sekarang.

Hal ini tentu saja menunjukkan kekuatan bangunan bendungan dan kemampuan arsitekturnya yang dimiliki para cendekiawan Muslim. Di Irak, di sekitar Kota Baghdad, terdapat sejumlah besar bendungan yang dibangun pada masa Kalifah Abbasiyah.

Kebanyakan bendungan tersebut dibangun di Sungai Tigris yang menggambarkan kemampuan teknik sipil yang tinggi. Sebagai contoh, sebuah bendungan di Baghdad dibangun dari balok-balok batu yang dipotong dengan hati-hati.

Lalu, balok-balok itu dipaku dengan paku besi. Lubang-lubang tempat paku besi ditancapkan, diisi dengan timah cair. Dari konstruksi bendungan itu, sudah terlihat kekuatan dan kekerasannya untuk menahan aliran air.

Di Iran, terdapat bendungan dengan nama Kebar yang dibangun pada abad ke-13. Bendungan itu dibuat dari pecahan-pecahan batu yang dicampur dengan adukan semen, yang terbuat dari jeruk nipis dilumatkan dengan abu tanaman gurun lokal.

Campuran ini membuat adukan kuat dan keras. Adukan yang sangat ideal bagi pembuatan bendungan itu yang menjadikannya tahan lama. Selain itu, dengan adukan yang kuat itu membuat tak ada retakan pada bendungan.

Selain itu, di Dezful, Iran, juga terdapat bendungan yang mampu mengalirkan 50 kubik air untuk menyuplai kebutuhan masyarakat Muslim di kota itu. Bendungan ini menjadi contoh bagi pembangunan bendungan di kota-kota lain.

Keberadaan sejumlah bendungan, membuat masyarakat Muslim pada masa itu tak mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan air bersih. Pun, mereka tak menghadapi kendala mendapatkan air yang dibutuhkan untuk mengairi kebun dan tanah pertanian mereka.

Di wilayah yang sekarang ini disebut Afghanistan, terdapat tiga bendungan lebih tua dibandingkan Kebar yang ada di Iran. Ketiga bendungan itu dibangun oleh Raja Mahmoud dari Ghaznah (998-1030). Bendungan dibangun di dekat ibu kota kerajaan, Kabul.

Satu di antara ketiga bendungan itu dinamai sesuai namanya, yakni Bendungan Mahmoud. Bendungan tersebut memiliki tinggi 32 meter dan panjang 220 meter, yang terletak pada jarak 100 km dari Kabul.

Di pusat kekuasaan Islam di Spanyol, bendungan juga banyak berdiri. Konstruksinya tak kalah megah dan indah. Di Sungai Guadalquivir, Kordoba, terdapat sebuah bendungan tertua yang merupakan peninggalan masa pemerintahan Islam.

Menurut seorang ahli geografi abad ke-12 bernama Al-Idrisi, bendungan itu terbuat dari batu qibtiyyah sedangkan pilar-pilarnya terbuat dari batu marmer. Bendungan dibangun mengikuti aliran zig-zag air sungai hingga seberang sungai.

Bentuk bendungan ini menunjukkan orang-orang yang membangunnya, memiliki tujuan meningkatkan kapasitas air yang melimpah. Sisa-sisa bendungan tersebut masih dapat dilihat hingga saat ini.

Diperkirakan, bendungan tersebut semula memiliki tinggi sekitar tujuh atau delapan meter di atas permukaan air tinggi, dengan ketebalan delapan kaki. Bukti lain kejeniusan para insinyur Muslim juga terlihat dari kokohnya delapan bendungan di Sungai Turia.

Hingga ratusan tahun, bendungan-bendungan itu tak membutuhkan perbaikan sama sekali. Jika dilihat, tampaknya bendungan di Sungai Turia memiliki berat yang berlebihan pada badan bendungan. Ini bukannya tanpa sebab.

Jadi, mereka tak sembarangan membuat bentuk bendungan yang semacam itu. Bendungan dengan bentuk demikian, diperlukan untuk menahan aliran air sungai yang tak menentu gerakannya. Selain itu, juga untuk menahan hantaman pohon maupun batu.

Bendungan di Sungai Turia berusia lebih dari 10 abad. Meski telah dimakan zaman, bendungan itu masih terus mampu memenuhi kebutuhan irigasi di Valencia, Spanyol, tanpa memerlukan tambahan sistem.

Di Sungai Segura, umat Islam membangun sebuah bendungan untuk mengairi lahan yang luas di wilayah Murcia. Bendungan ini dibangun dengan rancangan dan konstruksi sempurna, dengan tinggi 25 kaki serta ketebalan 150 kaki dan l25 kaki.

Layaknya bendungan lainnya, bendungan ini terbuat dari pecahan-pecahan batu dan adukan semen. Pada masa itu, teknik yang digunakan oleh para tukang batu dan insinyur Islam untuk membangun bendungan juga sudah sangat tinggi.

Mereka sudah mampu mengukur baik kedalaman maupun lebar sungai. Sehingga, mereka bisa membuat desain bendungan yang cocok dengan ukuran sungai-sungai tersebut. Para insinyur Muslim telah memiliki kemampuan tinggi.

Selain itu, mereka juga menggunakan metode survei. Manfaatnya, mereka mampu membangun sebuah bendungan di lokasi yang tepat dan paling sesuai. Tak hanya itu, mereka juga telah mampu menata sistem kanal yang begitu kompleks.

Untuk mempermudah semua itu, mereka menggunakan astrolabes dan perhitungan trigonometri. Pada masa kekhalifahan, para cendekiawan Muslim merancang bangunan bendungan yang tak hanya berfungsi untuk mengatur air, tetapi juga mengalihkan arus air.

Bendungan yang juga berfungsi sebagai pengatur air, pertama kali dibangun insinyur Muslim di Sungai Uzaym yang terletak di Jabal Hamrin, Irak. Setelah itu, bendungan semacam itu pun banyak dibangun di kota dan negeri lain di dunia Islam.

Perusakan

Pada suatu masa, ada tangan-tangan yang menghancurkan bendungan-bendungan yang berhasil dibangun itu. Pada 1220, misalnya, tentara Jengis Khan dari Mongol, menghancurkan seluruh bagian timur peradaban di wilayah Islam, termasuk bendungan.

Perusakan terhadap Bendungan Jurjaniyah, yang ada di sebelah selatan Laut Aral, menyebabkan Sungai Oxus mengalami kekeringan pada abad-abad berikutnya. Perusakan juga terjadi pada 163 tahun kemudian, yaitu pada 1383.

Invasi pasukan Tartar juga menyebabkan kehancuran banyak bendungan. Misalnya, bendungan di Zaranj ibu kota Provinsi Seistan. Nasib serupa juga menimpa bendungan yang ada di Band-I-Rustam serta wilayah Bust.

Berutang pada Al-Kindi dan Al-Biruni



Al-Kindi dan Al-Biruni dinilai memiliki jasa bagi perkembangan ilmu pengetahuan dalam bidang teknik. Termasuk teknik pembangunan bendungan dan bangunan-bangunan megah lainnya. Al-Kindi, bernama lengkap Abu Yusuf Yaqub ibn Ishaq al-Sabbah Al-Kindi.

Al-Kindi merupakan ahli matematika dan fisika. Ia lahir pada tahun 801 dan mengembuskan napas terakhirnya pada 873. Selain bisa berbahasa Arab, ia juga fasih berbahasa Yunani. Dia telah menerjemahkan banyak karya para filsuf Yunani, baik karya Aristoteles maupun Plotinus.

Selain itu, Al-Kindi juga diketahui berasal dari kalangan bangsawan di Irak. Ia berasal dari suku Kindah, hidup di Basra dan meninggal di Bagdad. Ia dikenal pula sebagai seorang tokoh besar yang menuliskan banyak karya dalam berbagai bidang.

Geometri, fisika, meteorologi, psikologi, astronomi, astrologi, aritmatika, dan musik dikuasai Al-Kindi. Ia mengumpulkan pula berbagai karya filsafat secara ensiklopedis. Seabad kemudian, diselesaikan oleh Ibnu Sina. Sedikitnya, Al-Kindi menulis 250 buku.

Sebagian besar bukunya adalah ilmu geometri, sebanyak 32 buku. Geometri dan fisika yang dikuasai Al-Kindi, sangat penting dan bermanfaat untuk mendirikan sebuah bangunan, seperti bangunan, irigasi, jembatan, maupun rumah.

Selain itu, Al-Kindi juga menulis tentang filsafat sebanyak 22 buku, logika sembilan buku, dan fisika sebanyak 12 buku. Sementara itu, Abu Raihan Al-Biruni, yang sering disebut Al-Biruni, merupakan seorang ahli matematika dari Persia.

Selain itu, Al-Biruni juga mahir dalam bidang astronomi, fisika, ensiklopedia, filsafat, sejarah, serta farmasi. Sumbangan terbesar dari pemikirannya adalah di bidang matematika, filsafat, dan obat-obatan.

Al-Biruni dilahirkan di Khawarazmi, Turkmenistan atau Khiva di kawasan Danau Aral di Asia Tengah. Pada masa itu, wilayah tersebut terletak di wilayah kekaisaran Persia. Dia belajar matematika dan pengkajian bintang dari Abu Nashr Mansur.

Al-Biruni juga merupakan teman filsuf dan ahli obat-obatan Abu Ali Al-Hussain Ibn Abdallah Ibn Sina atau Ibnu Sina. Selain itu, ia juga pernah mengembara ke India dengan Mahmud dari Ghazni untuk mempelajari bahasa, falsafah, dan agama mereka serta menulis buku mengenainya.

Al-Biruni juga menguasai beberapa bahasa di antaranya bahasa Yunani, Suriah, Berber, dan Sansekerta. Beberapa pemikirannya yang penting bagi pembangunan baik bendungan maupun irigasi adalah geometri, sudut segitiga, dan teorema Archimedes.

Al-Khansa, Ibu Para Syuhada

Pada masa Jahiliyah tersebutlah seorang penyair wanita ulung bernama al-Khansa. Syair-syairnya begitu memikat. Simaklah syiar ratapan terbaik yang pernah diciptakannya , sesaat setelah kematian saudaranya yang bernama Shakr:

"Air mataku terus bercucuran dan tak pernah mau membeku
ketahuilah... mataku menangis
karena kepergian Sakhr, sang dermawan
ketahuilah... mataku menangis
karena kepergian sang gagah berani
ketahuilah... mataku menangis
karena kepergian pemuda yang agung"

Al-Khansa bernama Tamadhar binti Amru bin al-Haris bin asy-Syarid. Cahaya Islam yang ditebarkan Rasulullah di Jazirah Arab telah mengetuk pintu kesadarannya. Bersama beberapa orang dari kaumnya, sang penyair menghadap Rasulullah SAW. Ia menyatakan keislamannya dan bertekad membangun aqidah tauhid.

Sang penyair pun menjadi seorang Muslimah yang baik. Ia pun menjadi salah seorang Muslimah teladan sekaligus figur cemerlang dalam keberanian dan kemuliaan diri. Al-Khansa menjadi teladan mulia bagi para ibu Muslimah.

Suatu ketika Rasulullah SAW memintanya bersyair. Pemimpin terbaik sepanjang zaman itu mengagumi bait-bait syair al-Khansa'. Ketika al-Khansa sedang bersyair, Rasulullah SAW berkata, "Aduhai, wahai Khansa, hariku terasa indah dengan syairmu."

Suatu ketika Adi bin Hatim dan saudarinya, Safanah binti Hatim datang ke Madinah dan menghadap Rasulullah SAW, mereka berkata, “Ya Rasuluilah, dalam golongan kami ada orang yang paling pandai dalam bersyair dan orang yang paling pemurah hati, serta orang yang paling pandai berkuda.”

Rasulullah SAW bersabda, "Siapakah mereka itu. Sebutkanlah namanya." Adi menjawab, "Adapun yang paling pandai bersyair adalah Umru’ul Qais bin Hujr, dan orang yang paling pemurah hati adalah Hatim Ath-Tha’i, ayahku. Dan yang paling pandai berkuda adalah Amru bin Ma’dikariba."

Rasulullah SAW berkata, “Apa yang telah engkau katakan itu salah, wahai Adi. Orang yang paling pandai bersyair adalah Al-Khansa binti Amru, dan orang yang paling murah hati adalah Muhammad Rasulullah SAW, dan orang yang paling pandai berkuda adalah Ali bin Abi Thalib."

Al-Khansa menikah dengan Rawahah bin Abdul Aziz As Sulami. Dari pernikahan itu ia mendapatkan empat orang anak lelaki. Dan melalui pembinaan dan pendidikan di bawah naungannya, keempat anak lelakinya ini telah menjadi pahlawan-pahlawan Islam yang terkenal. Al-Khansa sendiri terkenal sebagai ibu dari para syuhada.

Ia adalah seorang ibu yang tegar. Al-Khansa telah berhasil mendidik keempat anaknya. Kelak keempat anak lelakinya gugur syahid di medan Qadisiyah. Sebelum peperangan dimulai, terjadilah perdebatan yang sengit di rumah al-Khansa.

Keempat anaknya itu ingin turut berperang melawan tentara Persia. Mereka saling berdebat menentukan siapa yang harus tinggal di rumah mendampingi sang bunda. Perdebatan itu akhirnya sampai di telinga al-Khansa.

Ketika Mutsanna bin Haritsah asy-Syaibani berangkat ke Qadisiyah di masa Amirul Mukminin Umar bin Khaththab RA, al-Khansa akhirnya berangkat bersama keempat putranya untuk menyertai pasukan tersebut.

Di medan peperangan, sesaat dua para pasukan siap berperang, al-Khansa mengumpulkan keempat putranya. Ia memberikan petuah, bimbingan serta mengobarkan semangat jihad fi sabilillah dan buah hatinya tetap istiqamah berperang di jalan Allah dan mengharapkan syahid.

Dengan penuh ketegaran al-Khansa bertutur,'' “Wahai anak-anakku, sesungguhnya kalian telah masuk Islam dengan ketaatan dan tanpa paksaan, kalian telah berhijrah dengan sukarela dan Demi Allah, tiada Illah selain Dia.'' Ia lalu melepas anak-anaknya dengan penuh haru dan ikhlas.

Hingga akhirnya, berita syahidnya empat bersaudara itu sampai di telinganya. Kesabaran dan keikhlasan tak membuatnya sedih ketika mendengar kabar itu. “Segala puji bagi Allah yang memuliakan diriku dengan syahidnya mereka, dan aku berharap kepada Rabb-ku agar Dia mengumpulkan diriku dengan mereka dalam rahmat-Nya”.

Umar bin Khattab paham betul keutamaan al-Khansa dan putra-putranya. Khalifah Umar senantiasa memberikan bantuan yang menjati jatah keempat anaknya kepada al-Khansa, hingga ibu para syuhada itu wafat. Al-Khansa meninggal dunia pada masa permulaan kekhalifahan Utsman bin Affan RA, pada tahun ke-24 Hijriyah.

Al-Qalasadi, Sang Pencetus Simbol Aljabar



Simbol-simbol Aljabar pertama kali dikembangkan oleh matematikus dari Andaluisa, Ibnu Al-Banna pada abad ke-14 dan Al-Qalasadi pada abad ke-15

Jasa al-Qalasadi dalam mengembangkan matematika sungguh sangat tak ternilai. Betapa tidak. Tanpa dedikasi sang matematikus Muslim di abad ke-15 itu, dunia boleh jadi tak mengenal simbol-simbol ilmu hitung. Sejarah mencatat, al-Qalasadi merupakan salah seorang matematikus Muslim yang berjasa memperkenalkan simbol-simbol Aljabar.

''Simbol-simbol Aljabar pertama kali dikembangkan peradaban Islam oleh matematikus dari Andalusia, Ibnu al-Banna pada abad ke-14 dan al-Qalasadi pada abad ke-15,'' ujar J Samso-Moya. Al-Qalasadi memperkenalkan simbol-simbol matematika dengan mengunakan karakter dari alfabet Arab.

Ia menggunakan wa yang berarti ''dan'' untuk penambahan (+). Untuk pengurangan (-), al-Qalasadi menggunakan illa berarti ''kurang''. Sedangkan untuk perkalian (x), ia menggunakan fi yang berarti ''kali''. Simbol ala yang berarti ''bagi'' digunakan untuk pembagian (/).

Selain itu, al-Qalasadi juga menggunakan simbol j untuk melambangkan ''akar''. Simbol sh digunakan untuk melambangkan sebuah variable (x). Lalu, ia menggunakan simbol m) untuk melambangkan ''kuadrat'' (X2). Huruf k digunakan sebagai simbol ''pangkat tiga'' (x3). Sedangkan, melambangkan persamaan (=).

Tanpa jasa al-Qalasadi, boleh jadi masyarakat modern tak akan mengenal simbol Aljabar yang sangat penting itu. Lalu, sebenarnya siapakah al-Qalasadi itu? Matematikus Muslim terkemuka itu bernama lengkap Abu al-Hasan ibnu Ali al-Qala?adi. Ia terlahir pada 1412 di Bastah (sekarang, Baza), Andalusia yang kini dikenal sebagai Spanyol.

Menurut JJ O'Connor dan EF Robertson, Andalusia berasal dari bahasa Arab, al-Andalus. Nama itu digunakan umat Islam untuk menyebut seluruh wilayah Spanyol dan Portugal yang pernah dikuasai umat Muslim dari abad ke-8 M hingga abad ke-11. Wilayah tempat berdirinya Kekhalifahan Umayyah Spanyol itu, kemudian direbut kembali orang Kristen.

Andalusia, kata O'Connor, hanya digunakan untuk menyebut kawasan yang tersisa di bawah kekuasaan Islam. Penaklukan Kristen terhadap wilayah Andalusia membutuhkan empat abad. Andalusia merupakan wilayah yang makmur pada abad ke-13 M. Di wilayah itu, terdapat Alhambra, istana yang indah dan benteng dari penguasa Granada.

Al-Qalasadi adalah seorang intelektual Muslim yang dibesarkan di Bastah. Masa kanak-kanaknya dilalui dengan sangat sulit. Pada masa itu, Kerajaan Kristen sering menyerang kota Bastah. Meski hidup dalam situasi keamanan yang tak stabil, ia tak pernah melalaikan tugasnya untuk belajar dan menimba ilmu.

Ilmu hukum dan Alquran merupakan pelajaran pertama yang diperolehnya di tanah kelahiran. Setelah menginjak remaja, al-Qalasadi hijrah ke selatan, menjauhi zona perang menuju Granada. Di kota itu, ia melanjutkan studinya mempelajari ilmu filsafat, ilmu pengetahuan dan hukum Islam. Al-Qalasadi sering melakukan perjalanan ke negara-negara Islam. Secara khusus, dia menghabiskan banyak waktunya di Afrika Utara. Dia hidup di negara-negara Islam yang memberikan dukungan kuat terhadap Andalusia baik secara politik maupun dengan bantuan militer dalam melakukan perlawanan terhadap serangan Kristen.

Dia menghabiskan waktu di Tlemcen (sekarang di barat laut Aljazair, dekat perbatasan Maroko). Di tempat itu, ia belajar di bawah bimbingan guru-gurunya untuk mempelajari aritmatika dan aplikasinya. Setelah itu, dia hijrah ke Mesir untuk berguru pada beberapa ulama terkemuka.

Al-Qalasadi juga sempat menunaikan ibadah haji ke Makkah dan kembali ke lagi Granada. Ketika kembali ke Granada, keadaan wilayah tersebut semakin memburuk. Bagian yang tersisa dari wilayah Muslim terus diserang orang-orang Kristen Aragon dan Castile. Suasana itu tak menyurutkan tekadnya untuk tetap mengajarkan ilmu yang dikuasainya.

Dalam situasi genting pun, al-Qalasadi tetap mengajar dan menulis sderet karya yang sangat penting. Serangan tentara Kristen yang terus-menerus membuat kehidupannya di Granada, semakin sulit. Wilayah kekuasaan Muslim di Granada habis pada 1492, ketika Granada jatuh ke tangan orang Kristen.

Selama hidupnya, al-Qalasadi menulis beberapa buku mengenai aritmatika dan sebuah buku mengenai aljabar. Beberapa di antaranya berisi komentar-komentar terhadap karya Ibnu al-Banna yang bertajuk Talkhis Amal al-Hisab (Ringkasan dari Operasi Aritmatika). Ibnu al-merupakan matematikus Muslim yang hidup satu abad lebih awal dari al-Qalasadi.

Risalah utama al-Qalasadi adalah al-Tabsira fi'lm al-Hisab (Klarifikasi Ilmu Berhitung). Sayangnya, buku itu sulit dipelajari orang kebanyakan. Untuk mempelajarinya dibutukan ketajaman pikiran. Buku itu sangat dipengaruhi pemikiran Ibnu al-Banna. Meskipun al-Qalasadi sudah berusaha menyederhanakan tingkat kerumitan karya al-Banna.

Buku aritmatika karya al-Qalasadi yang lebih sederhana, terbukti begitu populer dalam pengajaran aritmatika di Afrika Utara. Karya-karyanya itu digunakan selama lebih dari 100 tahun. Jejak intelektual al-Qalasadi rupanya cukup dikenal dan diketahui para sejarawan.

Salah seorang penulis yang bernama J Samso Moya, mengatakan, para penulis menganalisis karya para ahli matematika dari Maghrib (Afrika Utara) seolah-olah mereka sepenuhnya tidak terpengaruh dari pendahulu mereka di Timur Islam.

Hal itu, kata Moya, mendorong mereka untuk menekankan pentingnya mengunakan simbol aljabar yang digunakan Al-Qalasadi (1412-1486), tanpa memperhatikan usaha-usaha serupa sebelumnya baik di Timur maufut di Barat Islam. Para penulis di abad ke-19 percaya bahwa simbol-simbol aljabar pertama kali dikembangkan dalam Islam oleh ahli matematika Spanyol-Arab Ibn al-Banna dan Al-Qalasadi.

Kalangkaan simbol-simbol matematika di Italia, mungkin disebabkan ketidaktahuanilmuwan Italia seperti, Leonardo Fibonacci akan adanya karya-karya hebat para ahli matematika dari Andalusia. Boleh jadi simbol-simbol Aljabar tersebut bukan penemuan al-Qalasadi, tetapi dia memiliki kontribusi yang besar dalam mengenalkan simbol-simbol Aljabar tersebut kepada dunia. Simbol-simbol Aljabar tersebut telah digunakan di kekaisaran Muslim Timur, bahkan mungkin lebih awal dari itu.

Tradisi Belajar di Tanah Kelahiran Sang Ilmuwan

Tradisi belajar di Andalusia sudah tampak sejak awal abad ke-9 M. Di wilayah kekuasaan kekhalifahan Umayyah itu, anak-anak para pangeran, pejabat atau orang yang terhormat harus belajar. Mereka belajar dari ajaran ilmiah menggunakan salinan terjemahan karya ilmiah Yunani dan India.

Lalu muncullah buku-buku pengajaran bahasa Arab pertama di Andalusia yang berasal dari Baghdad, ibu kota Kekhalifahan Abbasiyah. Belajar bukan hanya hak kelompok elite semata. Anak-anak para pedagang dan keluarga kerajaan mendapatkan buku-buku dari orang tuanya yang kaya.

Melihat keinginan yang besar untuk belajar, Khalifah akhirnya mendukung kegiatan-kegiatan ilmiah dengan membiayai pembentukan sebuah perpustakaan penting untuk menyediakan beraneka macam buku. Inisiatif Khalifah untuk memajukan pendidikan dengan membangun banyak perpustakaan akhirnya meningkatkan perkembangan kegiatan ilmiah di kota-kota utama Muslim Spanyol.

Beberapa kota yang pendidikan dan ekonominya maju pada masa itu antara lain: Cordoba, Toledo, Sevilla, Zaragoza dan Valencia. Selama sepertiga akhir abad ke-9 dan abad ke-10 M, kegiatan mengajar dan penelitian berkembang pesat terutama dalam bidang matematika.

Khalifah Umayyah dpada abad ke-10 dan Khalifah Abd ar-Rahman III ( 912-961) serta putranya al-Hakam II (961-976) sangat mendukung perkembangan dunia pendidikan dan ilmu pengetahuan. Maka bisa dikatakan bahwa Andalusia -- tempat kelahiran al-Qalasadi -- merupakan wilayah yang memiliki tradisi belajar dan penelitian.

Pada masa itu, berbagai macam karya astronomi maupun matematika banyak dilahirkan oleh para ilmuwan besar, termasuk al-Qalasadi. Selain itu, banyak juga ilmuwan yang lahir di Andalusia, termasuk Ibnu as-Samh dan al-Zahrawi, yang mendominasi kegiatan ilmiah paruh pertama abad ke-11 M, serta menerbitkan banyak buku di Spanyol dan di Maroko.

Tradisi belajar dan ilmiah di Andalusia ditandai dengan pertukaran ilmu antara umat Muslim di Andalusia dan Maghribi (Afrika Utara). Pada zaman itu, begitu banyak ilmuwan dari Andalusia yang pergi ke Maghribi, begitu pula sebaliknya.

Tipu Sultan, Harimau dari Kesultanan Mysore India



Tipu Sultan merupakan seorang yang sangat religius dan toleran terhadap pemeluk agama lain.

Dunia Islam memiliki banyak pejuang gigih. Salah satunya adalah Sultan Fateh Ali Tipu yang lebih dikenal Tipu Sultan. Nama lain yang disematkan pada dirinya adalah Harimau dari Mysore. Ia memang penguasa Kesultanan Mysore di India dari 1782 hingga ia mangkat pada 1799.

Tipu Sultan adalah putra pertama dari Haidar Ali dengan istri keduanya, Fatima atau Fakhr-un-nissa. Dan rupanya, ia tak hanya dikenal sebagai penguasa, tetapi juga seorang ilmuwan, prajurit, serta pujangga.

Tipu lahir di Devanahalli, sekarang merupakan distrik Bangalore, yang berjarak 33 km sebelah timur Bangalore. Dia dikenal sebagai orang yang sangat religius dan sangat toleran dalam interaksi dengan pemeluk agama lainnya.

Sebagai seorang penguasa Muslim dan sebagian besar rakyatnya beragama Hindu, Tipu sering menghadapi sejumlah masalah dalam membangun kekuatan legitimasi pemerintahannya. Namun, ia terus mencari jalan keluar agar rakyatnya itu agama menerima dengan tangan terbuka.

Sejumlah pakar sejarah mengungkapkan bahwa Tipu memiliki sikap yang egaliter terhadap orang-orang Hindu. Namun, ia akan bersikap tegas ketika menghadapi pertentangan dalam masalah politik. Ia akan dengan segera menuntaskan masalah tersebut.

Tak hanya jalinan hubungan harmonis yang ia bangun dengan pemeluk agama berbeda, termasuk rakyatnya. Selama pemerintahannya, Tipu Sultan melakukan sejumlah pembangunan dalam skala besar. Ia misalnya, membangun bendungan Khrishna Raja Sagara di Sungai Cauvery.

Tipu Sultan juga menyelesaikan proyek yang telah dirintis ayahnya, Haidar Ali, yaitu proyeek Lal Bagh. Ia membangun banyak jalan, gedung-gedung publik, serta pelabuhan di sepanjang garis pantai Kerala. Pembangunan ekonomi untuk kesejahetraan rakyatnya, juga ia perhatikan.

Dalam masa pemerintahannya, Tipu Sultan tak hanya mengembangkan perekonomian dan perdagangan domestik. Namun, ia memperluas dengan melakukan perdagangan dengan neger-negeri tetangga seperti Sri Lanka, Afghanistan, Prancis, Turki, dan Iran.

Tak lupa, ia membangun kekuatan militernya untuk meningkatkan pertahanan negara. Ia mengembangkan sebuah lembaga pendidikan militer di Mysore. Bahkan, lembaga pendidikan itu menjadi pusat pendidikan bagi para pangeran di India.

Kekuatan militer Tipu Sultan yang mumpuni, terlihat saat pasukannya mampu memukul mundur pasukan Inggris dalam Perang Mysore Pertama dan Kedua. Dan, keberhasilan ini kemudian meningkatkan reputasi militer yang dimilikinya.
Mantan presiden India, Abdul Kalam, dalam sebuah orasinya pernah mengatakan, Tipu Sultan merupakan inovator di dunia perang, yang memelopori penggunaan roket. Penggunaan roket oleh pasukan Tipu Sultan terjadi ketika menyerang pasukan Inggris di Srirangapatna.

Roket yang digunakan Tipu Sultan ini kemudian diambil Inggris dan hingga sekarang masih disimpan di Royal Artillery Museum di London. Abdul Kalam juga mengatakan bahwa sebagian besar pertempuran Tipu Sultan menuai kemenangan gemilang.

Sebelum melakukan perlawanan terhadap pasukan dari luar, pasukan Tipu Sultan mampu menaklukkan sejumlah kerajaan kecil di wilayah selatan Mysore. Dia mengalahkan Marathas dan Nizams dan juga beberapa penguasa India yang telah mengalahkan pasukan Inggris.

Tipu pernah membantu ayahnya, Haidar Ali, mengalahkan Inggris di Perang Mysore Kedua. Inggris akhirnya mau melakukan negosiasi dalam sebuah perjanjian yang disebut Perjanjian Mangalore. Namun, ia mampu dipukul mundur pada sejumlah perang berikutnya.

Pada Perang Anglo-Mysore Ketiga dan Perang Anglo-Mysore Keempat, pasukan Tipu Sultan harus mengakui keunggulan lawan dan mundur. Sebab, musuh membentuk aliansi yang kuat antara British East India Company, Nizam dari Hyderabad dan negeri kecil, Travancore.

Tipu Sultan memiliki seorang kepercayaan yang bernama Sirdar Yar Muhammad yang juga dikenal sebagai Ghazi-e Mysore. Sirdar merupakan putra Shah Muhammad, seorang sufi. Tipu sendiri menjadi salah satu murid Shah Muhammad ini.

Tak lama setelah Sirdar Yar bergabung dengan tentara Mysore, ia segera menjadi salah salah satu jenderal favorit Tipu Sultan. Sebab, Tipu melihat perilaku patriotik, pemberani, dan sikap gagah berani Sirdar Yar dalam medan perang dan dia sangat bangga akan hal itu.

Salah satu perang yang dibanggakan Tipu Sultan yaitu saat Sirdar Yar terlibat dalam perang di Seringapatam pada 1799. Namun, keperkasaannya mulai luluh ketika Tipu Sultan mangkat. Sirdar tak mampu mempertahankan ibu kota Mysore, Srirangapattana, dari serangan Inggris.

Sirdar Yar merasa terpuruk. Dia melarikan diri ke bukit-bukit Kullu, kemudian lari ke pusat Punjab Maharaja Ranjit Singh. Dengan demikian, dia berhasil menghindari penangkapan oleh pasukan Inggris. Ia kemudian menjadi salah satu buronan penting pasukan Inggris.

Selama menjadi penguasa, Tipu Sultan juga menorehkan pencapaian gemilang lainnya. Ia menerapkan sistem mata uang, perbankan, sistem kalender, dan ukuran baru. Ia membuat mata uang atas namanya sendiri yang kemudian digunakan secara luas dalam perdagangan.

Tipu yang merupakan seorang sufi, sebenarnya berkeinginan untuk menjadi seorang sufi, tetapi ayahnya Hyder Ali bersikeras bahwa dia mampu menjadi prajurit dan pemimpin besar. Dan, keinginan ayahnya kemudian terwujud, Tipu Sultan menjadi prajurit tangguh dan penguasa. dyah ratna meta novia


Sultan di Medan Perang

Tipu Sultan mulai mempelajari taktik militer saat usia 15 tahun atas permintaan ayahnya, Haidar Ali. Pada 1766, ia sudah menemani ayahnya saat bertempur melawan Inggris dalam Perang Mysore Pertama. Ia menjadi komandan korps kavaleri dalam invasi Carnatic pada 1767 saat berusia 16 tahun.

Perang Mysore Kedua
Tipu Sultan memimpin sekelompok pasukan besar dalam Perang Mysore Kedua pada Februari 1782, dan dia mengalahkan Kolonel Annagudi Braithwaite di tepi Kollidam. Meski saat itu ia berhasil mengalahkan pasukan Inggris, namun ia menyadari Inggris merupakan ancaman serius India.
Tipu Sultan menyita semua senjata musuh dan menawan pasukan yang kalah tersebut. Sebelumnya pada Desember 1781, ia berhasil merebut Chittur dari kekuasaan Inggris. Kehebatan Tipu tidak bisa terlepas dari upaya ayahnya Haidar Ali yang memberikan pelatihan militer terhadapanya sejak remaja.
Perang Kedua Mysore berakhir dengan Perjanjian Mangalore. Perjanjian antara Sultan India dan Kolonial Inggris tersebut menjadi dokumen bergengsi dalam sejarah India. Meskipun demikian, Perang Mysore Kedua dianggap memiskinkan negara.

Pertempuran Pollilur
Pertempuran Pollilur terjadi pada 1780 di Pollilur dekat Kota Kanchipuram. Pertempuran ini merupakan bagian dari perang Anglo-Mysore kedua. Tipu dikirim oleh Haidar Ali dengan 10.000 laki-laki dan 18 senjata untuk mencegat Kolonel Baillie yang sedang dalam perjalanan untuk bergabung dengan Sir Hector Munro.
Dalam pertempuran tersebut, sekitar 200 orang ditangkap hidup-hidup, tentara Sepoy yang berjumlah sekitar 3.800 orang juga ditangkap. Akibatnya, Munro harus mundur ke Madras dan menelantarkan pasukan artilerinya di dekat sebuah tangki air Kanchipuram.

Perang Srirangapattana
Dalam perang ini, Inggris mengerahkan 26 ribu prajurit. Sedangkan Nizam dari Hyderabad yang merupakan aliansi Inggris menyediakan 10 batalion dan lebih dari 16.000 kavaleri. Sementara, Tipu Sultan memimpin 30 ribu prajurit.
Tipu Sultan meninggal dalam pertempuran tersebut. Wellesley, salah satu pemimpin pasukan Inggris, memastikan kematian Tipu Sultan setelah meraba denyut nadinya tak lagi berdetak. Tipu gugur di gerbang jalan yang terletak 300 meter dari Benteng Srirangapattana.