Sebuah Biografi
1. Nama kelahiran
Nama imam al-hakim adalah Abu Abdillah Al-hakim Muhammad bin Abdullah bin Muhammad bin Na’im bin Al-hakam Adh-dhabbi Ath-Athahmani An-Nasaiburi Al-Hafidz yang terkenal dengan sebutan Ibnu Bayyi’.
Dia lahir pada hari, tanggal 3 bulan Rabiul Awal tahun321 HIjriyah.
Abu Abdillah Al-hakim menuntut ilmu di mulai semenjak masih kecil melalui berkat bimbingan dan arahan ayah serta paman dari ibunya. Adapun pertama kali dia mendengarkan hadits tahun330 Hijriyah ketika baru berumur tuju tahun. Dia mendapatkan hadits secara imla’ dari Abu Hatim Ibnu Hibban pada tahun334 Hijriyah.
Setelah itu, Abu Abdillah Al-hakim melakukan perjalannya mencari ilmu dari Naisaburi ke Irak pada tahun 341 Hijriyah, selang beberapa bulan setelah Isamail As-Syaffar meninggal dunia. Kemudian dia melakukan ibadah haji dan selanjutnya meneruskan perjalannya mencari ilmu kenegeri Khurasan, daerah ma wara’an an-nahri dan lainnya. Adapun para guru Abu Abdillah Al-hakim di naisaburi sendiri jumlahnya mencapai 1000 syaikh. Sedangkan guru-guru yang diperoleh selain dari naisaburi pun kurang lebih 1000 syaikh.
Sebagaimana yang dikatakan Al-Khalil bin Abdillah di depan bahwasannya Abu Abdillah Al-hakim pernah dua kali melakukan perjalannya mencari ilmu ke Irak dan Hijaz. Perjalanan mencari ilmu yang kedua ini dilaksanakan pda tahun 338 Hijriyah.
Adz-Dzahabi berkata, “Abu Abdillah Al-hakim mendapakan sanad hadits yang ‘ali di Khurasan, Irak dan daerah ma wara’an an-nahri. Dia melakukan perjalanannya mencari ilmu ke Irak sewaktu berusia dua puluh tahun tidak lama setelah meninggalnya Ash-Shaffar.
2. Sanjungan para ulama terhadapnya
Abu Ath-Thahrir As-Salafi berkata,” aku telah mendengar Ismail bin Abdul Jabar Al-Qadhi di daerah Qazwain berkata,” aku telah mendengar Al-Khalil bin Abdullah Al-Hafizh ketika menyebut nama Abu Abdillah Al-hakim dengan penuh hormat, dia berkata,” Abu Abdillah Al-hakim telah dua kkali mengujungi Irak dan Hijaz. Kunjungan keduanya ter jadi pada tahun 338 Hijriyah, dimana dia berdiskusi dengan Imam Ad-Daruquthni sampai ia ridha atas Abu Abdillah Al-hakim. Abu Abdillah Al-hakim adalah seorang yang Tsiqah, mempunyai ilmu luas dan karya mencapai kurang lebih lima ratus juz.
Abu Hazim Umar bin Ahmad bin Ibrahim Al-Abdawi Al-Hafidz berkata, “ sesungguhnya Abu Abdillah Al-hakim pernah diangakat menjadi hakim didaerah Nasa’ pada tahun 359 Hijriyah ketika daulah As-Samaniyah berkuasa dengan perdana menterinya yang bernama Abu Ja’far Al-Atabi.
Pada waktu itu, Al-Khalil bin Ahmad As-Sijzi Al-Qadhi menemui Al-Atabi dan berkata,” Allah telah menganugrahkan kepadamu dengan syaikh (Abu Abdillah Al-hakim). Dia telah mnyiapkan diri ke Nsa’ dengan membawa 300.000 hadits Rasulullah S.A.W. “mendengar berita ang dibaca Al-Khalil As-Sijzi ini, wajah Al-Atabi lalu Nampak berseri-seri karena gembira. Kemudian jabatan Abu Abdillah Al-hakim sebagai hakim hendak dipindahkan tugaskan keJUrjan, akan tetapi diamenolaknya.
Aku telah mendengar para syaikh kami berkata,”Abu Bakar Ibnu Ishaq dan Al-walid An-Naisaburi sering bertandang menemui Abu Abdillah Al-hakim untuk menanyakan tentang Jarh wa At-Ta’dil, Illat hadits dan menemukan hadits-hadits yang shahih dari yang tidak shahih.
Pada waktu itu ia tinggal bersama Abu Abdillah Al-Ashami kurang lebih tiga tahun lamanya. Tak satu pun syaikh yang kau ketahui lebih bertaqwa dan cepat bereaksi daripada Abu Abdillah Al-Ashami . Apabila ia menemui dalam hadits, maka dia menyuruhku untuk menanyakan kepada Abu Abdillah Al-hakim dan menulis jawabannya. Jika apa yang aku tulis dari Imam Al-Hakim terdapat jawabannya, maka Abu Abdillah Al-AShami akan memberikan hukum keputusan hadits tersebut dengan jawaban Al-Hakim. Dia telah memilih para gurunya selama 50 tahun.”
Abdul Ghafir Al-Farisi berkata,” Abu Abdillah Al-hakim hanya berteman dengan imam pada masanya, yaitu Abu Bakar Ahmad bin Ishaq Ash-Shibghi. Dia selalu bertanya kepada Ibnu Ishaq Ash-Shighi tentang Jarh Wa Ta’dil dan illat hadits. Abu Bakar Ahmad Ibnu Ishaq As-Sibghi juga berwasiat kepada Al-hakim mnengenai permasalahan madrasahnya Dar As-Sunah, sampai Abu Bakar mempercayakn urusan madrasahnya kepada Abu Abdillah Al-hakim.
Aku juga sering mendengar para guru kami menceritakan hari-harinya dimasa lalu dengan berkata, “sesungguhnya para imam terkemuka dan terdepan dimasanya semisal Imam Sahl Ash-Shu’luki, Imam Ibnu Furak dan beberapa imam lainnya menghormati Abu Abdillah Al-hakim melebihi dari merka sendiri. Mereka mengutamakan dan mendahulukan kepentingan Abu Abdillah Al-hakim karena kelebihan dan kemampuan menghafal makrifat ynag dimilikinya.”
Ketika Abu Abdillah Al-hakim menghadiri suatu pengajian, par syaikh dan peserta yang hadir akan memuliakannya. Mereka setia mendengarkan apa yang disampaikan Abu Abdillah Al-hakim karena hormat dan fasihnya pembicaraanya .”
Al-Abdawi berkata, “ aku telah mendengar Abu Abdurrahman As-Sulami berkata, “pada waktu itu aku akan menulis hadits di juz kitab bagian luar dari hadits Imam Abi Al-Husain Al-Hajjaji Al-Hafizh; ketika aku mengambil pena untuk menulisnya, tiba-tiba Al-Hafizh membantingku dan berkata, “apa-apaan ini! Aku(Al-Hafizh) telah menghafalnya dan Abu Abdillah Al-hakim lebih hafizh dariku. Sedangkan aku tidak menjumpai seorangpun yang hafizh selain Abu Ali An-Naisaburi dan Abu Abbas Ibnu Uqdah.”kemudian aku(As-Sulami) bertanya kepada Ad-Daruquthni,” siapakah yang lebih hafizh di antara Ibnu Mandah dan Abu Abdillah Al-hakim? Ad-Daruquthni menjawab,” Abu Abdillah Al-hakim lebih mutqin (mantap)hafalannya”.
Ad-Dzahabi,” Abu Abdillah Al-hakim adalah seorang imam yang hafizh, kritukus perawi hadits yang dalm ilmunya serta syaihknya para ulama ahli hadits.”
Adz-Dzahabi berkata lebih lanjut, “barang siap mernungkan karya-karya Imam Abu Abdillah Al-hakim, pembahsannya ketika meberikan imla’ dan analisa pandanganya menganai jalur-jalur periwayatan hadits, maka ia kan mengakui kecerdasan dan kelebihan yang dimiliki Imam Abu Abdillah Al-hakim.Sesungguhnya Imam Al-Hakim mengikuti jejak para pendahulunya dimana para ulama setelahnya akan kerepotan mengikuti jerih payah sebagaimana yang di lakukan Abu Abdillah Al-hakim. Dia hidup dengan terpuji dan tidak ada seorang pun setelahnya menyamainya.”
Tajudin As-Subki mengatakan bahwasannya Abu Abdillah Al-hakim adalah seorang imam yang mulia, hafizh yang banyak hafalannya dimana ulama telah mengakui kemampuannya yang telah dia miliki. Banyak ahli hadits berdatangan untuk menemuinya dari berbagai Negara karena keluasan ilmunya dan banyaknya hadits yang diriwayatkannya.
Para ulama sepakat bahwasanya Abu Abdillah Al-hakim termasuk ulama yang paling pandai yang telah Allah utus guna memelihara agama-Nya ini.
Abu Hazim berkata, “orang pertama kali yang popular mengusai dan menghafal hadits berikut I’llat-I’llatnya di naisaburi setelah Imam Muslim bin Al-Hajjaj Adalah Ibrahim bin Abi Thalib yang semasa denagn imam An-Nasa’I dan Ja’far Al-Faryabi.
Periode berikutnya adalah Abu Hamid Asy-Syarqi yang semasa dengan Abu Bakar bin Ziyad An-Naisaburi dan Abu Al-Abbas bin Said.
Kemudian Abu Ali Hafizh yang semasa dengan Abu Ahmad Al-Assal dan Ibrahim bin Hamzah. Setelah itu adalh Asy-Syaikhani, Abu Al-Husain Al-Hajjaj dan Abu Ahmad Al-hakim yang semasa dengan Ibnu Adi, Ibnu Al-Mudzhaffar dan Ad-Daruqthuni.
Sedangkan, Abu Abdillah Al-hakim dimasanya adlah seorang diri yang tidak ada ulama lain selain dirinya, baik di Hijaz, Irak, Jabal, Rai Thabaristan, Qaus, Khurasan, dan daerah mawara’an an-nahri.”
Inilah sebagian penuturan Abu Hazim yang disampaikan dalam biografi Imam Abu Abdillah Al-hakim. Di akhir kisahnya , Abu Hazim berkata,”semoga Allah menjadikan kita sebagai orang-orang yang pandai bersyukur atas nikmatnya ini.”
3. Jawaban atas tuduhan yang menuduhnya mengikuti syiah
Imam At-Taj As-Subki berkata secara ringkasnya adalah sebagai berikut, “Abu Abdillah Al-hakim tealah di tuduh mengikuti aliran syiah.tuduhan itu berdasarkan pada suatu pendapat bahwa Abu Abdillah Al-hakim tealah mendahulukan kedudukan Ali bin abi Thalib biarpun dia tidak mencela salah satu sahabat.
Setelah kami koreksi peryataan tersebut, teryata kami jumpai bahwa Abu Abdillah Al-hakim adalah seorang ulama ahli hadits yang para ulama tidak mengalami perbedaan pendapat tentangnya. Sesungguhnya jarang sekali kita jumapai ulama ahli hadits yang mengikuti aliran syiah.kalau pun ada, maka itu hanya segelintir orang saja pada suatu komunitas.
Dan, dari segekintir orang yang mengikuti aqidah syi’ah ini, ketika kami pelajari gurunya yang memiliki hubungan lebih khusus kepada mereka, teryata guru tersebut adalah ulama ahli hadits terkemuka yang mengikuti Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Disamping itu, mereka para guru juga berpegang teguh pada aqidah Imam Abu Al-Hasan Al-Asy’ari semisal syaikh Abu Bakar Ibnu Ishaq As-Shibghi, Abu Bakar bin Furak, Abu Sahal Ash-Shu’uluki dan yanga lainya. Orang-orang seperti mereka inilah yang selalu mereka geluti pengajiannya dan yang menyampaikan kepada mereka dasar-dasar agama dan sejenisnya.
Dan, ketika kami melihat dengan seksama kitab sejarah karya Imam Abu Abdillah Al-hakim dalam menyebutkan biografi para ulama Ahlul Sunnahwal Jamaah, maka kami menamukan bahwasannya Abu Abdillah Al-hakim menyebutkan bigrafi mereka sesuai hak-hak dan kemulian mereka.
Sebagai misal, perhatikanlah biografi Abu Sahal Ash-Shu’luki, Abu Bakar Ibnu Ishaq dan selainya dalam kitab sejarah karaya Al-Hakim. Disitu Abu Abdillah Al-hakim tidak menyinggung sedikitpun tengtang perbedaan akidah mereka.
Ketika saya mengoreksiya dengan metode istiqra’, tidak tamapak sedikit pun pembahasan sejarahwan yang bersifat celaan ataupun ejekan dalam akidah dan kitab sejarah Al-Hakim. Padahal, sudah menjadi kebiasaan mereka (para ahli sejarah) adalah mngutip dari pendapat ulama yang lain, dan la haula wa quwwat illa billah.
Dan, ketiaka saya melihat biografi Abu Abdillah Al-hakim yang disebutkan Abu Al-Qasim Ibnu Asakir Al-Hafizh Ats-Tsabit, maka Ibnu Akasir menyebutkanya dalam sekelompok ulama Asy’ariyah, Abu Abdillah Al-hakim adalah ulama yang termasuk diklaim berlaku bid’ah karena berlaku tasyayyu’. Namun, para ulama kahirnya menyerhakan semua klaim sekelompok orang terhadap Abu Abdillah Al-hakim tersebut kepada Allah SWT.
4. Guru dan Murid-muridnya
Guru-guru Abu Abdillah Al-hakim sebagaimana disebutkan Adz-Dzahabi adalah: Ayahnya sendiri, Muhammad bin ali bin Umar Al-Mudzakkar, abu Al-Abbas al-asham, Abu Ja’far Muhammad bin Shalehbin Hani’, Muhammad bin Abdullah Ash-Shafar, Abu Abdillah Ibnu akhram, Abu Al-Abba Ibnu Mahbub, Abu Hamid Hasnawiyah, Al-Hasan bin Ya’kub Al-Bukhari.
Juga, Abu An-Nadhar bin Muhammad bin Muhammad bin Yusuf, Abu Al-Walid Hasan bin Muhammad, Abu Amr Ibnu As-Samak, Abu Bakar An-Najar, Abu Muhammad Ibnu Darastawiayah, Abu Sahal bin Ziyad, Abdurrahman bin Hamdan Al-Jallab, Ali bin Muhammad bin Uqbah Asy-Syaibani dan abu ali Al-Hafizh. Abu Abdillah Al-hakim senantisa mau belajar dari orang lain meskipun itu dari sahabatnya sendiri.
Sedangkan para murid Abu Abdillah Al-hakim adalah: Ad-Daruqthni, Abu Al-Fath bin Abu Fawaris, Abul Ala’ Al-Wasithi, Muhammad bin ahmad bin Ya’qub, Abu Dzar Al-Harawi, Abu Ya’la Al-Khalili, Abu Bakar Al-Baihaqi, Abu Al-Qasim Al-Qusairi, Abu Shaleh Al-Muadzin, Az-Zaki Abdul Hamid Al-buhari, Utsman Bin Muhammad Al-Mahmahi, Abu Bakar Ahmad bin Ali Bin Khalaf Asy-Syairazi dan masih banyak yang lainnya.
Abu Abdillah Al-hakim belajar ilmu qira’at dari Ibnul Imam, Muhammad bin Abu Manshur Ash-Sharam, Abu Abu Ali bin An-Naqqar Al-Kuffi dan Abu Isa Bakkar Al-Baghdadi. Dan, dia belajar tengtang madzhab dari Ibnu Abi Hurairah, Abu SahalAsh-Shu’luki dan Abu Al-Walid Hisan Bin Muhammad. Al-Hakim sering berdiskusi dengan Al-Ja’labi, Ad-Daruquthni dan yang lain.
Sesuatu yang membuatku paling kagum adalah setelah meliahat abahwa Abu Umar Adh-Dhalmanki telah menulis karya disiplin Ilmu Hadits dari Imam Abu Abdillah Al-hakim. Peristiwa tersebut terjadi pada tahun 339 Hijruyah dimana Abu Umar Adh-Dhalmanki menulis karya Ilmu Hadits tersebut dari seorang syaikh dari Abu Abdillah Al-hakim.
5. Karya-karyanya.
Abu Hazim Umar bin Ahmad Al-Abduwi Al-Hafizh berkata, “aku telah mendengar Abu Abdillah Al-hakim, seorang imam ahli hadits pada masanya, berkata, “aku telah minum air zamzam dengan memohon kepada Allah agar aku diberi anugrah karya yang bagus”.
Abu Thahir berkata, “akau tleah bertanya kepada Sa’ad bin Ali Al-Hafizh tengtang empat ulama yang hidupnya satu masa. Pertayaanku adalah, “dari keempatnya, siapakah yang paling hafizh?” lalu, Sa’ad bin Ali bertanya tentang sipakah empat ulama yang kaumaksudkan.
Setelah aku jelaskan bahwa mereka adalah Ad-Daruquthni, Abdul Ghani, Ibnu Mandah dan Al-Hakim, akhirnya Sa’ad bin Ali menjawab seputar mereka dengan, “Ad-Daruquthni adalah orang yang paling tahu tentang illat-illat hadits, Abdul Ghani Adalah orang yang paling mengerti tentang sejarah manusia, Ibnu Mandah adalah orang yang paling banyak memiliki hadits berikut makrifat yang sempurna, dan Al-Hakim adalah orang yang paling bagus dalam berkarya diantara mereka berempat.”
Adz-Dzahabi berkata, “Al-Hakim telah memulai menuangkan ilmunya dalam bentuk karya kitab pada tahun 337 Hijriyah. Jumlah karya Abu Abdillah Al-Hakim mencapai sekitar 1000(seribu) juz yang terdiri dari tahkrij Ash-Shahihain, Al-Illal, At-Tarajum, Al-Abwab dan Aku-Syuyukh.
Disamping itu, Abu Abdillah Al-Hakim juga menulis kitab Ma’rifah ‘Ulum Al-Hadits, Mustadrak Al-Hakim, Tarikh An-Naisaburiyin, Muzaka Al-Akhbar, Al-Madkhal ila Al-‘Ilmi Ash-Shahih, Al-Iklil, Fadha’il Asy-Syafi’I dan selainya.
Tidak dapat dipungkiri bahwa karya Abu Abdillah Al-Hakim yang paling terkenal adalah kitab Al-Mustadrak ‘ala Ash-Shahihain. Kitab ini telah dicetak menjadi empat jilid berikut catatan pinggir ringkasan Imam Adz-Dzahabi.
Imam Adz-Dzahabi berkata, “ aku telah mendengar Al-Muzhaffar bin Hamzah, ketika di Jurjan, ia berkata, “aku telah mendengar Abu Sa’ad Al-Malini berkata, “aku telah melihat kitab Al-Mustadrak ‘ala Ash-Shahihain karya Imam Abu Abdillah Al-Hakim. Setelah aku periksa dari hadits pertama sampai terakhir, maka aku tidak menjumpai hadits yang sesuai dengan kriteria Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim.”
Atas ungkapan Abu Sa’ad Al-Malini ini, Adz-Dzahabi berkata, “ini adalah penilaian berlebih-lebihan yang bernada sombong dari Abu Sa’ad. Sesungguh didalam Mustadrak ‘ala Ash-Shahihain banyak dijumpai hadits yang sesuai dengan kriteria Imam Al-Bukahri dan Imam Muslim, sesuai dari kriteria salah satu dari Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim yang mencapi sepertiga atau lebih sedikit lagi dari semua isi kitab.
Sebabnya adalah karena banyak dijumpai hadits yang secara lahir Nampak seperti kriteria Syaikhaini atau salah satunya, namun ketika dikoreksi ternyata menyimpan illat khafi (tersembunyi) yang mempengaruhi kadar keshahihan hadits tersebut. Sedangkan, bagian hadits yang sanadnya shaleh, hasan dan jayyid (bagus) mencapai seperempat isi kitab. Dan sisanya adalah hadits mungkar dan ‘ajaib.
6. Meninggalnya
Abu Musa Al-Madani berkata, “Sesungguhnya Abu Abdillah Al-Hakim masuk kamar mandi untuk mandi, ketika keluar, tiba-tiba terdengar suara ‘ah’ pada waktu terdengar suara ‘ah’ itulah, ruh Abu Abdillah Al-Hakim meniggalkan badannya. Kemudian jasadnya dimakamkan setelah Ashar hari Rabu. Abu Bakar Al-Qadhi turut menyalati jenazah”.
Adz-Dzahabi berkata, “ Imam Abu Abdillah Al-Hakim meninggal bulan safar tahun 405 Hijriyah.”
Al-Hasan bin Asy’ats Al-Qursy berkata, “dalam tidur, aku melihat Imam Abu Abdillah Al-Hakim menunggang kuda dalam kondisi yang amat baik sekali sambil berkata, “selamat.” Lalu aku bertanya, “ wahai Al-Hakim, dalm hal apa?” Abu Abdillah Al-Hakim menjawab, “ dalam menulis hadits. “ As-Subki berkata, “menurutku yang demikian itu benar”.
7. Kitabnya Al-Mustadrak ‘Ala as-Shohihain.
Tujuan al-Hakim menyusun kitab al-Mustadrak adalah untuk menghimpun hadis-hadis sahih berdasarkan syarat al-Bukhari dan Muslim, atau salah seorang daripada mereka, yang tidak ditulis dalam kitab sahih masing-masing. Al-Hakim telah menghimpun sebanyak 8,803 hadis di dalamnya dan mensahihkannya mengikut beberapa tahap:
1. Hadis yang sahih mengikut syarat al-Bukhari dan Muslim.
2. Hadis yang sahih mengikut syarat salah seorang daripada mereka sama ada syarat al-Bukhari atau mengikut syarat Muslim.
3. Hadis yang sahih tanpa disandarkan kepada al-Bukhari atau Muslim yaitu hadis sahih mengikut syarat al-Hakim sendiri.
4. Hadis yang tidak diberi apa-apa derajat. Kemungkinan al-Hakim bermaksud untuk menilainya setelah siap menyusun kitab al-Mustadrak tetapi dia tidak sempat untuk menunaikan maksudnya.
Kajian yang dilakukan semula oleh tokoh-tokoh hadis selepas al-Hakim mendapati wujud beberapa penyanggahan dalam teknik pensahihan al-Hakim. Mereka dapati hanya sebahagian hadis yang derajatnya menempati pensahihan al-Hakim manakala selainnya tidak.
Ada hadis yang dihukum sahih oleh al-Hakim berdasarkan syarat al-Bukhari dan Muslim akan tetapi ada pula yang mendapati ia tidak menempati syarat al-Bukhari dan Muslim.Demikian juga bagi hadis yang beliau sahihkan berdasarkan syarat salah seorang daripada mereka, atau berdasarkan syarat al-Hakim sendiri. Bahkan adakalanya di balik pensahihan tersebut, ada pula yang mendapati hadis tersebut sebenarnya memiliki derajat dha‘if, sangat dha‘if sehingga sampai ke darjat palsu (maudhu’).
Para ahli hadis ini yang mengetahui penyanggahan ini telah terbagi kepada 3 bagian:
Pertama:
mereka yang mendakwa beliau adalah seorang ahli hadis tetapi pada masa yang sama juga adalah seorang Syi‘ah al-Rafidhah yang jahat. Oleh itu disahihkan hadis-hadis yang tidak sahih bertujuan mencemari asas-asas Ahl al-Sunnah dan pada waktu yang sama membenarkan Mazhab Syi‘ah.
Hal ini dijelaskan oleh al-Zahabi: “Beliau merupakan seorang yang dipercayai tetapi beliau mensahihkan di dalam kitab Mustadraknya itu beberapa hadis yang digugurkan dan begitu banyak boleh dijumpai di dalamnya. Aku tidak mengetahui apa yang dia sembunyikan daripada hal itu atau sememangnya dia tidak mengetahui perkara tersebut (dari kejahilannya sendiri)”.
Sekiranya dia mengetahui kesalahan yang dia lakukan itu dan disengajakan, maka itu merupakan perbuatan khianat dan dia adalah seorang Syiah yang sememangnya masyhur dengan perlakuan sedemikian dalam mengambil hadis yang bercanggah dengan hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim.”
Perkataan yang agak ‘keras’ dilafazkan oleh Abu Ismail Abdullah al-Ansari apabila ditanya tentang al-Hakim: “Beliau ialah seorang imam dalam hadis dan juga Rafidhah yang najis.”
Berkata pula Ibn Thahir al-Maqdisi: “Beliau adalah seorang yang begitu fanatik dalam jiwanya terhadap Syiah. Beliau menampakkan dirinya sunnah dengan mendahulukan para khulafa yang awal, tetapi mula bersikap menyeleweng tentang Mu’awiyah dan ahli keluarganya secara terang dan langsung tidak memohon maaf atas kesalahannya”.
Al-Zahabi berkata: “Aku mengambil jalan sederhana dengan menyatakan bahwa beliau bukanlah Rafidhah (pelampau Syiah) tetapi hanya sekadar seorang Syiah.
Pendapat ini dianggap lemah malah ditolak oleh Ahl al-Sunnah. Ini karena Mazhab Ahl al-Sunnah tidak menghukum seseorang melainkan pada amal zahirnya. Amalan zahir al-Hakim tidak menunjuk atau mengisyaratkan apa-apa tanda bahwa beliau bermazhab Syiah al-Rafidhah.
Perkara paling utama yang boleh dikatakan tentang al-Hakim ialah beliau hanya mengutamakan kecintaan kepada para Ahl al-Bait dan ini dikenali sebagai al-Tasyaiyu’ atau al-Mufadhdhilah.
Kedua:
Bagi usaha mengumpulkan 8,803 buah hadis yang sahih menurutnya. al-Hakim telah mengambil jangka masa yang begitu lama sehingga ke penghujung hayatnya. Dalam jangka masa yang lama ini, sebagaimana kebiasaannya bagi orang yang berusia lanjut mereka tidak begitu mantap dalam menghukum derajat sesebuah hadis, bahkan sering keliru.
Kecerdasan fikiran yang semakin lemah dan berkemungkinan telah menyebabkan al-Hakim banyak membuat kekeliruan di dalam periwayatan hadis dalam al-Mustadrak sehingga ke tahap mensahihkan hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang pernah ditolaknya sendiri dalam kitab yang lain.
Oleh karena kekeliruan yang begitu nampak ini dalam kajian ilmu hadis, sebagian ahli hadis menganggap lemah pensahihan hadis al-Hakim sehingga tidak boleh berhujah dengannya melainkan perlu di teliti lebih dulu.
Ibn Hajar al-‘Asqalani rahimahullah (852H) menerangkan: (al-Hakim adalah) seorang imam yang sangat benar dan juga seorang yang sangat bahaya, paling utama yang disebutkan tentangnya adalah dia digolongkan di kalangan orang-orang yang dha‘if. Tetapi telah diperkatakan oleh sebahagian ulama tentang keuzurannya kerana dia menulis kitab al-Mustadrak ketika di penghujung umurnya. Malahan sebahagian yang lain menyebutkan bahwa beliau telah mulai tidak kuat mengingat.
Ketiga:
al-Hakim dalam periwayatan hadis agak bermudah-mudahan (tasahul) di dalam mensahihkan sesuatu hadis. Ini sebagaimana terang Ibn al-Shalah rahimahullah (643H): ”Dan dia (al-Hakim) meluaskan syarat penetapan hadis sahih dan mengambil sikap bermudah-mudahan dalam menghukum dengannya.”
Ibn Dihyah di dalam kitabnya al-‘Ilm berkata: “Menjadi kewajipan kepada ulama hadis untuk berwaspada pada setiap perkataan al-Hakim Abu Abdullah karena dia banyak berbuat keliru, menzahirkan hadis-hadis yang tertolak.”
Berkata Abu Sa’id al-Malini: “Aku telah melihat kitab al-Mustadrak yang dikarang oleh al-hakim daripada mula hingga akhir dan kau tidak jumpa sebuah hadis yang terdapat syarat kedua imam tersebut (al-Bukhari dan Muslim).”
Berkata al-Zahabi dalam mengomentari pendapat tersebut: “Ini merupakan pendapat yang terlalu oleh al-Malini, sedangkan masih terdapat sejumlah hadis yang menepati syarat kedua imam tersebut dan sejumlah besar lagi mengikut syarat salah seorang dari keduanya. Adapun kedua syarat tersebut memenuhi setengah kitabnya, seperempat di kalangan hadis yang sah dari aspek sanadnya sekalipun terdapat sedikit kecacatan, dan seperempat lagi yang mengandungi hadis munkar dan lemah yang tidak sah diamalkan serta selebihnya adalah hadis palsu.”
No comments:
Post a Comment