04 January 2013

Tiga Pilar Penyebaran Islam di Kesultanan Banten

Sultan Maulana Hasanuddin berhasil menyebarkan Islam, karena mampu menyakinkan 800 ajar untuk memeluk Islam

Penyebaran agama Islam di wilayah Banten dilakukan secara intensif sejak masa pemerintahan Sultan Maulana Hasanuddin (1526-1570). Ajaran Islam disebarkan, baik di kawasan pesisir maupun di daerah pedalaman. Maulana Hasanuddin merupakan tokoh sekaligus penguasa pertama di Banten yang menyebarkan agama Islam. 

Dalam proses islamisasi dan merebut kekuasaan, tentulah ada persaingan politik dengan penguasa lokal, yang saat itu yang dipimpin Prabu Pucuk Umun, adipati Kerajaan Banten Sunda.

Sebelum Maulana Hasanuddin datang, Banten sudah dipandang maju dari segi ekonomi dan kebudayaan. Kebudayaan tersebut bersumber dari ajaran Hindu dan Buddha. Lalu dari segi ekonomi juga sudah mempunyai hubungan dengan daerah lain. 

Begitu kekuasaan beralih kepada Maulana Hasanuddin pada 1525, terjadilah perubahan radikal yang juga berpengaruh pada penyebaran Islam di Banten, bahkan di Nusantara. Paling tidak, ada tiga perubahan besar yang dilakukan Sultan Banten untuk menyebarkan Islam di wilayah barat pulau Jawa itu.

Pertama, perubahan dalam bidang politik. Sultan Banten mengubah politik dan pemerintahan yang bersumber dari Hindu-Budha menjadi politik bernuansa Islam. Banten yang semula hanya sebuah kadipaten dari Kerajaan Banten Sunda, kemudian menjadi suatu negara yang berdaulat.

Menjadikan Banten negara berdaulat merupakan bagian dari misi Maulana Hasanuddin untuk mengislamkan masyarakat Banten, sesuai dengan tugas yang diberikan oleh ayahnya, Sunan Gunung Djati. Maka,  tak bisa dipisahkan proses islamisasi serta muatan Islam di dalam kekuasaan Sultan Banten yang pertama dan seterusnya.

Kedua, perubahan dalam bidang kebudayaan. Perubahan dari budaya masyarakat yang bersumber dari ajaran Hindu Budha hingga beralih ke budaya yang bersumber dari ajaran Islam.  Sehingga terjadi akulturasi budaya dan dialog kultural antara budaya Sunda yang Hindu dengan kebudayaan Islam. 

‘’Dialog inilah yang menimbulkan kekhasan kebudayaan Banten,’’ ungkap Prof. MA Tihami, Rektor IAIN Sultan Maulana Hasanuddin. Menurut dia, peran yang dimainkan oleh Sultan Hasanuddin dalam ‘dialog budaya’ ini merupakan strategi dakwah yang meniru watak Walisongo dalam menyebarkan Islam.  Misalnya, menggunakan media wayang kulit yang merupakan kebudayaan yang sudah ada sebelum Islam.

Wayang kulit digunakan sebagai media dakwah dalam mengembang kebudayaan Islam untuk memberikan visualisasi bagaimana menjadi pribadi Muslim dan  seorang muslim dalam bermasyarakat. ‘’Walisongo berdakwah melalui visualisasi wayang. Nah, begitu juga yang dilakukan Maulana Hasanuddin di Banten,’’ ujar Prof Tihami.

Ketiga, perubahan ekonomi. Maulana Hasanuddin lakukan perubahan ekonomi dengan cara memindahkan pusat pemerintahannya dari Banten Girang ke Surosowan yang berada di pesisir pantai. Hal ini dilakukan untuk menunjukkan independensi kekuasaan, termasuk independensi dalam bidang ekonomi. 

Kota Surosowan yang dibangun di wilayah pesisir, sangat potensial untuk berkembang secara ekonomi, dengan didukung pengembangan Palabuhan Karangantu, sebagai pelabuhan internasional atau transnasional.  Setelah pusat pemerintahan dipindah ke Surosowan maka jaringan ekonomi mulai dibangun oleh sultan.  ‘’Kesultanan mesti didukung kekuatan ekonomi penuh,’’ papar Prof Tihami.
(Sumber: Republika)

No comments: