1. Riwayat Hidup
Soeman Hs dilahirkan di Desa Batantua, Bengkalis, Riau, Indonesia, pada tanggal 4 April 1904 dari pasangan bapak Wahid atau dikenal Lebai Wahid Hasibuan, dan ibu Tarumun Pulungan. Kedua orangtuanya berasal dari Desa Hutanopan, Kecamatan Barumun, Tapanulis Selatan. Ayahnya, Wahid Hasibuan, termasuk keturunan bangsawan yang pernah menjadi kepala adat (Kuria) dan guru ngaji (lebai). Soeman Hs adalah anak ketiga dari enam orang bersaudara, yaitu Raman (sulung), Riban, Abdurrachim, Hamzah dan Juma’at (bungsu).
Pada tahun 1912, dalam usia tujuh tahun, Soeman Hs mulai belajar di Sekolah Melayu Gouevernement Inlandsch School (GIS), sederajat Sekolah Dasar dan tamat 1918. Setelah itu, ia mengikuti ujian masuk Sekolah Calon Guru (Normaal Cursus) di Medan. Dari 24 orang peserta, hanya 6 orang yang diterima termasuk Soeman Hs yang menempati juara ke-4. Selama menempuh pendidikan di Sekolah Calon Guru tersebut, ia mendapat bantuan beasiswa dari pemerintah Belanda sebesar Rp.4 perbulan. Tahun 1920, ia telah menyelesaikan pendidikan di Normaal Cursus, kemudian melanjutkan ke Normal School (sekolah guru yang sebenarnya) di Langsa, Aceh Timur dan selesai 1923.
Selesai di Normal School Langsa, Soeman Hs kembali ke Batantua. Setelah tiga bulan di Batantua, ia diangkat menjadi guru Bahasa Indonesia di HIS (sekolah Belanda) di Siak Sri Indrapura. Tahun 1930, ia diangkat menjadi Kepala Sekolah Melayu dan Penilik Sekolah di Pasir Pengarayan. Menjelang Kemerderkan RI tahun 1945, ia ditunjuk menjadi ketua Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) di Pasir Pengarayan. Semasa masih menjabat Ketua KNIP, pada tahun 1946 ia diangkat menjadi Anggota DPR di Pekanbaru Riau. Kemudian tahun 1948, ketika Yogyakarta diduduki Belanda, ia diangkat menjadi Komandan Pangkalan Gurilla (KPG) Rokan Kanan. Tahun 1950, menjabat sebagai Kepala Jawatan Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan Kabupaten Kampar, Pekanbaru yang berakhir tahun 1960. Baru saja memasuki masa pensiun, tahun 1961, Soeman Hs diangkat menjadi anggota Badan Pemerintahan Harian (BPH) merangkap sebagai kepala Bagian Keuangan di Kantor Gubernur Riau oleh Kaharuddin Nasution (Gubernur Riau waktu itu). Sampai tahun 1998, Soeman Hs masih menjabat Ketua Umum Yayasan Lembaga Pendidikan Islam (YLPI) Daerah Riau dan Ketua Yayasan Setia Dharma.
Soeman Hs mulai menggemari sastra ketika ia masih belajar di Sekolah Melayu. Untuk mengembangkan bakatnya dalam bidang sastra, ia sering mengikuti pembicaraan ayahnya dengan para saudagar yang datang ke rumahnya tentang kehidupan di Singapura. Dari pembicaraan tersebut, ia kemudian banyak berkhayal dan memperoleh banyak inspirasi, serta beberapa cerita. Selain itu, ia juga banyak memperoleh inspirasi dengan banyak membaca buku di perpustakaan. Dua buku yang diminati ketika itu, Siti Nurbaya karya Marah Rusli dan Teman Duduk karya M. Kasim. Kepengarangan Soeman Hs juga muncul berkat dorongan dari gurunya, M. Kasim, yang sering menceritakan pengalamannya menulis. Tulisan-tulisan Soeman Hs telah dimuat dalam majalah ibukota maupun di beberapa harian lainnya. Di harian Indonesia Raya ia tercatat sebagai penulis tetap, dan di majalah Harmonis, Jakarta (1977-1978) ia khusus mengisi kolom Menyelami Bahasa Indonesia. Di antara tulisannya yang pernah dimuat dalam kolom tersebut, yaitu: Senyum dan Tawa, Kalau Hari Panas Lupa Kacang Akan Kulitnya, Marilah Kita Bersikap Hidup Sederhana, dan lain-lain. Selain itu, ia juga pernah menjadi pengasuh ruang siaran Pembinaan Bahasa Indonesia di Stasiun RRI Pekanbaru yang ditayangkan dua kali seminggu. Pada tahun 1972, ia sempat menerbitkan sebuah majalah anak-anak bernama Nenek Moyang, meskipun hanya beberapa kali terbitan karena kesulitan dana.
Soeman Hs meninggal dunia pada hari Sabtu 8 Mei 1999 di rumahnya, Jl. Tangkubanperahu, Pekanbaru dalam usia 95 tahun. Ia meninggalkan seorang istri bernama Siti Hasnah dan 9 orang anak yakni Syamsul Bahri (sulung), Sawitri, Syamsiar, Faharuddin, Mansyurdin, Burhanuddin, Najemah Hanum, dan Rosman (bungsu), serta sejumlah cucu dan cicit.
2. Pemikiran
Berkaitan dengan dunia kesusastraan, Soeman Hs memiliki pandangan tersendiri, yaitu:
1. Hakekat kesusastraan adalah untuk masyarakat. Karena bagaimanapun baiknya sebuah karya puisi, kalau sukar dimengerti akan menjadikan karya tersebut tidak dekat dengan masyarakat.
2. Dalam menulis sebuah novel, ia selalu memakai nama-nama asing dalam setiap novelnya, karena ia ingin mendobrak adat yang kaku. Untuk menggambarkan hal ini, sengaja ia pilih tokoh orang asing agar lebih mudah diterima jika melawan adat. Ini adalah salah satu strategi kepengarangan, agar cerita dalam roman tersebut bisa diterima. Selain itu, judul pada setiap karya juga harus menarik. Sebagai contoh, Percobaan Setia. Menurutnya, judul ini menarik, karena seseorang yang sudah setia masih terus dicoba.
3. Dalam karya Kasih Tak Terlerai, ia tampak lebih banyak berbicara langsung dari pada memberi hidup pada tokoh-tokohnya. Dengan gaya tersebut, terasa kepada kita suatu pemaksaan kepada tokoh-tokohnya untuk hidup. Dengan demikian memaksa pula terhadap pembaca untuk mempercayai segala gerak mereka.
3. Karya-karya
Sebagai sastrawan, Soeman Hs telah melahirkan beberapa karya berupa roman dan cerpen, yaitu:
1. Kasih Tak Terlarai, Jakarta: Balai Pustaka, 1930.
2. Percobaan Setia, Jakarta: Balai Pustaka, 1931.
3. Mencari Pencuri Anak Perawan, Jakarta: Balai Pustaka, 1932.
4. Kasih Tersesat, Jakarta: Balai Pustaka, 1932.
5. Kawan Bergelut (kumpulan cerpen), Jakarta: Balai Pustaka, 1938.
6. Tebusan Darah, Medan: Dunia Pengalaman, 1939.
3. Penghargaan
Atas jasa-jasanya sebagai pahlawan pembela tanah air, Soeman Hs telah dianugerahi sebuah Penghargaan Tertinggi dari Komandan Daerah Militer Riau Utara (KDMRU) pada tahun 1949.
No comments:
Post a Comment