1. Riwayat Hidup
Perkembangan agama Islam di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari kiprah para tokoh agama dan ulama besar yang giat menyebarkan ajarannya di berbagai wilayah. Sejauh ini, Sumatera Barat merupakan salah satu daerah yang melahirkan banyak ulama terkemuka. Di antara ulama terkemuka tersebut adalah Syekh Sulaiman al-Rasuli.
Syekh Sulaiman al-Rasuli, yang lebih dikenal oleh para muridnya dengan nama Maulana Syekh Sulaiman, dilahirkan pada tahun 1871 M/ 1287H di Candung, yang terletak 10 km. sebelah timur Bukittinggi, Sumatera Barat, Indonesia. Tak jarang pula, ia dipanggil dengan sebutan "Inyik Candung". Ayahnya, Angku Mudo Muhammad Rasul, adalah seorang ulama yang disegani di kampung halamannya.
Sejak kecil, Syekh Sulaiman memperoleh pendidikan awal, terutama dalam bidang pelajaran agama, dari ayahnya. Sebelum meneruskan studinya ke Mekah, ia juga pernah belajar kepada Syekh Yahya al-Khalidi Magak, Bukittinggi, Sumatera Barat. Selama di Mekah, ia belajar kepada Syekh Ahmad Khatib bin Abdul Latif Minankabawi, Syekh Ali Kutan al-Kelantani, Syekh Ahmad Muhammad Zain al-Fathani, dan beberapa ulama Melayu yang bermukim di sana. Menurut riwayat, di kota suci ini, ia seangkatan dengan ulama-ulama Melayu lainnya, seperti Syekh Abbas Ladang Lawas (Bukittinggi), Syekh Jamil Jaho (Padang Panjang), Kyai Hasyim Asy‘ari (Jombang), Syekh Hasan Maksum (Sumatera Utara), Syekh Khatib Ali Minankabawi, Syekh Zain Simabur, Syekh Muham¬mad Yusuf Kenali (Tok Kenali al-Kelantani), dan Syekh Utsman al-Sarawaki.
Sekembalinya dari Mekah, Syekh Sulaiman mendirikan pondok pesantren di tanah kela¬hiran¬nya. Dalam waktu singkat, pesantren yang didirikannya mendapat dukungan penuh dari masyarakat sekitarnya. Dukungan ini mendorong bertambahnya jumlah murid yang menuntut ilmu di pesantren ini. Murid-murid yang belajar di pesantren tersebut tidak hanya berasal dari daerah setempat, melainkan juga datang dari berbagai wilayah Sumatera Barat, Riau, Jambi, Bengkulu, Tapanuli, Aceh, dan bahkan, ada yang datang dari Malaysia.
Materi utama pendidikan di pesantren tersebut adalah pengajaran paham Ahl al-Sunnah wa al-Jama‘ah dan madzhab Syafi‘i. Syekh Sulaiman sangat konsisten menjalankan paham dan aliran tersebut. Ia kemudian mencantumkan pada ijazah kelulusan bagi murid-muridnya pernyataan bahwa si pemegang ijazah, jika berfatwa, harus mendasarkan pada mazhab Syafi‘i. Selain itu, masih dalam ijazah tersebut, tercantum tulisan bahwa Syekh Sulaiman tidak akan rela bila muridnya berfatwa atau menganut paham selain paham Syafi‘i.
Selain aktif di dunia pendidikan agama, Syekh Sulaiman juga aktif di dunia politik dan keorganisasian. Pada tahun 1921, ia bersama dua teman akrabnya, Syekh Abbas dan Syekh Muhammad Jamil, serta sejumlah ulama ‘kaum tua‘ (golongan ulama yang tetap mengikuti salah satu dari empat madzhab dalam fiqh: Maliki, Syafi‘i, Hanafi, dan Hanbali) Minangkabau, membentuk organisasi bernama ‘Ittihadul Ulama Sumatera‘ (Persatuan Ulama Sumatera) yang bertujuan untuk membela dan mengembangkan paham Ahl al-Sunnah wa al-Jama‘ah madzhab Syafi‘i. Organisasi ini merupakan saingan dari Persatuan Guru-guru Agama Islam (PGAI) yang didirikan oleh ‘kaum muda‘ (golongan ulama yang terpengaruh dengan pemikiran tokoh-tokoh pembaharu Islam di Mesir: Syekh Muhammad Abduh dan Syekh Muhammad Rasyid Ridha) pada tahun 1918. Salah satu kegiatannya adalah menerbitkan majalah “al-Radd wa al-Mardud” sebagai sarana untuk menjelaskan serta memperta¬han¬kan paham Ahl al-Sunnah wa al-Jama‘ah madzhab Syafi‘i.
Pada tahun 1928, Syekh Sulaiman al-Rasuli bersama kaum tua dan dua sahabatnya, Syekh Abbas dan Syekh Muhammad Jamil, membentuk organisasi persatuan sekolah-sekolah agama yang berpaham Ahl al-Sunnah wa al-Jama‘ah dengan nama ‘Persatuan Tarbiyah Islamiyah‘ (Perti), di mana seluruh madrasah dan pondok pesantren yang berafiliasi kepadanya dinamakan ‘Madrasah Tarbiyah Islamiyyah‘. Pendirian organisasi ini disebabkan ketidaksetujuan kaum tua dengan aliran pendidikan reformis yang dikem¬bang¬¬kan oleh kaum muda, seperti madrasah diniyah dan pondok pesantren Thawalib. Seluruh madrasah dan pondok pesantren yang tergabung dalam Perti, dirubah cara pengajarannya dengan menggunakan sistem klasikal (menggunakan papan tulis, meja, dan bangku), tetapi mata pelajaran dan kitab-kitabnya (Matan Taqrib, Fathul Qarib, Fathul Mu‘in, I‘anatu al-Thalibin, dan Mahalli) masih tetap dipertahankan. Selang beberapa tahun kemudian, madrasah-madrasah seperti ini menyebar ke seluruh Sumatera, mulai dari Aceh hingga ke Lampung. Selanjutnya, kegiatan organisasi ini tidak hanya terfokus pada dunia pendidikan, tetapi juga merambah pada dunia politik, dan tak lama setelah itu, menjelma menjadi partai politik dengan singkatan Perti.
Di bidang politik, Syekh Sulaiman pernah menjadi anggota Konstituante hasil Pemilu tahun 1955. Ia merupakan salah satu anggota tertua dan sempat ditunjuk untuk memimpin sidang pertama Konstituante. Kiprahnya dalam bidang politik pernah mengantarkannya menduduki jabatan ketua Majelis Islam Tertinggi Sumatera Barat di Bukittinggi. Selain itu, pada zaman pendudukan Jepang tahun 1942, ia pernah menghadiri konferensi ulama-ulama Sumatera dan Malaysia di Singapura.
Sumbangsih Syekh Sulaiman al-Rasuli dalam mengembangkan pendidikan dan agama Islam di tanah kelahirannya memiliki pengaruh yang sangat berarti. Sejarah telah membuktikan bahwa organisasi Perti yang dibentuk bersama kaum tua dan dua sahabatnya dulu, kini telah menjelma menjadi sebuah organisasi yang mapan dan memayungi ratusan sekolah dan lembaga pendidikan Islam. Di sini Syekh Sulaiman hendak menyampaikan pesan bahwa dengan memajukan pendidikan, maka umat Islam akan dapat bangkit dan berkiprah lebih aktif dalam usaha membangun bangsa dan agama. Ia salah satu ulama besar asal Sumatera Barat yang gigih dalam membela Islam. Ia wafat dalam usia 85 tahun, yaitu bertepatan dengan tanggal 28 Rabi‘ul Akhir 1390 H/1 Agustus 1970, dan dimakamkan di Komplek Madrasah Tarbiyyah Islamiyyah, Candung, Bukittinggi, Sumatera Barat, Indonesia.
2. Pemikiran
Syekh Sulaiman al-Rasuli seringkali berbeda pendapat dengan kaum muda (pembaharu) lantaran keteguhannya mempertahankan paham Ahl al-Sunnah wa al-Jama‘ah dan madzhab Syafi‘i. Menurut Kyai Haji Sirajuddin Abbas dalam bukunya “Sejarah dan Keagungan Mazhab Syafi‘i”, ia adalah salah seorang ulama besar yang tidak menerima paham pembaharuan ala Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Kendati demikian, ia sangat toleran dan menghargai pendapat orang lain. Oleh sebab itu, tak aneh jika ulama ini kerap bekerja sama dengan berbagai pihak meski ada keti¬dak¬sepahaman.
Suatu ketika, Syekh Sulaiman berbeda pendapat dengan Haji Abdul Karim Amrullah (tokoh pembaharu Minangkabau) mengenai tarekat Naqsyabandiyyah serta rukyat dalam penetapan awal Ramadhan. Hal ini dikarenakan Haji Abdul Karim Amrullah banyak dipengaruhi pemikiran revolusioner, Syekh Ahmad Khatib, yang menentang adat matrilineal Minangkabau dan tarekat Naqsyabandiyyah al-Khalidiyyah di Sumatera Barat. Haji Abdul Karim Amrullah berusaha mengungkapkan kekeliruan tarekat tersebut terutama dalam praktek dhikr lata‘if, suluk (khalwa), khatm-i khwajagan, dan rabita bi-l-shaykh. Ia (Haji Abdul Karim Amrullah) mencoba meluruskan praktek tarekat yang menurutnya tidak ada dasarnya dalam Islam. Namun demikian, keduanya (Syekh Sulai¬man al-Rasuli dan Haji Abdul Karim) tidak membawa perbedaan pendapat itu ke dalam suatu debat kusir. Keduanya justru bekerja sama erat khususnya untuk menghadapi kolonialisme. Mereka berdua bahkan acap kali mengisi ceramah di satu tempat, dan bersama dengan Syekh Ibrahim Musa (tokoh pembaharu di Parabek, Bukittinggi) berjanji untuk membawa semangat persatuan kepada segenap umat di wilayahnya.
Perdebatan mengenai penetapan awal dan akhir bulan puasa sebenarnya tidak hanya terjadi pada masa Syekh Sulaiman dan Haji Abdul Karim Amrullah. Jauh sebelum me¬re¬ka lahir, perdebatan semacam ini telah sering terjadi antara para pengikut tarekat Naqsybandiyyah dan pengikut tarekat Syatariyyah sejak berkembangnya kedua tarekat ini. Schrieke, misalnya, melaporkan bahwa selama bertahun-tahun, di sekitar Padang Panjang selalu terjadi pertentangan sengit antara Syatariyyah dan Naqsyban¬diyyah menyangkut persoalan tersebut. Demikian halnya di Pariaman, hingga sekarang masih terjadi perbedaan pendapat antara penganut tarekat Syatariyyah di Ulakan dengan penganut Naqsyban¬diyyah di Cangking mengenai awal dan akhir bulan puasa. Biasanya, para penganut Syatariyyah merayakan puasa Ramadan dua hari kemudian setelah para penganut tarekat Naqsybandiyyah merayakannya, sehingga mereka (penganut Syatariyyah) mendapatkan julukan “orang puasa kemudian”, sementara penganut tarekat Naqsybandiyyah disebut orang sebagai “orang puasa dahulu”.
Dengan demikian, munculnya perdebatan antara Syekh Sulaiman al-Rasuli (kaum tua) dan Haji Karim Amrul¬lah (kaum muda) tidak terlepas dari perbedaan paham yang mereka anut, meskipun keduanya pernah berguru kepada Syekh Ahmad Khatib al-Minankabawi, imam madzhab Syafi‘i di Masjid al-Haram. Hal ini dikarenakan Syekh Sulaiman lebih mengembangkan paham Sunni Syafi‘i dan tarekat Naqsy¬ban¬diyyah. Sementara, Haji Karim Amrullah lebih mengembangkan ide-ide pembaharuan agama yang banyak dipengaruhi oleh gerakan Islamic Reviva¬lism di Timur Tengah.
Sebagai ulama yang gigih membela dan mengembangkan paham Ahl al-Sunnah wa al-Jama‘ah, Syekh Sulaiman al-Rasuli berusaha menyampaikan pemahaman ajaran ini kepada para pengikutnya sepanjang hidupnya. Menurutnya, Ahl al-Sunnah wa al-Jama‘ah, secara umum berarti kelompok yang berpegang teguh pada sunnah dan jama‘ah. Ia dan pengikutnya yang menganut paham Ahl al-Sunnah wa al-Jama‘ah menjadikan “sunnah”, atau hadis Nabi, dan ijma‘ sebagai pedoman dalam kehidupan beragama. Dengan demikian, bagi Syekh Sulaiman dan pengikutnya, setidaknya ada tiga pedoman yang menjadi rujukan dalam beragama mereka: al-Qur‘an, hadis Nabi, dan ijma‘. Kendati ijma‘ hanya menempati urutan ketiga, dalam kenyataannya, ijma‘ seringkali menjadi penentu dalam menjustifikasi sebuah persoalan hukum, terutama jika tidak dikemukakan secara spesifik dalam al-Qur‘an dan hadis Nabi. Oleh karenanya, bagi mereka yang menganut paham Ahl al-Sunnah wa al-Jama‘ah, ijma‘ —yang menghendaki adanya persetujuan mayoritas ummat atau jama‘ah dalam membuat sebuah keputusan hukum— menjadi semacam ‘kata kunci‘ yang membedakan kelompoknya dengan kelompok lain.
Namun demikian, paham Ahl al-Sunnah wa al-Jama‘ah yang digagas oleh Syekh Sulaiman al-Rasuli berbeda dengan paham serupa yang digagas oleh sejumlah tokoh Nahdatul Ulama. Syekh Sulaiman berpedoman kepada al-Qur‘an, hadis Nabi, ijma‘, dan madzhab Syafi‘i, sementara NU, selain berpedoman kepada al-Quran, hadis Nabi, dan ijma‘, juga berpegang teguh pada tiga tradisi, yakni: mengikuti paham al-‘Asy‘ari dan al-Maturidi dalam persoalan teologi (tauhid) dan mengikuti paham salah satu dari empat madzhab dalam persoalan hukum (fiqh), yaitu madzhab imam Maliki, Syafi‘i, Hambali, dan Hanafi.
3. Karya
Sebagai seorang ulama, Syekh Sulaiman al-Rasuli telah melahirkan beberapa karya, di antaranya:
1. Dhiya-us Siraj fil Isra‘ wal Mi‘raj.
2. Tsamaratul Ihsan fi wiladah Sayyidil Insan.
3. Dawa-ul Qulub fi qishshah Yusuf wa Ya‘qub.
4. Risalah al-Aqwal al-Washitah fidz-Dzikri war-Rabithah.
5. al-Qaulul Bayan fi Tafsiril Quran.
6. Al-Jawahirul Kalamiyyah.
7. Sabilus Salamah fi wird Sayyidil Ummah.
8. Perdamaian Adat dan Syara‘.
9. Kisah Muhammad ‘Arif (tasawwuf).
4. Penghargaan
Sebagai ulama besar yang terlibat aktif di dunia politik, Syekh Sulaiman al-Rasuli pernah dilantik pemerintah Republik Indonesia Serikat untuk menjadi salah satu anggota Dewan Konstituante, mewakili Perti, pada tahun 1950.
Sumber :
• http://www.republika.co.id
• www.cimbuak.net
• http://ulama-nusantara.blogspot.com
• Sejarah dan Keagungan Mazhab Syafie. Aman Press, 1985.
No comments:
Post a Comment