22 March 2009

Al-Mas'udi

Sejarawan Muslim Termasyhur di Abad X


"Herodotus dari Arab." Begitulah para orientalis Barat menjuluki Abu Al-Husain Ali Ibnu Al-Husain Al-Mas'udi sejarawan dan penjelajah Muslim tersohor pada abad X. Sejarah mencatat prestasi dan dedikasinya bagi pengembangan ilmu sejarah modern dengan tinta emas.
Al-Mas'udi merupakan sejarawan Muslim pertama yang 'mengawinkan' sejarah dan geografi ilmiah lewat sebuah adikarya berjudul Muruj Adh-Dhahab Wa Ma'adin Al-Jawahir (Padang Rumput Emas dan Tambang Permata). Karya besarnya itu merupakan bagian dari sejarah dunia.
Ahmed MH Shboul dalam tulisannya yang berjudul  Al-Mas'udi and His World: A Muslim Humanist and His Interest in Non-Muslims menuturkan, bukan tanpa alasan sejarawan Muslim itu kerap disejajarkan dengan Herodotus--ahli sejarah Yunani yang hidup pada abad ke-5 SM.
Herodotus dikenal sebagai 'Bapak Sejarah' karena telah menulis suatu kumpulan cerita mengenai berbagai tempat dan orang yang ia kumpulkan sepanjang perjalanannya. Itu pula yang dilakukan Al-Mas'udi pada abad 10 M. Ia menulis catatan perjalanannya ke berbagai tempat.
Al-Mas'udi tak hanya mampu menggabungkan geografi ilmiah dengan sejarah. Ia juga menulis peristiwa-peristiwa sejarah yang disaksikannya dengan kritis. Dialah sejarawan pertama yang mengawali perubahan dalam seni menulis sejarah. Al-Mas'udi pun tercatat sebagai sejarawan yang memperkenalkan elemen-elemen analisis, refleksi, dan kritik dalam penulisan sejarah.
Sistem penulisan sejarah yang digagasnya kemudian disempurnakan oleh sejarawan dan ilmuwan Muslim legendaris dari abad ke-14 M yang bernama Ibnu Khaldun. Kontribusi Al-Mas'udi yang begitu besar bagi studi sejarah juga dituangkan dalam kitab bertajuk  Al-Tanbeeh . Dalam kitab itu, Al-Mas'udi membuat sebuah studi sejarah sistematis yang berlawanan dengan perspektif geografi, sosiologi, antropologi, dan ekologi.
Kedalaman dan keluasan ilmunya tak perlu diragukan. Pada masanya, Al-Mas'udi mampu menganalisis secara tajam dan mendalam tentang penyebab jatuh bangunnya negara-negara. Dengan pendekatan analitis dan ilmiahnya, dia mampu menyampaikan sebuah laporan mengenai penyebab gempa bumi yang terjadi pada tahun 955 M.
Al-Mas'udi pun mampu membahas Laut Merah serta masalah-masalah lainnya dalam ilmu bumi. Dia juga tercatat sebagai penulis pertama yang mengungkapkan adanya kincir angin ditemukan oleh Muslim Sijistan. Selain menguasai sejarah dan geografi, Al-Mas'udi pun menguasai beragam bidang ilmu lainnya.
Ia juga telah mendedikasikan dirinya bagi pengembangan musik dan bidang ilmu lainnya. Lewat bukunya yang bertajuk  Muruj al-Thahab , Al-Mas'udi mengungkapkan informasi penting mengenai asal mula musik Arab dan musik-musik di negara lain. Karya lain yang ditulis Al-Mas'udi adalah risalah berjudul  Muruj al-Zaman .
Selain itu, Al-Mas'udi juga sempat menyelesaikan penulisan  Kitab Al-Ausat . Di akhir kariernya, sang sejarawan legendaris mampu merampungkan penulisan  Kitab al-Tanbih wa al-Ishraf . Semasa hidupnya, Al-Mas'udi mampu menulis tak kurang dari 34 judul kitab. Hal itu diungkapkannya dalam kitab berjudul  Al-Tanbih .
Sayangnya, dari 34 judul buku yang berhasil ditulisnya pada abad ke-10 M, hanya tiga buku yang masih eksis hingga kini. "Dengan hilangnya sebagian besar buku yang ditulisnya sehingga ada yang meragukan kemampuannya melakukan penjelajahan hingga ke Cina dan Madagaskar," papar Ahmed MH Shboul.
Terlepas dari itu, masyarakat dunia patut berterima kasih kepada Al-Mas'udi yang telah berjasa dan memberi kontribusi penting bagi geografi, sejarah, dan ilmu bumi. Al-Mas'udi juga tercatat sebagai saintis awal yang mencetuskan beberapa aspek dalam evolusi. Ia sempat mencetuskan tesis mengenai evolusi kehidupan dari mineral menjadi tanaman, tanaman menjadi binatang, dan binatang ke manusia.
Lalu, bagaimana kisah hidup Al-Mas'udi? Sangat sedikit catatan tentang kisah hidupnya di masa kecil. Yang jelas, dalam buku yang ditulisnya, ia menyatakan terlahir di Kota Baghdad pada 896 M. Dia adalah keturunan dari Abdullah Ibnu Mas'ud, seorang sahabat Nabi Muhammad SAW.
Ketika menginjak usia 30 tahun, Al-Mas'udi mulai melakukan perjalanan dan penjelajahan. Perjalanan pertama dilakukannya ke Fars pada 915 M. Setelah menetap selama satu tahun di Istikhar, dia melakukan perjalanan ke India melalui Baghdad. Ia juga sempat mengunjungi Multan dan Mansoora sebelum kembali ke Fars.
Dikisahkan pula, Al-Mas'udi sempat mengunjungi Kirman dan kembali lagi ke India. Pada masa itu, Mansoora digambarkan Al-Mas'udi sebagai kota besar terkemuka yang menjadi ibu kota negara Muslim bernama Sind. Pada 918 M, Al-Mas'udi juga sempat singgah di Gujarat. Dalam catatan perjalanannya, ia menceritakan bahwa sekitar 10 ribu Muslim dari Arab telah tinggal di Pelabuhan Laut Chamoor.
Kota lainnya yang sempat dikunjung Al-Mas'udi adalah Deccan, Srilanka, Indo-Cina, Cina, dan kembali ke Basrah melalui Madagaskar, Zanjibar, serta Oman. Sesampainya di Basrah, Irak, dia berhasil merampungkan penulisan kitab  Muruj al-Thahab . Buku itu berisi pengalamannya selama tinggal di berbagai negara dengan orang-orang dan iklim yang juga berbeda-beda.
Al-Mas'udi juga melaporkan keseharian hidupnya yang mengharuskannya berinteraksi dengan orang Yahudi, Iran, India, dan Kristen. Setelah menetap di Basrah, ia hijrah ke Suriah, lalu ke Kairo, Mesir. Di Negeri Piramida itu, Al-Mas'udi menulis buku keduanya yang berjudul  Muruj al-Zaman sebanyak 30 volume.
Dalam buku itu, ia menjelaskan secara perinci geografi dan sejarah negeri-negeri yang pernah dikunjunginya. Paul Lunde dan Caroline Stone dalam pengantar buku terjemahan karya Al-Mas'udi bertajuk  Mas'udi, The Meadows of Gold, The Abbasids menyatakan, Al-Mas'udi banyak menerima informasi tentang Cina dari Abu Zaid Al-Sirafi. Informasi itu diperolehnya ketika mereka bertemu di Teluk Persia.
"Di Suriah, Al-Mas'udi juga bertemu dengan Leo Tripoli. Leo adalah panglima Bizantium yang masuk Islam," papar Lunde dan Stone. Dari Leo, papar Lunde dan Stone, Al-Mas'udi banyak menyerap informasi tentang Bizantium. Sungguh sayang, sebagian besar karya besar Al-Mas'udi telah hilang.
Meski begitu, pengaruhnya hingga kini tak pernah mati. Penelitian dan pandangan-pandangannya mampu memberi pengaruh secara luas dalam ilmu penulisan sejarah ( historiografi ), geografi, dan ilmu bumi di beberapa negara. Meski jasadnya telah terkubur 11 abad silam Al-Mas'udi wafat pada September 956 M di Kairo--lewat karya-karyanya yang legendaris, nama besar Al-Mas'udi tak hilang ditelan zaman. N heri ruslan
Aktivitas Intelektual di Era Al-Mas'udi
"Al-Mas'udi hidup di saat buku melimpah ruah dan harganya relatif murah," tutur Paul Lunde dan Caroline Stone dalam buku  Mas'udi, The Meadows of Gold, The Abbasids . Sang sejarawan memang hidup di era keemasan Dinasti Abbasiyah. Kala itu, aktivitas intelektual tengah menggeliat di kota-kota Islam.
Lunde dan Stone menuturkan, di era kehidupan Al-Mas'udi di Baghdad dan kota-kota besar lainnya, bermunculan perpustakaan umum. Selain itu, ulama, ilmuwan, dan penguasa juga memiliki perpustakaan pribadi. "Sebagai contoh, temannya Al-Mas'udi bernama Al-Suli memiliki perpustakaan pribadi dengan koleksi buku mencapai ribuan volume," imbuh Lunde dan Stone.
Melimpahnya buku dengan harga yang murah meriah di era kejayaan Abbasiyah, tak lepas dari penguasaan teknologi pengolahan kertas. Dalam pertempuran Talas tahun 751 M, umat Islam berhasil melakukan transfer teknologi pengolahan kertas dari peradaban Cina. Di puncak kejayaan Kekhalifahan Abbasiyah, industri kertas dan buku berkembang pesat seiring dengan geliat intelektualitas.
Sebagai seorang penulis yang produktif, Al-Mas'udi pun kerap mendorong para pembacanya untuk mendiskusikan buku-buku yang telah ditulisnya. Hal itu menunjukkan betapa dunia Islam di era kejayaan mengalami geliat keilmuan yang sangat pesat. Menurut Lunde dan Stone, dunia Islam pada masa itu sungguh sangat terpelajar.
Menurut Ahmad Shboul, sebelum menjadi seorang ilmuwan yang terkemuka, Al-Mas'udi adalah seorang murid dari sejumlah tokoh intelektual Irak kenamaan. Ia sempat berguru pada filologis, seperti Al-Zajjaj, Ibnu Duraid, Niftawaih, dan Ibnu Anbari. Selain itu, dia juga sempat menimba ilmu pada Kashajim yang ditemuinya di Aleppo.
Selama masih menjadi seorang murid, Al-Mas'udi sangat menyukai filsafat. Buku-buku filsafat karya filosof terkemuka, seperti Al-Razi, Al-Kindi, Aristoteles, Al-Farbi, dan Plato dilahapnya setiap hari. Ia pun mencatat dalam bukunya tentang pertemuannya dengan Yahya Ibnu Adi, seorang murid sang legenda: Al-Farabi.
Karya-karya ilmuwan Yunani juga dipelajarinya. Al-Mas'udi sangat akrab dengan karya-karya kedokteran yang ditulis Galen. Ia juga suka sekali membaca karya Ptolemous tentang astronomi serta buah pikir Marinus tentang geografi. Al-Mas'udi pun tak lupa mempelajari hasil karya para astronom dan geografer Muslim terkemuka.
Sang sejarawan juga sempat mempelajari ilmu hukum. Salah satu kebiasaannya adalah kerap menemui para ahli hukum berpengaruh dan tak lupa mempelajari hasil karyanya. Al-Subkhi menyatakan, Al-Mas'udi merupakan salah seorang murid Ibnu Suraij ulama terkemuka dari Sekolah Shafi'ie. Setiap mengunjungi sebuah negara, ia selalu menemui para ulama dan ilmuwan terkemuka di wilayah itu. hri


Pengaruh Sang Sejarawan
Kapasitas keilmuwan Al-Mas'udi tak hanya diakui di dunia Islam. Peradaban Barat pun mengakui karya dan dedikasi sang sejarawan dalam pengembangan studi sejarah. Salah satu bentuk pengakuan masyarakat Barat terhadap Al-Mas'udi adalah dengan diterjemahkannya kitab  Muruj Adh-Dhahab Wa Ma'adin Al-Jawahir ke dalam bahasa Prancis oleh Societa Asiatique sebanyak sembilan volume pada 1861 M hingga 1877 M.
Seabad kemudian, buah karya Al-Mas'udi direvisi Charles Pellat. Buku itu kemudian diterbitkan dalam lima volume oleh Universitas Libanon, Beirut. Selain itu, Pellat juga merevisi terjemahan buku itu dalam bahasa Prancis. Di tahun 1989, dua penulis bernama Paul Lunde dan Caroline Stone menerjemahkan  Muruj Adh-Dhahab Wa Ma'adin Al-Jawahir ke dalam bahasa Inggris.
Menurut Ahmad Shboul, penerjemahan buku Al-Mas'udi ke dalam bahasa Prancis telah memberi pengaruh bagi intelektual Eropa. Tak heran, jika Al-Mas'udi dikenal dan mendapat tempat terhormat dalam peradaban Barat. E Renan, misalnya, membandingkan Al-Mas'udi dengan penulis Yunani di abad ke-2 M, yakni Pausanius.
Ilmuwan Barat lainnya kerap membandingkan Al-Mas'udi dengan penulis dari Romawi bernama Pliny. Sebelum karya Al-Mas'udi diterjemahkan ke dalam bahasa yang digunakan di Eropa, para orientalis kerap membandingkan Al-Mas'udi dengan Herodotus, "Bapak Sejarah" dari Yunani. Menurut Shboul, perbandingan itu sungguh sangat menarik dan membuktikan Al-Mas'udi memiliki pengaruh yang besar terhadap peradaban Barat.

No comments: