02 October 2010
Siti Roehana Koedoes
1. Riwayat Hidup
Pejuang kaum perempuan Minangkabau ini dilahirkan dengan nama Siti Roehana. Setelah menikah dengan Abdoel Koedoes, kemudian dia dikenal sebagai Siti Roehana Koedoes. Roehana dilahirkan di Kotogadang, Kabupaten Agam, Sumatra Barat, pada 20 Desember 1884 (Tamar Djaja, 1980: 26). Roehana berasal dari keluarga terpandang, dari salah satu jalur matrilineal tertua di Kotogadang, yakni keturunan Datuk Dinagari dari Puak Kato. Ayah Roehana, Moehammad Rasjad Maharadja Soetan, adalah seorang hoofdjaksa (jaksa kepala), jabatan yang termasuk berkelas pada masa itu. Roehana bersaudara tiri dengan Soetan Sjahrir—pejuang pergerakan yang kelak menjadi Perdana Menteri RI pertama—satu bapak namun lain ibu (Mrazek, 1996: 4).
Roehana sangat dekat dengan ayahnya. Julukan “Roehana anak ayah” pun disematkan kepada Roehana karena dia dianggap sebagai anak kesayangan. Rasjad memang berperan besar dalam proses pendewasaan Roehana dan berharap putri tercintanya itu akan tumbuh menjadi seorang perempuan yang berguna bagi keluarga dan bangsanya. Bakat revolusioner Roehana sudah terlihat sedari dini. Dia gemar membaca buku dan surat kabar, suka menulis, dan berlatih menyulam.
Berkat bimbingan sang ayah, Roehana dengan cepat menguasai ilmu-ilmu baru. Ayahnyalah yang mendidik Roehana dengan berlangganan surat kabar dan menyediakan buku-buku bacaan. Sang ayah bahkan sampai memesan koran dan buku dari Singapura untuk dibaca Roehana. Sepanjang hayatnya, Roehana tidak pernah merasakan sekolah formal karena harus hidup nomaden mengikuti tempat tugas sang ayah. Selain itu, Roehana juga berkewajiban mengasuh dan menjaga adik-adiknya. Jadilah Rasjad berperan sebagai ayah sekaligus guru bagi anak-anaknya, termasuk Roehana.
Ketika mengikuti ayahnya bertugas di Alahan Panjang, pengetahuan yang didapat Roehana bertambah lengkap. Keluarga Roehana bertetangga baik dengan seorang jaksa, Lebi Rajo nan Soetan, dan istrinya, Adiesah. Kebetulan keluarga kecil ini belum dikaruniai momongan. Keluarga Lebi Rajo kemudian berandil cukup besar dalam proses kreatif Roehana. Roehana kerap diajari membaca, menulis, serta merajut benang wol yang merupakan keahlian perempuan Belanda (Fitriyanti, 2001: 18). Bermacam surat kabar dan buku yang terdapat di rumah Adiesah dilahap Roehana. Sementara di rumahnya sendiri, Roehana juga membaca buku milik ayahnya seperti buku sastra, politik, atau hukum. Beginilah cara Roehana mengenyam pendidikan.
Proses pembelajaran yang menyenangkan di Alahan Panjang cuma dua tahun dirasakan Roehana. Rasjad dipindatugaskan ke Simpang Tonang Talu gara-gara sikapnya yang kritis terhadap atasan. Di tempat tugas ayahnya sekaligus tempat tinggal keluarganya yang baru inilah Roehana memulai jejaknya sebagai seorang guru muda. Ini bermula dari kebiasaan unik Roehana—yang bakal menjadi trade mark gaya Roehana kecil menarik murid—yakni membaca surat kabar ataupun buku dengan suara lantang di depan orang banyak di tempat umum maupun di teras rumahnya (Hajar NS, 2008: 186).
Awalnya hanya dari kebiasaan Roehana membaca buku-buku dan koran dengan suara yang nyaring lagi lantang, namun siapa sangka kegemaran ini justru yang membuat lingkungan sekitarnya sadar bahwa Roehana sangat berbakat untuk menjadi guru. Mulanya tak puas mendengar, berangsur para tetangganya mulai tertarik belajar membaca dan menulis agar bisa membaca sendiri cerita yang diperdengarkan Roehana.
Ternyata umpan Roehana mujarab menjaring minat belajar orang sekampung. Timbullah gagasan mendirikan sekolah di rumah, teras disulap menjadi tempat belajar sederhana, sedangkan ayah Roehana membantu pengadaan alat tulis yang dibagikan secara gratis. Cukup beralas tikar dan duduk bersila, pelajaran membaca dan menulis dimulai dengan Roehana sebagai guru. Ayah Roehana pun bersedia mengajar materi budi-pekerti dan agama.
Kegiatan belajar-mengajar yang berlangsung di rumah Roehana semakin riuh. Dari anak-anak sampai para ibu muda terlibat proses pendidikan dalam suasana yang menggembirakan. Roehana mulai memperkaya materi pengajaran. Tak hanya membaca dan menulis saja, tapi juga pelajaran agama dengan menyertakan belajar membaca dan menulis Arab agar tidak sekadar menghafal, sebagaimana pelajaran agama di surau-surau. Nenek Roehana, Tuo Sarimin, turut andil dengan memberikan pelajaran keterampilan menyulam, sementara Tuo Sini, adik neneknya yang selain pintar mendongeng juga mengajar anyam-menganyam.
Menjalani peran sebagai penyuluh kaum perempuan dilakoni Roehana cukup lama, sejak belia hingga Roehana berusia 24 tahun. Selama kurun waktu itu, Roehana telah melakukan banyak gebrakan untuk mendidik kaum perempuan. Jasa terbesar Roehana tentu saja ketika mendirikan sekolah Kerajinan Amai Setia (KAS) di Kotogadang pada 1911. Sekolah yang mendidik keahlian anak-anak perempuan ini merupakan tindak lanjut dari dideklarasikannya perkumpulan perempuan Kerajinan Amai Setia pada 11 Februari 1911 di mana Roehana didaulat sebagai ketuanya. Di bawah tangan halus Roehana, KAS berkembang pesat. Para istri pejabat Belanda tertarik dengan hasil kerajinan siswi-siswi KAS yang kualitasnya dinilai sudah layak ekspor.
Kegemilangan yang diraih Roehana tersiar ke berbagai penjuru. Hingga datang undangan, Roehana ditawari pergi ke Eropa untuk ikut dalam Internationale Tentoonstelling yang akan diadalkan di Brussel, Belgia, pada 1913. Internationale Tentoonstelling adalah ajang pameran kerajinan tahunan yang diikuti oleh peserta dari banyak negara. Ini adalah kesempatan emas Roehana untuk memamerkan sulam terawang karya perempuan Kotogadang sehingga akan dikenal lebih luas. Namun, gara-gara fitnah dari pihak-pihak yang dengki, Roehana batal ke Eropa, padahal kabar rencana keberangkatan Roehana telah disiarkan luas.
Gagal ke Eropa, spirit Roehana tak surut. Justru aksi jegal yang dialaminya dijadikan pelecut untuk semakin maju. Roehana bertekad untuk terus membimbing bangsanya menuju pencerahan. Kali ini pena menjadi pilihan senjatanya. Kegemarannya membaca membuat Roehana terpantik untuk turut menulis. Ini suatu keputusan berani mengingat kala itu tak banyak perempuan yang berkecimpung di semesta media. Roehana adalah salah seorang srikandi pertama yang memulai tradisi pers di Sumatra Barat, pelopor jurnalisme perempuan Minangkabau.
Selama menjadi guru, Roehana mengajari para muridnya menulis maupun menyadur cerita dalam bentuk syair yang memuat kearifan. Selain itu, Roehana mempunyai kebiasaan menulis catatan harian atau semacam memoar yang berisi keluh-kesah, juga apapun yang dialaminya dalam kehidupan sehari-hari. Kegemaran membaca dan menulis inilah yang kemudian membuatnya berani mencoba mengirimkan hasil pemikirannya ke beberapa surat kabar.
Ketika Poetri Hindia terbit perdana pada 1908 di Batavia dan lantas dianggap sebagai koran perempuan pertama di Indonesia, Roehana ikut antusias menyambut kemajuan ini. Beberapa kali dia menjadi kontributor koran perempuan yang hadir berkat gagasan Tirto Adhi Soerjo itu. Bisa jadi Roehana adalah wanita Indonesia yang secara sadar memerankan dirinya sebagai seorang jurnalis, yang bersedia meliput berita sekaligus menulis untuk kemudian dikirimkan ke media massa. Kebanyakan, para perempuan yang terlibat di dunia jurnalistik kala itu cuma sebatas sebagai “pemanis” semata, tanpa perlu susah-susah bersadar diri dalam melakoni tugas-tugas dasar di bidang jurnalistik.
Setelah Poetri Hindia tutup buku karena Tirto Adhi Soerjo terlibat beberapa perkara delik pers dengan pemerintah kolonial Hindia Belanda, Roehana kemudian berpaling pada surat kabar Oetoesan Melajoe yang sudah terbit sejak 1911 (Muhidin M. Dahlan, 2008: 73). Roehana mengirim surat kepada Datoek Soetan Maharadja alias DSM, pemilik Oetoesan Melajoe sekaligus tokoh pers terkemuka di Sumatra Barat.
Gayung bersambut, DSM ternyata sama kepincutnya terhadap Roehana, DSM mengikuti dengan cermat setiap sepak-terjang Roehana, baik lewat gerakan-gerakan Roehana di bidang pendidikan ataupun ketajaman kalam Roehana yang dimuat di sejumlah surat kabar. Saking tertariknya, orang sepenting dan sesibuk DSM sampai rela datang langsung ke Kotogadang demi menemui Roehana.
Hati Roehana terang girang bukan kepalang, dia segera menyampaikan keinginannya kepada DSM yang dijuluki raja pers Minangkabau itu. Roehana tidak main-main dalam hal ini, bahkan dia dengan tegas menyatakan ingin menerbitkan surat kabar khusus perempuan. “Keinginanku sebenarnya bukanlah sekadar meminta ruangan kaum ibu dalam surat kabar Oetoesan Melajoe yang bapak pimpin, tetapi kalau boleh ya penerbitan surat kabar yang istimewa untuk perempuan,” pinta Roehana. Setelah berembug, mereka kemudian bersepakat untuk menerbitkan koran khusus perempuan yang hingga saat itu belum pernah ada di Sumatra.
Tanpa lebih banyak basa-basi, meluncurlah edisi perdana Soenting Melajoe pada 10 Juli 1912. Roehana dipercaya untuk mengendalikan surat kabar ini sebagai pemimpin redaksinya. Inilah perempuan Indonesia pertama yang secara langsung memimpin surat kabar dan secara teknis sangat terlibat dalam tiap-tiap terbitannya. Bersama Roehana, duduk pula nama-nama srikandi lain di jajaran keredaksian Soenting Melajoe, seperti Zoebaedah Ratna Joewita binti Datoek Soetan Maharadja yang berkedudukan di Padang serta Roehana binti Maharadja Soetan yang mengasuh biro Soenting Melajoe di Bukittinggi. Ratna Joewita, anak perempuan DSM, sudah cukup kenyang pengalaman karena pernah menjadi penulis di Poetri Hindia, sama seperti yang pernah dilakoni Roehana.
DSM menyerahkan seluruh penggarapan Soenting Melajoe kepada Roehana sebagai pemimpin redaksinya. Inilah yang menjadi puncak pencitraan Roehana sebagai perempuan Indonesia pertama yang berprofesi sebagai wartawan. Awalnya, kerja Roehana hanya memetakan pemikirannya sembari merilis berita dan tulisan dari koran-koran luar negeri untuk ditampilkan di Soenting Melajoe. Namun kemudian Roehana benar-benar menjalani tugasnya sebagai wartawan. Roehana tak jarang bolak-balik Kotogadang-Bukittinggi untuk meliput peristiwa-peristiwa aktual yang sedang terjadi.
Soenting Melajoe diterbitkan dari Padang namun Roehana tak perlu berpindah domisili. Dari Kotogadang, Roehana tetap bisa mengendalikan redaksi Soenting Melajoe, yakni cukup dengan mengirim tulisan selama sepekan dan berkoordinasi dengan awak redaksi di Padang. Roehana menulis dengan tulisan tangan karena dia merasa masih nyaman dengan gaya konvensional ini, selain tidak memiliki dan belum mahir menggunakan mesin ketik. Kecuali aktif dan produktif dalam menulis, Roehana turun langsung mencari bakat terpendam para perempuan yang gemar menulis ke pelosok-pelosok, serta mengusahakan dibukanya biro-biro Soenting Melajoe di berbagai tempat untuk memudahkan distribusinya.
Selain bersama Soenting Melajoe, Roehana juga terlibat dalam beberapa koran lainnya. Pada 1913, di samping pekerjaaan utamanya sebagai pemimpin redaksi Soenting Melajoe, Roehana juga menjadi awak redaksi Saoedara Hindia, surat kabar terbitan Kotogadang, tempat Roehana bermukim. Selanjutnya, pada 1920, saat Roehana menetap di Medan sembari mengajar pada sekolah Dharma Putra, dia membantu penerbitan surat kabar Perempoean Bergerak (Dian Andika Winda, 2008: 148).
Perempoean Bergerak merupakan koran terbitan Deli yang juga mengusung semangat feminisme kendati tetap memuat sajian rumah tangga, sopan-santun, keluarga, penjagaan anak, pergaulan sehari-hari, dan masak memasak. Segmen pembacanya pun juga ditujukan bagi laki-laki. Argumentasinya, kemajuan perempuan dan bangsa hanya akan tercapai dengan kerjasama antara laki-laki dan perempuan. ‘Perempoean Bergerak dipelopori para aktivis perempuan ternama kala itu, antara lain Boetet Satidjah, Anong S Hamidah, Siti Sahara, Ch Baridjah, TA Safariah, dan Siti Satiaman. Nama terakhir yang disebut adalah pemimpin redaksi sekaligus istri dari jurnalis terkemuka, Parada Harahap (Rhoma Dwi Aria Yuliantri, 2008: 88).
Roehana sempat pula menjadi redaktur surat kabar Radio dan Tjahaja Sumatra yang diterbitkan di Padang. Namun, meski sudah kenyang berbagai pengalaman di dunia pers, Soenting Melajoe tetap saja menjadi ciri yang paling lekat pada diri Roehana sebagai seorang jurnalis perempuan yang paling terkemuka.
Roehana setia mengawal Soenting Melajoe dari awal hingga pungkas. Sejak Soenting Melajoe pertama kali diluncurkan sampai koran ini berhenti terbit pada 1921, posisi Roehana sebagai motor utama penggeraknya tak tergantikan. Sembilan warsa yang dilakoni Roehana bersama Soenting Melajoe bukanlah waktu yang sebentar, tak banyak koran yang bisa bertahan selama itu dalam kurun dekade kedua abad ke-20 tersebut. Berkat kegigihan dan komitmen Roehana demi kemajuan kaum perempuan, Soenting Melajoe mampu melangsungkan perjuangannya.
Pada usia 24 tahun, Roehana menikah dengan Abdoel Koedoes, seorang notaris sekaligus jurnalis koran Tjahaja Soematra. Suami Roehana juga tercatat sebagai anggota organisasi pergerakan yang dipimpin Tjipto Mangoenkoesoemo, Insulide. Setelah menikah dengan Abdoel Koedoes, Roehana berhak menyandang nama belakang suaminya. Sejak itulah dia lebih dikenal dengan nama Siti Roehana Koedoes. Suami-istri yang konsisten berjuang demi kemajuan bangsanya itu dikaruniai seorang anak laki-laki yang diberi nama Djasman.
Pada 17 Agustus 1972, tepat ketika seluruh rakyat Republik Indonesia memperingati hari kemerdekaannya yang ke-27, Siti Roehana Koedoes meninggal dunia di Jakarta pada usia 88 tahun. Jenasahnya dimakamkan di pemakaman umum Karet, Jakarta. Tak banyak perempuan Indonesia seperti Roehana, apalagi pada masa hidupnya yang sarat ketidakadilan yang dialami kaum perempuan. Siti Roehana Koedoes, seorang perempuan yang tidak pernah mengecap pendidikan formal namun sanggup melakukan hal-hal besar demi perubahan: mendirikan sekolah perempuan, membentuk organisasi perempuan, serta menerbitkan surat kabar perempuan. Bukan kebetulan bila di ranah Sumatra, Roehana adalah sang pemulanya.
2. Pemikiran
Apa yang menjadi pemikiran sekaligus motivasi perjuangan Roehana bermuara pada satu hal besar: emansipasi perempuan. Hal besar inilah yang kemudian oleh Roehana diperjuangkan melalui dua jalur, yaitu pendidikan dan jurnalistik, dengan sasaran untuk kemajuan kaum perempuan di Sumatra pada khususnya dan di Indonesia pada umumnya.
a. Pendidikan
Keteladanan seorang guru akan menjadikan guru sebagai pendidik yang mampu memberikan kesempatan siswa untuk mengembangkan semua dimensi kemanusiaannya (St Kartono, 2006: 20). Maka dari itu, Roehana mengasah pengetahuannya dengan lebih banyak membaca buku dan berlangganan surat kabar, termasuk media terbitan luar negeri. Dengan banyak menjamah bacaan asing, Roehana kian menyadari perbedaan nasib perempuan di dalam negeri dengan kondisi perempuan di luar negeri. Roehana mendapati tak hanya lelaki yang bisa menikmati pendidikan, tapi juga kaum perempuan.
Perempuan di negeri nun jauh di sana bisa memperoleh gelar sarjana, bekerja di kantor, menjadi guru, serta boleh menyatakan pendapatnya untuk turut menentukan masa depan bangsa. Kondisi kaum perempuan di dalam negeri sangat berbeda, masih dibatasi dengan aturan adat. Keadaan ini mengundang rasa prihatin dan memunculkan hasrat Roehana untuk memajukan kaum perempuan.
Pengetahuan dari bacaan-bacaan luar negeri diterapkan Roehana saat mengajar. Roehana membeberkan nasib perempuan di Eropa yang jauh lebih baik ketimbang putri-putri negeri sendiri. Roehana sekali lagi menegaskan perlunya perempuan Minang untuk merantau demi mencari ilmu. Bila perempuan tak berani membuka pikirannya, kata Roehana, maka dia akan tersingkir dari perhatian laki-laki karena pria Minang lebih menyukai perempuan yang pintar. Pikiran Roehana tentang perempuan merantau dianggap menyimpang dari adat karena berani memasukkan perempuan dalam lingkaran rantau yang mutlak dipunyai lelaki. Tapi begitulah ciri pelopor, pikirannya pasti melampaui orang kebanyakan pada zamannya.
Roehana menghabiskan waktu sepanjang hidupnya dengan belajar dan mengajar, juga berupayamengubah paradigma masyarakat Minangkabau terhadap pendidikan untuk kaum perempuan. Roehana dengan bijak menjelaskan bahwa perputaran zaman tidak akan pernah membuat perempuan menyamai laki-laki. Perempuan tetaplah perempuan dengan segala kemampuan dan kewajibannya. Yang harus berubah adalah perempuan harus mendapat pendidikan dan perlakukan yang lebih baik. Perempuan harus sehat jasmani dan rohani, berakhlak dan berbudi pekerti luhur serta taat beribadah. Kesemuanya itu hanya akan terpenuhi dengan mempunyai ilmu pengetahuan.
Dengan demikian jelaslah sudah, emansipasi yang ditawarkan dan dilakukan Roehana tidak menuntut persamaan hak perempuan dengan laki-laki namun lebih kepada pengukuhan fungsi alamiah perempuan itu sendiri secara kodratnya. Untuk dapat berfungsi sebagai perempuan sejati sebagaimana mestinya juga butuh ilmu pengetahuan dan keterampilan. Untuk itulah diperlukannya pendidikan yang layak dan baik bagi kaum perempuan.
b. Jurnalistik
Pemikiran Roehana tentang emansipasi perempuan yang diguratkan melalui tulisan-tulisannya di surat kabar lebih terasa tajam. Seringkali artikel karya Roehana mengkritisi ketidakadilan yang dialami kaum hawa di negeri ini, terutama ketika Roehana memimpin Soenting Melajoe. Dominasi tulisan Roehana yang dimuat dalam Soenting Melajoe menekankan pentingnya perempuan menempuh pendidikan, baik pendidikan formal, pendidikan keluarga, juga pendidikan untuk bisa hidup mandiri tanpa bergantung pada lelaki. Tulisan-tulisan Roehana cukup tajam, bahkan berulangkali menyerang adat Minangkabau yang dinilainya telah usang, tak relevan lagi dengan kemajuan zaman.
“Saya terutama sekali menulis mengenai segi keagamaan dan keharusan adat Minangkabau, khususnya Kotogadang, yang mengubah sikap mereka mengenai perempuan,” tegas Roehana (Hajar NS, 2007: 38). Tulisannya banyak bercerita ihwal kehidupan perempuan dari lapisan menengah ke bawah. Roehana sangat paham tentang keadaan tersebut karena dalam lingkungan itulah dia menjalani kehidupan.
Roehana juga kerap menyoroti nasib perempuan di negara miskin dan negara terjajah. Dalam salah satu artikelnya di Soenting Melajoe, Roehana menggugat nasib kaum perempuan India yang merana akibat terkekang aturan adat. Keadaan kaum perempuan India memang sangat mengenaskan, bahkan mereka diperlakukan secara tidak manusiawi. Ketika sedang menstruasi, para perempuan India harus diasingkan karena dianggap sebagai makhluk yang kotor lagi najis. Inilah yang digugat Roehana bahwa perempuan selalu saja menjadi tumbal atas nama norma adat. “Perempuan bangsa Hindu di tanah Hindustan sebelah utara dan Hindustan sebelah tengah amatlah rendah sekali derajatnya dan tiada berhak apa-apa,” tukas Roehana (Roehana Koedoes, Soenting Melajoe: 13 Desember 1918).
Gugatan Roehana kian bernyali. Dia menulis garang kepada kaum pria yang selama ini hanya menjadikan perempuan berada di bawah kuasa mereka. Roehana menginginkan keadilan. Dia tidak mau kaumnya hanya diperlakukan sekadar sebagai pelengkap, pemuas nafsu yang kebetulan memiliki fungsi reproduksi. Roehana memperjuangkan emansipasi dan kesetaraan, karena menurut Roehana, perempuan bersama laki-laki adalah unsur pembangun bangsa. Roehana mengultimatum, “Ketahuilah oleh tuan-tuan, bahwa perempuan itu sunting permainan. Janganlah tuan pilih perempuan (sama gadis atau janda) yang panjang rambut dan licin kening saja, tetapi wajiblah tuan-tuan ingat buah yang manis itu banyak berulat.” (Roehana Koedoes, Soenting Melajoe: 10 Desember 1920).
Meski cenderung keras dalam urusan emansipasi perempuan namun Roehana tak serta-merta jadi gelap mata. Roehana masih memegang teguh kodrat asali perempuan, yakni sebagai ujung tombak dalam mengurus rumah tangga dan keluarga. Untuk itu, Roehana selalu menghimbau agar kaum perempuan tak jemu menimba ilmu supaya menjadi golongan yang tangguh, pandai mengelola keluarga tanpa selalu bergantung pada suami. Melalui tulisannya, Roehana menganjurkan, “Rajin-rajinlah dan tetaplah hati saudara-saudara setiap hari menuntut ilmu, karena ilmu itu telah bersendi kemajuan bagi pihak beberapa bangsa... Sebab kemajuan itu tak hanya pendapat pada pihak laki-laki saja. Bangsaku perempuan hendaknya juga dimajukan, jangan sekali ditinggalkan di belakang. Sekali lagi, anak perempuan harus terus disekolahkan!” (Hajar NS, 2008: 221).
Berkat peran vitalnya dalam menggalang keberlangsungan Soenting Melajoe, nama Roehana melambung ke panggung pers nasional sebagai jurnalis perempuan yang konsisten memperjuangkan emansipasi. Sebagai pedagog sekaligus jurnalis, nama Roehana kemudian dikenang-kenang sebagai jurnalis pertama perempuan Pribumi karena dia juga terlibat langsung dalam membangun manajemen pers di dekade kedua abad ke-20 itu. “Soerat Kabar Perempuan di Alam Minangkabau”, demikian jargon yang diusung Soenting Melajoe. Jargon ini senafas dengan perjuangan Soenting Melajoe mengangkat harkat perempuan, utamanya adalah bagaimana mendudukan posisi yang sejajar dengan kaum laki-laki di dalam dunia pergerakan.
Tak jemu-jemu Roehana menuntut agar hak-hak kaum perempuan tidak terlalu ditekan. Roehana berjuang sekuat tenaga melalui bidang yang dikuasainya. Lewat media surat kabar, pergerakan Roehana lebih leluasa dalam melancarkan kritikan dan sentilan pedas kepada pihak-pihak yang tak ingin kaum perempuan memperoleh kemajuan. Sebagai ransum untuk memperkaya wawasannya sebagai seorang guru sekaligus jurnalis, Roehana terus membekali dirinya dengan membaca surat kabar pergerakan, seperti Fadjar Asia, Modjopahit, Goentoer Bergerak, juga Sinar Djawa/Sinar Hindia. Koran-koran ini kebanyakan adalah corong pergerakan yang dimotori para pejuang generasi muda yang berdarah-darah menentang kolonialisme dan imperialisme.
Roehana menemukan alasan kuat mengapa tertarik terjun ke dunia jurnalistik. Pertama, perasaaan bangga karena dengan menjadi wartawan dapat bertemu dengan para tokoh besar. Kedua, kerja-kerja menulis seorang wartawan adalah ruang untuk memerdekakan pikiran, bahkan bisa untuk mengkritik atau mengkoreksi hal-hal yang dirasa tidak benar dan dianggap perlu diketahui oleh khalayak. Ketiga, kewajiban seorang wartawan untuk mengemban amanat rakyat yang hakiki berupa kemerdekaan hati nurani rakyat. Terakhir, dengan menjadi seorang wartawan, Roehana dapat leluasa memperjuangkan nasib perempuan agar tidak terus ditindas oleh aturan adat serta perlakuan diskriminatif. Roehana berkehendak memenangkan perjuangan perempuan, dan itulah yang dilakukannya melalui Soenting Melajoe dan surat kabar lain yang dikelolanya.
3. Jasa dan Karya
Perjuangan nyata Roehana demi kepentingan dan kemajuan kaum perempuan sangat banyak. Sepanjang Roehana hidupnya, Roehana telah menorehkan banyak prestasi, antara lain:
1. Menggagas perkumpulan perempuan Kerajinan Amai Setia pada 11 Februari 1911 di mana Roehana ditunjuk sebagai ketuanya.
2. Mendirikan sekolah Kerajinan Amai Setia (KAS) di Kotogadang pada 1911, sekolah ini masih bertahan hingga sekarang.
3. Menjadi jurnalis perempuan pertama di Indonesia.
4. Menjadi kontributor koran khusus perempuan terbitan Batavia, Poetri Hindia, pada 1908.
5. Menggagas dan memimpin penerbitan surat kabar khusus perempuan Soenting Melajoe, yang diterbitkan di Padang sejak 10 Juli 1912.
6. Menjadi guru di sekolah Dharma Putra di Medan pada 1920.
7. Membantu penerbitan surat kabar terbitan Medan, Perempoean Bergerak, pada 1920.
8. Menjadi redaktur surat kabar Radio dan Tjahaja Sumatra yang diterbitkan di Padang.
4. Penghargaan
Sebagai bentuk pengabadian atas jasa-jasa Roehana, pada 1974 pemerintah daerah Sumatra Barat memberi penghargaan kepada Roehana sebagai wartawati pertama Indonesia. Pemerintah Orde Baru tidak mau kalah, pada peringatan Hari Pers Nasional ke III, 9 Februari 1987, Roehana dianugerahi gelar sebagai perintis pers Indonesia. Selanjutnya, pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono turut menggenapkan gemilang jasa yang ditorehkan Roehana dengan menganugerahkan Bintang Jasa Utama kepada Roehana atas jasa-jasanya dalam perjuangan bangsa melalui dunia jurnalistik. Penghargaan yang diberikan pada 16 Februari 2008 itu diserahkan melalui Gubernur Sumatra Barat, Gamawan Fauzi, dan diterima keluarga Roehana Koedoes yang diwakili cucunya, Juneydi Juni, pada acara puncak Hari Pers Nasional tingkat Sumatra Barat di Istana Negara Bung Hatta, Bukittinggi. (Iswara NR/ MelayuOnline)
Kepustakaan
AN Ismanto (Ed.), Tanah Air Bahasa: Seratus Jejak Pers Indonesia, Jakarta: IBOEKOE, 2007,
Fitriyanti, Roehana Koeddoes:Perempuan Sumatera Barat, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2001.
Iswara N Raditya dan Muhidin M Dahlan (Eds.), Karya-karya Lengkap Tirto Adhi Soerjo: Pers Pergerakan dan Kebangsaan, Jakarta: IBOEKOE, 2008.
M Balfas, Dr Tjipto Mangoenkoesoemo: Demokrat Sedjati, Jakarta: Djambatan, 1952.
Muhammad Safrinal (Ed.), Sang Guru: Peta Ringkas Hubungan Guru-Murid di Pelbagai Tradisi, Yogyakarta: Ekspresibuku, 2006
Muhidin M Dahlan (Ed.), Seabad Pers Kebangsaan: Bahasa Bangsa, Tanahair Bahasa (1907-2007), Jakarta: IBOEKOE, 2008.
Petrik Matanasi (Ed.), 7 Ibu Bangsa, Jakarta: Rahzenbook, 2008
Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, Jakarta: Lentera Dipantara, 2003.
Rudolf Mrazek, Sjahrir:Politik dan Pengasingan di Indonesia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1996.
Tamar Djaja, Roehana Koddoes, Srikandi Indonesia, Jakarta: Penerbit Mutiara, 1980.
Artikel dalam Buku
Dian Andika Winda, “Perempoean Bergerak: Dari Deli untuk Kesetaraan, “dalam Muhidin M Dahlan (Ed.), Seabad Pers Kebangsaan: Bahasa Bangsa, Tanahair Bahasa (1907-2007), Jakarta: IBOEKOE, 2008, hlm. 148.
Hajar NS, “Siti Roehana Koedoes: Ibu Pers dan Pergerakan Indonesia”, dalam Petrik Matanasi (Ed.), 7 Ibu Bangsa, Jakarta: Rahzenbook, 2008, hlm. 186.
Hajar NS, “Siti Roehana Koedoes: Membaca Surat kabar Seperti Meminum Air Laut”, dalam dalam AN Ismanto (Ed.), Tanah Air Bahasa: Seratus Jejak Pers Indonesia, Jakarta: IBOEKOE, 2007, hlm. 38.
Iswara N Raditya, “Datoek Soetan Maharadja: Penghulu Adat Berkiblat Barat”, dalam AN Ismanto (Ed.), Tanah Air Bahasa: Seratus Jejak Pers Indonesia, Jakarta: IBOEKOE, 2007, hlm. 24.
M Yuanda Zara, “Oetoesan Melajoe: Koran Utusan Kaum Adat”, dalam Muhidin M Dahlan (Ed.), Seabad Pers Kebangsaan: Bahasa Bangsa, Tanahair Bahasa (1907-2007), Jakarta: IBOEKOE, 2008, hlm. 73.
Reni Nuryanti, “Soenting Melajoe: Di sini, Nama Roehana Koedoes Terpahat”, dalam Muhidin M Dahlan (Ed.), Seabad Pers Kebangsaan: Bahasa Bangsa, Tanahair Bahasa (1907-2007), Jakarta: IBOEKOE, 2008, hlm. 91
Rhoma Dwi Aria Yuliantri, “Parada Harahap: King of The Java Press”, dalam AN Ismanto (Ed.), Tanah Air Bahasa: Seratus Jejak Pers Indonesia, Jakarta: IBOEKOE, 2007, hlm. 88.
St Kartono, “Masih Ada Guru”, dalam Muhammad Safrinal (Ed.), Sang Guru: Peta Ringkas Hubungan Guru-Murid di Pelbagai Tradisi, Yogyakarta: Ekspresibuku, 2006, hlm. 20.
Artikel dalam Surat Kabar/Internet
-------, “Roehana Kudus”, tersedia di www.wikipedia.org. diakses pada 6 April 2009.
-------, “Balai Wartawan "Rohana Kudus" Bukti Sejarah,” tersedia di www.opensubscriber. com, diakses pada 7 April 2009.
Nasrul Azwar (2007), “Roehana Kudus, Jurnalis Perempuan Dari Sumatra Barat” tersedia di www.ranah-minang.com, diakses pada 6 April 2009.
Riny Yunita (2008), “Roehana Kudus Rintis Surat kabar Perempuan”, tersedia di www.langitperempuan.com, diakses pada 6 April 2009.
Siti Roehana Koedoes (1918), “Perempoean”, dalam Soenting Melajoe, 13 Desember 1918.
Siti Roehana Koedoes (1920), “Mentjari Isteri”, dalam Soenting Melajoe, 10 Desember 1920.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment