Hubungan Islam dan Barat sering kali mengalami pasang surut, termasuk di Jerman. Namun, dengan semangat toleransi dan saling menghargai, keduanya bisa menatap masa depan lebih cerah.
Seperti kebanyakan komunitas Muslim lainnya di kawasan Eropa, umat Islam di Jerman juga sempat mengalami kekhawatiran terhadap berbagai peristiwa yang senantiasa dikaitkan dengan agama Islam, seperti terorisme, jilbab, hukum syariah, dan sebagainya.
Keberadaan mereka di tanah airnya sendiri terkadang tidak diperhatikan, hanya karena berbeda kepercayaan dengan mayoritas masyarakat Eropa.
''Mayoritas umat Islam saat ini lahir dan besar di Jerman dan tidak bermigrasi. Kami adalah bagian dari Jerman,'' tegas Kepala Islamic Council, Ali Kizilkaya.
Pernyataan tersebut agaknya mewakili aspirasi sekitar 3,5 juta komunitas Muslim Jerman saat ini. Mereka berharap, eksistensi dan keberadaannya di negara Bavaria tersebut diakui, bukan lagi hanya dianggap sebagai warga kelas dua.
Itulah yang kemudian, oleh seorang penulis tenar berdarah Turki, Feridun Zaimoglu, harus dijadikan pendorong bagi segenap Muslim untuk berperan lebih besar dalam berbagai bidang kehidupan. Intinya, papar dia, umat harus tampil percaya diri serta tidak mudah menyerah pada tekanan.
Seiring dengan itu, mulai tumbuh semangat dari sebagian umat untuk mengembangkan Islam di tengah peradaban Jerman. Pun, di kalangan pemuda, mereka cukup antusias dalam bergerak guna mengoreksi stereotipe terhadap Islam yang bukan merupakan agama kekerasan.
Pemerintah Jerman merespons positif langkah tersebut. Hal ini disampaikan oleh Utusan Khusus Menteri Luar Negeri Jerman untuk Dialog Antaragama, Heidrun Tempel, ketika berkunjung ke Indonesia beberapa waktu lalu. Ia mengatakan, pemerintah tidak membedakan pemberian fasilitas antara warga Muslim Jerman yang sudah menjadi warga negara yang sah dan warga Jerman lainnya.
Di antaranya termasuk hak politik yang sama dan juga pemberian sejumlah fasilitas dalam peribadatan. ''Saat ini, ada sekitar 206 masjid di Jerman dan fungsinya sama dengan masjid di negara-negara lain,'' jelasnya.
Sarana lain yang diberikan adalah kemudahan dalam media komunikasi. Umat Muslim Jerman kini telah bisa menikmati beragam acara siraman rohani, baik lewat televisi maupun radio. Belum lagi melalui media internet, yang membuat cakupan informasi keagamaan menjadi lebih banyak.
Begitu pula di bidang pendidikan. Pada beberapa sekolah negeri yang ada di sejumlah negara bagian, ada kelonggaran untuk memasukkan mata pelajaran agama Islam, termasuk pemakaian jilbab yang secara resmi sudah diperbolehkan oleh peemrintah.
Oleh karena itu, Hedrun berharap, adanya kebijakan tersebut dapat memperkuat toleransi di masyarakat Jerman. Keragaman budaya, etnis, dan agama hendaknya tidak memicu konflik dan sebaiknya menjadi perekat dalam menyatukan seluruh warga.
Hal yang sama ditandaskan Menteri Dalam Negeri Jerman, Wolfgang Schrauber, yang menilai, keanekaragaman agama akan menjadi tantangan bagi kehidupan bersama kemasyarakatan. Oleh sebab itu, amatlah penting dilakukan dialog antaragama.
''Upaya itu adalah alat di negara yang netral karena menyumbangkan perbaikan pemahaman antarpihak dalam kehidupan bersama yang harmonis,'' katanya, seperti dikutip dari stuttgarter nachrichten 2009.
Menurutnya, pemerintah mendukung penuh dialog antaragama ini karena pemerintah memandang agama sebagai sumber orientasi dan kehidupan kemasyarakatan. Hidup bersama berdampingan tidak akan mungkin terjadi hanya dengan rasionalitas. Oleh sebab itu, sambung dia, di Jerman, terdapat perundangan yang sekuler, namun Jerman bukanlah negara sekuler.
Dalam beberapa tahun terakhir, Islam memang cenderung dikarakteristikkan dengan krisis atau serangan teroris. Hal itu berkembang secara umum di dunia Barat.
Untuk menepis anggapan negatif tersebut, para pemuka agama, tokoh, cendekiawan, serta kalangan masyarakat tak henti mengampanyekan wajah Islam yang damai dan kekerasan tidak termasuk di dalamnya.
Sedikit demi sedikit, upaya ini membuahkan hasil. Masyarakat Eropa dan juga Jerman mulai bisa menerima kehadiran Islam dan umat Muslim walau belum sepenuhnya terhapus kecurigaan.
Di Jerman, warga Muslim menyambut era baru ini. Semangat keislaman semakin meningkat. Komunitas dan organisasi Islam mencari tempat-tempat yang dapat digunakan beribadah dalam jangka waktu lama.
Beberapa asosiasi Muslim bahkan telah mengubah sejumlah bagian ruangan kerja menjadi tempat shalat temporer demi memfasilitasi kebutuhan keagamaan yang semakin bertambah.
Lebih jauh, Wolfgang Schrauber menambahkan, tidak mudah bagi agama yang relatif baru masuk ke Jerman, seperti Islam, untuk dapat menyesuaikan diri. Terlebih, upaya integrasi warga Muslim di negara Barat juga dipengaruhi oleh persepsi negatif mengenai Islam.
Tiga Tantangan
Namun, persoalan ini bukan dihadapi Islam saja. Gereja pun memerlukan waktu yang tak sebentar hingga mereka tidak hanya menerima demokrasi, tapi juga menerapkannya di kehidupan kemasyaratan Kristen. Nah, saat ini Islam sedang menghadapi tantangan untuk memodernisasi diri.
Di antara tantangan terbesar adalah upaya asimilasi warga Muslim di Jerman. Ini akan berlangsung terus. ''Muslim di Jerman harus bertindak sesuai hukum yang berlaku jika mereka ingin berintegrasi,'' kata Wolfgang.
Dia menambahkan, dialog Islam-Jerman juga perlu lebih dikembangkan dalam mempersiapkan solusi, seperti pelajaran agama Islam di sekolah atau panduan prosedur pemakaman Islami.
''Sehingga, kita tidak hanya memperkaya keragaman keagamaan, tetapi juga meneguhkan persatuan dalam kehidupan kemasyarakatan di negara kita,'' ujarnya.
Harapan tersebut sejatinya juga merupakan keinginan seluruh warga Muslim Jerman. Mereka pun menghendaki perbaikan mendasar, baik di lingkup antarmasyarakat maupun di internal umat sendiri.
Berdasarkan pengamatan warga Muslim setempat, setidaknya ada tiga kritik utama yang perlu mendapat perhatian. Pertama, kurangnya sistem pengajaran Islam secara independen. Kedua, ketidakhadiran jaringan komunitas Muslim yang berkelanjutan. Ketiga, fokus lembaga Islam yang masih dominan pada kebutuhan struktural organisasi itu sendiri ketimbang pengembangan masyarakat ke arah luar.
Demikianlah, perjuangan umat Muslim untuk berintegrasi meski kadang pasang surut, itu tetap berlangsung. Merujuk pada penegasan Feridun Zaimoglu di atas, rasa percaya diri haruslah melandasi setiap gerak dan langkah umat sehingga mereka dapat membawa cahaya Islam yang sejati dalam derap peradaban di Jerman dan juga Eropa.
Telah Ada Sejak Era Ottoman
Dalam berbagai literatur sejarah, banyak yang menyebutkan bahwa kehadiran umat Islam di Jerman dan juga sebagian negara di Eropa karena didorong faktor imigrasi dari negara Islam di Afrika Utara, Timur Tengah, Turki, dan Asia, untuk mencari pekerjaan serta alasan politik.
Hal tersebut berlangsung pada era tahun 1960-an hingga 1970-an, sekaligus membuat pertumbuhan penduduk Muslim meningkat pesat. Berdasarkan sensus tahun 2006, jumlah umat Islam di Jerman telah mencapai angka 3,3 juta jiwa atau empat persen dari populasi penduduk.
Akan tetapi, sebenarnya Islam sudah menapakkan jejaknya di Jerman jauh sebelum itu. Islam hadir pertama kali pada masa Kesultanan Ottoman, yaitu pada abad ke-18, di mana kedua bangsa telah menjalin hubungan diplomatik, militer, dan ekonomi.
Sebanyak 12 tentara Ottoman tercatat pernah bergabung dalam pasukan Kaisar Frederick William I dari Prusia (Jerman) pada awal abad ke-18. Pada 1745, Frederick II bahkan meresmikan penggabungan unit pasukan Muslim di ketentaraan Prusia dan menamainya 'Penunggang Muslim'.
Pasukan ini terdiri atas bangsa Bosnia, Albania, dan Tartar. Pada tahun 1760, Prusia menambah lagi unit pasukan Korps Bosnia yang berkekuatan 1.000 tentara.
Bersamaan dengan itu, imigrasi penduduk dari sejumlah negara Islam di kawasan Balkan terus berlangsung. Jumlah mereka terus bertambah. Pada tahun 1798, untuk kali pertama, sebuah pemakaman Muslim dibuka di Ibu Kota Berlin.
Pemakaman tersebut, yang sempat dipindahkan tahun 1866, masih ada hingga kini. Sampai tahun 1900, terdapat lebih dari 10 ribu umat Muslim di Jerman yang kebanyakan berasal dari wilayah Balkan dan Turki.
Ketika Perang Dunia I berkecamuk, sebanyak 15 ribu tawanan Muslim dibawa ke Berlin. Dari sinilah, masjid pertama di Berlin dibangun yang diperuntukkan bagi para tawanan ini. Namun, operasional masjid tersebut tak berjalan lama karena pada tahun 1930 terpaksa ditutup.
Setelah perang usai, masih ada sebagian kecil komunitas Muslim yang menetap di Berlin. Mereka terdiri atas para intelektual dan mahasiswa.
Untuk kali kedua, sebuah masjid didirikan untuk komunitas ini dengan nama Masjid Ahmadiyya di Berlin dan dibuka secara resmi tahun 1924. Imam pertamanya tercatat bernama Maulama Sadr-ud-Din dari India.
Sejak itu, perlahan tapi pasti, kehidupan umat Islam terus berkembang, termasuk dalam kegiatan pendidikan dan organisasi. Islam Colloguium, institusi pendidikan untuk anak-anak, dibentuk untuk pertama kalinya tahun 1932.
Pada masa tersebut, terdapat sekitar 3 ribu umat Islam di Jerman dan 300 di antaranya adalah warga asli. Dimulailah era kejayaan Nazi, yang meski tidak menargetkan umat Muslim secara khusus, mereka tetap merasakan kondisi ketidakadilan dan kecurigaan atas kaum minoritas agama di tengah euforia supremasi ras Aria (kulit putih).
Banyak dari kaum Muslim terpaksa mengungsi ke negara lain. Ketika perang selesai yang dimenangkan pasukan Sekutu, jumlah umat Islam di Jerman hanya tinggal beberapa ratus.
Kebangkitan industri membuka lembaran baru. Pemerintah Jerman mengundang para pekerja asing untuk mengisi posisi pekerjaan di pabrik-pabrik yang telah dibangun. Era tahun 60-an, terjadi gelombang imigrasi dari negara-negara Islam.
Dalam dua dekade, peningkatan jumlah penduduk beragama Islam tercatat sangat pesat. Angkanya mencapai 3 juta jiwa lebih dan didominasi oleh pendatang dari Turki (sebagian besar mereka berasal dari Anatolia, kawasan tenggara Turki).
No comments:
Post a Comment