Ilmuwan bernama Ehsan Masood mengungkap fakta. Dalam bukunya, 'Science in Islam', ia menyebutkan bahwa ilmu kedokteran merupakan bidang sains yang paling produktif di masa awal Islam. Ini bukan begitu saja terjadi, namun ada latar belakang sebagai pijakan berkembangnya ilmu kedokteran.
Aspek medis dan kesehatan, sudah mendapat perhatian besar Rasulullah SAW semasa hidupnya. Inilah yang mengilhami pencapaian luar biasa umat Islam dalam ilmu kedokteran. Banyak ayat Alquran dan hadis yang berkaitan dengan persoalan kesehatan. Di lapangan, umat telah mempraktikkan ajaran Nabi Muhammad terkait kesehatan.
Bahkan, para Muslimah misalnya, secara sukarela menjadi tenaga perawat untuk mendukung perjuangan yang dilakukan pasukan Islam dalam sejumlah pertempuran. Pemanfaatan teknik pengobatan dan ilmu kedokteran terus berlanjut. Pada masa selanjutnya, terjadi pula transfer ilmu dari masa Yunani kuno.
Literatur-literatur medis dari peradaban lama diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dan Suriah pada abad ke-7 hingga ke-9. Khalifah al Ma'mun dari Dinasti Abbasiyah, mendorong gerakan gerakan pengalihbahasaan literatur penting itu. Bahkan, khalifah memberikan imbalan besar bagi ilmuwan yang melakukan penerjemahan.
Tak jarang, proses penerjemahan juga melibatkan para sarjana Kristen atau Yahudi. Salah satu karya besar yang diterjemahkan adalah buku de Materia Medica yang ditulis pada abad ke-1 oleh Dioscorides. Dia adalah dokter bedah asal Yunani yang bekerja di kententaraan Romawi.
Beberapa karya monumental dari Gelanus, dokter asal Yunani, turut dialihbahasakan. Salah satu penerjemah paling masyhur adalah Hunayn ibn Ishaq (809-873). Tokoh kelahiran al Hira ini tercatat sudah menerjemahkan sekitar 116 karya, termasuk menuliskan 21 buku bidang kedokteran.
Islam juga mengenal sejumlah penerjemah lain, seperti Jurjis ibnu Bakhtisliu dan Yuhana ibn Masawaya. Selain itu, penerjemahan literatur medis dari para dokter dan tabib India serta Persia kuno juga gencar dilakukan. Peter E Poorman dan Emilie SavageSmith melalui bukunya, Medieval Islamic Medicine, mengatakan teks itu menjadi rujukan.
Berdasarkan teks-teks terjemahan, ujar mereka, para ilmuwan Muslim meneliti, menyempurnakan, sekaligus mengembangkan teknik pengobatan baru. Agar mudah dipahami, dipelajari, dan diaplikasikan, umat Islam membuat karya itu lebih sistematis. Ini terwujud lewat daftar indeks, ensiklopedia, atau kesimpulan.
Para ilmuwan Muslim juga memadukan teknik medis dari beragam peradaban sehingga ditemukan cara pengobatan yang lebih baik. Atas dasar fakta tersebut, tak heran jika Poorman dan Smith kurang sependapat dengan anggapan bahwa dokter Muslim hanya mengambil mentah-mentah ilmu kedokteran dari Yunani kuno.
Sejarawan Philip K Hitti menyatakan, ketika Eropa memasuki zaman kegelapan, peradaban Islam mengalami masa keemasan. Termasuk, dalam ilmu kedokteran. Ia mengungkapkan, banyak kemajuan yang mampu dicapai bangsa Arab pada masa tersebut.
Mereka, jelas Hitti, membangun apotek pertama, sekolah farmasi, dan buku daftar obat-obatan. Berdiri pula banyak balai pengobatan serta rumah sakit besar di sejumlah kota utama Islam. Misalnya, Damaskus, Kairo, hingga Baghdad, yang menandai kegemilangan kaum Muslim di ranah kedokteran.
Sir John Bagot Glupp, seorang sejarawan, mengatakan pada masa itu rumah sakit di dunia Islam berfungsi ganda. Rumah sakit tak hanya untuk merawat pasien, tetapi juga tempat para dokter mengasah dan mengembangkan keahliannya. Layaknya sekarang, rumah sakit Islam tak membedakan latar belakang pasien.
Baik pemeluk Islam, Kristen, maupun Yahudi, semuanya memperoleh pelayanan terbaik dan tanpa mengeluarkan dana sepeser pun. Tenaga dokter dan perawatnya berasal dari beragam etnis dan agama. Catatan sejarang menyingkap, rumah sakit pertama berada di Damaskus pada 707 Masehi.
Rumah sakit itu dibangun pada masa pemerintahan Khalifah al-Walid ibnu Abdul Malik. Bahkan, untuk pertama kali, rumah sakit ini mengenalkan sistem dokter spesialis. Pada 872 Masehi, rumah sakit umum dibangun di Kairo. Di kota yang sama, berdiri pula rumah sakit paling modern abad pertengahan, yaitu RS al-Mansuri.
Rumah sakit ini dibangun Sultan alMansur pada 1285. Menurut pakar sejarah, Will Durant, tersedia fasilitas lengkap di sana. Di samping terdapat ruang perawatan pasien, ada pula laboratorium, perpustakaan, dapur, kamar mandi, gudang obat-obatan, serta ruang studi.
Pada abad ke-11, di setiap kota Islam sudah berdiri beberapa rumah sakit. Kordoba di Spanyol, setidaknya memiliki 50 rumah sakit yang representatif pada masa Abu al-Qasim alZahrawi (Abulcasis). Di Tunisia, Pangeran Ziyadad I membangun RS al Qayrawan pada 830 Masehi. Fasilitas umum itu dibangun di Kota al-Dimnah.
Rumah sakit ini telah menerapkan pemisahan antara kamar rawat pasien dan ruang tunggu pengunjung. Lalu di Maroko, Khalifah al-Mansur Ya'qub ibnu Yusuf pada 1190 membangun RS Marakesh. Ini menjadi rumah sakit terbesar dan terindah pada masanya. Sebuah taman asri membuat suasana rumah sakit ini menjadi begitu nyaman.
Studi kedokteran turut berkembang. Sir John Bagot Glubb menjelaskan, sekolah kedokteran Islam pertama hadir di Kota Baghdad pada masa kekhalifahan Abdullah al Ma'mun (786-833).
"Ketika sistem sudah terbangun, para dokter dan ahli mendapat tugas memberikan kuliah bagi para siswa kedokteran," paparnya.
No comments:
Post a Comment