KETIKA SANG ALIM MENOLAK FITNAH DUNIA
Siang itu, tiba-tiba khalifah Abdul Malik bin Marwan memanggil Maysarah, salah seorang pembantunya, untuk pergi ke mesjid Nabawi. “Pergilah ke masjid Nabawi, panggilah salah satu ulama yang ada di sana agar dia berbincang-bincang denganku,” demikian ucapan khalifah kepada Maysarah. Dengan kostum dan atribut lengkap selaku pembantu khalifah, Maysarah segera bertolak ke masjid Nabawi dan di sana ia mendaparti salah seorang tokoh ulama Madinah yang termasuk tokoh dari generasi tabi’in. Saat itu, syaikh tengah duduk khusyu’ dan serius memimpin sebuah halaqah pengajian di depan banyak murid-muridnya.
Sebenarnya tak seberapa jauh, jarak antara Maysarah berdiri dan halaqah tersebut. Namun berulang kali ia mengangkat tangan memberi isyarat ke arah Syaikh, beliau sedikitpun tak menoleh dan tak perduli kepada Maysarah. Akhirnya, Maysarah maju dan mendekatkan diri kepada syaikh seraya berkata:
“Apakah anda tidak melihat isyarat dari saya kepada anda?” Syaikh sendiri seolah tampak tak mengerti sehingga balik bertanya: “Kepada saya?” Maysarah kalu mengiyakan. “Apa keperluanmu?” tanya syaikh. Lalu Maysarah menjelaskan bahwa ia adalah pembantu khalifah untuk meminta syaikh datang menghadap khalifah agar ia dapat berbicara dengannya. Di luar dugaan, syaikh menjawab: “Aku bukan juru bicara khalifah, sesungguhnya siapapun yang menghendaki sesuatu, maka hendaknya sendiri yang datang kepadanya. Di masjid ini banyak tempat untuknya jika ia mau,” demikian jawaban syaikh.
Akhirnya, Maysarah pulang kembali ke tempat kediaman khalifah dan melaporkan kejadian ini kepada khalifah. Mendengar cerita Maysarah, khalifah merasa ta’jub dan segera berdiri sambil berkata: “Syaikh itu pasti ‘Sa’id bin Musayyib. Andaikan engkau tadi tak mendatangi dan berkata seperti itu kepadanya, wahai Maysarah,” ucap khalifah.
Menyaksikan peristiwa yang dialami ayahnya, seorang putra bungsu khalifah ada yang bertanya kepada salah seorang kakaknya: “Siapakah orang yang berani menolak perintah amirul mu’minin, lancang tak mau menghadap, dan hadir di majlis khalifah. Padahal dunia telah tunduk kepadanya, dan ia disegani oleh raja-raja Romawi.” Kakaknya menjawab: “Dia adalah orang yang dahulu pernah ayah lamarkan putrinya untuk dinikahkan dengan saudaramu alwalid. Tapi ia menolak permintaan ayah…”
Mendengar jawaban itu sang adik terheran-heran dan bergumam: “Bagaimana mungkin orang tak ingin mewarisi tahta kekhalifahan? Bagaimana orang tak menerima kedudukan terhormat sebagai mantu khalifah? Lalu dengan siapakah putrinya kini ia nikahkan? Apakah suaminya lebih baik dari putra khalifah? Sang kakak menggeleng dan mengatakan tak tahu menahu kabar putri Sa’id bin Musayyib setelah itu.
Di kalangan pemburu hart; dunia, sikap Sa’id bin Musayyib mungkin dinilai “neko-neko’ dan menyia-nyiakan kesempat an menaikkan taraf hidup. Namun demikianlah, Sa’id bin Musayyib sebagai orang tua sekaligus seorang ‘alim yang lebil banyak menenggelamkan diri dalam aktivitas da’wah dan ibadah dan da’wah ilallah. Tak ada penilaian yang bersifat materi keduniaan dalam jiwa dan benaknya.
Ingin tahu, kepada siapa Sa’id bin Musayyib kemudian menikahkan anaknya? Lebih hebatkah dia dari al-Walid putri khalifah? Sa’id bin Musayyib menyerahkan putrinya kepada salah seorang murid halaqah pengajiannya. Ia bukanlah seorang kaya, apalagi keturunan bangsawan, bahkan hanya seorang pemuda yatim yang berstatus duda dari wilayah Hayna, namanya Abu Wada’ah.
Kisahnya begini. Seperti biasa, setiap hari Sa’id bin Musayyib secara rutin memberi pelajaran di masjid Nabawi. Banyak para pemuda dari berbagai daerah yang hadir pada halaqah Sa’id bin Musayyib. Namun suatu hari, Abu Wada’ah, salah seorang murid halaqah, tak hadir dalam majlis. Sejak hari pertama, ketidakhadiran Abu Wada’ah selalu dipertanyakan oleh Sa’id bin Musayyib. Beliau bertanya kepada beberapa orang muridnya yang hadir prihal Abu Wada’ah, namun tak satupun yang tahu tentang beritanya secara pasti. Mereka hanya menduga barangkali Abu Wada’ah menderita sakit atau ada halangan lain hingga tak dapat hadir di majlis. Ketidakhadiran Abu Wada’ah, bahkan berlanjut hingga beberapa hari setelah itu.
Selang beberapa hari, barulah Abu Wada’ah tampak kembali di antara murid-murid halaqah Sa’id bin Musayyib. “Ke mana saja engkau wahai Abu Wada’ah?” sapa Sa’id bin Musayyib. Air muka Abu Wada’ah mendadak menggambarkan kesedihan, ia lalu menerangkan perihal istrinya yang meninggal beberapa hari lalu, sehingga ia sibuk mengurus masalah-masalah istrinya beberapa hari dan tak sempat hadir ke halaqah. “Mengapa tak kau beritakan hal itu kepada kami wahai Abu Wada’ah? Sehingga kami bisa menyaksikan janazah istrimu dan membantu kesulitanmu,” tanya Sa’id bin Musayyib.
“Jazakumulullah khairan…” ucap Abu Wada’ah sambil hendak beranjak pergi, namun syaikh menahannya. Sampai ketika semua murid yang lainnya telah pulang, syaikh berkata dengan sedikit berbisik: “Tidakkah engkau berfikir untuk menikah kembali, wahai Abu Wada’ah.” Abu Wada’ah cukup tersentak mendengar pertanyaan yang diajukan gurunya, ia segera menjawab: “Yarhamukallahu wahai guruku. Siapakah yang ingin menikahkan aku dengan putrinya? Saya hanya seorang yatim yang miskin,” ucap Abu Wada’ah polos. “Bahkan saya tak memiliki harta kecuali uang seharga dua atau tiga dirham saja…” lanjutnya.
Beberapa saat keduanya terdiam, Syaikh sendiri tampak arif dan demikian memahami perasaan Abu Wada’ah. Tak lama kemudian, syaikh mengucapkan sebuah perkataan yang sama sekali tak diduga oleh Abu Wada’ah: “Saya yang akan menikahkan putrinya denganmu, wahai Abu Wada’ah,” bisik syaikh pelan.
“Syaikh… ” lidah Abu Wada’ah seolah kelu mengungkapkan ketakjuban dan ketidakrnengertiannya. “Anda akan menikahkan putri anda dengan saya, setelah mengetahui kondisi yang saya alami…?” kata Abu Wada’ah.
Sa’id bin Musayyib dengan tenang berkata: “Ya…, bila datang kepada kami seorang pemuda yang baik agama dan akhlaqnya, kami akan nikahkan dia dengan putriku. Dan engkau, bagi kami telah memenuhi kriteria itu…”
Tak berapa lama kemudian, Sa’id bin Musayyib memanggil beberapa orang muridnya yang kebetulan masih berada di dalam masjid. Ketika mereka ada di dekatnya, saat itu juga Sa’id bin Musayyib mengucapkan lafaz hamdalah dan shalawat atas Rasulullah SAW… lalu disebutah lafaz akad nikah antara putrinya dan Abu Wada’ah. Maharnya adalah uang seharga dua dirham.
Berbagai perasaan gembira, haru, bingung bercampur dalam hati Abu Wada’ah. Setelah selesai acara ‘aqad nikah yang sangat sederhana itu, ia segera pamit pulang ke rumahnya.
“Siang itu sebenarnya saya tengah puasa, tapi peristiwa itu menjadikan aku hampir lupa dengan puasaku…” ungkap Abu Wada’ah. Dalam perjalanan hingga sampai di rumahnya, hatinya selalu dipenuhf tanda tanya. Apa sebenarnya yang telah saya lakukan? Kepada siapa saya akan meminjam uang? Dari mana saya akan memperoleh harta…? Dan sebagainya.
Dari pertanyaan-pertanyaan sejenis terlintas terus menerus dalam hati Abu Wada’ah hingga tiba saatnya waktu shalat maghrib dan ia harus berbuka puasa. Selesai melakukan shalat maghrib, ia bersiap untuk berbuka dengan sepotong roti dan minyak.
Akan tetapi, baru ia telan satu atau dua potong roti, tiba-tiba terdengar suara orang mengetuk pintu rumahnya. “Siapa di luar…?” tanya Abu Wada’ah. Suara yang terdengar kemudian segera dikenalnya, ia adalah Sa’id bin Musayyib. Datang bersama putrinya yang telah sah menjadi isteri Abu Wada’ah. Mulanya, Abu Wada’ah mengira, bahwa Sa’id bin Musayyab datang untuk memperbincangkan masalah lebih lanjut dari pernikahan antara dirinya dan putrinya.
Namun Sa’id bin Musayyab berkata: “Sesungguhnya puteriku kini telah menjadi isterimu, sejak senja hari tadi. Dan, aku paham bahwa tak ada seoangpun yang akan menemanimu di sini. Aku tak ingin bila engkau berpisah dengan isterimu. Sekarang, saya datang bersamanya…
Sejenak kemudian, ia panggil putrinya dan berkata: “Dengan nama dan barakah Allah, masuklah ke rumah suamimu wa¬hai puteriku…” ucap Sa’id bin Musayyib. Beberapa hari selanjutnya, kehidupan Abu Wada’ah penuh dengan kebahagiaan, apalagi setelah mengetahui bahwa ternyata isterinya adalah seorang wanita yang paling cantik di kotanya. Yang paling hafal al Qur’an dan paling menguasai tentang hadits-hadits Rasulullah. Selain wanita yang paling memahami hak-hak suaminya. Berhari-hari kemudian Abu Wada’ah hidup bersama isteri shalihatnya, tanpa sekalipun dikunjungi oleh Sa’id bin Musayyib, mertuanya.
Ketika ia kembali hadir mengikuti pengajian Sa’id bin Musayyib, beliau berkata: “Bagaimana kabar isterimu wahai Abu Wada’ah?”
“Alhamdulillah, keadaannya sebagaimana yang disukai dengan orang yang benar dan tidak disukai oleh musuh..?” ucap Abu wada’ah puitis.
“Alhamdulillah, kalau demikian,” jawab Sa’id bin Musayyib.
Setelah kembali ke rumahnya, Abu Wada’ah terkejut karena temyata Sa’id bin Musayyib telah mengirimkan sejumlah uang untuk awal kebutuhan rumah tangganya.
Bagaimana pendapat putera Khalifah atas kejadian ini?
“Aneh sekali orang ini. Manusia yang menjadikan dunia sebagai jembatan ke akhiratnya. Demi Allah, penolakannya atas permintaan khalifah untuk menikahkan puterinya, bukan karena keangkuhannya dan bukan karena putera khalifah tidak sekufu dengan puterinya. Tapi ia menolaknya lantaran kekhawatirannya akan fitnah dunia.
Sa’id bin Musayyib sendiri, tatkala ditanya tentang sikapnya berkata: “Sesungguhnya, puteriku adalah amanat yang ada di leherku. Aku telah carikan untuknya apa-apa yang menjadi mashlahat untuk kebaikan dirinya. Bagaimana pendapat anda, bila puteriku dipindahkan ke istana bani Umayyah. Di sana ia menikmati berbagai keindahan dan kepuasan harta.
Sementara di sampingnya banyak pelayan yang selalu setia memenuhi keinginannya. Bagaimana pula bila ternyata suaminya kemudian menjadi khalifah? Di manakah agamanya saat itu?”
Itulah Sa’id bin Musayyib, seorang tokoh ulama dari generasi tabi’in yang.pernah berguru kepada Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhum. Salah satu syi’ar dalam hidupnya adalah: “Penghargaan seorang hamba terhadap dirinya adalah sebatas keta’atannya kepada Allah. Sedangkan penghinaan seorang hamba kepada dirinya adalah sebatas kema’shiatannya kepada Allah…” Rahimakallahuyaa Sa’id bin Musayyib. Barakallahu yaa Aba wada’ah
No comments:
Post a Comment