04 January 2013

Zainab Al-Kubra, Wanita Mulia Teladan Kaum Hawa


 Sifatnya begitu terpuji. Tak heran jika sejarah peradaban Islam menempatkannya sebagai teladan bagi kaum hawa.  

Dia adalah Zainab Al-Kubra, putri pertama Rasulullah SAW dari Siti Khadijah. Zainab yang lahir sepuluh tahun sebelum sang ayah diangkat menjadi rasul,  tumbuh dalam rumah tangga Nabi SAW.
Sehingga, dalam dirinya tumbuh jiwa dan perilaku mulia yang diwariskan kedua orang tuanya. Betapa tidak. Sang ayah adalah seorang nabi yang diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia. Sedangkan, ibunya adalah seorang wanita yang paling utama di sentero dunia pada zamannya.

Berbekal pendidikan dari pasangan paling mulia di dunia, Zainab pun tumbuh menjadi wanita yang sempurna. Tak heran, jika putra dari bibinya yang bernama Abu al-Ash bin Rabi, salah seorang yang terpandang di kota Makkah melamarnya. Ia adalah pemuda terpandang di suku Quraisy dan masih dari nasab Abdul Manaf bin Qushay.

Keduanya lalu menikah. Zainab mampu mengatur rumah tangga suaminya hingga menumbuhkan kebahagiaan dan ketenteraman.  Keluarga yang bagahia itu dikaruniai dua orang anak yang bernama Ali dan Umamah. Suatu ketika, keceriaan keluarga kecil yang bahagia itu diuji.

Ketika Abu al-Ash berada dalam suatu perjalanan, terjadilah peristiwa besar dalam sejarah kehidupan manusia. Muhammad SAW, ayah Zainab, diangkat sebagai Nabi pembawa risalah. Zainab pun menyambut seruan dakwah dan ajaran agama penuh dengan kebenaran yang dibawa ayahnya.

Zainab pun menjadikan agama yang dibawa ayahnya sebagai pedoman hidup. Alkisah, begitu suaminya kembali dari ekspedisi dagangnya, Zainab  dengan penuh antusias menceritakan perubahan yang terjadi pada kehidupannya. Ia telah memeluk agama Islam yang dibawa sang ayah.
Zainab menduga sang suami akan langsung mengikrarkan keislamannya. Ia justru melihat suaminya diam seribu bahasa. 

Zainab tak putus asa. Ia mencoba segala cara untuk menyakinkan suaminya agar mengimani ajaran Islam yang dibawa sang ayah.

“Demi Allah, bukannya aku tidak percaya kepada ayahmu, hanya saja aku tidak ingin dikatakan telah menghina kaumku dan mengafirkan agama nenek moyangku, karena ingin mendapatkan keridhaan istriku,” kata Abu al-Ash. 

Jawaban itu membuat Zainab terpukul. Kebahagiaan yang sempat dirasakan berubah menjadi goncangan dan kegelisahan. Ketika ayah dan saudara-saudaranya  hijrah ke Madinah, Zainab tetap tinggal di Makkah. Tatkala pecah Perang Badar, kaum musyrikin mengajak Abu al-Ash memerangi kaum Muslimin.

Dalam perang itu, Abu al-Ash tertangkap. Ia dihadapkan kepada Rasulullah SAW. Nabi SAW meminta kepada para sahabat untuk memperlakukan menantunya itu dengan baik.  Zainab yang mengetahui suaminya menjadi tahanan segera mengutus seseorang untuk menebus suaminya dengan harta yang dimilikinya,

Rasulullah pun memandangi kalung pemberian sang istri tercinta tersebut. Beberapa saat Nabi SAW terdiam, lalu berkata dengan suara yang lembut, “Jika kalian berkenan  membebaskan tawanan yang ditebus Zainab dan mengembalikan harta tebusannya, silakan kalian lakukan.”

Para sahabat menjawab, “Baik, ya Rasulullah.” 

Lalu Rasulullah menagih janji dari Abu al-Ash agar mau melepaskan Zainab, karena Islam telah memisahkan hubungan antara keduanya. Abu al-Ash lalu kembali ke Makkah disambut Zainab dengan riang gembira.
Abu al-Ash lalu kembali ke Makkah disambut Zainab dengan riang gembira. Namun, suaminya tampak muram. Ia mengucapkan salam perpisahan kepada Zainab. 

Karena belum terbuka pintu hidayah kepadanya, Zainab pun akhirnya keluar dari Makkah meninggalkan Abu al-Ash. Orang-orang Quraisy justru menghalang-halangi Zainab dan mengancamnya.

Saat itu, Zainab sedang hamil dan akhirnya keguguran. Ia berhasil meninggalkan Makkah dengan bantuan saudara Abu al-Ash yang bernama Kinanah bin ar-Rabi hingga sampai kepada Rasulullah SAW. Selama di Madinah, ia berdoa agar Allah memberi hidayah kepada suaminya.

Pada Jumadil Ula tahun 6 Hijriyah, Abu al-Ash mengetuk pintu Zainab. Seolah tak percaya, Zainab terkejut saat membuka pintu tersebut. Ingin rasanya Zainab mendekatinya, namun ia menahan diri karena menyadari bahwa akidah harus diutamakan di atas segalanya.

“Kedatanganku bukanlah untuk berperang, akan tetapi berdagang membawa barang-barangku dan juga milik orang-orang Quraisy. Namun, tiba-tiba aku bertemu dengan pasukan ayahmu yang di dalamnya ada Zaid bin Haritsah bersama 170 tentara. Aku meloloskan diri untuk meminta perlindunganmu,” tutur Abu al-Ash.

Dengan suara lembut penuh haru, Zainab pun berkata, “Selamat datang, wahai putra bibiku. Selamat dating wahai ayah Ali dan Umamah.” 

Tatkala Rasulullah SAW selesai shalat Subuh, dari dalam kamar Zainab berteriak dengan suara keras, “Wahai manusia, sesungguhnya aku melindungi Abu al-Ash bin Rabi.”

Abu al-Ash pun mendapat perlindungan dan diizinkan pulang ke Makkah dengan membawa kembali barang dagangannya. Ia lalu menyatakan keislamannya secara terang-terangan di hadapan kaum kafir Quraisy. 

Abu al-Ash kemudian hijrah ke Madinah dan kembali bersatu dalam kebahagiaan dengan istrinya yang mulia.

(Republika)

No comments: