13 August 2010

Tradisi Penulisan Surat

Kemampuan menulis surat mengantarkan para penulis pada status sosial dan jabatan yang tinggi.
Seni menulis surat mengalami perkembangan di dunia Islam. Bahkan, umat Islam tak hanya memiliki kemampuan menulis dengan tingkat kefasihan bahasa yang tinggi. Mereka juga mampu menyusun tata cara dan struktur penulisan surat.
Pada dasarnya, mengutip George Abraham Makdisi dalam bukunya Cita Humanisme Islam, ada sejumlah istilah penting yang kerap digunakan saat membahas keahlian atau keterampilan menulis surat. Ada tiga akar kata yaitu, asala, nasya'a dan kataba.
Kata-kata  tarasul, tarsil, kitabah, dan  insya digunakan  merujuk pada ilmu persuratan. Sedangkan, untuk surat, kata-kata yang biasanya dipakai adalah  risalah dan  kitab. Selain istilah di atas, umat Islam telah berkemampuan menyusun struktur sebuah surat.
Ada tiga bagian utama dari sebuah surat. Pertama, Al-Fawatih atau kata-kata pembuka yang disebut  iftitah al-mukatabah. Kata pembuka ini terdiri atas ucapan basmalah, hamdalah, tasyahud, salwalah, tasliyah, kata salam, dan ucapan amma ba'du.
Unwan atau alamat juga bagian dari kata pembuka, seperti dari si A kepada si B. Bagian kedua adalah batang tubuh surat atau al-lawaqih. Batang tubuh ini merupakan teks surat yang ada di antara dua salam.
Sebab, biasanya, surat diawali dengan salam dan diakhiri pula dengan salam. Sedangkan, bagian ketiga adalah kata penutup al-khawatim yang berisi kalimat insya allahu ta'ala yang artinya bila Allah menghendaki.
Bagian lainnya dari kata penutup adalah tarikh atau penanggalan surat serta alamah, berupa tanda tangan dari orang yang mengirimkan surat tersebut. Di sisi lain, ada frase hamdallah yang biasa digunakan untuk menutup sebuah surat.
Menurut Makdisi, tiga bagian utama yang terdapat dalam struktur surat di dunia Islam dan dokumen sejenisnya ini pada kemudian hari ditemukan pula pada dokumen-dokumen berbahasa Latin yang merupakan peninggalan abad pertengahan.
Kemampuan berbahasa, menurut cendekiawan Muslim, Ibnu al-Nadim, merupakan keterampilan yang mesti dimiliki oleh seorang ahli menulis surat. Ia mengungkapkan hal ini dalam bukunya yang terkenal, Fihrist.
Bab ketiga dari buku yang ditulis pada 987 Masehi ini membahas para ahli pembuat surat dan orator ulung. Dalam bukunya itu, Nadim membagi ahli menulis surat ke dalam dua kelompok. Kelompok pertama adalah mereka yang suratnya dipublikasikan.
Kelompok ini terdiri atas 49 nama penulis surat. Biasanya, publikasi surat-surat mereka dalam bentuk antologi. Sementara itu, kelompok kedua terdiri atas 12 orang. Kelompok ini adalah mereka yang surat-suratnya sering dikutip oleh penulis surat pada masa selanjutnya.
Pengelompokan yang dilakukan Nadim menunjukkan bahwa kedudukan seorang penulis surat ditentukan oleh kefasihan bahasanya atau balaghah-nya. Hal ini juga berlaku bagi para orator yang biasanya mampu memberikan pengaruh besar bagi pendengarnya.
Sebenarnya, tradisi penulisan surat ini mewujud pada masa Nabi Muhammad SAW, para sahabat, dan tabiin. Namun, saat itu, penulisan surat belum menjadi sebuah seni yang memiliki tata cara tertentu yang terperinci.
Penulisan surat mulai menjadi sebuah keahlian baru pada masa Abd al-Hamid ibn Yahya, sekretaris terakhir Dinasti Umayyah. Lalu, banyak bermunculan penulis surat pada abad ke-8 hingga abad-abad berikutnya. Puncaknya, terjadi pada abad ke-10.
Melihat perkembangan penulisan surat, sejumlah kalangan akhirnya kerap menyebut bahwa ilmu persuratan diawali oleh Abd al-Hamid dan ditutup oleh Ibn al-Amid. Ini merepresantasikan perkembangan ilmu persuratan yang bermula pada abad ke-8 dan mencapai puncaknya pada abad ke-10.
Puncak perkembangan seni menulis surat ini ditandai dengan tingginya capaian artistik dan estetika bahasa. Bahkan, saat itu, mereka yang memiliki kemampuan menulis surat berhasil meraih status sosial dan jabatan politik yang tinggi.
Sebagian mereka ada yang diangkat menjadi penasihat negara yang memiliki juru tulis sendiri dan ada pula yang menjadi perdana menteri yang kedudukannya di bawah seorang khalifah atau sultan. Dua status itu merupakan puncak jabatan dalam bidang kesekretariatan.
Tak heran jika banyak orang tertarik untuk menjadi seorang yang memiliki keahlian dalam menulis surat. Lalu, muncullah buku-buku tentang pedoman penulisan surat yang dikarang oleh ahli menulis surat.
Buku tersebut banyak digunakan oleh para juru tulis di kantor-kantor pemerintahan. Buku semacam itu juga sangat berguna bagi para siswa yang ingin mempelajari dunia kesekretariatan dan magang di kantor-kantor administrasi negara.
Buku pedoman menulis surat ini sering disebut adab al-katib dan jumlahnya sangat banyak. Karya Ibnu Qutaybah itu diuraikan secara perinci oleh Abu Bakar al-Anbari; Al-Zajjaji; dan Al-Batalyausi yang berasal dari Spanyol dan meninggal pada 1127 Masehi; serta al-Jawaliq. Cendekiawan Muslim Al-Kindi juga pernah menulis buku mengenai penulisan surat.
Buku tersebut berjudul Risalah fi Rasm Riqa ila al-Khalifah wa al-Wazir atau  Risalah dan Pengajuan Proposal kepada Khalifah dan Perdana Menteri. Dalam bukunya ini, Al-Kindi menjelaskan pedoman menulis surat terkait dengan pengajuan sebuah proposal.
Selain itu, ada pula Qudamah ibn Ja'far yang meninggal pada 948 Masehi. Kemudian, Al-Farabi juga menulis buku tentang seni menulis surat, keahlian seorang penulis, dan keahlian seorang sekretaris negara dalam karya berjudul Shina'ah al-Kitabah.
Cendekiawan terkenal lainnya, Tsabit Ibnu Qurra, juga menulis sebuah karya tentang penulisan surat berjudul  Risalah fi al-Farq Bayn al-Mutarasil wa al-Syair atau  Risalah mengenai Perbedaan antara Penulis Surat dan Penyair.
Namun, ada sebuah karya yang dinilai paling komprehensif yang membahas pokok-pokok penting dalam ilmu persuratan dan mengaitkan tradisi kepenyairan yang ditulis oleh Dhiya al-Din ibn Al-Atsir. Judul karya tersebut adalah Al-Matsal al-Sa'ir fi Adab al-Katib wa al-Sya'ir (Model Populer mengenai Disiplin Penulis dan Penyair).
Seni Berpidato
Selain penulisan surat, umat Islam juga mengembangkan kemampuan berpidato dan bersyair. Seorang ahli pidato atau khatib sering diasosiasikan dengan ahli bercerita atau ahli riwayat kejadian pada masa lampau.
Pada masa awal Islam, terdapat istilah yang digunakan untuk ceramah atau pidato, yaitu khotbah yang berarti ceramah atau pidato yang disampaikan oleh seorang penceramah dari atas mimbar masjid pada setiap Jumat.
Istilah lainnya adalah wa'zh yang berarti ceramah yang disampaikan oleh penceramah. Penceramah sendiri disebut wa'izh karena berada di depan majelis dalam institusi akademis ataupun tempat-tempat lain. Buku kumpulan khotbah yang pertama ditulis oleh Ibnu Nubata al-Fariqi. Ia meninggal pada 985 Masehi.
Khotbah dalam karya itu lalu ditambah dan disempurnakan oleh putranya, Abu Thahir Muhammad, dan cucunya, Abu al-Faraj. Karya tersebut kemudian direvisi kembali pada 1223 dan dicetak dalam beberapa edisi.
Pada masa itu, Ibnu Nubata dikenal sebagai seorang ahli pidato di istana seorang amir dari Bani Hamdan, yaitu Sayf al-Dawlah. Dia hidup sezaman dengan penyair istana yang terkenal, yaitu al-Mutanabbi. Ia pun pernah belajar pada Mutannabi.
Pidato Nubata terdiri atas beberapa kategori, yaitu pidato agama atau disebut khotbah agama. Ini berisi puji-pujian kepada Allah SWT dan shalawat kepada Nabi Muhammad SAW. Pun, tentang nasihat agar selalu bertakwa kepada Allah SWT dan mengingatkan pada hukum agama.
Selain itu, dalam pidato agama, biasanya juga ada doa untuk memohon karunia dan bantuan dari Allah SWT, yang kemudian ditutup dengan membaca ayat Alquran. Jenis pidato lain yang dilakukan Nubata adalah pidato politik.
Suatu saat, Nubata berpidato untuk mendorong umat Islam mendukung Syaf al-Dawlah, seorang amir pada masanya, dalam berperang melawan musuh Islam di Byzantium. Pidato Nubata itu menjadi rujukan para ahli sejarah untuk mengetahui berbagai peristiwa pada masa itu.

No comments: