Ibarat langit dan bumi. Begitulah para sejarawan kerap menggambarkan perbedaan antara kota-kota di dunia Islam dengan Eropa di era kekhalifahan. London dan Paris--kini metropolis dunia pada masa kejayaan Islam hanyalah kota kumuh dengan jalanan becek yang penuh lumpur ketika hujan. Kondisi itu sungguh berbeda dengan Baghdad dan Cordoba--dua metropolitan dunia--yang berkembang sangat pesat di zaman kejayaan Islam.
Sejarawan Barat, Philip K Hitti, dalam bukunya yang termasyhur, History of Arab, melukiskan jalan-jalan di kedua metropolis Islam itu begitu licin berlapiskan aspal. "Seni membuat jalan sungguh telah berkembang pesat di tanah-tanah Islam," ungkap Hitti. Menurutnya, bermil-mil jalan di Kota Cordoba--pusat kekhalifahan Islam di Spanyol--begitu mulus dilapisi dengan aspal.
Tak cuma itu, pada malam hari, jalan-jalan di Cordoba pun telah diterangi dengan lampu. "Di malam hari, orang-orang bisa berjalan dengan aman," imbuh Hitti. "Sedangkan di London dan Paris, orang yang berjalan di waktu hujan pasti akan terperosok dalam lumpur,'' cetusnya. Orientalis dan arkeolog terkemuka Barat, Stanley Lane-Poole, juga sangat mengagumi kehebatan pembangunan jalan di Cordoba.
"Anda dapat menelusuri jalan-jalan di Cordoba pada malam hari dan selalu ada lampu yang akan memandu perjalanan Anda," papar Lane-Poole. Sebuah inovasi dan pencapaian begitu tinggi yang belum terpikirkan peradaban Barat ketika itu. Masyarakat Barat baru mengenal pembangunan jalan berlapis aspal sekitar tujuh abad setelah peradaban Islam di Spanyol menerapkannya.
Dr Kasem Ajram (1992) dalam bukunya, The Miracle of Islam Science, 2nd Edition juga memaparkan pesatnya pembangunan infrastruktur transportasi, jalan--yang dilakukan di zaman kekhalifahan Islam. "Yang paling canggih adalah jalan-jalan di Kota Baghdad, Irak. Jalannya sudah dilapisi aspal pada abad ke-8 M," cetus Ajram. Yang paling mengagumkan, pembangunan jalan beraspal di kota itu telah dimulai ketika Khalifah Al-Mansur mendirikannya pada 762 M.
Menurut catatan sejarah transportasi dunia, negara-negara di Eropa baru mulai membangun jalan pada abad ke-18 M. Insinyur pertama Barat pertama yang membangun jalan adalah Jhon Metcalfe. Pada 1717, dia membangun jalan di Yorkshire, Inggris, sepanjang 180 mil. Ia membangun jalan dengan dilapisi batu dan belum menggunakan aspal.
Kali pertama peradaban Barat mengenal jalan aspal adalah pada 1824 M. Sejarah Barat mencatat, pada tahun itu aspal mulai melapisi jalan Champs-Elysees di Paris, Prancis. Sedangkan, jalan beraspal modern di Amerika baru dibangun pada 1872. Adalah Edward de Smedt, imigran asal Belgia, lulusan Columbia University di New York yang membangun jalan beraspal pertama di Battery Park dan Fifth Avenue, New York City, serta Pennsylvania Avenue.
Ajram mengungkapkan pesatnya pembangunan jalan-jalan beraspal di era kejayaan tak lepas dari penguasaan peradaban Islam terhadap aspal. Sejak abad ke-8 M, peradaban Muslim telah mampu mengolah dan mengelola aspal. "Aspal merupakan turunan dari minyak yang dihasilkan melalui proses kimia bernama distilasi destruktif," ujar Ajram.
Zayn Bilkadi, seoarang ahli kimia dalam tulisannya, Bitumen A History, memaparkan, pertama kali aspal dikenal oleh bangsa Sumeria. Peradaban ini menyebutnya sebagai esir. Orang Akkadia mengenal aspal dengan nama iddu. Sedangkan, orang Arab menyebutnya sayali, zift, atau qar. Sedangkan, masyarakat Barat mengenalnya dengan nama 'bitumen' atau 'asphalt'.
"Inilah produk minyak pertama yang pernah digunakan manusia," papar Bilkadi. Aspal, kata dia, sempat dikuasai oleh orang-orang Mesopotamia. Sejak dulu, aspal menjadi primadona. Aspal pernah digunakan peradaban Babilonia untuk membuat gunung buatan yang dikenal sebagai Menara Babel.
Masyarakat Mesir Kuno menggunakan aspal untuk merawat mumi. Peradaban Islam yang mewarisi teknologi pengolahan aspal, sempat menggunakannya untuk menyembuhkan penyakit kulit dan luka-luka. Hingga akhirnya, peradaban Islam mengenalkan aspal untuk melapisi jalan.
Orang Babilonia sudah mulai menguasai pengolahan aspal secara kuno. Namun, secara modern pengolahan aspal pertama kali ditemukan para ilmuwan Islam. Beberapa ilmuwan yang mengembangkan teknologi pengolahan aspal adalah 'Ali ibnu al-'Abbas al-Majusi pada 950 M. Ia sudah mampu menghasilkan minyak dari endapan aspal yang hitam.
Caranya, papar Al-Majusi, endapan aspal itu dipanaskan sampai mendidih di atas ketel. Lalu, untuk mendapatkan cairan minyak, ia memeras endapan aspal itu sampai mengeluarkan minyak. Selain itu, saintis dari Mesir Muslim lainnya, Al-Mas'udi, juga mengembangkan teknologi pengolahan aspal menjadi minyak.
Al-Mas'udi menguasai teknologi pengolahan aspal menjadi minyak melalui proses yang mirip dengan teknik pemecahan modern (cracking techniques). Dia menggunakan dua kendi berlapis yang dipisahkan oleh kasa atau ayakan. Kendi bagian atas diisi dengan aspal lalu dipanaskan dengan api. Hasilnya, cairan minyak menetes ke kasa dan ditampung di dasar kendi.
Metode pengolahan minyak dari aspal lainnya yang ditemukan insinyur Muslim adalah teknik distilasi yang disebut taqrir. Teknik ini kembangkan oleh sarjana Muslim bernama Al-Razi. Berbekal pengetahuan itulah, pada abad ke-12 peradaban Islam sudah menguasai proses pembuatan minyak tanah atau naphtha.
Menurut Bilkadi, mulai abad ke-12 minyak tanah sudah dijual secara besar-besaran. Di jalan-jalan di sekitar Damaskus, papar dia, banyak orang yang menjual minyak tanah. Di Mesir pun, minyak tanah pada abad itu telah digunakan secara besar-besaran. Dalam salah satu naskah disebutkan, dalam sehari rumah-rumah di Mesir menghabiskan 100 ton minyak untuk bahan bakar penerangan.
Penggunaan aspal menjadi pelapis jalan pun terus dikembangkan para saintis Muslim. Untuk melapisi jalan, para insinyur Muslim di Nebukadnezar menggunakan campuran aspal dengan pasir. Campuran pasir dan aspal untuk melapisi jalan itu di Irak dikenal dengan nama ghir.
Kosmografer Muslim, Al-Qazwini, dalam bukunya Aja'ib Al-Buldan (Negeri Ajaib) menuturkan ada dua macam campuran aspal dan pasir yang digunakan untuk melapisi jalan. Jika digunakan untuk mengaspal jalan, campuran itu dikenal sangat kuat dan lekat. Inilah salah satu bukti lagi bahwa peradaban Islam adalah perintis dalam berbagai penemuan dan teknologi. Sebuah kebanggaan yang seharusnya bisa menumbuhkan kembali semangat untuk bangkit mencapai kejayaan.
Ali Ibnu Abbas Al-Majusi Penemu Teknik Pengolahan Aspal
Haly Abbas. Itulah nama panggilan Ali Ibnu Abbas Al-Majusi di Barat. Dokter dan psikolog Muslim ini turut berjasa dalam mengembangkan teknologi pengolahan aspal menjadi minyak. Ilmuwan dari Persia itu cukup dikenal di Barat lewat buah pikirnya yang berjudul Kitab Al-Maliki serta Kitab Kamil as-Sina'a at-Tibbiyya (Complete Book of the Medical Art). Buku teks kedokteran dan psikologi yang ditulisnya itu sangat berpengaruh di Barat.
Al-Majusi terlahir di Ahvaz, Persia Tenggara. Ia menimba ilmu dari Syeikh Abu Maher Musa ibnu Sayyar. Ia adalah satu dari tiga dokter terhebat di kekhalifahan Islam bagian timur pada zamannya. Berkat kehebatannya itu, dia pun diangkat menjadi dokter di istana Amir Adhad al-Dowleh Fana Khusraw--salah seorang penguasa dari Dinasti Buwaih--yang berkuasa dari tahun 949 M hingga 983 M.
Ia mendirikan sebuah rumah sakit di Shiraz, Persia, serta Rumah Sakit Al-Adudi di Baghdad pada 981 M. Sebelum masuk Islam, Al-Majusi adalah penganut Zooraster yang menyembah api. Al-Majusi berhasil mengolah aspal menjadi minyak yang dapat digunakan untuk mengobati penyakit dan luka kulit. Ia memeras endapan aspal yang dipanaskan untuk diambil airnya.
Selama mengabdikan dirinya untuk Amir Dinasti Buwaih, Al-Majusi menulis Kitab al-Maliki (Buku Istana). Buku itu telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin bertajuk Liber Regalis atau Regalis Dispositio. Buku ini dianggap lebih sistematis dan lebih ringkas dibandingkan ensiklopedia karya Al-Razi yang berjudul Al-Hawi. Bahkan, dibandingkan dengan The Canon of Medicine karya Ibnu Sina yang legendaris itu, Kitab Al-Maliki ini dipandang lebih praktis.
Kitab Al-Maliki terbagi dalam 20 diskursus. 10 bab pertama mengulas teori dan 10 bab sisanya mengupas praktik kedokteran. Kitab karya Al-Majusi itu diterjemahkan oleh Constantinus Africanus ke dalam bahasa Latin berjudul Liber Pantegni.
Buku itulah yang menjadi rujukan teks didirikannya Sekolah Kedokteran Salernitana di Salerno. Secara utuh, kitab itu diterjemahkan oleh Stephen Antioch pada tahun 1127 M. Buku kedokteran itu lalu dicetak di Venicia pada 1492 dan 1523 M.
Dalam karyanya itu, Al-Majusi menekankan pentingnya hubungan yang sehat antara dokter dan pasien. Hubungan itu, kata dia, sangat penting dalam etika kedokteran. Kitab itu juga mengupas secara detail metodologi ilmiah yang berkaitan dengan riset biomedikal modern. Secara khusus, sang ilmuwan juga mengupas seluk-beluk masalah psikologi dalam bukunya The Complete Art of Medicine.
No comments:
Post a Comment