02 October 2010
Agus Salim
1. Riwayat Hidup
Nama asli Agus Salim adalah Mashudul Haq yang berarti “Pembela Kebenaran”. Ia lahir pada tanggal 8 Oktober 1884 di Kota Gedang, Bukit Tinggi, Minangkabau, Provinsi Sumatera Barat, Indonesia. Ia merupakan keturunan dari keluarga yang terpelajar. Ia adalah anak dari pasangan Muhammad Salim, yang selama 50 tahun pernah menjabat sebagai Kepala Jaksa di Pengadilan Tinggi Riau, dan Siti Zainab. Agus Salim merupakan putra kelima dari 15 bersaudara.
Pendidikan dasar Agus Salim dimulai dari sekolah Belanda yang dikhususkan untuk anak-anak keturunan Eropa, Europesche Lagere School (ELS). Pada masa itu, belajar di sekolah Belanda merupakan sebuah keistimewaan tersendiri karena yang boleh bersekolah di sana hanya anak-anak keturunan Eropa, sedangkan dari keturunan pribumi hanya kalangan bangsawan dan pegawai tinggi saja. Setelah menamatkan studi di ELS pada tahun 1898, ia kemudian melanjutkan studinya ke Hoegere Burger School (HBS), sebuah sekolah setingkat SMP hingga SMU di Batavia (Jakarta). Selama studi di sana, ia “mondok” di sebuah rumah milik keluarga asal Belanda, yaitu orang tua dari Prof TH Kock. Di rumah ini ia diasuh oleh seorang pembantu perempuan asal Jawa.
Sejak studi di sekolah ini, panggilan nama Agus Salim lebih populer dibandingkan dengan nama aslinya sendiri, Mashudul Haq. Pada waktu itu, menurut kebiasaan adat Jawa, pembantu perempuan biasanya memanggil anak lelaki “tuannya” dengan sebutan “Gus”. Mashudul Haq juga dipanggil dengan sebutan ini dengan adanya penambahan huruf “A” di depannya, sehingga menjadi Agus, yang kemudian ditambah satu kata “Salim”, sehingga menjadi Agus Salim. Masyarakat kemudian lebih mengenal nama ini dibandingkan nama aslinya.
Agus Salim menempuh studinya di HBS hanya selama lima tahun. Ia mendapat predikat terbaik di HBS se-kawasan Hindia Belanda. Pada tahun 1903, ia pernah mengajukan permohonan beasiswa kepada pemerintah Hindia Belanda untuk melanjutkan studi ilmu kedokteran di Belanda. Namun, ternyata permohonan itu ditolak. Raden Ajeng Kartini, anak Bupati Jepara yang juga merupakan pahlawan nasional, tertarik untuk merekomendasikan Agus Salim agar mau menggantikan dirinya pergi ke Belanda. Kartini tidak jadi ke Belanda karena perkawinannya dengan orang Jawa tidak memungkinkan dirinya berangkat ke sana. Sebab, dalam adat Jawa, perempuan tidak diperbolehkan bersekolah hingga tingkat yang lebih tinggi. Sebagai bentuk rekomendasi itu Kartini kemudian menulis surat kepada JH Abendanon, tertanggal 24 Juli 1903. Pemerintah Hindia Belanda menyetujui permintaan Kartini tersebut, namun Agus Salim justru menolaknya dengan alasan bahwa kesempatan itu bukan atas dasar kemampuan dirinya sendiri melainkan sebagai bentuk “pemberian” dari orang lain.
Setelah mencoba bekerja di berbagai tempat, pada tahun 1906, Agus Salim mendapat tawaran kerja sebagai dragoman (ahli penerjemah) di Konsulat Belanda di Jeddah, Arab Saudi. Awalnya ia enggan menerima tawaran itu. Atas saran ibunya, ia akhirnya bersedia berangkat ke Arab Saudi dan bekerja di sana antara tahun 1906 hingga tahun 1911. Keberadaannya di sana tidak disia-siakan begitu saja olehnya. Meski telah bekerja, ia juga sempat memperkaya wawasan keilmuannya, baik tentang agama maupun non-agama. Ia sempat belajar agama dan bahasa Arab kepada ulama-ulama yang bermukim di sana. Ia sempat belajar ilmu-ilmu keislaman pada Syech Ahmad Khatib, Imam Masjidil Haram yang juga pamannya sendiri. Di sana ia juga mempelajari bagaimana cara-cara berdiplomasi yang baik.
Pada tahun 1911, Agus Salim kembali ke tanah air, tepatnya ke kampung halamannya di Kota Gedang. Kepulangannya itu dibarengi dengan kematangannya dalam hal berdiplomasi dengan teknik tinggi, termasuk kemahirannya dalam berbahasa asing, seperti bahasa Arab, Belanda, Inggris, Jerman, Prancis, Turki, dan Jepang. Kemampuan berbahasanya memang dikenal luar biasa. Ia juga mahir berbahasa Melayu. Tata bahasa Melayunya terasa indah sekali. Hal itu dapat dilihat dari berbagai tulisannya di sejumlah media massa.
Agus Salim memang sangat mencintai dunia pendidikan. Kepulangannya ke kampung halaman juga dimanfaatkan untuk memajukan dunia pendidikan di sana. Ia mendirikan Hollandsche Inlandsche School (HIS) di sana, yang diasuhnya hingga tahun 1915. Sungguh suatu bentuk kecintaan dan pengabdian yang besar terhadap dunia pendidikan.
Pada tahun 1912, Agus Salim menikah dengan gadis sekampungnya, Zaitun Nahar. Mereka berdua dikaruniai delapan anak, yaitu Theodora Atia, Yusuf Taufik, Violet Hanisah, Maria Zenibiyang, Ahmad Syauket (meninggal dunia pada masa revolusi), Islam Basari, Siti Asiah, dan Mansur Abdurrahman Sidik. Perhatian Agus Salim terhadap keluarganya sangat besar. Bahkan, ketika dirinya dalam keadaan sesibuk apapun, ia masih bisa menyempatkan waktu untuk bercengkerama dengan istri dan anak-anaknya. Seluruh keluarganya, termasuk istri dan anak-anaknya, diwajibkan mengikuti pelajaran-pelajaran yang disampaikannya setiap hari. Pelajaran-pelajaran yang diajarkan biasanya berupa baca-tulis, bahasa, budi pekerti, dan agama.
Ketika masih pengantin baru, Agus Salim berpesan kepada istrinya agar banyak membaca dan juga berdzikir. Sebab, ia berencana tidak akan menyekolahkan anak-anaknya secara formal, cukup dididik sendiri. Rencana tersebut ternyata benar-benar diterapkan kepada seluruh anak-anaknya. Ia beralasan bahwa dengan cara seperti ini diharapkan anak-anaknya tidak terpengaruh oleh pikiran dan kebudayaan kaum penjajah. Ia juga ingin membentuk kepribadian dan sikap anak-anaknya yang sesuai dengan keinginannya sendiri. Namun demikian, ia juga menanamkan sikap kritis kepada anak-anaknya. Mereka sering diajak berdikusi, berdialog, dan berdebat agar pikiran mereka selama ini tidak kaku. Dalam hal ini, ia tidak pernah marah jika ada anaknya yang membantah pendapatnya asalkan dengan argumen yang tepat.
Kepulangan Agus Salim ke kampung halamannya juga sebagai pertanda bahwa perjuangannya terhadap penjajahan kolonial Belanda telah dimulai. Ia sangat aktif dalam berbagai kegiatan organisasi yang memperjuangkan kepentingan bangsa dan negara. Ia mengawali karir politiknya di Serikat Islam (SI) bersama dengan H.O.S. Tjokroaminoto dan Abdul Muis, yang dilakoninya sejak tahun 1915.. Organisasi ini banyak menyuarakan kepentingan perjuangan bangsa dan negara Indonesia. Melalui organisasi ini, ia bersama teman-teman seperjuangannya berkesempatan untuk mengecam tindakan pemerintah kolonial Belanda yang sering menyengsarakan rakyat Indonesia. Agus Salim langsung masuk dalam jajaran ketua di Central Serikat Islam (CSI, Dewan Pusat).
Agus Salim juga pernah aktif di Volksraad (Dewan Rakyat), yang merupakan organisasi underdog di bawah SI. Dalam sebuah perkumpulan Volksraad, ia berpidato agar bahasa Melayu digunakan sebagai bahasa resmi organisasi, bukan bahasa Belanda. Ketika masuk pertama kali di Volksraad, ia langsung menempati posisi sebagai salah satu pengurus. Ketika H.O.S. Tjokroaminoto dan Abdul Muis mengundurkan diri dari Volksraad sebagai wakil SI akibat kekecewaan mereka terhadap pemerintah Belanda, Agus Salim kemudian menggantikan posisi mereka selama empat tahun (1921-1924). Ternyata, ia juga merasakan sebagaimana pendahulunya bahwa perjuangan melalui Volksraad tidak banyak bermanfaat. Ia akhirnya memutuskan keluar dari Volksraad dan lebih berkonsentrasi di SI.
Pada tahun 1923, terjadi perpecahan di dalam tubuh SI. Semaun dan kelompoknya menghendaki SI lebih condong ke kiri, sedangkan Agus Salim dan Tjokroaminoto menolak hal itu. Perbedaan ini menyebabkan dua kubu ini semakin berseberangan. Semaun dan kelompoknya membentuk Serikat Rakyat (pengembangan dari SI Merah atau SI Kiri) yang nantinya berubah menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI), sementara Agus Salim dan kelompoknya tetap bertahan di SI (dapat disebut sebagai kelompok SI Putih). Pada tahun 1934, Agus Salim menggantikan posisi Tjokroaminoto sebagai Ketua SI.
Ketika aktif di SI, Agus Salim dikenal sebagai “singa podium” yang pandai berdebat dan memiliki pengetahuan yang sangat luas. Suatu ketika, ia pernah berdebat dengan Muso, tokoh SI yang kemudian menjadi tokoh penting di PKI. Ceritanya, Muso pernah mengejek Agus Salim dengan kalimat: “Saudara saudara, orang yang berjanggut itu seperti apa?”. Hadirin yang datang sontak menjawab: “Kambing!” Muso melanjutkan pertanyaannya: “Lalu, orang yang berkumis itu seperti apa?” Jawab hadirin: “Kucing!”. Agus Salim yang memang memelihara jenggot dan kumis tidak mau tinggal diam. Ketika berkesempatan menyampaikan pidatonya, ia dengan bersemangat mengatakan: “Saudara-saudara, orang yang tidak berkumis dan tidak berjanggut itu seperti apa?” Hadirin berteriak riuh: “Anjing!”. Agus Salim kemudian merasa puas dan tetap percaya diri atas “kritik”-nya itu.
Agus Salim terlibat aktif dalam kegiatan-kegiatan perburuhan. Ketika masih aktif di SI, ia pernah mendirikan Persatuan Pergerakan Kaum Buruh bersama Semaun pada tahun 1919. Melalui organisasi ini, Agus Salim bersama teman-teman seperjuangannya menuntut pemerintah Belanda agar mendirikan Dewan Perwakilan Rakyat yang sesungguhnya. Melalui organisasi ini juga, ia ikut mengorganisir pemogokan buruh di sejumlah daerah di tanah air, seperti Semarang, Surabaya, dan Cirebon. Pada tahun 1929, ia diangkat sebagai penasehat teknis delegasi Serikat Buruh Negeri Belanda ke Konferensi Kaum Buruh Internasional di Jenewa. Di samping aktif dalam bidang perburuhan, ia juga aktif dalam organisasi keagamaan. Ia pernah mendirikan Jong Islamieten Bond (JIB), yang melahirkan banyak intelektual Muslim di tanah air.
Agus Salim juga aktif dalam bidang jurnalisme dan tulis-menulis. Pada tahun 1915, ia aktif di Harian Neratja sebagai Redaktur II yang kemudian meningkat posisinya sebagai Ketua Redaksi. Aktivitas jurnalistiknya berkembang pesat. Pada tahun 1925, ia pernah menjadi Pemimpin Harian Hindia Baroe di Jakarta. Pada tahun yang sama, ia menerbitkan Harian Fadjar Asia di Yogyakarta. Ada suatu pengalaman menarik ketika ia menjadi wartawan di harian ini. Sebagai wartawan, ia pasti sering turun ke lapangan untuk menyaksikan secara langsung bahan berita yang akan ditulisnya. Ia pernah memasuki pedalaman-pedalaman di Jawa, Sumatera, dan kalimantan. Ia sendiri menyaksikan betapa kesengsaraan yang diderita masyarakat akibat dari berbagai peraturan dan ketentuan pemerintah Hindia Belanda yang memeras harta mereka hanya untuk kepentingan pihak kolonial semata. Pemerintah Hindia Belanda memberlakukan kuli kontrak dengan memberikan bayaran yang sangat kecil (poenale sanctie) dan tanah rakyat disewakan kepada pengusaha Eropa dalam jangka panjang (erfpacht).
Karir jurnalistiknya masih berlanjut. Setelah aktif di Harian Fadjar Asia, ia kemudian sebagai redaktur Harian Moestika di Yogyakarta dan membuka kantor Advies en Informatie Bureau Penerangan Oemoem (AIPO). Pengalamannya dalam bidang jurnalisme membuatnya dipercaya sebagai Ketua Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), yang mulai dilantik pada tahun 1952.
Selain dikenal sebagai tokoh pembaharu, Agus Salim juga dikenal sebagai salah satu tokoh penting dalam barisan para pendiri (the founding fathers) Republik Indonesia. Menjelang akhir penjajahan Jepang, ia pernah diangkat menjadi anggota Panitia 19 BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dan PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia), yaitu badan-badan negara yang tugasnya mempersiapkan kemerdekaan Indonesia dan Undang-undang Dasar (UUD) 1945. Disebut Panitia 19 karena memang jumlah anggotannya ada 19 orang yang dipimpin langsung oleh Soekarno. Ia juga pernah duduk sebagai anggota Panitia Perancang UUD 1945. Bersama dengan Djajadiningrat dan Soepomo, ia menjadi penghalus bahasa dalam penyusunan batang tubuh UUD 1945.
Setelah Indonesia merdeka, Agus Salim pernah menduduki sejumlah posisi penting, yaitu: Menteri Muda Luar Negeri Kabinet Sjahrir II (1946) dan Kabinet III (1947); Menteri Luar Negeri Kabinet Amir Sjarifuddin (1947); Menteri Luar Negeri Kabinet Hatta (1948-1949); menjadi Menteri Luar Negeri pada masa Kabinet Presidentil; dan pada tahun 1947 pernah membuka hubungan diplomatik pertama kali antara Indonesia dan negara-negara Arab, terutama Mesir. Sejak tahun 1950 hingga akhir hayatnya, ia pernah menjadi Penasehat Menteri Luar Negeri.
Pada kurun waktu tahun 1946-1950, Agus Salim kerap dijuluki dengan sebutan “Orang Tua Besar" (The Grand Old Man). Julukan itu sebagai bentuk penghargaan atas pengaruh dan kontribusinya yang besar terhadap pembentukan bangsa dan negara Indonesia pada masa itu. Di samping itu, julukan “Orang Tua” memang masuk akal karena ketika rapat-rapat Badan BPUPKI dan PPKI berlangsung antara bulan Juni-Agustus 1945, Agus Salim sudah berumur 61 tahun. Padahal, para peserta lainnya masih di bawah umurnya, seperti Soekarno yang baru berumur 39 tahun dan Hatta berumur 43 tahun. Julukan itu bukan berarti sebagai “pelecehan umur” karena memang Agus Salim benar-benar jenius dan sangat pandai sehingga menjadi orang yang dituakan dan dihormati. Hatta pernah menyebut Agus Salim sebagai “Salim op zijn best (Agus Salim adalah orang hebat dan terbaik)”.
Ketika Kongres Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) berlangsung pada bulan Maret 1950, salah satu keputusannya adalah meminta Agus Salim bersedia menjadi menjadi ketua umum partai. Agus Salim menolak permintaan tersebut dengan sejumlah alasan (bahasan lebih lanjut ada pada bagian pemikiran). Sebelumnya Agus Salim memang pernah aktif dalam bidang kepartaian. Pada tahun 1936, ia pernah mendirikan Partai Penyadar. Misi partai ini adalah memberikan kesadaran kepada umat manusia agar mau berpegang teguh pada ajaran al-Quran dan hadits. Di samping itu, partai ini juga bermaksud memberdayakan kelompok masyarakat untuk membangkitkan kemampuannya sendiri melalui sejumlah perkumpulan mandiri, seperti Persatuan Pedagang Pasar, Persatuan Sopir Oplet, Perkumpulan Buruh Batik, dan sebagainya. Hal itu menunjukkan betapa Agus Salim memiliki kepudulian yang sangat besar terhadap nasib dan kehidupan rakyat kecil.
Agus Salim aktif memberikan ceramah-ceramah ilmiah dalam berbagai kesempatannya diundang ke sejumlah perguruan tinggi, baik dalam maupun luar negeri. Pada tahun 1953, ia memberi kuliah tentang Islam di Cornell University (Itacha) dan Priceton University, Amerika Serikat (AS). Ia mengemukakan pentingnya Islam sebagai pandangan hidup setiap Muslim. Ceramahnya itu kemudian diterbitkan oleh Cornell University, yang merupakan salah satu perguruan tinggi papan atas dan pernah menjadi pusat kajian tentang Islam di AS. Dengan demikian, pemikiran Agus Salim telah mendapat pengakuan secara internasional. Tentu hal ini amat membanggakan bagi nama baik bangsa Indonesia.
Agus Salim pernah diangkat sebagai guru besar pada Perguruan Tinggi Islam Negeri (PTNI) di Yogyakarta. Namun, sayangnya pengangkatan itu belum sempat dilakoninya. Sebab, ia keburu wafat pada tanggal 4 November 1954 di RSU Jakarta, Indonesia. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, Jakarta.
2. Pemikiran
Berbicara tentang pemikiran Agus Salim, maka akan sangat luas cakupannya. Ia merupakan pemikir yang komprehensif. Bung Karno pernah mengatakan tentang figur Agus Salim sebagai “The grand old man Haji Agus Salim adalah seorang ulama dan intelek”. Agus Salim merupakan komposisi yang unik antara ulama dan intelektual. Pemikirannya mencakup banyak hal, mulai dari soal sosialisme Islam, demokrasi, hak asasi manusia, hubungan antara Islam dan negara, pluralisme, hingga soal gender. Berikut ini akan dibahas satu persatu pemikirannya.
a. Sosialisme Islam
Agus Salim merupakan tokoh intelektual Muslim dan nasional yang gencar menyuarakan pentingnya membangun gagasan Sosialisme Islam di Indonesia. Gagasan ini pernah disampaikannya pada Kongres Al-Islam di Garut pada tahun 1924. Sebelumnya ia sering terlibat dalam perdebatan-perdebatan tentang isu ini, baik di tubuh SI maupun dalam berbagai forum diskusi dengan berbagai tokoh nasional.
Pada pertengahan Februari 1920, Muhammad Hatta bersama Bahder Djohan dan Amir Syraifuddin pernah menemui Agus Salim dengan maksud ingin berdiskusi dengannya tentang Islam, sosialisme, dan kapitalisme. Amir mengajukan pertanyaan terlebih dahulu: “Bagaimana menyesuaikan kapitalisme dengan Islam sebab sosialisme yang didirikan Karl Marx bersifat materialisme, anti-Tuhan?”. Sebagaimana dikemukakan Hatta, Agus Salim menjawab pertanyaan penting ini dengan penjelasan sebagai berikut: Ajaran sosialisme sebenarnya sudah diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW sejak 12 abad lebih dahulu daripada Karl Marx ketika mengajarkan Marxisme dan komunisme. Istilah sosialisme sendiri baru ada pada abad ke-19. Namun, sosialisme yang diajarkan Nabi Muhammad SAW berbeda dengan Marx yang memang anti-Tuhan. Islam telah mengajarkan kepada umatnya bahwa tujuan ajaran sosialisme dalam Islam adalah membentuk masyarakat yang berdasarkan pada prinsip “sama rasa sama rata” yang bebas dari kemiskinan dan penindasan.
Puncak perdebatan dan diskusi tentang sosialisme Islam terjadi pada Kongres Nasional VI SI Oktober 1921 di Surabaya. Kelompok Semaun dan Tan Malaka yang merupakan fraksi komunis berusaha mengendalikan jalannya proses kongres dengan berusaha menjadikan haluan SI lebih ke kiri. Namun, usaha tersebut ditentang oleh Agus Salim. Lagi-lagi, ia mengajukan argumentasinya bahwa “Nabi Muhammad SAW sudah mengajarkan sosialisme sejak seribu dua ratus tahun sebelum Karl Marx”, sebagaimana tertulis dalam Buku putih (G.30-S Pemberontakan PKI) yang diterbitkan oleh Sekretariat Negara (Setneg) pada tahun 1994 (halaman 11).
Dari gambaran di atas dapat dikatakan bahwa Agus Salim memiliki pandangan yang maju, yaitu mensintesiskan antara Islam dan sosialisme. Ia memang sengaja tidak suka dengan istilah komunisme karena istilah yang satu ini lebih berkonotasi “kiri yang anti-Tuhan”. Pandangannya bisa dikatakan senada atau justru bertolak belakang dengan pemikiran H. Misbach, tokoh SI asal Solo. H. Misbach lebih suka menggunakan kata komunisme. Namun, komunisme yang dipahaminya harus bersintesis dengan Islam. Sebab menurutnya, Islam dan komunisme tidaklah bertentangan. Keduanya saling memperkuat dalam upaya melakukan perbaikan kondisi sosial, di mana dan kapanpun selama eksploitasi dan penindasan itu masih merajalela di muka bumi. Artinya, persamaan antara Agus Salim dan H. Misbach terletak pada sintesisme pemikiran antara Islam dan sosialisme (komunisme). Hanya saja, memang Agus Salim berpendapat bahwa ajaran-ajaran Islam tentang keadilan dan pembebasan kaum lemah (yang dipahami sebagai sosialisme) sudah cukup sebagai pegangan, sehingga tidak perlu mengacu pada Marxisme atau komunisme.
b. Demokrasi
Agus Salim sangat komitmen dengan demokrasi beserta nilai-nilainya. Deskripsi berikut ini dapat dijadikan sebagai contoh. Ia pernah menolak permintaan pimpinan Kongres Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) pada bulan Maret 1950 yang memintanya agar mau menjadi ketua umum partai. Mengapa tawaran itu ditolaknya? Ada sejumlah alasan. Pertama, sebagaimana isi surat yang ia tujukan kepada M Zein Arief pada tanggal 26 Maret 1950 bahwa ia merasa ngeri dengan kondisi perpolitikan nasional pada saat itu di mana banyak partai politik hanya sebagai kendaraan untuk mencapai kursi kabinet kekuasaan. Tuntutan yang diinginkan partai politik itu kadang dalam bentuk demonstrasi besar-besaran, rapat akbar, dan berbagai macam tuntutan lainnya. Kedua, Agus Salim berkeberatan terhadap perkembangan partai politik yang hanya memperbanyak jumlah anggota (kuantitas), bukannya bagaimana berpikir untuk meningkatkan kualitas anggotanya. Menurutnya, penambahan jumlah anggota tiada lain hanya sebagai alat untuk meraih jabatan atau kursi kabinet (politik). Jika demikian cara berpikir partai politik, maka bagaimana nasib rakyat nantinya?
Dalam pandangan Agus Salim, demokrasi merupakan suara rakyat (dari, oleh, dan untuk rakyat). Pemahaman tentang politik perlu disiarkan kepada rakyat. Partai politik jangan hanya berpikir tentang kepentingannya saja, namun juga harus memperhatikan nasib rakyat. Partai politik perlu mendidik rakyat agar pemahamannya tentang kehidupan sosial-politik dapat terbuka luas, sehingga aspirasi mereka dapat tertampung melalui saluran-saluran politik kepartaian. Jadi, partai politik berperan sebagai “katalisator” dan pelopor pembaharuan dalam mewujudkan cita-cita dan harapan rakyat.
c. Hak Asasi Manusia
Agus Salim memiliki pandangan yang konsisten tentang hak asasi manusia (HAM). Emil Salim, dalam kata pengantar buku Seratus Tahun Haji Agus Salim, cetakan kedua (1996), mengemukakan perihal pemikiran Agus Salim tentang HAM: “Jauh sebelum dunia Barat bicara tentang hak asasi manusia, Haji Agus Salim sudah menyinggung dalam perjuangannya menuntut kemerdekaan sebagai hak manusia, bahkan hak segala bangsa!”.
Kutipan di atas memang tafsir Emil Salim terhadap pemikiran Agus Salim tentang HAM. Jika ditelusuri lebih jauh sesungguhnya pemikiran Agus Salim dalam memperjuangan nilai-nilai HAM terlihat sangat konsisten. Keterlibatannya dalam perumusan Rancangan UUD 1945 membuktikan betapa ia berpengaruh besar terhadap isi Pembukaan UUD 1945 yang telah memuat seluruh elemen dasar HAM, baik itu di bidang sosial, politik, maupun ekonomi. Bahkan, ia juga menegaskan bahwa hak kolektif sebuah bangsa untuk merdeka dan bebas dari segala bentuk penjajahan dan penindasan perlu mendapat tempat, termasuk dalam konstitusi negara.
Agus Salim memiliki pemikiran yang progresif tentang kaitan antara kebebasan beragama dan HAM. Sebagaimana dikutip Musdah Mulia, ternyata Agus Salim mendukung kebebasan beragama. Dalam pandangan Agus Salim, Pancasila menjamin setiap warga negara memeluk agama apapun, bahkan juga menjamin setiap warga negara untuk memilih tidak beragama sekalipun.
Penegakan HAM tentu dilandasi dengan adanya penegakan hukum yang adil karena HAM itu menyangkut hak masyarakat secara luas. Agus Salim pernah menulis di Harian Fadjar Asia (29 November 1927) tentang “Polisi dan Rakyat". Berikut kalimatnya: “Sikap polisi terhadap rakyat, istimewa keganasan dan kebuasan polisi dalam memeriksa orang yang kena dakwa atau yang hanya kena sangka-sangka rupanya belum berubah-ubah. Hampir tiap hari ada pesakitan di depan landraad yang mencabut “pengakuan" di depan polisi yang lahir bukan karena betul kejadian melainkan hanya karena kekerasan siksa”. Dari tulisan ini terlihat jelas bagaimana ia mengkritik polisi yang seharusnya berperan sebagai penegak hukum, bukan justru melanggar hak-hak asasi rakyat.
Agus Salim juga memperhatikan bagaimana peran hakim yang seharusnya. Dalam tulisannya di Harian Fadjar Asia (26 Juni 1928), ia mengatakan: “Jika negeri hendak selamat, haruslah pengadilan berderajat tinggi dalam anggapan orang ramai di negeri ini. Dan hakim-hakim, istimewa yang mengepalai majelis pengadilan wajiblah selalu menunjukkan sikap kebesaran yang anggun, disertai kesabaran, keramahan dan kemurahan, yang menunjukkan ia menjaga jalannya hukum dengan sungguh-sungguh, dengan memakai timbangan yang jernih, yang sekali-sekali tidak boleh kecampuran pengaruh cinta dan benci, yang kira-kira boleh memincangkan teraju timbangannya”. Agus Salim ingin mengingatkan kepada semua orang bahwa penegakan hukum termasuk penegakan HAM hanya akan dapat berhasil jika para penegaknya, terutama hakim, dapat berlaku adil dan memerankan posisi dengan sebaik-baiknya.
d. Islam dan Negara
Pemikiran Agus Salim dalam bagian ini amat menarik. Fachri Ali menyebut bahwa Agus Salim merupakan tokoh Muslim pada tahun 1930-an yang amat kosmopolit. Artinya, curahan perhatiannya tidak hanya untuk menyelesaikan permasalah negara saja, namun juga memikirkan permasalahan dan pemikiran Islam serta Barat. Dengan kata lain, ia mensintesiskan antara Islam dan kebangsaan (nasionalisme).
Pandangan Agus Salim tentang hubungan antara Islam dan negara dapat ditelusuri melalui perdebatan hangat para polikus di tahun 1920-an. Ia pernah berdebat dengan Soekarno yang mengobarkan cinta tanah air sebagai spirit untuk meraih kemerdekaan Indonesia. Ketika itu Agus Salim mengingatkan kepada Soekarno dan tokoh-tokoh lainnya bahwa cinta tanah air diperbolehkan asalkan tidak menghancurkan kemanusiaan itu sendiri. Nasionalisme memang merupakan modal spirit yang sangat penting, namun jangan sampai menyimpang dari nilai-nilai kemanusiaan. Sebagai contoh, Hitler yang dikenal sangat nasional, namun ternyata di kemudian hari ia justru malah menjadi seorang pemimpin yang sangat diktator.
Agus Salim ingin meletakkan nasionalisme pada porsinya. Artinya, nasionalisme memang perlu digunakan untuk mengembangkan rasa cinta tanah air, namun juga perlu diorientasikan untuk tujuan-tujuan perjuangan kemerdekaan dan pembentukan negara yang besar dan maju. Perjuangan semacam ini tentunya juga merupakan bentuk pengabdian dan ibadah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian, ia bermaksud mensintesiskan antara nasionalisme sejati dengan nilai-nilai ketuhanan yang sifatnya lebih substanstif. Atas dasar ini, ketika menjadi anggota Panitia 19 ia pernah menyarankan agar pengkuan bahwa "Republik Indonesia berdiri atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa" perlu dicantumkan dalam Pembukaan UUD 1945 sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan.
Meski pemikiran Agus Salim banyak bernafaskan Islam, namun ia menolak dengan tegas bentuk pemerintahan teokrasi (kedaulatan Tuhan). Dalam ceramahnya tentang Islam di Itacha, dengan jelas ia menolak keinginan sejumlah ulama yang ingin memasukkan ayat-ayat al-Qur’an dan hadits dalam Rancangan UUD 1945. Dalam ceramah XIII dan VIII di Itacha, ia mengatakan: "I think that for Indonesia we have overcome that difficulty”. Artinya, dalam pandangan Agus Salim, menjadikan Indonesia sebaga negara teokratis itu sangat mustahil.
e. Pluralisme
Pemikiran dan sikap Agus Salim dikenal sangat menjunjung tinggi nilai-nilai pluralisme dan egalitarianisme. Pada saat perumusan Rancangan UUD 1945, Agus Salim pernah melakukan kritik perihal adanya sekelompok orang yang berniat memasukkan identitas Islam dalam perumusan rancangan tersebut. Wachid Hasyim yang didukung Sukiman pernah mengusulkan agar pasal yang mengatur kekuasaan pemerintah negara mencantumkan kalimat "Presiden adalah orang Indonesia asli dan yang beragama Islam". Agus Salim mengingatkan rekan-rekannya agar menjunjung tinggi nilai-nilai pluralisme. Ia meminta rekan-rekannya agar berpegang pada kesepakatan kelompok nasionalis dengan Islam untuk melindungi agama lain. Atas masukan Agus Salim, kata beragama Islam itu akhirnya dicoret, tidak jadi dicantumkan dalam ketentuan Rancangan UUD 1945.
Agus Salim juga menyoroti masalah pluralisme ketika dirinya pernah bergabung dalam PSII. Ia tidak setuju jika semua partai itu berasaskan Islam, meski mayoritas penduduk Indonesia memeluk agama Islam. Ia mencontohkan ada banyak orang yang masuk ke dalam partai non-Islam, namun ternyata dirinya tetap berpegang teguh terhadap keyakinan Islam. Artinya, label Islam tidak menentukan bagaimana kepribadian anggota partai karena yang penting adalah substansinya. Atas dasar pemikiran inilah, ia memutuskan untuk tidak lagi aktif di partai (PSII) dengan alasan karena ia ingin lebih leluasa dalam melakukan berbagai kegiatan pencerahan masyarakat, di antaranya dengan cara memberikan pemahaman Islam yang pluralis dan juga pendidikan demokrasi.
Pemikiran Agus Salim tentang pluralisme dapat juga dipahami melalui sejumlah ceramah-ceramahnya di Itacha. Sebagaimana dikemukakan Buddy Munawar-Rachman (Kompas, 21 Agustus 2004), Agus Salim berpendirian bahwa pluralisme itu telah diajarkan dalam Islam, bahkan jauh sebelum Barat mewacanakan dan mengembangkannya. Dalam pandangan Agus Salim, pengalaman pluralisme di Barat masih terbatas di kalangan panganut Kristen saja. Sementara di kalangan Yahudi masih terbelenggu oleh doktrin antisemitisme yang mencapai puncaknya pada tragedi Nazi.
f. Gender
Agus Salim memiliki pandangan yang progresif tentang gender dan keluarga. Menurutnya, teks dalam al-Qur’an perlu ditafsirkan secara kontekstual. Ketentuan tentang jilbab sebagaimana termaktub dalam Surat Al-Ahzab Ayat 59 perlu dilihat bagaimana konteks turunnya ayat (asbabun nuzul)-nya. Artinya, anjuran untuk mengenakan jilbab merupakan suatu bentuk budaya masyarakat pada saat itu, bahkan sebelum Islam datang budaya ini memang sudah ada.
Agus Salim melakukan pembaharuan terhadap konsep pemikiran Islam yang selama ini masih dianggap kaku atau taken for granted oleh sebagian besar umat Islam. Kejadian pada saat Kongres Jong Islamieten Bond (JIB) ke-2 di Yogyakarta tahun 1927 dapat dijadikan contoh betapa ia memiliki pandangan yang pro-gender. Organisasi ini banyak melahirkan generasi cendekiawan Muslim yang setelah proklamasi mereka berkumpul dalam Partai Masyumi. Pada kongres itu, ia menyerukan agar diberlakukan emansipasi, yaitu bahwa laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama. Misalnya, ia menganjurkan agar jangan dibuat tabir (pemisah) dalam setiap rapat atau pertemuan yang dihadiri oleh laki-laki dan perempuan. Ia mendekati seorang anggota panitia dan berkata: "Bung, saya minta turunkan tabir itu". Anggota panitia itu menjawab: “Enggak bisa, kecuali kalau bapak sendiri yang menurunkannya”. Agus Salim berdiri dan mengatakan “Baik!”, sambil kemudian menarik tabir tersebut dan membuangnya.
Mengapa Agus Salim bersikap seperti itu? Sebab baginya, tabir merupakan kebiasaan bangsa Arab yang bukan murni dari Islam. Tradisi ini merupakan warisan dari ajaran agama-agama sebelum Islam datang, seperti dari Yahudi dan Kristen yang pada saat itu masih memandang posisi perempuan masih rendah di bawah laki-laki. Datangnya Islam justru sebagai pembaharu yang memperjuangkan emansipasi perempuan. Ia pernah menegaskan dalam sidang JIB sebagaimana telah diulas di atas bahwa: "Saya tidak ragu-ragu bertindak secara demonstratif dan menonjol membongkar hijab atau tabir yang memisahkan para hadirin wanita dan para hadirin pria dan menurut pemandangan mereka terhadap rapat seluruhnya,"
Agus Salim pernah menulis di surat kabar Neratja, 4 September 1917, yang intinya menolak pandangan sejumlah pihak yang menyatakan perempuan tidak perlu mendapat pendidikan yang tinggi. Ditegaskan olehnya, pandangan semacam itu benar-benar sesat. Ia pun mengatakan bahwa pendidikan bagi perempuan itu sangat penting meskipun nantinya jika telah menikah mereka masih tidak bekerja. Ia memberikan dasar argumen bahwa pendidikan tetap penting bagi perempuan karena terkait dengan bagaimana kemampuannya dalam memegang uang belanja, mengendalikan rumah tangga, serta mendidik dan mengajar anak. Intinya, baik laki-laki maupun perempuan harus mendapatkan kesempatan yang sama, termasuk dalam bidang pendidikan.
Agus Salim juga memiliki pandangan yang progresif tentang kepemimpinan perempuan. Menurutnya, perempuan boleh saja menjadi pemimpin asalkan didukung oleh adanya pendidikan dan kemampuannya dalam berpolitik. Jika syarat-syarat itu telah ada dalam diri perempuan maka mungkin saja nanti akan muncul pemimpin-pemimpin perempuan.
3. Karya
Karya Agus Salim sebenarnya banyak sekali. Namun, yang baru dapat diperoleh datanya adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana Takdir, Tawakal dan Tauchid harus dipahamkan?, yang kemudian judulnya diperbaharui menjadi Keterangan Filsafat Tentang Tauchid, Takdir dan Tawakal (1953).
2. Ketuhanan Yang Maha Esa (belum diketahui data tahun penerbitannya).
3. Ia aktif menulis di Het Licht (1925-1926), Pedoman Masyarakat (1936-1938), Pandji (1939), dan Hikmah (1953).
4. Penghargaan
Agus Salim mendapat perhargaan dari pemerintah Republik Indonesia atas jasa-jasanya terhadap bangsa dan negara. Ia dianugerahi gelar Pahlawan Nasional melalui Keputusan Presiden RI No. 657 Tahun 1961 tanggal 27 Desember 1961. Ia juga mendapatkan perhargaan Bintang Mahaputera Tingkat I (1960) dan Satyalencana Peringatan Perjuangan Kemerdekaan (1961). Namanya juga diabadikan sebagai nama jalan di sejumlah daerah/kota di Indonesia.
Sumber :
• Alam Tulus, “Muhammad Mengajarkan Sosialisme Juah Sebelum Karl Marx”, www.media.isnet.org.
• Asvi Warman Adam, “Agus Salim, Manusia Merdeka”, Kompas, 21 Agustus 2004.
• M. Faliqul Isbah, “Wacana Kiri dalam Sejarah Indonesia” (Resensi Buku), www.ruangbaca.com.
• Siti Musdah Mulia, “Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Beragama”, www.icrp-online.org.
• Winarno, Sejarah Ringkas Pahlawan Nasional, (Jakarta: Erlangga, 2006).
• Kompas, 21 Agustus 2004.
• Republika, 27 Oktober 2001.
• www.humanrights.go.id.
• www.mesias.8k.com/agussalim.htm.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment