31 July 2010

Islam di Senegal, Wajah Islam yang Toleran

Puluhan orang tampak mengelilingi seorang musisi kulit hitam di kawasan sibuk di Harleem, New York, Amerika Serikat, beberapa waktu lalu. Mereka begitu menikmati sajian irama musik khas Afrika yang dimainkan sang seniman, Youssou N'Dour.

Musisi kelahiran Senegal tersebut sejatinya memang sedang mempersiapkan acara khusus di AS. Selain berpartisipasi dalam perhelatan akbar Muslim Voices: Arts and Ideas Festival, dia juga dijadwalkan menghadiri pemutaran perdana film dokumenter perjalanan kariernya di Brooklyn Academy of Music.

Youssou N'Dour (49 tahun) bukanlah musisi kemarin sore. Di blantika musik dunia, namanya sudah demikian tenar. Jutaan albumnya laris manis di seluruh dunia dan dia kerap kali berkolaborasi dengan para musisi kondang, misalnya Sting, Bono, Paul Simon, hingga Bruce Springsteen.

Apa yang membuat karya-karyanya amat dikagumi? Youssou punya kekhasan dalam bermusik, yakni lirik lagunya yang 'dalam.' Ada pesan yang kerap ingin dia sampaikan kepada semua orang lewat tembang-tembangnya, di antaranya adalah wajah Islam yang sejuk dan damai.

Ya, Youssou merupakan seorang Muslim. Dan, dengan musiknya itu, dia selalu memiliki sebuah harapan. ''Saya ingin memperlihatkan wajah Islam yang sebenarnya, yakni sebuah agama yang damai dan toleran,'' katanya menegaskan, seperti dikutip harian The Daily Star.

Dirinya mengaku sedih setiap kali agamanya dikaitkan dengan citra kekerasan dan teror, terutama oleh media-media Barat. Padahal, bukan itu karakter agama Islam yang diketahuinya, baik di negara asalnya maupun di negara Islam lainnya.

Oleh sebab itulah, Youssou bertekad untuk terus menyajikan musik bertema agama, yang dibalut dengan irama khas Afrika. Dia tidak pantang mundur, kendati tak sedikit kalangan yang mengecamnya lantaran dianggap mencampurkan Islam dengan budaya pop sekuler.

Terlepas dari 'kampanye' damai lewat musik ini, apa yang berlangsung di tanah kelahiran Youssou, Senegal, memang merepresentasikan pesan yang ada di dalam lagu-lagu tersebut. Senegal, sebuah negara di Afrika Barat, dikenal sebagai negara mayoritas Muslim yang toleran.

Kehidupan religius bisa dilihat di kota-kota di negara itu. Di ibu kota Dakar, misalnya, jamak dijumpai kaum pria yang mengenakan pakaian Muslim lengkap dengan kopiah putihnya, atau juga wanita-wanita berjilbab.

Shalat berjamaah di tepi jalan adalah pemandangan sehari-hari. Seperti halnya di Kota Suci Makkah dan Madinah, jika sudah tiba waktu shalat fardu, apa pun kegiatan yang sedang dilakukan, para penduduknya akan langsung bersiap melaksanakan shalat.

Kondisi serupa juga merambah hingga ke luar kota Dakar dan pelosok-pelosok desa. Suasana Islami amat terasa. Di desa-desa, bangunan masjid dan mushala bahkan menjadi sesuatu yang wajib untuk dimiliki.

Aliran sufi

Ini tidaklah mengherankan, mengingat agama Islam dianut oleh mayoritas (sekitar 95 persen) penduduk Senegal, yang berjumlah sekitar 11 juta jiwa. Adapun selebihnya adalah pemeluk Kristen Katolik, sebanyak lima persen serta penganut animisme (satu persen).

Perkembangan agama Islam di negara bekas jajahan Prancis ini, tak bisa dilepaskan dari pengaruh aliran tarekat sufi. Ada dua aliran tarekat yang paling berpengaruh, yakni Tarekat Tijaniyya dan Tarekat Muridiyya.

Aliran Tijaniyya punya basis pengikut di Kota Tivaouane dan Kaolack, sementara aliran Muridiyya berkembang pesat di Kota Toubba. Sejak lama, tarekat sufi ini telah memainkan peranan signifikan dalam kehidupan sosial keagamaan serta perjuangan melawan kaum kolonial.

Didirikan tahun 1886 oleh Syekh Ahmed Bamba dan semula merupakan cabang Tarekat Qadiriyya, aliran Muridiyya menjadi yang paling awal menancapkan pengaruhnya. Dalam waktu singkat, aliran ini sanggup menarik banyak pengikut, dan menjadi simbol perlawanan terhadap penjajah.

Pada akhir abad ke-19, pengikut aliran sufi itu berjuang melawan Prancis serta Inggris. Akan tetapi, perlawanan berhenti ketika para pemimpinnya, antara lain Malick Sy dan Syekh Ahmed Bamba, memutuskan untuk berunding dengan Prancis dan diberikan imbalan hak kebebasan beragama.

Kemudian, Syekh Bamba diberikan izin untuk mengembangkan aktivitas di kawasan Peuls. Sejak itulah, aliran sufi tersebut terus meluaskan pengaruh dan kian dikenal oleh masyarakat Senegal serta Afrika Barat.

Banyak warga yang menjadikan tarekat ini sebagai pembimbing mereka dalam menyelesaikan masalah sehari-hari, semisal usai kehilangan pekerjaan atau tertimpa musibah. Syekh Bamba pun kerap mengingatkan pengikutnya untuk giat bekerja demi meningkatkan taraf kehidupan. Dia juga memberikan dorongan moral bagi yang terkena musibah.

Sedangkan aliran Tijaniyya berasal dari Afrika Utara dan telah berkembang pesat hingga Afrika Barat, khususnya Senegal, Mauritania, dan Mali. Pasca kemerdekaan tahun 1962, aliran Tijaniyya punya basis di Touba, yang bisa dibilang negara dalam negara.

Mengapa demikian? Tak lain karena wilayah ini tak memiliki gubernur serta administrasi pemerintahan. Kepemimpinan dipegang langsung oleh imam besar aliran tarekat sufi itu.

Tapi, secara keseluruhan, Senegal dipegang oleh pemerintahan yang sekuler, kendati mayoritas penduduknya beragama Islam. Peraturan perundangan menaungi semua golongan dan agama sehingga tercipta toleransi antaragama.

Sudah menjadi tradisi, misalnya, saat umat Islam merayakan hari besar agama, mereka mengundang tetangganya yang non-Muslim. Begitu pula, ketika umat Muslim dihina dengan gambar kartun Nabi Muhammad SAW oleh media Barat, umat non-Muslim di sana banyak yang turut mengecam tindakan itu.

No comments: