Showing posts with label Sejarah. Show all posts
Showing posts with label Sejarah. Show all posts

01 June 2011

Sepotong Daging, Sepotong Surga

Anak itu tidak mati digorok ayahnya. Ia justru jadi seorang mulia sebagaimana sang ayah. Begitu mulia hingga nama keduanya terus disebut-sebut. Bahkan, hingga 4.000 tahun kemudian setelah lewat masa hidupnya. Mereka adalah Ismail dan Ibrahim, rasul kekasih Allah SWT. Mereka menjadi sarana Tuhan untuk mengajar manusia: sepotong daging bisa menjadi jalan ke surga.

Gambaran surga dari sepotong daging terlihat di pelataran Masjid Istiqlal, kemarin. Juga, di pelataran masjid-masjid lain di seluruh dunia. Lihatlah wajah orang-orang yang antre di sana. Harga daging jelas tidak seberapa. Di pasar, hanya sekitar Rp 55 ribu sekilo. Daging bercampur tulang pasti lebih murah.

Daging tak seberapa itu telah membuat berjuta wajah manusia berseri. Daging itu begitu berharga buat mereka. Apa imbalan terpantas bagi yang membuat berseri wajah kaum miskin, selain surga? Berkurban seperti bukan hal istimewa. Sekadar menyisihkan uang untuk membeli sapi atau kambing untuk dipotong. Dagingnya dibagikan kepada fakir miskin.
Saban tahun, setiap Idul Adha, umat Islam melakukannya. Semua tahu itu. Tak ada yang baru. Tapi, perhatikan betul fenomena pembagian daging kurban. Cermati wajah-wajah mereka--penerima daging kurban. Ada pelajaran luar biasa yang dapat dipetik dari fenomena kurban.

Setidaknya, itu yang saya rasakan pada Idul Adha kali ini. Saya tahu, di sekitar kita banyak warga miskin. Sehari-hari, saya juga selalu berinteraksi dengan orang miskin, baik itu di lingkungan rumah maupun tempat kerja. Data statistik juga menunjukkan jumlah absolut warga miskin Indonesia masih besar. Berlipat kali total penduduk Brunei tentu. Tapi, saya tak menduga, warga miskin benar-benar sangat banyak.

Besar kerumunan warga yang menerima daging kurban di Istiqlal, misalnya, sangat mencengangkan. "Di Jakarta, yang pusat kekuasaan saja, masih begitu banyak orang miskin. Apalagi di daerah," kata seorang teman. Negeri ini negeri makmur. Kekayaan alamnya berlimpah ruah. Semestinya seluruh rakyatnya relatif sejahtera. Apalagi, kita sudah 65 tahun merdeka.

Jika ternyata masih terdapat begitu banyak warga miskin--yang sepotong daging pun buat mereka sedemikian berharga--tentu ada yang keliru dalam mengelola negeri ini. Kekeliruan itu bukan salah satu-dua orang. Kekeliruan itu tentu salah banyak orang. Maka, seluruh bangsa ini perlu turun tangan untuk lebih peduli memperbaiki keadaan. Setidaknya, itulah salah satu pelajaran dari ibadah kurban.

Berkurban bukan sekadar menyembelih sapi atau kambing. Berkurban juga mencakup kerelaan sepenuh hati memberi perhatian dan membantu sesama. Ibadah kurban setahun sekali dengan menyembelih hewan merupakan sarana pengingat agar kita--setiap saat dan setiap keadaan--selalu siap berkurban untuk kebaikan bersama. Hanya orang-orang yang siap berkurban bisa menjadi benar-benar mulia. Itu yang ditunjukkan Nabi Ibrahim dan Ismail. Hanya bangsa-bangsa siap berkurban yang dapat menjadi bangsa mulia sejati.

Kerelaan berkurban pada era materialistis sekarang terasa menipis. Dalam melangkah, kita cenderung makin mengabaikan pertimbangan `apa yang terbaik bagi semua'. Kita cenderung mengedepankan `apa untung saya' walaupun kadang dengan merugikan orang lain, termasuk merugikan masyarakat luas. Sikap seperti itu sangat meluas. Bahkan, di kalangan para pejabat dan tokoh sekalipun. Wajar bila kemiskinan bukan teratasi, melainkan malah menahun.

Berkurban mengingatkan kita semua atas hal itu. Berkurban mengingatkan begitu banyak orang tak mampu. Semestinyalah kita terdorong berbuat membantu mereka sesuai kapasitas masing-masing. Apalagi bila kita berkuasa serta mampu mengarahkan kebijakan publik. Dengan semangat berkurban, semestinya seluruh bangsa bahumembahu mengatasi kemiskinan. Sebuah langkah, yang bila kita jalankan secara sungguh-sungguh, akan berhadiahkan sepotong surga. Tidakkah kita mengharap surga sebagai ujung perjalanan di dunia ini?

Kisah Tenggelamnya Firaun di Laut Merah

Laut Merah boleh dikatakan laut yang istimewa. Mengapa? Bukan hanya karena warnanya yang pada waktu-waktu tertentu terlihat merah jika dipandang dari atas, tapi juga karena lautan yang memisahkan benua Asia dan Afrika ini menyimpan kisah tentang kebesaran Allah SWT. Saat Nabi Musa AS dan Bani Israil diburu penguasa Mesir, laut tersebut membelah dan menenggelamkan Firaun berikut pasukannya.

Jamaah haji asal Indonesia yang datang ke Tanah Suci bisa menyaksikan Laut Merah melalui jendela pesawat sesaat sebelum pesawat yang ditumpanginya mendarat di Bandara King Abdul Aziz, Jeddah. Hal ini karena Kota Jeddah memang berada di tepi Laut Merah sisi timur.

Secara geografis, Laut Merah merupakan perairan teluk yang berhubungan langsung dengan Laut Arab di sisi selatan. Negara-negara yang memiliki wilayah perairan di sepanjang Laut Merah, antara lain Arab Saudi, Mesir, Sudan, Eritrea, dan Etiopia, atau yang biasa disebut negara-negara Maghribi. Sedangkan, di sisi utara terdapat kanal bernama Suez yang menghubungkan Laut Merah dan Laut Mediterania.

Lebar lautan yang menjadi pembatas wilayah benua Asia dan Afrika ini di lokasi terjauh mencapai jarak 300 km. Sedangkan, panjang satu sisi pesisir Laut Merah mencapai sekitar 1.900 km. Sementara kedalaman lautnya di tempat yang terdalam mencapai 2.500 meter.

Kisah Nabi Musa membelah Laut Merah tersebut diperkirakan terjadi sekitar 3.500 tahun silam. Dalam Alquran surat Al-Baqarah ayat 50 disebutkan, "Dan (ingatlah), ketika Kami belah laut untukmu, lalu Kami selamatkan kamu dan Kami tenggelamkan (Fir'aun) dan pengikut-pengikutnya sedang kamu sendiri menyaksikan." Sejarah ini diperkuat dengan ditemukannya bangkai kereta kuda dan tulang-belulang manusia di Laut Merah yang diduga merupakan pasukan dan pengawal Firaun.

Berdasarkan penelitian ilmiah, lokasi penyeberangan Nabi Musa AS diperkirakan berada di wilayah Nuwaiba, Semenanjung Sinai, Mesir. Kedalaman maksimum perairan di kawasan ini sekitar 800 meter ke arah Mesir dan 900 meter ke arah Arab. Sedangkan, jarak Nuwaiba di sisi timur Laut Merah hingga Semenanjung Arab di sisi barat sekitar 1800 meter. Lebar lintasan saat Nabi Musa menyeberangi Laut Merah diperkirakan mencapai 900 meter.

Berdasarkan data tersebut, bisa dibayangkan berapa besar energi yang dibutuhkan untuk menyibakkan air laut hingga memiliki lebar lintasan 900 meter dengan jarak 1800 meter. Apalagi waktu tersibaknya Laut Merah cukup lama karena Bani Israil yang menyertai Nabi Musa AS menyeberangi Laut Merah mencapai 600.000 orang.

Menurut perhitungan fisika, jika penyibakan Laut Merah tersebut berlangsung empat jam saja, maka dibutuhkan tekanan (gaya per satuan luas) sebesar 2,8 juta newton per meter persegi. Jika dikaitkan dengan kecepatan angin, akan melebihi kecepatan angin pada saat terjadi badai angin kencang. Mengacu pada perhitungan yang dilakukan seorang pakar dari Rusia bernama Volzinger, diperlukan embusan angin dengan kecepatan konstan 30 meter/detik atau 108 km/jam sepanjang malam untuk menyibakkan air sedalam 800 meter.

Terkait dengan fenomena ini, peneliti Amerika Serikat mengakui bahwa fenomena Laut Merah terbelah ini memang sangat mungkin terjadi. Dari hasil simulasi komputer yang mempelajari bagaimana angin mempengaruhi air, diperlihatkan bahwa angin mampu mendorong air sehingga menyibakan daratan dasar laut.

Pusat Riset Atmosfir Nasional (NCAR) dan Universitas Colorado AS menyebutkan, terbelahnya air (laut) dapat dipahami melalui teori mekanika fluida. Angin menggerakkan air dengan cara yang sesuai dengan hukum-hukum fisika, yakni menciptakan lorong bagi perjalanan yang aman dengan air pada kedua sisinya. Dan, itu memungkinan air untuk tiba-tiba menutup kembali.

Untuk itu, para peneliti tersebut juga mempelajari bagaimana badai topan di Samudera Pasifik dapat menggerakkan dan mempengaruhi air samudra yang dalam. Mereka menunjuk satu situs di selatan Laut Mediterania sebagai tempat penyeberangan dengan model tanah yang memungkinkan terjadinya air laut membelah.

Model ini memerlukan formasi berbentuk huruf U dari Sungai Nil dan laguna dangkal di sepanjang garis pantai. Hal ini menunjukkan bahwa angin dengan kecepatan 63 mil per jam yang berembus selama 12 jam bisa mendorong air hingga kedalaman 6 kaki (2 meter). Ini menjadi jembatan tanah sepanjang 3-4 kilometer (2 sampai 2,5 mil) dan luas 5 kilometer (3 mil) hingga tetap terbuka selama 4 jam.

Berdasarkan hasil riset tersebut, maka bisa disimpulkan bahwa laut memang bisa saja membelah memperlihatkan dasar lautnya. Namun soal kebenaran bahwa laut membelah dengan bantuan angin, jawabnya adalah Wallahu Alam.

Kini, di pantai Laut Merah wilayah Jeddah, Arab Saudi, setiap Kamis dan Jumat malam sering dipenuhi wisatawan untuk berpiknik sambil pesta barbeque atau sekadar duduk-duduk bercengkerama. Tidak mengherankan bila di sepanjang pantai juga berderet restoran yang menyajikan aneka masakan dan taman bermain untuk anak-anak.

Kota Madinah Al-Zahra Ditemukan di Spanyol

Kota Madinah Az-Zahra Spanyol


Ditemukan kota Madinah Al-Zahra yang dikaitkan dengan pusat pemerintah khalifah Bani Umayah yang bernama Abdurrahman Ketiga. Kota itu ditemukan di dekat Cordoba, Spanyol.

Kini, sisa-sisa kota itu tengah diperbaiki dan direnovasi. Barang-barang yang ditemukan di kota ini akan dipindahkan museum dekat kota ini supaya dapat disaksikan oleh masyarakat. Museum itu menyimpan barang-barang yang ditemukan di kota Madinah Al-Zahra seperti batu, gading, marmer dan barang-barang pecah.

Dengan jatuhnya pemerintah 90 tahun Bani Umayah pada tahun 132 hijriyah, Abdurrahman bin Muawiyah yang juga dikenal dengan Abdurrahman Al-Dakhel, melarikan diri dari cengkeraman Bani Abbas ke Maroko, utara Afrika. Setelah itu, ia memanfaatkan konflik di Spanyol dan perselisihan antarkabilah Arab.

Dengan bantauan para pendukung Bani Umayah dan kabilah-kabilah Yaman, Abdurrahman Al-Dakhel berhasil memasuki kota Andalusia (Spanyol saat ini) pada tahun 755 hijriah. Dengan menguasai kota Qurtuba, Abdurrahman mampu membentuk pemerintah tangguh dengan nama pemerintah Bani Umayah Andalus.

Setelah itu, Abdurrahman Ketiga menyebut dirinya sebagai khalifah. Ia kemudian memerintahkan pembangunan kota Madinah Al-Zahra dalam koridor program ideologi dan politiknya. Dengan langkah ini, Abdurrahman memberikan pesan penting kepada rival-rival pemerintahnya seperti Fathimiyun dan Bani Abbas.

Pembangunan kota itu pada dasarnya ingin menunjukkan kekuatan Bani Umayah di bawah kendali Abdurrahman Ketiga, di hadapan kekuatan-kekuatan di masa itu. Hingga kini, kota peninggalan Bani Umayah di Spanyol itu baru berhasil digali 11 persen. Banyak barang dan peninggalan kota itu yang disimpan di museum dekat kota Cordoba.

Ketika 'Suku Arya' Memahami Alquran

Sebagai sebuah teks, Alquran dapat dipahami dari sejarah bermulanya teks itu dibentuk dan difungsikan. Salah satu kajian yang mendalami konsep tersebut adalah kritis historister. Dari kajian itu, serta dengan dorongan pengetahuan rasional, dapat ditelusuri teks Alquran dan sejarahnya.

Konsep seperti itulah yang mendominasi model penelitian para sarjana Barat sejak abad ke-19. Abraham Geiger (1810-1874), misalnya dianggap sebagai sarjana pertama yang menerapkan pendekatan kritik-historis terhadap Alquran. Bahkan, pada 1883, ia menerbitkan sebuah buku yang berjudul 'Was hat Mohammed aus dem Judentum aufgenommen?' (Dirk Hatwig 2009:241).

Dalam bukunya itu, ia memaparkan bahwa Nabi Muhammad, dalam memproduksi Alquran, banyak menyisipkan tradisi-tradisi Yahudi. Sontak, pemikiran ini pun beranak pinak seperti yang dikembangkan Günther Luling dan Christoph Luxemberg. Buku 'Der Koran und sein religiöses und kulturelles Umfeld' (2010) editan Tilman Nagel, dianggap sebagai karya terbaru yang menghimpun beberapa hasil kajian historiskritis ala Geiger.

Alquran, dipahami mereka, sebagai sebuah teks `epigonik'. Dalam pengertian bahwa Alquran merupakan imitasi dari teks-teks pra-Islam. Pandangan itu pun melahirkan kontroversial di kalangan sarjana Muslim. Namun, tidak semua sarjana Barat yang berada dalam 'gerbong' pemikiran tersebut.

Sebut saja, Anglika Neuwirth, Nicolai Sinai, Michael Marx, dan Dirk Hartwig. Umumnya mereka memberikan perlawanan atas pemikiran tersebut, yang menolak bahwa Alquran hanyalah copy-paste atas `teks-teks praIslam'. Hal itu terlihat dari wawancara pada 2 Juli 2010 dan penelusuran beberapa artikel mereka. Salah satunya adalah proyek yang dikenal dengan Corpus Coranicum, yang sedang dilakukan di Berlin-Brandenburgische Akademie der Wissenschaften di Jerman.

Konsep Ala Geiger dengan para 'penentang' ini sebenarnya tidak jauh berbeda. Paradigma lah yang membedakan kedua pemikiran tersebut. Dalam konsep 'para penentang', Alquran diposisikan sebagai `teks polifonik' dan bukan mimesis (tiruan) dari teks-teks sebelumnya, seperti yang didengungkan Geiger.

Balasan Atas Teori Memesis Alquran Geiger
Abraham Geiger (1810-1874), dianggap sebagai sarjana pertama yang menerapkan pendekatan kritik-historis terhadap Alquran. Belakangan, konsep tersebut mendapatkan balasan, yang dimana Alquran diposisikan sebagai `teks polifonik' dan bukan mimesis (tiruan) dari teks-teks sebelumnya, seperti yang didengungkan Geiger.
Kecenderungan penelitian seperti itu boleh dikatakan sebagai `tren baru studi historis-kritis terhadap Alquran'. Namun, proyek tersebut memiliki tiga penyangga utama. Pertama, dokumentasi atas manuskrip-manuskrip Quran awal berikut variasi qira'at-nya terlebih dahulu diperhatikan. Tapi, pendokumentasian itu tidak ditujukan untuk membuat teks edisi kritis Alquran. Jika ditilik dari manuskrip Alquran, mereka hanya membuat data bank, seperti lokasi, penanggalan, dan aspek-aspek paleografis dari setiap manuskrip.

Saat ini, bank data terdiri atas 250 entri dan setiap entri memiliki sejumlah foto manuskrip. Jumlah foto yang telah digitalisasi dalam beberapa komputer mencapai 3.500. Sementara bank data tentang variasi bacaan Alquran, seseorang dapat menemukan semua cara baca (qira'at) Alquran, baik qira'at yang dianggap sebagai qira'at mutawatirah (diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi), qira'at masyhurah (diriwayatkan oleh relatif banyak perawi), maupun qira'at syadzdzah (yang tidak termasuk kedua macam qira'at tersebut).

Penyangga kedua, para sarjana yang terlibat dalam proyek tersebut juga dituntut melakukan penelitian dan kajian serta membuat bank data terkait dengan apa yang mereka sebut dengan Texte aus der Welt des Quran (teks-teks di sekitar Alquran). Target dari kajian tersebut adalah menemukan kesamaan teks Alquran dengan teks-teks lain pada masa turunnya wahyu Quran.

Kajian seperti ini dikenal dengan istilah `intertekstualitas' antara ayat-ayat Aquran dan teks-teks dari tradisi pra-Islam, seperti Alkitab, teks Yahudi pasca-biblikal, dan puisi Arab klasik. Mereka menafsirkan Intertekstualitas ini, sebagai landasan agar menguatkan rekonstruksi teks-teks yang ada di sekitar Alquran (Marx 2008:51).

Jika, para orientalis abad ke-19 memahami Alquran hanya merupakan sekumpulan imitasi/tiruan dari teks-teks pra-Islam, mereka kebalikannya. Bahkan mereka dapat melakukan penelitian seobjektif mungkin, yang sampai pada kesimpulan bahwa Alquran bukanlah `teks epigonik', yang merupakan hasil imitasi beberapa teks lain dari tradisi praIslam. (Neuwirth 2008:16; Wawancara 1 Juli 2010).

Meski Serupa, Alquran Tak Sama Dengan Teks Agama Lain
Jika, para orientalis abad ke-19 memahami Alquran sebagai kumpulan imitasi/tiruan dari teks-teks pra-Islam, Anglika Neuwirth, Nicolai Sinai, Michael Marx, dan Dirk Hartwig kebalikannya. Mereka memosisikan Alquran dalam penelitian seobjektif mungkin. Kesimpulannya Alquran bukanlah `teks epigonik', yang merupakan hasil imitasi beberapa teks lain dari tradisi praIslam.
Alquran, ditegaskan mereka, walaupun dalam beberapa kasus memiliki paralelitas dan kemiripan dengan teks-teks lain, namun 'independensinya' tetap terjaga. Hal itu terlihat dari karakteristik dari Alquran dan dinamikanya, baik dari segi bahasa maupun isi.

Neuwirth pun membandingkan salah satu surat di Alquran yakni al-Rahman dengan di kitab Zabur. Menurut dia, walaupun kedua teks tersebut memiliki paralelitas/interseksi, namun tetap Alquran memiliki gaya sendiri dalam struktur sastra dan spirit, bahkan lebih spesifik dalam hal isi dan pesan (Neuwirth 2008:157-189).

Pemikiran yang tidak jauh berbeda juga diperlihatkan Nicolai Sinai ketika meneliti QS. An-Najm. Dirk Hartwig, ketika diwawancarai tanggal 2 Juli, tak bisa menahan kritikkannya terhadap Christoph Luxemberg yang mengatakan bahwa Alquran adalah salinan teks dari tradisi Kristen yang berbahasa Syro-Aramaik.

Dan, penyangga terakhir, mereka telah dan sedang memproduksi apa yang mereka sebut sebagai 'der historischkritische literaturwissenschaftliche Kommentar des Quran' (interpretasi historis-kritis dan sastrawi terhadap Alquran). Konstruksi atas interpretasi ini dibangun melalui empat pondasi.

Teks Alquran dan terjemahannya dalam bahasa Jerman, adalah pondasi pertama. Teks Arab didasarkan pada qiara'at Hafsh dari `Asim. Terjemahan Alquran sebagian besar berasal dari terjemahan Rudi Paret dengan beberapa penyesuaian tertentu. Pondasi kedua adalah studi tentang urutan kronologis wahyu.

Dalam posisi ini, mereka ingin merekonstruksi dinamika teks Alquran sehubungan dengan aspek linguistik/sastranya. Juga, apa yang mereka sebut "kritik sastra" dalam arti mereka memberikan penjelasan struktur sastra Alquran dalam menyampaikan pesan tertentu.

16 April 2011

Sejarah Islam Di Negeri Tirai Bambu Cina

Tuntutlah Ilmu sampai ke negeri Cina," begitu kata petuah Arab. Jauh sebelum ajaran Islam diturunkan Allah SWT, bangsa Cina memang telah mencapai peradaban yang amat tinggi. Kala itu, masyarakat Negeri Tirai Bambu sudah menguasai beragam khazanah kekayaan ilmu pengetahuan dan peradaban.

Tak bisa dipungkiri bahwa umat Islam juga banyak menyerap ilmu pengetahuan serta peradaban dari negeri ini. Beberapa contohnya antara lain, ilmu ketabiban, kertas, serta bubuk mesiu. Kehebatan dan tingginya peradaban masyarakat Cina ternyata sudah terdengar di negeri Arab sebelum tahun 500 M. Sejak itu, para saudagar dan pelaut dari Arab membina hubungan dagang dengan `Middle Kingdom' - julukan Cina. HISTORY OF ISLAM IN CAHINA

Untuk bisa berkongsi dengan para saudagar Cina, para pelaut dan saudagar Arab dengan gagah berani mengarungi ganasnya samudera. Mereka `angkat layar' dari Basra di Teluk Arab dan kota Siraf di Teluk Persia menuju lautan Samudera Hindia.

Sebelum sampai ke daratan Cina, para pelaut dan saudagar Arab melintasi Srilanka dan mengarahkan kapalnya ke Selat Malaka. Setelah itu, mereka berlego jangkar di pelabuhan Guangzhou atau orang Arab menyebutnya Khanfu. Guangzhou merupakan pusat perdagangan dan pelabuhan tertua di Cina. Sejak itu banyak orang Arab yang menetap di Cina.

Ketika Islam sudah berkembang dan Rasulullah SAW mendirikan pemerintahan di Madinah, di seberang lautan Cina tengah memasuki periode penyatuan dan pertahanan. Menurut catatan sejarah awal Cina, masyarakat Tiongkok pun sudah mengetahui adanya agama Islam di Timur Tengah. Mereka menyebut pemerintahan Rasulullah SAW sebagai Al-Madinah.

Orang Cina mengenal Islam dengan sebutan Yisilan Jiao yang berarti 'agama yang murni'. Masyarakat Tiongkok menyebut Makkah sebagai tempat kelahiran 'Buddha Ma-hia-wu' (Nabi Muhammad SAW). Terdapat beberapa versi hikayat tentang awal mula Islam bersemi di dataran Cina. Versi pertama menyebutkan, ajaran Islam pertama kali tiba di Cina dibawa para sahabat Rasul yang hijrah ke al-Habasha Abyssinia (Ethopia). Sahabat Nabi hijrah ke Ethopia untuk menghindari kemarahan dan amuk massa kaum Quraish jahiliyah. Mereka antara lain; Ruqayyah, anak perempuan Nabi; Usman bin Affan, suami Ruqayyah; Sa'ad bin Abi Waqqas, paman Rasulullah SAW; dan sejumlah sahabat lainnya.

Para sahabat yang hijrah ke Etopia itu mendapat perlindungan dari Raja Atsmaha Negus di kota Axum. Banyak sahabat yang memilih menetap dan tak kembali ke tanah Arab. Konon, mereka inilah yang kemudian berlayar dan tiba di daratan Cina pada saat Dinasti Sui berkuasa (581 M - 618 M).

Sumber lainnya menyebutkan, ajaran Islam pertama kali tiba di Cina ketika Sa'ad Abi Waqqas dan tiga sahabatnya berlayar ke Cina dari Ethopia pada tahun 616 M. Setelah sampai di Cina, Sa'ad kembali ke Arab dan 21 tahun kemudian kembali lagi ke Guangzhou membawa kitab suci Alquran.

Ada pula yang menyebutkan, ajaran Islam pertama kali tiba di Cina pada 615 M - kurang lebih 20 tahun setelah Rasulullah SAW tutup usia. Adalah Khalifah Utsman bin Affan yang menugaskan Sa'ad bin Abi Waqqas untuk membawa ajaran Illahi ke daratan Cina. Konon, Sa'ad meninggal dunia di Cina pada tahun 635 M. Kuburannya dikenal sebagai Geys' Mazars.

Utusan khalifah itu diterima secara terbuka oleh Kaisar Yung Wei dari Dinasti Tang. Kaisar pun lalu memerintahkan pembangunan Masjid Huaisheng atau masjid Memorial di Canton - masjid pertama yang berdiri di daratan Cina. Ketika Dinasti Tang berkuasa, Cina tengah mencapai masa keemasan dan menjadi kosmopolitan budaya. Sehingga, dengan mudah ajaran Islam tersebar dan dikenal masyarakat Tiongkok.

Pada awalnya, pemeluk agama Islam terbanyak di Cina adalah para saudagar dari Arab dan Persia. Orang Cina yang pertama kali memeluk Islam adalah suku Hui Chi. Sejak saat itu, pemeluk Islam di Cina kian bertambah banyak. Ketika Dinasti Song bertahta, umat Muslim telah menguasai industri ekspor dan impor. Bahkan, pada periode itu jabatan direktur jenderal pelayaran secara konsisten dijabat orang Muslim.

Pada tahun 1070 M, Kaisar Shenzong dari Dinasti Song mengundang 5.300 pria Muslim dari Bukhara untuk tinggal di Cina. Tujuannya untuk membangun zona penyangga antara Cina dengan Kekaisaran Liao di wilayah Timur Laut. Orang Bukhara itu lalu menetap di di antara Kaifeng dan Yenching (Beijing). Mereka dipimpin Pangeran Amir Sayyid alias 'So-Fei Er'. Dia bergelar `bapak' komunitas Muslim di Cina.

Ketika Dinasti Mongol Yuan (1274 M -1368 M) berkuasa, jumlah pemeluk Islam di Cina semakin besar. Mongol, sebagai minoritas di Cina, memberi kesempatan kepada imigran Muslim untuk naik status menjadi Cina Han. Sehingga pengaruh umat Islam di Cina semakin kuat. Ratusan ribu imigran Muslim di wilayah Barat dan Asia Tengah direkrut Dinasti Mongol untuk membantu perluasan wilayah dan pengaruh kekaisaran.

Bangsa Mongol menggunakan jasa orang Persia, Arab dan Uyghur untuk mengurus pajak dan keuangan. Pada waktu itu, banyak Muslim yang memimpin korporasi di awal periode Dinasti Yuan. Para sarjana Muslim mengkaji astronomi dan menyusun kalender. Selain itu, para arsitek Muslim juga membantu mendesain ibu kota Dinasti Yuan, Khanbaliq.

Pada masa kekuasaan Dinasti Ming, Muslim masih memiliki pengaruh yang kuat di lingkaran pemerintahan. Pendiri Dinasti Ming, Zhu Yuanzhang adalah jenderal Muslim terkemuka, termasuk Lan Yu Who. Pada 1388, Lan memimpin pasukan Dinasti Ming dan menundukkan Mongolia. Tak lama setelah itu muncul Laksamana Cheng Ho - seorang pelaut Muslim andal.

Saat Dinasti Ming berkuasa, imigran dari negara-negara Muslim mulai dilarang dan dibatasi. Cina pun berubah menjadi negara yang mengisolasi diri. Muslim di Cina pun mulai menggunakan dialek bahasa Cina. Arsitektur Masjid pun mulai mengikuti tradisi Cina. Pada era ini Nanjing menjadi pusat studi Islam yang penting. Setelah itu hubungan penguasa Cina dengan Islam mulai memburuk.

Masa Surut Islam di Daratan Cina

The Niujie Mosque in Beijing
Hubungan antara Muslim dengan penguasa Cina mulai memburuk sejak Dinasti Qing (1644-1911) berkuasa. Tak cuma dengan penguasa, relasi Muslim dengan masyarakat Cina lainnya menjadi makin sulit. Dinasti Qing melarang berbagai kegiatan Keislaman.

Menyembelih hewan qurban pada setiap Idul Adha dilarang. Umat Islam tak boleh lagi membangun masjid. Bahkan, penguasa dari Dinasti Qing juga tak membolehkan umat Islam menunaikan rukun Islam kelima - menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci Makkah.

Taktik adu domba pun diterapkan penguasa untuk memecah belah umat Islam yang terdiri dari bangsa Han, Tibet dan Mogol. Akibatnya ketiga suku penganut Islam itu saling bermusuhan. Tindakan represif Dinasti Qing itu memicu pemberontakan Panthay yang terjadi di provinsi Yunan dari 1855 M hingga 1873 M.

Setelah jatuhnya Dinasti Qing, Sun Yat Sen akhirnya mendirikan Republik Cina. Rakyat Han, Hui (Muslim), Meng (Mongol) dan Tsang (Tibet) berada di bawah Republik Cina. Pada 1911, Provinsi Qinhai, Gansu dan Ningxia berada dalam kekuasaan Muslim yakni keluarga Ma.

Kondisi umat Islam di Cina makin memburuk ketika terjadi Revolusi Budaya. Pemerintah mulai mengendorkan kebijakannya kepada Muslim pada 1978. Kini Islam kembali menggeliat di Cina. Hal itu ditandai dengan banyaknya masjid serta aktivitas Muslim antaretnis di Cina.

30 December 2010

Gerakan Freemason dalam Lintasan Sejarah Indonesia

Meski ratusan tahun beroperasi di Nusantara, keberadaan Freemason (Belanda:Vrijmetselaarij), nyaris tak tertulis dalam buku-buku sejarah. Padahal, banyak literatur yang cukup memadai untuk dijadikan rujukan penulisan sejarah tentang gerakan salah satu kelompok Yahudi di wilayah jajahan yang dulu bernama Hindia Belanda ini.

Di antaranya adalah: Vrijmet selaarij: Geschiedenis, Maats chapelijke Beteekenis en Doel (Freemason: Sejarah, Arti untuk Masyarakat dan Tujuannya) yang ditulis oleh Dr Dirk de Visser Smith pada tahun 1931, Geschiedenis der Vrymet selary in de Oostelijke en Zuidelijke Deelen (Sejarah Freemason di Timur dan Selatan Bumi) yang ditulis oleh J Hagemen JCz pada tahun 1886, Geschiedenis van de Orde der Vrijmetselaren In Nederland Onderhoorige Kolonien en Londen (Sejarah Orde Freemason di Nederland di Bawah Kolonialisme) yang ditulis oleh H Maarschalk pada tahun 1872, dan Gedenkboek van de Vrijmet selaaren In Nederlandsche Oost Indie 1767-1917 (Buku Kenang-kenangan Freemason di Hindia Belanda 1767-1917), yang diterbitkan secara resmi pada tahun 1917 oleh tiga loge besar; Loge de Ster in het Oosten (Batavia), Loge La Constante et Fidele (Semarang), dan Loge de Vriendschap (Surabaya).

Di samping literatur yang sudah berusia ratusan tahun tersebut, pada tahun 1994, sebuah buku berjudul Vrijmetselarij en samenleving in Nederlands-Indie en Indonesie 1764- 1962 (Freemason dan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia 1764- 1962) ditulis oleh Dr Th Stevens, seorang peneliti yang juga anggota Freemason. Berbeda dengan buku-buku tentang Freemason di Hindia Belanda sebelumnya, buku karangan Dr Th Stevens ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia pada tahun 2004.

Buku-buku yang mengungkap tentang sejarah keberadaan jaringan Freemason di Indonesia sejak masa penjajahan tersebut, sampai saat ini masih bisa dijumpai di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Bahkan, Indisch Macconiek Tijdschrift (Majalah Freemason Hindia), sebuah majalah resmi milik Freemason Hindia Belanda yang terbit di Semarang pada 1895 sampai awal tahun 1940-an, juga masih tersimpan rapi di perpustakaan nasional.

Selain karya Stevens dan H Maarschalk yang diterbitkan di negeri Belanda, buku-buku lainnya seperti tersebut di atas, diterbitkan di Semarang dan Surabaya, dua wilayah yang pada masa lalu menjadi basis gerakan Freemason di Hindia Belanda, selain Batavia. Keberadaan jaringan Freemason di Indonesia seperti ditulis dalam buku Kenang-kenangan Freemason di Hindia Belanda 1767-1917 adalah 150 tahun atau 199 tahun, dihitung sejak masuknya pertama kali jaringan Freemason di Batavia pada tahun 1762 sampai dibubarkan pemerintah Soekarno pada tahun 1961.

Selama kurun tersebut Freemason telah memberikan pengaruh yang kuat di negeri ini. Buku Kenang-kenangan Freemason di Hindia Belanda 1767-1917 misalnya, memuat secara lengkap operasional, para tokoh, dokumentasi foto, dan aktivitas loge-loge yang berada langsung di bawah pengawasan Freemason di Belanda. Buku setebal 700 halaman yang ditulis oleh Tim Komite Sejarah Freemason ini adalah bukti tak terbantahkan tentang keberadaan jaringan mereka di seluruh Nusantara.

Keterlibatan elite-elite pribumi, di antaranya para tokoh Boedi Oetomo dan elite keraton di Kadipaten Pakualaman, Yogyakarta, terekam dalam buku kenang-kenangan ini. Radjiman Wediodiningrat, orang yang pernah menjabat sebagai pimpinan Boedi Oetomo, adalah satu-satunya tokoh pribumi yang artikelnya dimuat dalam buku kenang-kenangan yang menjadi pegangan anggota Freemason di seluruh Hindia Belanda ini.

Radjiman yang masuk sebagai anggota Freemason pada tahun 1913, menulis sebuah artikel berjudul ”Een Broderketen der Volken” (Persaudaraan Rakyat). Radjiman pernah memimpin jalannya sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Selain Radjiman, tokoh-tokoh Boedi Oetomo lainnya yang tercatat sebagai anggota Freemason bisa dilihat dalam paper berjudul The Freemason in Boedi Oetomo yang ditulis oleh CG van Wering.

Kedekatan Boedi Oetomo pada masa-masa awal dengan gerakan Freemason bisa dilihat setahun setelah berdirinya organisasi tersebut. Adalah Dirk van Hinloopen Labberton, pada 16 Januari 1909 mengadakan pidato umum (openbare) di Loge de Sterinhet Oosten (Loji Bin - tang Timur) Batavia. Dalam pertemuan di loge tersebut, Labberton memberikan ceramah berjudul, ”Theosofische in Verband met Boedi Oetomo” (Theosofi dalam Kaitannya dengan Boedi Oetomo).

Theosofi adalah bagian dari jaringan Freemason yang bergerak dalam kebatinan. Aktivis Theosofi pada masa lalu, juga adalah aktivis Freemason. Cita-cita Theosofi sejalan dengan Freemason. Apa misi Freemason? Dalam buku Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia 1764-1962, karya Dr Th Steven dijelaskan misi organisasi yang memiliki simbol Bintang David ini: ”Setiap insan Mason Bebas mengemban tugas, di mana pun dia berada dan bekerja,untuk memajukan segala sesuatu yang mempersatukan dan menghapus pemisah antar manusia.”

Jadi, misi Freemason adalah “menghapus pemisah antarmanusia!”. Salah satu yang dianggap sebagai pemisah antarmanusia adalah 'agama'. Maka, jangan heran, jika banyak manusia berteriak lantang: ”semua agama adalah sama”. Atau, ”semua agama adalah benar, karena merupakan jalan yang sama-sama sah untuk menuju Tuhan yang satu.”

Paham yang dikembangkan Freemason adalah humanisme sekular. Semboyannya: liberty, egality, fraternity. Sejak awal abad ke-18, Freemasonry telah merambah ke berbagai dunia. Di AS, misalnya, sejak didirikan pada 1733, Freemason segera menyebar luas ke negara itu, sehingga orang-orang seperti George Washington, Thomas Jefferson, John Hancock, Benjamin Franklin menjadi anggotanya.

Prinsip Freemasonry adalah 'Liberty, Equality, and Fraternity'. (Lihat, A New Encyclopedia of Freemasonry, (New York: Wing Books, 1996). Harun Yahya, dalam bukunya, Ksatria-kstaria Templar Cikal Bakal Gerakan Freemasonry (Terj), mengungkap upaya kaum Freemason di Turki Usmani untuk menggusur Islam dengan paham humanisme.

Dalam suratnya kepada seorang petinggi Turki Usmani, Mustafa Rasid Pasya, August Comte menulis, “Sekali Usmaniyah mengganti keimanan mereka terhadap Tuhan dengan humanisme, maka tujuan di atas akan cepat dapat tercapai.” Comte yang dikenal sebagai penggagas alir n positivisme juga mendesak agar Islam diganti dengan positivisme. Jadi, memang erat kaitannya antara pengembangan liberalisasi, sekularisasi, dan misi Freemason. .

08 December 2010

Benarkah Manusia Purba Memang Ada?

Sekali-kali, tengoklah buku sejarah untuk tingkat SMP. Bab I buku itu membahas tentang sejarah manusia, yang dikaitkan dengan kemungkinan adanya jenis makhluk bernama 'manusia purba'. Mengapa teori semacam ini dimunculkan dan diajarkan di sekolah-sekolah?

Perlu dicatat, Ilmu pengetahuan yang berkembang pada era dominasi Peradaban Barat sekarang ini bersumber dari paham sekularisme, utilitarianisme dan materialisme. Pahampaham tersebut menolak unsur transenden dalam alam semesta, memisahkan agama dari kehidupan dan nilai yang tidak mutlak atau relatif (Harvey Cox, The Secular City, 1965).

Semenjak Rene Descartes (m. 1650) menyampaikan prinsip cogito ergo sum (aku berpikir maka aku ada) maka rasio menjadi satu-satunya pengetahuan dan satu-satunya kriteria untuk mengukur kebenaran. Rasio menjadi pokok pengetahuan dan ia harus terbebas dari mitos-mitos keagamaan seperti wahyu, Tuhan, credo, nilai dan lain sebagainya.

Ilmu pengetahuan Barat modern tidak mempunyai pinjakan kuat tentang asal-usul manusia, berbeda dengan wahyu yang jelas-jelas menyebutkan manusia pertama adalah Adam. Merekapun menyusun suatu landasan teori yang menyebutkan bahwa asal-usul manusia adalah manusia purba. Teori ini 'diperkuat' dengan temuan-temuan fosil manusia purba yang berusia jutaan tahun. Maka muncul dan berkembanglah teori evolusi yang menyatakan asal usul manusia sekarang ini adalah manusia kera, kemudian berkembang menjadi manusia purba dan manusia modern.

Dalam pelajaran sejarah Indonesia kita sering mendapat informasi adanya fosil-fosil Homo erectus yang ditemukan di beberapa lokasi di Jawa yang oleh para arkeolog diperkirakan berumur mulai dari 1,7 juta tahun (Sangiran) hingga 50 ribu tahun yang lalu (Ngandong). Terdapat kategori dua subspesies berbeda yaitu Homo erectus paleojavanicus yang lebih tua daripada Homo erectus soloensis. Disebutkan bahwa mereka hidup sezaman dengan manusia modern Homo sapiens kurang lebih 50.000 tahun lalu.

Namun demikian hampir semuanya sepakat bahwa nenek manusia bukan manusia model yang fosilnya ditemukan itu. Para ahli pendukung teori evolusi mengatakan bahwa makhluk itu merupakan missing link (mata rantai yang hilang) dari ras manusia. Namun bagi umat Islam dan para ilmuwan modern, keberadaan fosil manusia purba tidak pernah diakui kebenarannya. Para evolusionis (kaum yang menganut paham teori evolusi Darwin) yang memang atheis tidak punya pijakan siapa manusia pertama sehingga berasumsi bahwa manusia yang sekarang ada merupakan perkembangan dari manusia purba.

Keberadaan manusia purba, termasuk binatang dinosaurus sudah banyak disangkal oleh para ilmuwan modern. Beberapa temuan terakhir justru menunjukkan bahwa teori manusia purba tidak benar alias tidak pernah ada. Selama ini kita mendapatkan pemahaman yang salah yang diberikan pada waktu pendidikan dasar, ditambah dengan rekayasa film ala holywood yang memvisualisasi keberadaan mahlukmahluk di jaman purba, di antaranya Film Jurasic Park. Keadaan menjadi bertambah parah tatkala teori tentang manusia purba yang dikemukakan oleh para evolusionis ini diberikan tempat di dalam kurikulum pendidikan dasar kita.

Para ilmuwan Barat yang sebagian besar memang menganut teori evolusi memasukkan Australopithecus atau ras kera yang telah punah sebagai ras "nenek moyang manusia".
Padahal ada jurang besar dan tak berhubungan antara kera dan manusia. Perbedaan ini yang tidak bisa dijelaskan oleh mereka selanjutnya disebut dengan mata rantai yang hilang (missing link).

Adapun ras manusia primitif menurut mereka, sebenarnya hanya variasi dari ras manusia modern, namun dibesar-besarkan sebagai spesies yang berbeda. Faktanya, spesies yang berbeda. Fakta tidak ada urutan kronologis seperti itu. Banyak yang hidup pada periode yang sama yang berarti tidak ada evolusi, bahkan ada yang lebih tua dari jenis yang diklaim sebagai nenek moyangnya.

Tatkala para evolusionis tak juga menemukan satu fosilpun yang bisa mendukung teori mereka, terpaksa mereka melakukan manipulasi. Contoh yang paling terkenal adalah manusia Piltdown yang dibuat dengan memasangkan tulang rahang orang utan pada tengkorak manusia. Fosil ini telah mem bohongi dunia ilmu pengetahuan selama 40 tahun. Ilmuwan evolusionis yang tidak mengenal Tuhan tidak mendapatkan informasi siapa manusia pertama yang mendiami bumi ini.

Oleh karena itu mereka membuat teori asal usul manusia yang dimulai dari manusia kera, manusia purba dan manusia modern. Apabila kita orang Islam mengemukakan konsep manusia pertama adalah Adam, sebagaimana disebutkan di dalam Alquran dan Hadis Nabi SAW, besar kemungkinan akan ditolak karena bertentangan dengan teori yang mereka buat. Karena dunia Barat saat ini tengah menguasai peradaban dunia, maka mereka bisa dengan mudahnya memasukkan teori-teori tersebut ke dalam kurikulum pendidikan, termasuk pendidikan Islam di negeri-negeri muslim. Sampai saat ini teori evolusi dengan keberadaan manusia purbanya masih banyak dipakai dan di ajarkan di sekolah-sekolah Islam.

Padahal itu semua tidak benar karena berasal dari pemikiran yang sangat spekulatif dan jauh dari unsur wahyu. Ironisnya, banyak orang tua tidak peduli, saat belajar sejarah, anaknya dijejali dengan teori yang menanamkan benih keraguan terhadap iman mereka.

Merunut Perjalanan Islam Mewarnai Eropa

Interaksi budaya kerap memicu persentuhan. Ada pertemuan antara budaya yang saling mempengaruhi satu sama lain. Demikian pula, persentuhan pemerintahan Islam Turki Usmani dengan Eropa. Di sisi lain, transfer budaya dan peradaban juga muncul dari karya-karya intelektual Muslim yang dipelajari Eropa.

Sultan Mehmed II, penguasa Turki Usmani, menjadi salah satu aktor yang mendorong terjadinya persentuhan budaya dan peradaban itu, khususnya dalam bidang seni. Namun, seorang cendekiawan Barat, Gunsel Renda, melalui tulisannya, The Ottoman Empire and Europe: Cultural Encounters, mengungkapkan, peran sang sultan tak banyak tersingkap.

Selain mengembangkan budaya Islam, Mehmed II juga dikenal sebagai sosok yang tertarik dengan sejarah masa lalu dan budaya Barat. Ketertarikan itu telah sejak belia tertanam di dalam benaknya. "Ia merupakan penguasa Turki Usmani pertama yang menjalin pertalian budaya dengan Barat," ujar Renda.

Penerimaan terhadap budaya lain dan ilmu pengetahuan, bisa tecermin dari koleksi buku di perpustakaan pribadinya. Di rak-rak perpustakaannya, bertebaran buku ilmiah yang ditulis dalam beragam bahasa. Buku itu juga sangat beraneka, dari kajian geogarfi, kesehatan, sejarah, hingga filsafat.

Bibel dan karya-karya Yunani klasik menjadi koleksi perpustakaan pribadi Mehmed II itu. Langkah Mehmed II membuka diri menjalin interaksi memicu sejumlah ilmuwan Barat memberikan apresiasi kepadanya. Giorgios Amirutzes dari Trabezond, misalnya, membuat peta dunia untuk sultan dengan menggunakan Geographike karya Ptolemeus.

Di Istana Topkapi, ada salinan Geographike dalam bahasa Latin serta terjemahan buku tersebut dalam bahasa Italia oleh Berlinghieri Fiorentino yang didedikasikan untuk Mehmed II. Pribadi Mehmed II, pandangan politik, dan sikapnya, akhirnya menebarkan citra Turki di dunia seni Eropa.

Sejumlah seniman Eropa membuat potret Mehmed II sebagai bentuk apresiasi. Di sisi lain, ia meminta dibuatkan potret dirinya. Ia pernah meminta bantuan sejumlah seniman melalui penguasa Italia. Costanza da Ferrara menjadi seniman Italia pertama yang datang ke istana Turki Usmani. Ia dikirim oleh Raja Naples, Ferdinand Ferrante II.

Hubungan Turki Usmani-Eropa yang berlangsung selama berabad-abad, terjadi di tengah perkembangan politik dan ekonomi di kedua belah pihak. Dalam bidang perdagangan, karpet Turki juga banyak diimpor oleh Eropa. Bahkan, motif rancangan pada karpet tak jarang mengikuti perkembangan seni, baik di Eropa maupun Turki Usmani.

Dengan latar belakang ini, di antara komunitas Muslim, Turki memiliki hubungan paling dekat dengan Eropa. Hubungan erat tersebut tecermin pula dalam seni dan budaya. Pada abad sebelumnya, pengaruh Muslim di bidang kuliner merambah Eropa dan menjadi rujukan.

Merujuk pada pernyataan Nabi Muhammad SAW bahwa tubuh memiliki haknya yang harus dipenuhi, dokter dan ilmuwan Muslim menyusun sejumlah buku yang terkait dengan makanan sehat. Demikian pula, dengan cara penyajiannya. Misalnya, Ibnu Sa’id alQurtubi pada abad ke-10 dengan karyanya Kitab Khalq al-janin wa Tadbir al-hibala.

Buku ini membahas diet bagi janin dan ibu yang sedang hamil. Lalu, ada Abu Marwan Ibn Zuhr (10921161) dengan karyanya, Al-Taysir fi ‘l-mudawat wa-‘ltadbir Kitab al-Aghdia. Ini merupakan buku tentang nutrisi. Buku yang membahas masakan secara khusus juga banyak jumlahnya.

Di antaranya adalah Kanz al-fawa’id fi tanwi’ almawa’id yang ada di abad ke-10. Penulisnya anonim dan buku ini diperkirakan dari Mesir. Seorang Muslim Spanyol pada abad ke-12 bernama Ibnu Razin Attujibi, menyusun sebuah buku berjudul Fadhalat al-Khiwan fi Atayyibat at-Ta’am wa-‘l-‘Alwan.

Selain itu, terdapat penulis lainnya, yaitu Mohammed al-Baghdadi, cendekiawan dari Irak pada abad ke-13, dengan karyanya Kitab at-Tabikh. Pada abad yang sama, Dawud al-Antaki dari Suriah, meluncurkan buku berjudul Tadhkira. Demikian pula, dengan Ibnu Adim yang juga dari Suriah, memiliki karya Wasla ‘l-habîb fi wasf al-tayyibât wa at-thibb.

Menurut Zohor Idrisi, seorang peneliti di Foundation for Science, Technology, and Civilization, dalam tulisannya The Influence of Islamic Culinary Art on Europe, pada abad ke-13, buku-buku yang disusun oleh dokter dan ilmuwan Muslim itu menarik perhatian, baik para penguasa maupun gereja di Barat. Rasa tertarik itu kian meningkat saat wilayah Ferrara, Salerno, Montpellier, dan Paris menjadi pusat studi karya kedokteran Muslim. Tak berhenti sampai di situ, di lingkaran penguasa dan aristokrat Eropa, permintaan makanan yang berasal dari dunia Muslim serta rempah mengalami peningkatan.

Sayangnya, ujar Idrisi, para aristokrat Eropa tak mengindahkan aturan diet dari konsumsi sayuran dan daging. Akibatnya, mereka diserang encok. Masuknya manisan, selai, dan makanan yang diawetkan ke Eropa melahirkan masalah baru lainnya bagi mereka, yaitu konstipasi. Mereka mengabaikan rekomendasi dokter Muslim soal makanan.


Namun, ada pula yang benar-benar mengikuti aturan pola makanan yang termuat dalam buku-buku karya Muslim itu. Di antaranya adalah Ratu Cristina yang mengua sai Denmark, Swedia, dan Norwegia. Ia tak mengalami permasalahan seperti yang dihadapi oleh para penguasa lainnya

*berbagai sumber

Ratusan Tahun, Lembaga Islam MDS Jadi Kunci Stabilitas Muslim di Rusia

Sistem Direktorat Spiritual Muslim (MSD) di Rusia tak memiliki basis mendasar dengan Islam, namun ia memiliki akar mendalam dalam Kerajaan Rusia dan Sejarah Soviet. Posisi bersejarah itulah yang memiliki peran kunci dalam mencegah pertikaian antar etnis dan agama di kawasan Muslim, di Volga Tengah dan di mana pun penjuru Rusia.

Pandangan tadi merupakan tulisan sebuah buku baru karangan A.Yu. Khavbutdinov, “The History of the Orenburg Muslim Spiritual Assembly (1788-1917): Institutions, Ideas and People”  terbit tahun ini. Dalam sebuah ulasan, sejarawan Rusia, Damir Mukhetdinov, menulis karena organisasi pendahulu MDS-itulah,  Majelis Spiritual Muslim Orenburg, maka wilayah Muslim masih stabil hingga kini.

Damir sendiri adalah kepala deputi MSD untuk Rusia Eropa. Ia berpendapat lembaga Orenburg, adalah "milik bersama semua Muslim Rusia, kecuali mereka yang tinggal di Kaukasus Utara,". Lembaga itu telah membantu mengembangkan strategi pengembangan dan kerjasama dengan negara dan masyarakat Rusia.

Kajian terhadap Majelis Orenburg menunjukan bahwa "jumlah masjid-masjid lebih berkembang hingga seratus kali lipat" selama masa keberadaan lembaga itu. Namun yang lebih penting bagi Muslim Rusia, "pada era tersebut proses asimilasi hampir selalu berjalan mulus dan tak ada kasus signifikan yang menunjukkan kepindahan warga pemeluk Islam ke negara lain."

"Dan hari ini kita saksikan, bahwa hal utama umat Rusia adalah keberadaan kota-kota dan aula yang menjadi pusat Islam selama epic Majelis Orenburg berlangsung," ujar Damir. Karena kondisi itu pula, para mufti di Rusia mengatakan mereka yang mengkritik sistem MDS dan aktivitas presidennya harus mempertimbangkan lagi kecamannya.

Tentu saja, imbuh Damir, tak pernah ada lembaga atau sosok yang ideal. Akhir masa tsarian di Rusia menunjukkan itu, yang ditandai munculnya bentrokan bahkan pembersihan etnis dan agama. Namun yang perlu ditekankan, mengingat sejarah bentrokan dan pembersihan etnis bukan hal jarang di Rusia, kata Damir, maka di zona mana kekerasan itu ada dan di zona mana yang tidak juga perlu.

Jika seseorang benar-benar mencermati, maka ia dapat melihat bahwa "sebuah kawasan luas yang diawasi Majelis Orenburg, mulai Petersburg hingga Chita dan dari Astrakhan ke Arkhangelsk, tetaplah bebas dari konflik berdarah. Kondisi yang sayangnya tak bisa ditemukan di Transcaucasus, Kaukasus Utara dan Kazakhstan atau Asia Tengah

Pengecualian atas pola nonkonflik dalam wilayah itu, di mana kehidupan beragama dipantau oleh Majelis Orenburg, kala periode revolusi, hanya di bagian Urals, di mana Bashkirs dan Slavic bertikai atas penguasa kawasan. Sejarah mengungkap pula mengapa selama 1990 tidak ada bentrokan berdarah di sana.

Semua mufti yang memimpin di Majelis Orenburg, tulis Damir, mempromosikan kebijakan hubungan damai dengan lingkungan dan tetangga sekitar. Lebih dari itu, Majelis Orenberg, dalam kajian terbukti menjalankan tata-kelola langka, mereka membuat pengeluaran minimal dari dana penduduk yang dikumpulkan. Mereka tidak hanya mengurus hal-hal keagamaan tetapi juga pendidikan. Majelis pun mencegah mullah dan imam terpisah dan berjarak dari populasi masyarakat.

Baik pengarang maupun pengulas mengatakan, muncul pandangan luas yang keliru bahwa Majelis Orenburg dan anggotanya hanyalah orang-orang birokratis yang tidak melihat situasi semua Rusia dari kacamata terkucil mereka. Damir menyatakan, justru hingga kini, lembaga itu tidak kehilangan kedudukan pentingnya dalam era milenium baru, ketika umat Rusia kembali mempertanyakan persatuan, perbaikan ekonomi, keuangan dan pendidikan sekaligus menjaga kepribadian Muslim di tengah dunia yang kian berubah.

23 November 2010

Sejarah Ketentaraan dalam Dunia Islam

Organisasi dan taktik militer menjadi sebuah kekuatan. Pemerintahan pada masa Abbasiyah, memiliki kekuatan itu sebagai penopang eksistensi mereka. Tentunya, selain pencapaian ilmu pengetahuan di berbagai bidang yang melahirkan decak kagum, organisasi dan taktik militer yang saat itu dikembangkan diakui efektivitasnya oleh pihak lain.

Buku Art of War, yang ditulis seorang sarjana bernama Charles Oman, mengungkapkan, dua hal yang membuat orang-orang Islam yang dipanggil dengan sebutan Saracen pada abad ke-10 menjadi musuh berbahaya, adalah jumlah dan kekuatan mesin perang luar biasa. Pengakuan atas kekuatan militer itu, terungkap pula dalam sebuah naskah tentang taktik militer yang dikaitkan pada Raja Leo VI. Ia berkuasa pada 886 hingga 912 Masehi. Menurut dia, dari semua bangsa atau berber, orang-orang Islam adalah yang paling baik dan paling hebat dalam taktik militernya.

Pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah, militer dibangun dengan mengandalkan pasukan Persia, bukan Arab. Bahkan, pasukan pengawal istana yang menjadi mesin militer terkuat kebanyakan diambil dari pasukan Khurasan. Saat itu, pasukan Arab dibagi menjadi dua divisi, yaitu Arab Utara yang berasal dari Mudhar.

Divisi lainnya adalah Arab Selatan yang berasal dari Yaman. Khalifah al Mu'tashim, di suatu hari membentuk divisi baru. Orang-orang Turki direkrut untuk mengisi divisi tersebut. Mereka berasal dari Farqanah dan sejumlah wilayah Asia Tengah lainnya. Meski pada akhirnya, divisi baru ini menjadi batu sandungan.

Seiring bergulirnya waktu, terutama setelah Khalifah Al-Muntashir, yang berkuasa antara 861 hingga 862 Masehi, mangkat, orang-orang Turki yang tergabung dalam divisi baru itu mulai memainkan peran mereka sebagai bagian dari pasukan pemerintah yang berpengaruh besar dalam urusan kenegaraan.

Dinasti Abbasiyah, mengadopsi sistem yang dikembangkan pihak lain dalam mengembangkan organisasi militernya, terutama saat membentuk pola pasukan. Mereka mengambilnya dari Romawi dan Bizantium, yang menempatkan 10 prajurit di bawah kendali satu orang yang disebut a'rif. Sama seperti decurion dalam militer Romawi.

Sedangkan, 50 prajurit di bawah komando seorang khalifah, 100 prajurit di bawah komando seorang qa'id, dan 10 ribu pasukan yang terdiri atas 10 batalion di bawah komando seorang amir atau jenderal. Pasukan yang terdiri atas 100 orang membentuk sebuah skuadron dan beberapa skuadron membentuk sebuah unit.

Tak hanya untuk pertahanan, Dinasti Abbasiyah memanfaatkan pasukannya untuk meredam berbagai pemberontakan yang terjadi di berbagai wilayah, seperti di Persia, Suriah, dan Asia Tengah. Selain itu pasukannya juga dikirim untuk berperang melawan kekuatan Bizantium.

Menurut Philip K Hitti dalam History of the Arabs, sistem organisasi militer kekhalifahan Arab, pada umumnya tak mempunyai pasukan reguler dalam jumlah besar. Bahkan, pasukan pengawal khalifah yang disebut haras mungkin merupakan satu-satunya pasukan tetap yang masing-masing mengepalai sekelompok pasukan.

Terdapat pasukan bayaran dan sukarelawan serta beberapa pasukan yang berasal dari beragam suku dan distrik. Pasukan sukarelawan yang karib dengan sebutan mutathawwi'ah dibayar saat mereka sedang bertugas. Biasanya, pasukan ini beranggotakan orang-orang badui, petani, dan penduduk kota.

Pasukan tetap yang bertugas aktif, biasanya disebut sebagai murtaziqah. Mereka dibayar secara berkala oleh pemerintah. Sedangkan pasukan pengawal istana, memperoleh bayaran lebih tinggi dibandingkan pasukan lainnya. Mereka juga mengenakan seragam bagus dan dipersenjatai secara lengkap.

Namun, pada masa awal tampuk pemerintahan Dinasti Abbasiyah, mereka telah memiliki pasukan reguler, yang terdiri atas pasukan infanteri atau harbiyah yang dipersenjatai dengan tombak, pedang, dan perisai. Juga, ada pasukan panah (ramiyah) dan kavaleri (fursan), yang bersenjatakan tombak panjang dan kapak.

Perlengkapan lainnya yang mereka kenakan adalah pelindung kepala dan dada. Terkait dengan tingkat gaji, ratarata gaji yang diterima pasukan infanteri sekitar 960 dirham per tahun.
Mereka juga mendapatkan tambahan santunan rutin. Sedangkan, pasukan kavaleri mendapatkan gaji dua kali lipat dari gaji pasukan infanteri.

Pada masa Khalifah Al-Ma'mun, saat dinasti ini mencapai puncak kejayaan kekuasaannya, pasukan yang bermarkas di Baghdad, Irak, mencapai jumlah 125 ribu. Saat itu, pasukan infanteri hanya menangguk gaji sebesar 240 dirham per tahun. Namun, pasukan kavaleri tetap saja diberi gaji dua kali lipat dibandingkan mereka. Sejumlah terobosan Sejarawan Ibnu Khaldun dan AlThabari mengisahkan, saat tampuk kekuasaan di tangan Al-Mutawakil, pasukannya diajari membawa pedang di pinggang, layaknya gaya para pasukan Persia. Saat itu, orang-orang Arab telah terbiasa membawa pedang di punggungnya.

Sang khalifah, memerintahkan pasukan panah membawa pelontar, berpakaian antiapi, dan bertugas melontarkan bahan-bahan mudah terbakar ke area pasukan musuh. Para arsitek pembuat alat pelontar dan pendobrak ditugaskan untuk menemani pasukan di medan pertempuran.

Ada seorang arsitek terkenal bernama Ibn Shabir al-Manjaniqi yang hidup pada abad ke-11, pernah membuat sebuah karya tentang seni peperangan serta teknik peperangan yang diuraikannya secara sangat terperinci. Di sisi lain, Khalifah Harun alRasyid merupakan khalifah pertama memiliki ide pembuatan ambulans.

Ambulans ini digunakan untuk merawat personel pasukan yang terluka saat bertempur di medan peperangan. Ambulans pada masa itu berbentuk gerobak yang ditarik oleh unta. Di dalam gerobak tersebut, terdapat berbagai macam jenis obat untuk mengobati luka-luka para pasukan perang.

Gerakan Zionis, Bagaimana Asal Muasalnya? (3-habis)

Tulisan menarik dapat dibaca lewat olahan Norman G Finkelstein dalam buku The Holocaust Industry. Finkelstein yang kedua orang tuanya lolos dari Ghetto Warsawa dan kamp konsentrasi Nazi menyatakan, Holocaust terbukti menjadi senjata ideologi yang vital. Dengan cara itu, negara dengan kekuatan militer mengagumkan, dengan catatan HAM mengerikan, telah memotret diri sebagai negara 'korban'.

Puluhan museum Holocaust kini tersebar di berbagai negara. Di AS, sekurangnya ada 23 museum. Di Washington DC, misalnya, ada United States Holocaust Memorial Museum yang sempat dikunjungi Republika beberapa tahun lalu. Selain menyajikan film, museum ini memamerkan tumpukan sepatu tua, gerbong kereta, dan ratusan artefak. Keterangan tertulis menyebutkan, barang-barang tersebut adalah peninggalan para korban Holocaust.

Di Jerman, juga terdapat museum Holocaust yang bertengger di pusat keramaian kota Berlin. Museum ini didesain dan dibangun dengan biaya yang tidak sedikit. Museum Holocaust di Berlin berada di bawah tanah. Di permukaan tanah di museum itu terdapat monumen yang terbangun dari batu-batu anti grafiti. Jelas sekali lobi Israel bermain sangat kuat bagi pencitraan dirinya sebagai korban tindak kekerasan.

Istilah anti-Semit dan anti-Zionis selalu dicampuradukkan  kendati di internal Yahudi sendiri ada suara minoritas menentang zionisme. Para ilmuwan Yahudi, juga di masyarakat di kalangan akar rumput menentang gerakan yang cenderung melanggar asas-asas kemanusiaan itu.

"Para penganut paham liberal atau radikal sekalipun tak mampu membendung kebiasaan kaum zionis yang menyamakan anti-Semit dan anti-Zionis," tulis Said. Sejarah penderitaan itulah yang dieksploitasi untuk merobek Palestina. Kini, Laut Mediterania seolah menjadi saksi betapa darah dan air mata seakan berlomba tumpah di tanah Palestina.

Tak heran jika Presiden Iran, Mahmoud Ahmadinejad begitu kuat berupaya untuk menjadikan isu Holocaust tidak disalahgunakan oleh Zionis untuk membolak-balikkan opini. Dia beberapa kali mengungkapkan bahwa Holocauts adalah mitos. Pernyataan ini tidak lain adalah untuk memancing pemikiran agar dunia sadar betapa zionis mengekspolitasi isu tersebut untuk melegalkan aksi arogannya.

Satu pernyataan menarik pernah diungkapkan Ahmadinejad untuk meruntuhkan mitos Holocaust itu. Selain bercerita soal dipenjaranya beberapa peneliti yang mencoba mendalami Holocaust, Ahmadinejad juga sempat mengajukan pertanyaan yang sangat 'mematahkan' argumentasi kaum zionis. "Kalau Holocaust benar terjadi, mengapa warga Palestina yang harus 'mempertanggungjawabkannya'? Semestinya kan Jerman atau Eropa yang harus membayar utang moral atas kejadian itu," kata Ahmadinejad dalam satu wawancara dengan Der Spiegel. (habis)

Gerakan Zionis, Bagaimana Asal Muasalnya? (2)


Arthur John Balfour, mantan perdana menteri Inggris yang juga berperan penting bagi gerakan Zionis.


Seiring munculnya gejolak perlawanan di Palestina, Inggris memutuskan menjauh dari zionisme. Mereka juga melihat lahan yang tersedia tak lagi mencukupi bagi kedatangan kaum Yahudi. Inggris juga menilai telah memenuhi janji pada Deklarasi Balfour. Adolf Hitler menjadi Kanselir Jerman pada 1933 meningkatkan imigrasi kaum Yahudi Jerman ke Palestina. Aksi ini mengundang perlawanan bangsa Arab, namun ditumpas Inggris.

Tapi, kepentingan atas minyak dunia Arab juga membuat Inggris berpikir ulang mengenai zionisme. Pada 1939, Inggris mengeluarkan 'buku putih' yang menyebutkan kebijakan Inggris bukanlah menjadikan Palestina sebagai negara kaum Yahudi. Langkah ini mengundang reaksi kaum zionis. Aksi teror pun mereka lakukan.

Zionis mendirikan Irgun Zvai Leumi yang bertujuan 'melancarkan kampanye teror terhadap populasi Arab'. Pada 1942, Irgun dipimpin Manachem Begin kelak menjadi perdana menteri Israel. Serangan pun mulai diarahkan kepada lambang-lambang kekuasaan Inggris di Timur Tengah. Inggris terdesak. Dukungannya pada zionisme menjadi bumerang. Sementara itu, lobi zionis terhadap Pemerintah AS semakin ditingkatkan, misalnya lewat electoral punishment, menarik dukungan mereka pada pemilu.

Kemenangan kaum zionis, tulis Ovendale, didukung mesin propaganda serta akses media. Kelebihan lainnya adalah dengan menggunakan Holocaust untuk mendulang simpati.Setelah menyerahkan mandat Palestina kepada PBB, pada 1947 Majelis Umum PBB pun melakukan voting pemecahan wilayah Palestina. Zionisme meraih kemenangan lewat Resolusi 181 yang dikenal dengan Partition Plan. Tanah Palestina terbagi tiga: wilayah Arab, wilayah Yahudi, dan Yerusalem yang berstatus di bawah pengawasan internasional.

Partition Plan mendorong kaum zionis untuk mendeklarasikan berdirinya negara Israel, 14 Mei 1948. Pada 1949, pengungsi Palestina yang terusir nyaris mencapai satu juta jiwa. Bagi bangsa Arab, Palestina adalah tanah air mereka. Hingga kini, kedudukan Palestina-Israel tak setara. Palestina hingga kini tetap tidak diakui sebuah negara.

Edward W Said, profesor di Columbia University, AS, yang menulis setidaknya delapan buku mengenai Palestina, mendukung Palestina-Israel hidup berdampingan secara damai asalkan agresi militer dan penindasan terhadap Palestina diakhiri Israel. Meski terbilang moderat, Said menyatakan, zionis ingin menghentikan langkahnya.

Saat penganut Kristen Episkopalian yang lahir di Nazareth, Yerusalem, ini mengunjungi penjara Khiam yang dibangun Israel di Lebanon selatan, dia memotretnya. Esoknya, media Israel dan Barat memuat Said sebagai 'teroris pelempar batu, pria pecinta kekerasan, dan lain-lain'. Dia menilai, tindakan itu sebagai 'propaganda zionis yang penuh permusuhan'.

Pada 2001, tulis Said, "Israel menyewa pengacara AS keturunan Israel untuk 'menyelidiki' 10 tahun pertama kehidupan saya dan 'membuktikan' saya tidak pernah tinggal di sana meski lahir di Yerusalem. Mungkin, ini menunjukkan saya pembohong yang keliru menafsirkan 'hak untuk pulang'. Padahal, 'hak untuk pulang' memungkinkan kaum Yahudi dari mana saja datang dan tinggal di Israel meski tak pernah menginjakkan kaki di Israel."

Sejauh ini, Holocaust menjadi senjata kampanye yang ampuh bagi kaum zionis. Media tampaknya menjadi tulang punggungnya. Seperti diakui Said dalam bukunya, The Question of Palestine, yang menyoroti siaran televisi NBC musim semi 1978. "... Sebagian program tersebut ditujukan sebagai justifikasi dari zionisme--meskipun pada saat yang nyaris bersamaan, pasukan Israel di Lebanon melakukan penghancuran, dengan ribuan korban nyawa warga sipil, dan penderitaan yang tak terucapkan. Namun, hanya segelintir wartawan yang berani menggambarkan aksi itu mirip penghancuran yang dilakukan AS di Vietnam." (bersambung)

13 November 2010

Gerakan Zionis, Bagaimana Asal Muasalnya? (1)

Kepulan asap mesiu membubung tinggi di udara Gaza. Darah terus tertumpah. Seolah tak dapat dipercaya inilah tanah yang dipaparkan dalam kisah para nabi. Dalam jurnal Historian yang terbit tahun 2009, Ritchie Ovendale memaparkan asal muasal konflik Arab-Israel.

Mantan profesor politik internasional Universitas Wales, Inggris, ini menyatakan, sikap anti-Semit sebagai istilah yang muncul pada 1860 di Eropa menjadi cikal bakal pergerakan kaum Yahudi. Di Rusia, sikap anti-Semit ini disebut pogroms. Periode Dreyfus menandai imigrasi Yahudi Eropa, kemudian menetap di Kanada, Inggris, Australia, dan Afrika Selatan.

Sebagian lagi berimigrasi ke wilayah Kekhalifahan Utsmaniyyah, yakni Palestina. Jumlah terbesarnya mendarat di AS. Ide 'Tanah Air' bagi kaum Yahudi digelindingkan pertama kali oleh Leon Pinsker pada 1882 lewat buku Auto-Emancipation. Maknanya dipahami sebagai 'pendirian kembali' tanah air Yahudi di Palestina atau Eretz-Israel.

Adapun kata zionis pertama kali digunakan Nathan Birnbaum dalam artikel pada 1886. Secara politis, zionisme diadopsi Theodore Herzl dalam tulisannya, Der Judenstaat (Negeri Kaum Yahudi), yang terbit di Wina, Austria, pada 1896. Herzl memiliki dua pilihan lokasi tanah air, yaitu Argentina atau Palestina.

Argentina, menurut Herzl, punya kondisi alam yang kaya, wilayah luas, populasi sedikit, dan cuaca sedang. Tapi, pilihan kemudian jatuh ke Palestina, bersandar pada Kitab Perjanjian Lama sebagai tanah yang dijanjikan (the promised land).

Kongres zionis pertama di Basel pada 1897 yang diikuti manuver taktis Max Nordau mengubah istilah tanah air ini menjadi heimmstatte, yang diadopsi sebagai sinonim negara. Setelah itu, muncullah World Zionist Organisation, bendera negara, Hatiqva sebagai lagu kebangsaan, dan Jewish National Fund.

Herzl mengembuskan napas terakhir pada 1904. Ia bak mitos yang diagung-agungkan pendukung zionisme. Pada akhir konferensi di Basel, ia mencatat dalam diarinya bahwa di Basel, ia berhasil mendirikan negara Yahudi. Setengah abad kemudian, orang menyadari ambisinya menjadi kenyataan.

Penerus Herzl, Chaim Weizzman, tinggal di Manchester, Inggris. Pada 1906, ia melakukan pendekatan ke berbagai pihak, termasuk Arthur John Balfour. Meski sudah berstatus mantan perdana menteri, Balfour masih berada dalam lingkaran kekuasaan Inggris. Saat itu, populasi Yahudi di Palestina belum mencapai 10 persen dibandingkan bangsa Arab.

Pada 1917, Kabinet Perang Inggris mengizinkan Balfour yang saat itu menteri luar negeri memberikan surat simpati kepada tujuan zionisme. Surat yang dikenal sebagai Deklarasi Balfour ini menyebutkan, "Pemerintahan yang mulia bersimpati bagi berdirinya sebuah national home di Palestina bagi bangsa Yahudi ...."

Di hadapan Kabinet Perang, Balfour berharap mendulang simpati sehingga populasi Yahudi di Rusia dan AS akan mendesak pemerintah mereka untuk mendukung Inggris. Dukungan ini akan membantu propaganda di kedua negara agar mendukung Inggris memenangkan Perang Dunia I. Lobi zionis, terutama di AS, amat kuat.

Namun, pada 1919, dukungan pada zionisme di Inggris makin melemah. Banyak pendukung zionisme menyadari bahwa tujuan mereka adalah mendirikan negara di Palestina. Sebutan national home dalam Deklarasi Balfour diterjemahkan menjadi negara. Imigrasi pun terus dimobilisasi. (bersambung)

Bagaimana Sastra dan Musik Mewarnai Sejarah Islam?


ilustrasi

Seni telah lama berkembang. Bidang ini juga menjadi bagian dalam perkembangan peradaban Islam. Salah satunya adalah penulisan sastra. Banyak sastrawan bermunculan dengan berbagai karya mereka. Di sisi lain, seni musik pun mendapatkan ruang dan para musisi diberi kesempatan untuk mengembangkan potensinya.

Sastra mulai berkembang saat pemerintahan Dinasti Abbasiyah. Puncaknya, termasuk dalam perdagangan, terjadi pada masa kepemimpinan Khalifah Harun Al Rasyid dan putranya, Al Ma’mun. Para sastrawan masa itu banyak melahirkan karya besar. Bahkan, mereka juga memberikan pengaruh besar terhadap perkembangan sastra pada masa pencerahan di Eropa.

Philip K Hitti dalam bukunya History of The Arabs mengatakan, pada masa itu sastra mulai dikembangkan oleh Abu Uthman Umar bin Bahr Al Jahiz. Ia mendapatkan julukan sebagai guru sastrawan Baghdad. Al Jahiz dikenal dengan karyanya yang berjudul Kitab Al Hayawan atau Kitab Hewan. Ini merupakan sebuah antologi anekdot binatang, perpaduan rasa ingin tahu antara fakta dan fiksi. Ia pun menulis karya lain, Kitab Al Bukhala, yang merupakan kajian tentang karakter manusia.

Perkembangan sastra ini kemudian terus berlanjut hingga mencapai masa puncaknya pada sekitar abad ke-10.
Bermunculan nama-nama sastrawan yang memiliki pengaruh besar, yaitu Badi Al Zaman Al Hamadhani, Al Tsa'alibi dari Naisabur, dan Al Hariri. Al Hamadhani dikenal sebagai pencipta maqamat, sejenis anekdot yang isinya dikesampingkan oleh penulisnya untuk mengedepankan kemampuan puitisnya. Namun, dari sekitar 400 yang ditulisnya, hanya ada 52 yang masih bisa ditelusuri jejaknya.

Seorang sastrawan lainnya, Al Hariri, lebih jauh mengembangkan maqamat. Ia menjadikan karya-karya Al Hamadhani sebagai model. Melalui maqamat ini, baik Al Hamadhani dan Al Hariri, menyajikan anekdot sebagai alat untuk menyamarkan kritik-kritik sosial terhadap kondisi yang ada di tengah masyarakat.

Menurut Philip K Hitti, sebelum maqamat berkembang, ada sastrawan yang merupakan keturunan langsung Marwan, khalifah terakhir Dinasti Abbasiyah. Sastrawan itu bernama Abu Al Faraj Al Ishbahani. Ia lebih dikenal dengan panggilan Al Ishfahani. Abu Al Faraj tinggal di Aleppo, Suriah, untuk menyelesaikan karya besarnya, Kitab Al Aghni. Ini merupakan sebuah warisan puisi dan sastra yang berharga. Buku ini juga dianggap sebagai sumber utama untuk mengkaji peradaban Islam.

Sejarawan terkenal, Ibnu Khaldun, menyebut karya Abu Al Faraj sebagai catatan resmi bangsa Arab. Bahkan, saking berharganya karya itu, sejumlah figur ternama dalam pemerintahan, seperti Al Hakam dari Andalusia, mengirimkan seribu keping emas kepada Abu Al Faraj sebagai hadiah. Sebelum pertengahan abad ke-10, draf pertama dari sebuah karya yang kemudian dikenal dengan Alf Laylah wa Laylah (Seribu Satu Malam) disusun di Irak. Acuan utama penulisan draf ini dipersiapkan oleh Al Jahsyiyari.

Awalnya, ini merupakan karya Persia klasik, Hazar Afsana. Karya itu berisi beberapa kisah yang berasal dari India. Lalu, Al Jahsyiyari menambahkan kisah-kisah lain dari penutur lokal. Sastrawan lain yang kemudian muncul pada masa Abbasiyah adalah Abu Al Tayyib Ahmad Al Mutanabbi. Banyak kalangan menganggap bahwa ia merupakan sastrawan terbesar.

Abu al-’Ala al-Ma’arri yang hidup antara 973 hingga 1057 Masehi merupakan sosok lainnya. Ia menjadi salah satu rujukan para sarjana Barat. Puisi-puisi yang ia ciptakan menunjukkan adanya perasaan pesimis dan skeptisme pada zaman ia hidup. Perkembangan sastra ini juga memberikan pengaruh kepada Spanyol.

Dalam konteks ini, tak ada penulis Barat yang mengungkapkan ketertarikan Eropa terhadap sastra Arab dalam bentuk yang lebih dramatis dan puitis dibandingkan penyair asal Inggris William Shakespeare. Hal menarik yang diciptakan Shakespeare adalah Pangeran Maroko yang merupakan salah satu tokoh agung dalam The Merchant of Venice. Pangeran Maroko dibuat dengan meniru Sultan Ahmed al-Mansur yang agung yang menunjukkan martabat kerajaan.

Pada masa pemerintahan Islam, musik juga mengalami perkembangan. Para penguasa pemerintahan Islam di Baghdad bahkan pergi ke Kordoba untuk memberikan dukungan kepada musisi dan perkembangan musik di sana. Alat musik pun banyak bermunculan. Bahkan, berkembang di luar wilayah Islam.

Misalnya oud, yang berbentuk setengah buah pir, berisi 12 string. Di Italia, oud menjadi il luto. Di Jerman, alat musik menjadi laute. Di Prancis, alat ini menjadi le luth. Di Inggris, ini menjadi lute. Rebab, yang merupakan salah satu bentuk dasar biola, menyebar dari Spanyol ke Eropa dengan nama rebec.

Rebana merupakan instrumen musik Arab yang juga diadaptasi oleh dunia Barat. Rebana terbuat dari kayu dan per kamen. Hingga saat ini, rebana masih digunakan di berbagai belahan dunia saat bermusik. Perkembangan musik dan alat musik ini ditopang pula oleh kegiatan yang biasanya diselenggarakan di istana.

24 October 2010

Potret Gemilang Islam di Era Abbasiyah

Tak hanya terobosan dalam tata pemerintahan, pada masa Abbasiyah, tradisi keilmuan berkembang pula. Salah satu yang terlihat jelas adalah metode penulisan sejarah. Philip K Hitti dalam History of the Arabs menyatakan, pada masa Abbasiyah, metode penulisan sejarah telah matang untuk melahirkan karya sejarah formal.

Pada masa sebelumnya, penulisan sejarah dilakukan berdasarkan legenda dan anekdot pada masa pra-Islam. Pun, didasarkan pada tradisi keagamaan yang berkisar pada nama dan kehidupan Nabi. Namun, saat Dinasti Abbasiyah berkuasa, penulisan sejarah mengalami kemajuan. Penulisan dilekatkan pada legenda, tradisi, biografi, geneologi, dan narasi.

Sejarah juga diriwayatkan melalui penuturan para saksi atau orang yang sezaman dengan penulis. Ini dilakukan melalui sejumlah mata rantai para saksi sejarah. Metode ini dinilai telah menjamin keakuratan data bahkan hingga penanggalan kejadian, meliputi bulan dan hari kejadian.

Sejarawan formal pertama pada masa itu adalah Ibn Qutaybah yang bernama lengkap Muhammad ibn Muslim Al Dinawari. Ibn Qutaybah meninggal dunia di Baghdad pada 889 Masehi setelah menuntaskan penulisan bukunya, Kitab Al Maarif atau Buku Pengetahuan.

Sejarawan ternama lainnya yang sezaman dengannya adalah Abu Hanifah Ahmad ibn Dawud Al Dinawari. Ia tinggal di Isfahan. Karya utama Al Dinawari adalah Al Akhbar Al Thiwal (Cerita Panjang), yang merupakan sejarah dunia dari sudut pandang Persia. Di kemudian hari, muncul nama Abu Al Hasan Ali Al Mas’udi.

Di kalangan sejarawan Muslim, ia mendapat julukan Herodotus bangsa Arab. Sebab, Al Mas’udi dianggap sekelas dengan sejarawan Yunani, Herodotus yang hidup pada abad ke-5 Masehi. Al Mas’udi oleh para pemikir dianggap telah memprakarsai metode tematis dalam penulisan karya-karya sejarah.

Metode yang Al Mas’udi gunakan tidak seperti metode yang digunakan sejarawan ternama, Al Thabari, yang dalam menyusun karya sejarah berdasarkan tahun kejadian. Dalam menulis, ia mengelompokkan berbagai peristiwa sejarah berdasarkan dinasti, raja, serta masyarakatnya.

Metode tersebut kemudian diikuti oleh para ahli sejarah lain, seperti Ibn Khaldun. Al Mas’udi juga merupakan orang yang pertama kali menggunakan anekdot-anekdot sejarah. Ia berkelana mencari ilmu hingga ke Baghdad, Asia, dan Zanzibar. Pada dekade terakhir kehidupannya, Al Mas’udi berada di Suriah dan Mesir untuk menulis 30 jilid buku yang berjudul Muruj al Dzahab wa Ma’adin al Jawhar (Padang Emas dan Tambang Batu Mulia). Ini karya geografis bergaya ensiklopedia.

Pada bagian awal karyanya, Al Mas’udi mengatakan daerah-daerah yang tandus pada mulanya adalah lautan dan daerah yang sekarang lautan pada mulanya adalah daerah tandus. Menurut dia, hal tersebut terjadi karena kekuatan alam. Sedangkan dalam karyanya yang berjudul Al Tanbih wa Al Isyraf, Al Mas’udi mengungkapkan pemikirannya tentang filsafat sejarah dan alam. Ia juga mengutip sejumlah pendapat ahli filsafat pada masa itu.

19 January 2009

CHEROKEE

Suku Indian Muslim yang musnah


Jika kita berjalan atau mengunjungi Washington, datanglah ke Perpustakaan Kongres (Library of Congress). Lantas, mintalah arsip perjanjian pemerintah Amerika Serikat dengan suku Cherokee, salah satu suku Indian, tahun 1787. Disana akan ditemukan tanda tangan Kepala Suku Cherokee saat itu, Abdel-Khak dan Muhammad Ibnu Abdullah.
Isi perjanjian itu antara lain adalah hak suku Cherokee untuk melangsungkan keberadaannya dalam perdagangan, perkapalan, dan bentuk pemerintahan suku Cherokee berdasarkan hukum Islam. Lebih lanjut, akan ditemukan kebiasaan berpakaian wanita suku Cherokee yang menutup aurat sedangkan laki-lakinya memakai turban (surban) dan terusan hingga sebatas lutut.

Cara berpakaian ini dapat ditemukan dalam foto atau lukisan suku Cherokee yang diambil gambarnya sebelum tahun 1832. Kepala suku terakhir Cherokee sebelum akhirnya benar-benar punah dari daratan amerika adalah seorang Muslim bernama RAMADHAN Ibnu WATI.

Berbicara tentang suku Cherokee, tidaklah lepas dari Sequoyah. Ia adalah orang suku Cherokee asli yang berpendidikan dan menghidupkan kembali Syllabary suku pada tahun 1821. Syllabary adalah semacam aksara, jika kita sekarang mengenal abjad A sampai Z, maka suku Cherokee memiliki aksara sendiri.

Yang membuatnya luar sangat biasa adalah aksara yang dihidupkan kembali oleh Sequoyah ini sangat mirip sekali dengan aksara Arab. Bahkan beberapa tulisan masyarakat Cherokee abad VII yang ditemukan terpahat di bebatuan di Nevada sangat mirip dengan kata “Muhammad” dalam bahasa Arab.

Nama-nama suku Indian dan kepala sukunya berasal dari bahasa Arab tidak hanya ditemukan pada suku Cherokee (Shar-Kee), tapi juga Anasazi, Apache, Arawak, Arikana, ChavinCree, Makkah, Hohokam, Hupa, Hopi, Mahigan, Mohawk, Nazca, Zulu, dan Zuni. Bahkan beberapa kepala suku Indian juga mengenakan tutup kepala khas orang Islam. Mereka adalah kepala suku Chippewa, Creek, Iowa, Kansas, Miami, Potawatomi, Sauk, Fox, Seminole, Shawnee, Sioux, Winnebago, dan Yuchi. Hal ini ditunjukkan pada foto-foto tahun 1835, dan 1870.

Secara umum, suku-suku Indian di Amerika juga percaya adanya Tuhan yang menguasai alam semesta. Tuhan itu tidak teraba oleh panca indera. Mereka juga meyakini tugas manusia yang diciptakan Tuhan adalah untuk memuja dan menyembahnya. Seperti penuturan kepala suku Ohiyesa: “In the life of the Indian, there was only inevitable duty –the duty of prayer- the daily recognition of the Unseen and the Eternal”. Bukankah ini telah dimaktub oleh Allah di dalam Al-Qur’an bahwa jin dan manusia diciptakan untuk beribadah kepada Allah.